Home / Romansa / Pembalasan Istri Kampungan / Chapter 71 - Chapter 80

All Chapters of Pembalasan Istri Kampungan: Chapter 71 - Chapter 80

117 Chapters

Kau Memang Pantas Mendapatkan Semuanya!

"Woah! Apa aku tidak salah lihat?" ucap seseorang yang baru saja datang dengan sebuah borgol yang mengikat kedua pergelangan tangannya.Sosok itu terlalu ceria untuk seseorang yang baru saja mendekam di penjara. Tak ada raut wajah sedih, atau pun sedikit rasa bersalah seperti para tahanan yang lain. Ia nampak terlihat sangat menikmati semuanya, hingga membuat seorang wanita yang sudah sedari tadi duduk di dalam sebuah ruang tunggu itu mendengkus dan tersenyum miring."Cukup! Sudahi basa-basimu! Aku tahu kau bahagia di atas penderitaanku!"Evan membalasnya hanya dengan tersenyum singkat, seraya duduk tepat di hadapan wanita yang sudah dua kali menemuinya dengan santai.Catat, hanya dua kali setelah dirinya hampir seminggu lebih di penjara. Menurutnya itu adalah sebuah rekor yang cukup buruk, apa lagi kemarin ini ia sempat sangat membutuhkan bantuan pada sosok yang masih berstatus sebagai istrinya tersebut."Aku bahagia di atas penderitaanmu? Sepertinya kamu salah, Bella. Aku hanya seda
Read more

Aku Takut ....

Suara pecahan kaca yang cukup terdengar kencang itu, seketika saja ampuh membuat Nara langsung terbangun dari tidur lelapnya. Dengan cepat perempuan itu segera berpindah posisi dari tidur menjadi duduk dengan raut wajah terkejut, hingga akhirnya baru menyadari keberadaan sang suami yang kini sudah berada di sisinya."Suara apa itu, Mas? Apa yang pecah di saat malam-malam seperti ini?" tanya Nara yang hendak mendekat memeluk sang suami, akan tetapi urung karena teringat dengan aksi mogok bicaranya.Hufftt, memang dasar perempuan. Gengsinya memang selalu tinggi. Mungkin kalau gengsi adalah sebuah jenis pohon, mungkin sudah tumbuh dengan sangat subur dengan dahan dan ranting besar yang sehat."Ya sudah kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaanku, biar aku saja sendiri yang langsung mengeceknya sendiri!"Padahal saat ini situasi terasa cukup mencekam dan lumayan menakutkan, akan tetapi tetap saja Nara tak mau melupakan sejenak rasa kesalnya D
Read more

Perketat Keamanan!

"Jangan ke sana, Tuan!"Seorang pria botak dengan kaos polos yang mencetak jelas tubuhnya itu langsung dengan cepat mencegah langkah kaki majikannya. Ia berdiri di sana sesaat, hingga sedetik kemudian langsung menunjuk ke arah beberapa keping kaca yang belum selesai dibereskan."Lalu, kenapa dari tadi tidak ada laporan yang masuk? Sedang apa kalian semua? Main-main?" tanya Dimas dingin, sambil sedikit mengangkat kepalanya.Tatapan pria itu, jelas menggambarkan kemarahan. Kedua tangannya terlipat di depan dada, dengan satu kaki yang sedikit melangkah lebih maju dari tempat berdirinya. Aura kasih sayang yang tadi sempat terlihat, kini jelas seketika berubah dengan drastis. Dimas marah, karena sedari tadi tak ada satu pun anak buahnya yang memberikan laporan kelanjutan kepadanya."Maaf, Tuan. Tadi sebagian dari kami sedang berusaha mengejar seseorang yang dicurigai oleh pelaku, akan tetapi sayangnya orang itu kabur tanpa jejak," jelas sosok itu denga
Read more

Tamu Tak Diundang

Dimas terperanjat, tepat setelah melihat kemunculan seseorang yang sudah lama tak pernah dilihatnya lagi. Untuk sesaat tubuhnya sempat mematung, hingga akhirnya lelaki itu langsung beranjak semakin mendekat dan mengarahkan kepalanya sedikit masuk ke arah kamarnya."Mau apa kau ke sini? Ini kamarku! Kau tidak boleh sembarang melihatnya! Tidak sopan!""Hey! Sejak kapan ada kata sopan di antara kita? Ayolah, Brother! Kita bukanlah saudara jaim yang patuh dalam tata krama dan kesopanan!"Dimas mendengkus mendengar kata-kata elakan itu. Tanpa peduli dengan sepupunya yang masih ingin mengintip ke arah dalam kamarnya, ia langsung saja mendorong kepala berambut putih itu menjauh dan mengunci rapat pintu kamarnya.Warna putih? Hey, rambut model apa yang bewarna seperti itu? Bukannya setiap orang ingin tampil lebih muda? Warna tersebut tentu terlihat seperti uban! Bagi Dimas hal itu memang sangat aneh, apa lagi ia tak pernah sekali pun memiliki keinginan ingin mewarnai rambut di seumur hidupnya
Read more

Izin Tinggal

"Tidak, tetap tidak bisa! Kalau kau ada urusan penting, kau bisa cari tempat lain saja! Aku tidak bisa membiarkan pria sepertimu tinggal di rumahku!"Penolakan tegas itu langsung tanpa basa-basi Dimas utarakan. Ia tak peduli dicap pelit dan sombong oleh saudara sepupunya sendiri, karena baginya keputusannya itu sudah sangat bulat dan tak bisa dapat diganggu gugat lagi."Ayolah, Brother! Kau lupa, sewaktu kecil kita sering berbagi kamar?" ucap Darren yang tetap berusaha membujuk.Ditarik kembali dengan kenangan masa kecilnya, lantas Dimas langsung menghela napasnya dengan pelan. Pria itu kini menyandarkan dirinya di sandaran sofa, sambil kembali memikirkan keputusannya lagi."Maaf, Darren. Akan tetapi, tetap tidak bisa! Jika dulu aku masih sendiri, mungkin kau bisa dengan bebas tinggal di rumahku. Akan tetapi sekarang, tentu sudah sangat berbeda keadaannya!" Sekali lagi Dimas yakin dengan keputusannya.Kini gantian Darren yang dibuat mengh
Read more

Keributan yang Membahagiakan

"Loh kok, kamu yang masak? Bi Inah ke mana, Sayang? Kenapa bukan Bi Inah saja yang menyiapkan masakannya?"Nara terperanjat dengan hampir saja melempar sayur bayam yang masih mentah di tangannya. Andai saja uluran tangan yang melilit pinggangnya itu tak dibarengi dengan sebuah suara, pasti dirinya sudah sedari tadi menjerit berusaha memberontak.Siapa lagi pelakunya kalau bukan Dimas? Ya, pria itu sepertinya baru saja bangun dari tidur pulasnya setelah semalam puas tertawa dan bercanda bersama dengannya."Nara? Kok diam saja? Bi Inah ke man—""Saya di sini, Tuan! Maaf, tadi Nyonya Nara sempat memaksa untuk membantu saya di dapur. Saya tidak bisa menolaknya, apa lagi tiba-tiba saja tadi ada beberapa bumbu dapur yang habis. Jadi saya harus membelinya dulu di warung, dan terpaksa meninggalkan Nyonya Nara sendirian di sini," jelas Bi Inah cepat, sebelum nanti terjadi sebuah kesalah pahaman. Sebuah kantong plastik bening yang berisikan bebera
Read more

Sebuah Keanehan

Gleghh!Untuk sesaat Darren jadi kesulitan membasahi tenggorokannya sendiri. Ia terdiam membeku, dengan dua pasang mata yang menatap curiga ke arahnya. Hingga sedetik kemudian dirinya pun langsung tergelak, yang mana hal tersebut langsung membuat kedua alis Nara dan Dimas mengerenyit."Hey! Aku bertanya serius padamu! Dari mana kau tahu semua itu?" tanya Dimas lagi, dengan rahang yang semakin mengeras.Andai saja tak ada Nara saat ini di hadapannya, pasti sudah sedari tadi ia memberikan sebuah pukulan telak pada saudara sepupunya yang gemar sekali bercanda di tengah situasi yang amat serius itu. Sungguh, Dimas memang tak pernah suka dengan sikap Darren yang selalu terkesan bermain dalam menghadapi setiap situasi apa pun."Kenapa kalian semua malah menatapku dengan tatapan aneh dan penuh curiga sih? Tenang saja, aku tahu hal ini karena tak sengaja mendengar percakapan beberapa pekerja yang ada di rumah ini. Hanya itu saja kok," jawab Darren dengan santai, yang kembali melanjutkan akti
Read more

Belum Sepenuhnya Percaya

Brakk!Beberapa lembar berkas penting langsung terbang melayang dan jatuh berserakan sedetik kemudian, hingga membuat sang empunya bergerak cepat mengambil dan merapikan itu semua."Maaf, maaf! Aku tidak sengaja!" ucap Darren yang seketika merasa bersalah.Tanpa menanggapi ucapan Darren, suami dari Nara itu langsung kembali bergegas berdiri tegak. Ia menggenggam erat beberapa dokumen penting yang akan digunakannya pada rapat di kantor nanti, seraya merapikan sejenak jas hitam yang tengah dikenakannya."Kau nampaknya sangat terburu-buru sekali? Ada meeting ya? Makanya kalau sudah tahu ada meeting, jangan sibuk bermain di atas ranjang saja dengan is—""Hushh! Siapa yang seperti itu? Aku terburu-buru karena jadwal meeting tiba-tiba dimajukan! Salah satu investorku akan mempercepat jadwal kepulangannya hari ini, jadi aku harus memajukan semua jadwal!" potong Dimas cepat seraya mengecek kembali beberapa dokumen pentingnya sekilas.Ber
Read more

Sebuah Kotak Kosong

Nara menggeleng tak percaya, tepat setelah ia melihat Darren berdebat langsung dengan salah satu orang kepercayaan suaminya.Siapa lagi kalau bukan Marvori? Pria itu baru saja pulang dari kampung halamannya, setelah hampir seminggu kurang ini mengambil cuti.Ya, pria itu baru saja dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Namun sayang bukannya sebuah sambutan atau ucapan selamat yang didapatkan, melainkan sebuah perdebatan yang tak kunjung usai atau bahkan hampir terjadi baku hantam."Darren! Please, stop it! Dia Marvori! Dia yang sudah menjagaku, bahkan sebelum aku menikah dengan saudara sepupumu!"Genggaman erat tangan Darren yang ingin melayangkan sebuah pukulan keras, tiba-tiba saja terhenti berkat perkataan Nara. Sejenak, Darren seolah kembali disadarkan oleh keadaan sekelilingnya. Hingga akhirnya langsung dengan cepat ia mengalihkan arah pukulannya ke tempat lain, atau yang lebih tepatnya lagi ke arah sebuah tembok yang ada di sampingnya."Maaf, Tuan. Saya di sini, berkat perintah Tua
Read more

Teka-teki

Tak langsung menjawab pertanyaan Nara, Marvori lantas berdiri seraya meraih kembali sebuah kotak kosong yang sudah dibawanya. Ia melirik sesaat ke arah istri majikannya itu, hingga akhirnya benar-benar memuaskan berbalik hendak meninggalkan begitu saja."Marvori! Jangan bermain teka-teki padaku! Apa maksudmu?"Nara kembali bertanya, akan tetapi sayang pertanyaannya itu hanya dianggap bagai angin lalu saja. Ia mendengkus sebal, karena sedetik kemudian Marvori benar-benar menjauh dari pandangannya. Hingga helaan napas lelah muncul dari bibir, tepat sesaat setelahnya."Apa maksud Marvori itu Darren? Tapi kenapa harus lelaki itu? Bukannya dia bukan orang lain di rumah ini?" batin Nara bertanya-tanya dalam hati.Sungguh demi apa pun, Nara benar-benar sangat pusing saat ini. Ia memang tahu hubungan suaminya dengan Darren tak begitu baik, dan itu dapat dilihatnya dengan jelas beberapa hari kemarin. Namun satu hal yang masih membuatnya tak percaya adalah,
Read more
PREV
1
...
678910
...
12
DMCA.com Protection Status