“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
"Lihat itu anak kamu, anak lelaki kebangganmu nggak bisa jalan, lumpuh, nggak bisa bicara, cacat" teriak Lek Santoso, Ayah Angga."Santoso! Jangan pernah bawa-bawa anakku, kamu wa ras atau sudah gila? Sini kamu kalau berani!" teriak Ayah tak kalah keras. Lelaki yang masih ada ikatan hubungan keluarga itu saling naik pitam. Ayah yang tangannya dipegang erat oleh ibu seakan kemarahannya sudah sampai tingkat atas."Kamu tahu apa artinya keluarga? Keluarga itu saling menghormati dan menghargai bukan menghina seperti ini. Jika kamu tidak terima dengan niat baikku, bicara baik-baik!" tegas Ayah. Namun, bukan pada Lek Santoso dia malah berkacak pinggang seolah menantang Ayah. "Aku nggak butuh keluarga seperti kamu, memalukan. Punya saudara kok ca cat! Malu!"Tangan ini mengepal erat, urat-urat nadi menyembul menandakan aku sedang berada di titik puncak kemarahan. Masih kutahan karena berharap dia akan sadar dengan ucapannya dan meminta maaf. Namun, bukannya permintaan maaf yang keluar. Di
Aku melangkahkan kaki menuju rumah. Amarah ini masih membakar dan sampai saat ini masih membara. Rasanya aku ingin mencaci makinya, menampar serta mengajaknya duel. Sampai rumah hatiku bertambah perih, Ayah dan Ibu tergugu. Kedua orang tua yang aku sayang itu menangis dan membuat hati ini remuk-redam. Andai aku bisa meniup mereka dan melenyapkan tanpa menyentuh, pasti akan aku lakukan di depannya barusan. Sayangnya, semua itu hanyalah imajinasiku yang melintas sesaat. Mas Agus yang duduk tak jauh dari Ayah dan Ibu hanya bisa melihat kedua orang tuanya terluka dalam. Sungguh perlakuan kedua orang tadi membuatku semakin membencinya sebesar gunung Himalaya."Tolong, demi apapun jangan pernah ikut campur lagi masalah mereka. Biarkanlah mereka seperti itu, aku nggak akan rela jika anak-anakku dihina serendah itu lagi," isak Ibu dengan bibir bergetar."Tidak akan lagi. Tidak." Ayah menunduk, aku tahu ada luka besar yang begitu menganga. "Maafkan, Ayah, ya, Gus. Ayah tidak bermaksud membua
Rumah Bi Salimah sejak pagi tadi kelihatan ramai, banyak saudara datang ke kediamannya. Mobil dan motor terparkir di halaman rumahnya yang luas. Aku yang melihat mendadak menjadi tidak enak hati, jantungku seolah merasakan akan terjadi sesuatu yang diluar kehendak. Namun, aku berusaha menepisnya. Alangkah baiknya jika berpikir posyandu jernih, supaya sesuatu yang tidak terduga nanti pun akan baik. "Kok ramai banget, ada apa, ya?" tanah Ibu yang aku jawab dengan mengedikkan kedua bahu. "Andai ada acara keluarga, pasti kita akan diundang. Apa mungkin karena hal kemarin jadi mereka tidak mengundang kita?" tanya Bapak dengan mata masih memandang keluar. "Sudah, Pak. Biarkan saja, kalau mereka masih menganggap Bapak ada pasti akan datang kemari untuk berbicara. Namun, kalau tidak, tolong Bapak nggak usah ikut campur. Diam saja di rumah!" tegasku. Bukannya aku ingin menjadi anak durhaka yang membentak orang tuanya seperti itu, hanya saja aku nggak mau kejadian kemarin menjadikan luka i
Malam ini masih saja ramai di rumah Bi Salimah, justru saat malam semakin beranjak naik dan sesudah Isya, para tamu berdatangan memenuhi halaman rumahnya. Riuh para tamu seakan ada acara keluarga yang bahagia. Namun, lagi-lagi mengundang tanyaku di hati. Kenapa Bapak nggak diundang? Jiwa kepo ini terus berontak ingin tahu segalanya. Andai benar mereka memutuskan hubungan keluarga ini, apa mau dikata? Akupun akan sama dengan yang mereka lakukan. Memutuskan juga."Ada acara lamaran untuk Julia, makanya ramai sekali," jelas Ibu seperti memahami isi hatiku. "Oh, begitu." "Biar saja, mungkin mereka telah memutuskan hubungan dengan kita. Nggak apa, ya, Pak. Jangan diambil hati! Masih banyak saudara yang baik sama kita," hibur Ibu saat Bapak datang dengan membawa sepiring martabak manis. Senyum lelaki tua yang terlihat keriputnya dimana-mana itu merekah. Tak ada gurat sakit hati di mukanya. Entah terbuat dari apa hati Bapak ini. Kalau jadi aku, sudah aku marahin itu adik yang kurang aja
Setengah berlari aku mengejar gerombolan ibu-ibu yang sedang mengerubungi tukang sayur di ujung gang. Ibu meminta membeli sayur juga ikan untuk makan siang nanti. Karena aku sudah menyelesaikan pekerjaan rumah, maka diminta oleh beliau untuk berbelanja. "Anakku semalam di lamar oleh anak juragan sapi tetangga sebelah. Lamarannya nggak main-main, ada perhiasan emas satu set, pakaian dan juga jajanan banyak. Maklum orang kaya," cerocos Bi Salimah saat melihatku sedang memilih sayuran. "Alhamdulillah, semoga langgeng, ya, Bu. Enak lho, dapat besan Pak Kamari, orangnya ramah, baik dan juga serba punya. "Lha, iya, dong. Lagian keluarga kami itu nggak ada yang cacat, makanya jodohnya dekat." Mata Bi Salimah melirik tajam. Namun, aku enggan menanggapi. Berpura-pura tidak mendengarnya adalah jalan terbaik. Daripada pagi-pagi begini harus menguras emosi, sayang sekali jika harus terbuang sia-sia.Meski dadaku sudah kembang-kempis menahan gejolak amarah yang siap meledak, tapi aku harus ta
Semua keluarga besar datang berduyun-duyun ke rumah Bi Salimah. Tenda pernikahan pun di tata rapi dengan segala temannya. Tak terkecuali panggung pelaminan dan juga hiburan sudah selesai didirikan.Namun, lagi-lagi kami hanya melihat dari kejauhan. Dari rumah kami sendiri, bukan karena nggak menghormati si empunya hajat. Dikarenakan mereka tidak ada satupun yang memberi tahu ataupun datang kerumah kami untuk mengajaknya kesana."Bersihkan rumah dengan baik, Ibu mau pergi sebentar kesana membawa beras dan gula!" ujar Ibu yang melihat diri ini terpaku di kursi tamu. Aku mengangguk meski tatapan mata ini enggan terlepas dari pemandangan ramai di depan sana. "Jangan dipikirkan terlalu dalam, orang seperti mereka tidak akan pernah menginjakkan kaki di rumah ini hanya sekedar berbasa-basi." Ibu menjawab rasa penasaran didalam hatiku, seperti cenayang saja bisa membaca kata hati."Lalu kenapa Ibu harus kesana? Mending nggak usahlah, Bu!" Mata ibu melotot ke arahku, entah apa maksudnya aku
Akupun ikut berbaur dengan memeluk mereka berdua, kami berangkulan dengan deraian air mata. Semua yang di dada keluar, hingga kesalahan yang paling ujung di dalam jiwa pun seakan ikut keluar juga. Terbang tinggi mengikuti angin yang baru saja datang.Juga saat elusan lembut mendarat di punggung ini menyadarkanku dari tangisan. Ku lihat mata indah yang pernah membuat hatiku terbuai itu lalu memeluknya erat dan mengatakan dengan terbata kata maaf.“Maafkan aku, Mas, aku belum bisa menjadi istri yang baik bagimu. Maafkan aku,” isakku hari.“Aku sudah memaafkan, kita perbaiki kesalahan yang pernah lalu supaya kedepannya rumah tangga yang telah kita bina semakin baik dan bahagia, mau?” ucap Mas Yanuar dengan menyeka air mata ini.Aku hanya bisa mengangguk karena sekedar bersuara lagi pun tenggorokan ini terasa sulit. Semua seolah berhenti di tengah-tengah sehingga yang mampu aku lakukan adalah menangis dan menangis. Bahagia rasanya memiliki suami seperti Mas Yanuar, dia begitu sabar di saa
“Suci, apa kamu ingin tahu isi hati kami? Terlebih lagi Ibu, apakah kamu ingin mengetahuinya, nak?” Ibu mulai bersuara, beliau duduk di kursi bambu lalu memandang ke depan.Tidak ada airmata juga kesedihan, beliau justru beberapa kali mengedipkan kedua matanya. Aku melihat itu adalah sebuah cara untuk menghalau air mata supaya tidak keluar. Aku yakin itu.“Sebenarnya jauh di lubuk hati ibu sakit, terluka dan perih sekali menerima kenyataan pada usia senja Ibu ini. Ipar, keponakan dan mertua yang begitu membenci Ibu, berharap ibu tidak ada lagi di dunia ini, memaki Ibu, menghina bahkan meludahi Ibu dengan tawa nyaringnya kala itu. Semua perlakuan mereka memang membekas di sini!” ucap Ibu dengan menunjuk dadanya yang naik turun.Semua terdiam, baik itu Mas Yanuar dan Ayah. Tiba-tiba suasana berubah, pada hewan peliharaan kami pun seolah tahu bahwasanya ada hati yang ingin membuka luka menganga tersebut.Bahkan aku nyaris ambruk tatkala mendengar perkataan Ibu yang jauh dari perkiraanku
“Coba kamu ulangi lagi!” titah Mas Yanuar, dia berdiri sambil menatap ke arahku.“Berapa kali kamu meminta perpisahan kepadaku?” imbuhnya.“Jika memang aku bukanlah yang terbaik bagimu kenapa tidak kita sudahi saja pernikahan ini? Bukankah seumur hidup itu lama dan kita juga masih muda, kamu masih banyak pilihan yang baik untuk kedepannya. Soal Raka, aku tidak akan menghalangi untuk bertemu.”“Masih banyak wanita diluar sana yang jauh lebih baik daripada aku bukan? San kamu tahu sendiri jika aku sulit diatur dan tidak bisa bekerjasama dengan baik. Lalu apa yang kamu cari lagi jika celah dan kesempatan sudah aku berikan?” ujarku dengan bibir bergetar.Sakit sebenarnya hati ini mengeluarkan apa yang baru saja terdengar aneh di telinga. Namun, aku akan semakin sakit jika tidak ada dukungan dan genggaman kuat menghadapi hati yang terus saja tersakiti oleh sikap dan ucapan mereka yang aku sayang.Aku keluar kamar, menuju tempat paling nyaman, dia adalah kursi yang terbuat dari bambu dan te
Pagi ini kami tidak jadi pulang, Ibu terlampau khawatir dengan keadaan yang sedang kacau ini. Apalagi sejak tadi aku hanya diam dengan tatapan mata kosong. Pikiran yang berkecamuk seolah ingin mengajakku kembali terpuruk jauh dalam tragedi hati yang tidak tahu kapan selesainya ini.Mas Yanuar pun seolah tidak ingin membiarkan istrinya larut dalam tangisan. Dengan setia dia menemaniku di dalam kamar, mengaji dan sesekali menatap mata ini dengan sebuah senyuman.“Nggak kerja?” tanyaku saat suamiku berhenti mengaji.Dia menggeleng pelan lalu meletakkan kembali kita suci itu di tempatnya semula. Kembali duduk di samping lalu mengelus lembut rambut yang terurai panjang sepinggang ini. Perlahan Mas Yanuar menciumnya lalu memeluk dari belakang sambil berbicara.“Kegagalan seorang suami terhadap istri itu bukanlah karena hal duniawi saja, tapi jalan menuju akhirat. Imam, pemimpin pasti akan mengajak anggotanya untuk tetap berada di jalan yang baik, dengan susah payahnya atau mudah pasti akan
“Nggak semudah itu aku bisa melakukan hal konyol ini, Ayah!” “Ayah tahu, tapi setidaknya kamu bisa mengatakan hal itu di sini dan sekarang!”“Itu namanya pemaksaan, aku nggak bisa mengatakan hal yang tidak tulus dari hati.”“Mereka bisa dan berani minta maaf kesini bukankah itu hebat. Kebesaran hati mereka merendah dan mengatakan kalau perbuatan di masa lalu adalah kesalahan dan yakin akan memperbaiki semuanya bukankah itu hebat? Nak, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarkan hal dendam terhadapmu. Ini demi masa depanmu kelak supaya jangan dendam dengan seseorang karena justru akan merugikan diri sendiri,” jelas Ayah bijak.“Ayah semangat sekali membela mereka di sini!” ucapku ketus.Mata itu tajam ke arahku, Ibu pun sama. Kedua orang tuaku seolah ingin bertarung hebat dengan diri ini hanya karena orang lain yang telah menjadi saudaranya.“Jangan pernah ke rumah ini jika kata maafmu tidak ada!”“Ayah!” Suara Ibu meninggi mendengar suaminya berucap demikian padaku putri kesayangannya.Ent
Pagi-pagi sekali aku menata barang bawaan untuk dibawa pulang. Di kursi itu aku juga mengajak Raka berbicaralah supaya dia anteng.“Maafkan, Mbah,” ucap seseorang yang tak ku hiraukan.Rasa sakit yang sudah bertahun-tahun ini tidak bisa dengan sekejap aku hilangkan bahkan sembuhkan sekalipun. Entah sisi jahatku ini kenapa tidak bisa pergi dengan ucapan maaf dari mereka. Masih terlalu sakit. Akan tetapi, jika aku masih bergelut dengan dendam dan luka maka benar apa yang dikatakan oleh Mas Yanuar, jika aku tidak akan bisa maju.Ruang lingkupku pun akan tetap sama di situ-situ saja dan enggan bergerak padahal yang bisa menjalankan adalah diriku sendiri. Tanpa terasa air mata ini jatuh berlomba-lomba menuju pipi, tidak ada suara karena terlalu sakit.“Ikhlaskan, nggak ada yang bisa menyembuhkan luka kita sendiri kecuali dengan ikhlas dan ikhlas. Jika masih saja seperti itu, kapan kamu akan berkembang lebih baik?” Tepukan kecil di pundak dan suara lembut itu tidak mampu membuat air mata in
Malam ini kami menginap di sini, rasa kangen yang setiap kali hadir membuat diriku semakin ingin berada di rumah ini bersama Ibu dan Ayah. Makanan yang dimasak oleh Ibu terasa begitu membuat selera ini datang dan menghabiskan nasi.“Pelan-pelan kalau makan, itu masih banyak tumis kangkung dan sambalnya,” ujar Ibu yang ku balas dengan senyuman.“Bu, lalu siapa yang memberikan makanan buat Mbah Lastri jika dia nggak mau tinggal di sini?” tanyaku di saat suapan terakhir.“Kadang Ibu, kadang juga beliau masak sendiri. Tergantung selera, namanya juga sudah tua, lidah yang pagi ini siang itu membuat kami bingung,” jawab Ibu.“Kenapa nggak mau sekalian tinggal di rumah ini?” Kini Mas Yanuar yang bertanya, mungkin dia juga penasaran sama sepertiku.“Paling enak itu tinggal di rumah sendiri, meskipun rumah orang lain lebih besar dan lebih baik. Nanti kalau kalian sudah tua pasti bisa merasakan hal tersebut,” kok Ayah.Selesai makan malam, kami duduk di depan televisi. Menonton berita sambil be
“Suci, dengarkan Mbah Lastri sebentar saja! Bisa?” Suara parau itu membuat amarahku sedikit reda.Sebenarnya bukan reda hanya saja aku berusaha meredakan sekejap. Karena beliau adalah orang yang selalu menyayangi diri ini tulis sehingga apapun yang dikatakan aku selalu nurut.Kali ini pun sama, aku langsung berusaha menetralkan segala kebencian yang sudah memuncak. Menepiskan semua emosi yang tengah membara, bukan hal mudah. Akan tetapi, aku berusaha keras melawannya.“Mbah!” Akhirnya aku menjawab beliau dengan pandangan memohon untuk tidak memarahiku.“Tidak ada sepuluh menit.” Mbah Lastri kembali mengatakan apa yang akan dikehendaki.“Di dunia ini tidak ada yang abadi, semua hanya semu dan abu-abu. Setiap manusia diberikan akal serta pikiran untuk selalu memilih mana yang baik dan buruk. Dendam, benci semua ada, tapi apakah itu baik bagi kita? Jika kaki melangkah dalam bayang-bayang permusuhan, kamu tahu sendiri apa yang terjadi bukan? Nggak akan pernah bahagia, hanya sakit hati saj
Aku tertegun melihat sikap Ibu yang seolah tidak pernah terjadi sesuatu, sungguh hatinya terbuat dari apa wanitaku itu? Emosiku saja sudah berkumpul dan siap untuk meledak, tapi Ibu dan Ayah?“Kami kesini mau minta maaf atas apa yang telah kami lakukan baik itu sengaja ataupun tidak. Maafkan kami,” ucap Lek Santoso, mata itu telah redup.Seperti bukan milik dia, dulu saat dia masih gagah dan sehat, tatapan itu sungguh sangat membuatku ingin memakinya dan memukul wajah yang songong itu. Akan tetapi, kini, hari ini dan detik ini semua berubah seratus delapan puluh derajat.“Maafkan aku juga, Paman. Maaf, aku tahu jika selama ini aku salah dan tidak menjadi keluarga yang baik, tapi tolong demi masa depanku, maafkan yang telah berlalu!” pintanya dengan nada sedikit bergetar.Aku masih setia melihat sikap mereka satu persatu, aku masih menunggu apa yang ingin dikatakan oleh anggota keluarga yang masih ku benci itu. Angga, bilang demi masa depan dia, berarti ini hanya demi dia seorang bukan