Pasangan pengantin baru masih disematkan para tetangga jika kami lewat, seperti pagi ini. Kala matahari masih malu-malu untuk memperlihatkan wujudnya aku dan Mas Yanuar menikmati udara pagi dengan jalan santai bersama. Angin yang masih bersih karena polusi yang membuat udara kotor saling bertemu itu membuat para orang tua ataupun ibu hamil jalan-jalan pagi sekalian olahraga. Sambil bercerita dan tertawa kami begitu bahagia sama seperti mereka."Pengantin baru biasanya wangi ini," kelakar Bu Susi, wanita setengah baya yang berjalan bersama suaminya menyapa kami."Memangnya pengantin lama nggak wangi, Bu?" balasku yang membuat suaminya ikut tertawa. "Bisa saja kamu, Suci. Oh, iya, aku pesan gamis yang kemarin sudah ada belum, soalnya mau dipakai hari Minggu besok?" "Sudah ada, Bu. Nanti saya antar saja ke rumah Ibu Susi, ya." Beliau mengangguk dan berlalu melanjutkan jalan santainya. Tangan ini digenggam erat oleh Mas Yanuar, terasa menghangat hingga relung hati. Indahnya mempunyai
Bapak mertua mengangguk dan memastikan kalau dalam keluarga ini baik dan menerima aku tulus. Hati ini menghangat, tanpa terasa air mata pun mengalir deras membasahi pipi yang dipoles dengan pewarna pipi yang tipis. "Yanuar, sebentar lagi kamu akan panen, apakah tidak sebaiknya datang kesana sekalian menikmati indahnya pemandangan!" tukas Bapak mertua yang membuat dahiku berkerut. "Pemandangan apa, Pak? Jangan mau Dek Suci, panas. Nanti kulitnya gosong, sudah di rumah saja sama kita mumpung kita disini dan menikmati liburan, iya, 'kan, Mel?" jawab Mbak Tania dengan mengerlingkan satu matanya. Mbak Melisa mengangguk setuju lalu dia mengajakku duduk di lantai bersama dengan anak-anak mereka."Nak Suci, Lek kamu yang bicara kemarin itu memang kurang baik yang hubungan kalian, kok, menghina kami karena tidak membawa motor atau mobil saat lamaran?" tanya Bapak mertua yang membuat wajah ini seketika memerah.Semua pandangan tertuju padaku, pun dengan Mas Yanuar, mata tajam itu menyorot pe
"Assalamualaikum, benar ini rumah Mbak Suci?" tanya seorang lelaki dengan dandanan rapi saat aku sibuk mengemas barang-barang pesanan online."Iya, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" jawabku dengan sedikit memicingkan mata."Ini, Mbak!" Lelaki itu menyodorkan sepucuk kertas dan memberikan instruksi kepada temannya yang di luar. Bergegas aku bangkit dari duduk dan mendekati dia yang berdiri di depan pintu. Sontak mata ini membulat karena melihat sebuah kendaraan roda dua diturunkan. Motor berwarna merah itu tampak gagah kala sudah berdiri di teras rumah. Kupandangi tanpa kedip meski tatapan dari kedua lelaki di depanku seakan menatap balik dengan penuh kebingungan.Ibu yang di dalam sedang menyuapi Mas Agus pun turut serta keluar dan melihat aku yang memucat. Mata kami saling beradu sesaat lalu mengedikkan kedua bahu bersamaan."Dari mana, ya, Mas?" tanyaku kebingungan."Dari suami anda, Mbak. Mas Yanuar," jawabnya dengan mengangguk sopan.Tak kujawab lagi ucapan petugas dealer itu, berg
"Assalamualaikum, Pak Budi!" Salam seseorang membuat aku dan Ibu segera bangkit dari duduk. Ibu yang menemaniku membungkus pesanan online segera bangkit dan menuju pintu. Berdiri seorang lelaki dengan perawakan tinggi dan kumis tebalnya."Benar ini rumahnya Pak Budi? Perkenalkan saya Sandi, kolektor barang antik dan tua. Saya mendapatkan informasi kalau sepeda Bapaknya akan dijual, benar?" tanya Pak Sandi saat memperkenalkan diri. Lelaki dengan senyum ramah itu terlihat berbinar matanya kala mengatakan sepeda tua yang kami miliki serta melihat besi berkarat itu bersandar di pojok dalam rumah."Benar ini rumahnya Pak Budi, beliau adalah suami saya, tapi apa memang mau di jual? Maaf, soalnya kami tidak tahu menahu, Pak," jelas Ibu yang tampak kebingungan sama seperti diriku.Aku mempersilahkan tamu itu untuk masuk dan duduk, menjelaskan maksudnya yang belum kami ketahui. Kalau Ayah mau menjualnya, kenapa tidak bermusyawarah dulu sama kami? Padahal jika ada sesuatu apapun beliau akan b
Emosi ini benar-benar telah di ubun-ubun. Tanganku mengepal kuat, amarahku semakin panas dan menguasai diri ini serta membutakan mata hati untuk berlaku sopan terhadapnya."Lalu kenapa jika rumah kamu? Kenapa? Aku nggak akan pernah takut!" teriaknya lalu meludah di samping kiri. Tak bisa lagi kubendung, selangkah aku maju dan ingin merontokkan tulang-tulang Lek Santoso. Namun, pergelangan tangan ini dicekal oleh Ayah dengan gelengan kepala. Lelaki itu keluar dan berteriak seperti orang gila. Mengundang para perangkat desa yang tengah melakukan sosialisasi di rumah tetangga samping rumah. Bergegas mereka mendekati kami dan meminta untuk tenang dan kepala dingin dalam menyelesaikan semuanya. Namun, bukannya menurut justru Lek Santoso berkilah dan memutar balikkan fakta jika kamilah yang mencaci maki dan menghinanya terlebih dulu. Dasar mulut ular. Dari arah seberang berlari tergopoh-gopoh anak lelaki pecundang yang berdiri ini. Angga datang dengan Ibunya, Bi Salimah. Wajah mereka m
"Yah … haruskah dengan jalan seperti ini?" Ibu menggenggam tangan Ayah yang terlihat gemetaran. Namun, Ayah justru mengangguk mantap dan berdiri menuju ke arah Mas Yanuar yang telah siap untuk pergi. Suamiku itu sudah berdiri di samping kendaraan roda dua yang akan membawa kami menuju kantor polisi."Sesekali mereka memang perlu di berikan sesuatu yang sesuai dengan perilakunya. Ayah saja yang sebagai orang tua Suci tidak pernah sekalipun mencubit atau memukul, ini anak saudara yang menganggap kita orang lain berani melayangkan tangannya ke pipi anak kita, Bu." Ayah tergugu. Lelaki di hadapanku yang rambutnya mulai memutih ini terlihat begitu terguncang.Kedua bahunya naik turun, sungguh sebuah penanda yang membuat diri ini semakin merasakan pilu karena sebagai anak belum bisa membahagiakannya hingga detik ini. Air mata yang sempat kutahan untuk tidak keluar akhirnya turun juga bak hujan deras. Aku melirik ke arah Mas Yanuar, dia mengangguk lalu tersenyum kala diri ini bangkit dan m
"Ibu bahagia, semoga kalian menjadi pasangan yang langgeng dan saling menyayangi sampai tua." Kalimat Ibu terdengar merdu, tapi bergetar. "Aamiin." Kami serempak mengucap syukur atas ucapan Ibu. Setelah Mas Agus di bawa masuk ke kamar oleh Ayah, kami berempat duduk menonton acara televisi dengan menikmati kopi hitam dan singkong rebus. Seksama melihat berita yang sedang hangat-hangatnya di layar kaca tersebut. Namun, seketika kami menoleh saat ada suara ketukan pintu yang terdengar begitu tergesa-gesa. Aku bangkit dari duduk dan membukanya, Mbah Darma datang sendirian saat malam telah sepi. Kupersilahkan lelaki tua itu masuk setelah mencium punggung tangannya takzim. Tak lupa juga membuatkan secangkir kopi dengan asap yang masih setia meliuk-liuk di atasnya.Rasa penasaran dalam hati terungkap saat beliau memintaku duduk bersama dan mendengarkan Mbah Darma berbicara tanpa ada yang berani menjedanya."Apa benar berita yang aku dengar tadi siang tentang kalian? Kenapa harus ada lagi
"Mbah, ada menantu saya disini. Tolong hargai sedikit rasa hormat itu terhadap Bapak!" "Buat apa? Yanuar juga sudah pasti paham dengan pola pikir mereka. Sejak pertama menginjakkan kaki di rumah ini mereka sudah tidak bersahabat. Iri dengki menjadi musuh terbesar dalam keluarga kita. Capek hati saja melihat kejadian hampir sama terulang tiap hari!" imbuhnya tanpa alih-alih sedikitpun."Namun, setidaknya Yanuar bisa tahu jika kami bersaudara, Mbah." Ayah mencoba lagi menutupi kekeluargaan yang renggang ini dengan menyangkal ucapan Mbah Darma."Bersaudara, tapi sudah berani main tangan sama anak orang. Itu bukan saudara, Budi, tapi musuh! Bagaimana kalau keadaan dibalik dan kalian yang melakukan ini? Mereka pasti tidak akan pernah terima dan justru semakin buas menyerang kalian!" Kali ini Mbah Darma seperti mengeluarkan segala uneg-unegnya dalam hati. Setelah menyesap kopi hitam buatanku, beliau pun berpamitan pulang. Tak banyak suara, Mbah Darma memandang diri ini dengan rasa kasihan
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan