"Jangan ke sana, Tuan!"
Seorang pria botak dengan kaos polos yang mencetak jelas tubuhnya itu langsung dengan cepat mencegah langkah kaki majikannya. Ia berdiri di sana sesaat, hingga sedetik kemudian langsung menunjuk ke arah beberapa keping kaca yang belum selesai dibereskan."Lalu, kenapa dari tadi tidak ada laporan yang masuk? Sedang apa kalian semua? Main-main?" tanya Dimas dingin, sambil sedikit mengangkat kepalanya.Tatapan pria itu, jelas menggambarkan kemarahan. Kedua tangannya terlipat di depan dada, dengan satu kaki yang sedikit melangkah lebih maju dari tempat berdirinya. Aura kasih sayang yang tadi sempat terlihat, kini jelas seketika berubah dengan drastis. Dimas marah, karena sedari tadi tak ada satu pun anak buahnya yang memberikan laporan kelanjutan kepadanya."Maaf, Tuan. Tadi sebagian dari kami sedang berusaha mengejar seseorang yang dicurigai oleh pelaku, akan tetapi sayangnya orang itu kabur tanpa jejak," jelas sosok itu dengaDimas terperanjat, tepat setelah melihat kemunculan seseorang yang sudah lama tak pernah dilihatnya lagi. Untuk sesaat tubuhnya sempat mematung, hingga akhirnya lelaki itu langsung beranjak semakin mendekat dan mengarahkan kepalanya sedikit masuk ke arah kamarnya."Mau apa kau ke sini? Ini kamarku! Kau tidak boleh sembarang melihatnya! Tidak sopan!""Hey! Sejak kapan ada kata sopan di antara kita? Ayolah, Brother! Kita bukanlah saudara jaim yang patuh dalam tata krama dan kesopanan!"Dimas mendengkus mendengar kata-kata elakan itu. Tanpa peduli dengan sepupunya yang masih ingin mengintip ke arah dalam kamarnya, ia langsung saja mendorong kepala berambut putih itu menjauh dan mengunci rapat pintu kamarnya.Warna putih? Hey, rambut model apa yang bewarna seperti itu? Bukannya setiap orang ingin tampil lebih muda? Warna tersebut tentu terlihat seperti uban! Bagi Dimas hal itu memang sangat aneh, apa lagi ia tak pernah sekali pun memiliki keinginan ingin mewarnai rambut di seumur hidupnya
"Tidak, tetap tidak bisa! Kalau kau ada urusan penting, kau bisa cari tempat lain saja! Aku tidak bisa membiarkan pria sepertimu tinggal di rumahku!"Penolakan tegas itu langsung tanpa basa-basi Dimas utarakan. Ia tak peduli dicap pelit dan sombong oleh saudara sepupunya sendiri, karena baginya keputusannya itu sudah sangat bulat dan tak bisa dapat diganggu gugat lagi."Ayolah, Brother! Kau lupa, sewaktu kecil kita sering berbagi kamar?" ucap Darren yang tetap berusaha membujuk.Ditarik kembali dengan kenangan masa kecilnya, lantas Dimas langsung menghela napasnya dengan pelan. Pria itu kini menyandarkan dirinya di sandaran sofa, sambil kembali memikirkan keputusannya lagi."Maaf, Darren. Akan tetapi, tetap tidak bisa! Jika dulu aku masih sendiri, mungkin kau bisa dengan bebas tinggal di rumahku. Akan tetapi sekarang, tentu sudah sangat berbeda keadaannya!" Sekali lagi Dimas yakin dengan keputusannya.Kini gantian Darren yang dibuat mengh
"Loh kok, kamu yang masak? Bi Inah ke mana, Sayang? Kenapa bukan Bi Inah saja yang menyiapkan masakannya?"Nara terperanjat dengan hampir saja melempar sayur bayam yang masih mentah di tangannya. Andai saja uluran tangan yang melilit pinggangnya itu tak dibarengi dengan sebuah suara, pasti dirinya sudah sedari tadi menjerit berusaha memberontak.Siapa lagi pelakunya kalau bukan Dimas? Ya, pria itu sepertinya baru saja bangun dari tidur pulasnya setelah semalam puas tertawa dan bercanda bersama dengannya."Nara? Kok diam saja? Bi Inah ke man—""Saya di sini, Tuan! Maaf, tadi Nyonya Nara sempat memaksa untuk membantu saya di dapur. Saya tidak bisa menolaknya, apa lagi tiba-tiba saja tadi ada beberapa bumbu dapur yang habis. Jadi saya harus membelinya dulu di warung, dan terpaksa meninggalkan Nyonya Nara sendirian di sini," jelas Bi Inah cepat, sebelum nanti terjadi sebuah kesalah pahaman. Sebuah kantong plastik bening yang berisikan bebera
Gleghh!Untuk sesaat Darren jadi kesulitan membasahi tenggorokannya sendiri. Ia terdiam membeku, dengan dua pasang mata yang menatap curiga ke arahnya. Hingga sedetik kemudian dirinya pun langsung tergelak, yang mana hal tersebut langsung membuat kedua alis Nara dan Dimas mengerenyit."Hey! Aku bertanya serius padamu! Dari mana kau tahu semua itu?" tanya Dimas lagi, dengan rahang yang semakin mengeras.Andai saja tak ada Nara saat ini di hadapannya, pasti sudah sedari tadi ia memberikan sebuah pukulan telak pada saudara sepupunya yang gemar sekali bercanda di tengah situasi yang amat serius itu. Sungguh, Dimas memang tak pernah suka dengan sikap Darren yang selalu terkesan bermain dalam menghadapi setiap situasi apa pun."Kenapa kalian semua malah menatapku dengan tatapan aneh dan penuh curiga sih? Tenang saja, aku tahu hal ini karena tak sengaja mendengar percakapan beberapa pekerja yang ada di rumah ini. Hanya itu saja kok," jawab Darren dengan santai, yang kembali melanjutkan akti
Brakk!Beberapa lembar berkas penting langsung terbang melayang dan jatuh berserakan sedetik kemudian, hingga membuat sang empunya bergerak cepat mengambil dan merapikan itu semua."Maaf, maaf! Aku tidak sengaja!" ucap Darren yang seketika merasa bersalah.Tanpa menanggapi ucapan Darren, suami dari Nara itu langsung kembali bergegas berdiri tegak. Ia menggenggam erat beberapa dokumen penting yang akan digunakannya pada rapat di kantor nanti, seraya merapikan sejenak jas hitam yang tengah dikenakannya."Kau nampaknya sangat terburu-buru sekali? Ada meeting ya? Makanya kalau sudah tahu ada meeting, jangan sibuk bermain di atas ranjang saja dengan is—""Hushh! Siapa yang seperti itu? Aku terburu-buru karena jadwal meeting tiba-tiba dimajukan! Salah satu investorku akan mempercepat jadwal kepulangannya hari ini, jadi aku harus memajukan semua jadwal!" potong Dimas cepat seraya mengecek kembali beberapa dokumen pentingnya sekilas.Ber
Nara menggeleng tak percaya, tepat setelah ia melihat Darren berdebat langsung dengan salah satu orang kepercayaan suaminya.Siapa lagi kalau bukan Marvori? Pria itu baru saja pulang dari kampung halamannya, setelah hampir seminggu kurang ini mengambil cuti.Ya, pria itu baru saja dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Namun sayang bukannya sebuah sambutan atau ucapan selamat yang didapatkan, melainkan sebuah perdebatan yang tak kunjung usai atau bahkan hampir terjadi baku hantam."Darren! Please, stop it! Dia Marvori! Dia yang sudah menjagaku, bahkan sebelum aku menikah dengan saudara sepupumu!"Genggaman erat tangan Darren yang ingin melayangkan sebuah pukulan keras, tiba-tiba saja terhenti berkat perkataan Nara. Sejenak, Darren seolah kembali disadarkan oleh keadaan sekelilingnya. Hingga akhirnya langsung dengan cepat ia mengalihkan arah pukulannya ke tempat lain, atau yang lebih tepatnya lagi ke arah sebuah tembok yang ada di sampingnya."Maaf, Tuan. Saya di sini, berkat perintah Tua
Tak langsung menjawab pertanyaan Nara, Marvori lantas berdiri seraya meraih kembali sebuah kotak kosong yang sudah dibawanya. Ia melirik sesaat ke arah istri majikannya itu, hingga akhirnya benar-benar memuaskan berbalik hendak meninggalkan begitu saja."Marvori! Jangan bermain teka-teki padaku! Apa maksudmu?"Nara kembali bertanya, akan tetapi sayang pertanyaannya itu hanya dianggap bagai angin lalu saja. Ia mendengkus sebal, karena sedetik kemudian Marvori benar-benar menjauh dari pandangannya. Hingga helaan napas lelah muncul dari bibir, tepat sesaat setelahnya."Apa maksud Marvori itu Darren? Tapi kenapa harus lelaki itu? Bukannya dia bukan orang lain di rumah ini?" batin Nara bertanya-tanya dalam hati.Sungguh demi apa pun, Nara benar-benar sangat pusing saat ini. Ia memang tahu hubungan suaminya dengan Darren tak begitu baik, dan itu dapat dilihatnya dengan jelas beberapa hari kemarin. Namun satu hal yang masih membuatnya tak percaya adalah,
"Mas, kamu benar-benar bisa mengantarkanku untuk cek ke dokter? Kalau tidak bisa tidak apa-apa, Mas. Aku bisa pergi sendiri dengan diantar Marvori nanti," tanya Nara sekali lagi, sambil membereskan isi tasnya.Ditatapnya beberapa benda kecil seperti makeup dan peralatan ponsel yang keluar dari tasnya itu. Jujur ia sempat bingung mau memutuskan untuk membawa yang mana, karena tak bisa membawa semuanya. Jika membawa tas yang lebih besar, perutnya yang sudah mulai membuncit malah akan membuatnya semakin ribet sendiri. Akan tetapi jika tetap memutuskan untuk memakai tas yang kecil, dirinya malah jadi bingung sendiri untuk memilih yang mana harus dibawa dan ditinggalkannya.Ya, usia kandungan Nara saat ini memang sudah mulai memasuki trimester ketiga. Jelas beberapa bagian tubuhnya sudah tak lagi sama seperti dulu. Waktu seolah dengan cepat berlalu, hingga merubah semuanya menjadi berbeda."Astaga, Mas! Kamu mengangetkanku saja!" Nara sedikit mengangk
"Nara? Hey? Bangun, Sayang! Tolong bangun!"Sayup-sayup suara terdengar, membuat Nara perlahan membuka kedua netranya. Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Nara langsung melihat sekeliling. Dahinya mengernyit kala menyadari sekitarnya yang terbalik, hingga setelahnya mendapati seutas senyum tulus dari seseorang yang sama sekali tak disangkanya."Mas? Mas, aku ... Awhh!""Sabar, Sayang! Tolong berikan Melody dulu," ucap Dimas pelan, seraya mengulurkan kedua tangannya.Dengan situasi yang masih terhimpit, Nara pun berusaha menyerahkan Melody yang tengah menangis pada sang suami. Dirinya berusaha tenang, meski saat ini ia melihat Evan yang masih belum tersadar dengan beberapa bercak kemerahan di dahinya.Mobil yang ditumpangi Nara memang sempat terpelanting cukup jauh. Mobil itu rusak berat dalam kondisi yang terbalik, setelah Evan sempat dengan cepat memutar setir kendaraan di saat Bella berusaha menabraknya.Ah, iya. Mengingat Bella, bagaimana keadaan wanita itu sekarang? Nara t
Keesokan harinya berita tentang pembunuhan Haris pun kian tersebar meluas ke seluruh penjuru setiap kota. Beberapa stasiun televisi dan media cetak pun tak luput menyorotinya, terlebih sebuah nama yang ikut terseret dalam kasus pembunuhan pengusaha kaya raya itu adalah seorang mantan artis papan atas yang telah dinikahi oleh pemilik rumah produksi terkenal yang kini sedang berada di ambang kebangkrutan.Anara Aditya, nama itulah yang kini menjadi puncak pembicaraan seluruh orang. Kini wanita itu telah menjadi buronan polisi, terlebih setelah Bella mengungkapkan berbagai keterangan mengejutkan yang sangat menghebohkan publik.Ada yang yang percaya begitu saja dengan mudah, dan ada juga yang sama sekali tak menyangka. Sama halnya dengan apa yang dirasakan oleh Dimas saat ini. Pria itu semakin memijat pelipisnya yang terasa sangat pusing, seraya terus berusaha melacak keberadaan sang istri dengan secepat mungkin."Bagaimana? Apa kau telah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya D
Suara mobil polisi langsung berbunyi setelahnya. Di mana hal tersebut tentu membuat Nara dan Bu Inah menoleh panik. Rasanya percakapan mereka tak bisa diteruskan lagi, sehingga dengan cepat Evan segera memutar dan menyuruh ketiga perempuan berbeda generasi itu untuk masuk ke dalam mobilnya."Baiklah, kita jalan sekarang!"Tak ada lagi perdebatan, Bu Inah dan Nara pun akhirnya duduk terdiam bersisian. Saat ini yang terpenting memang hanyalah kabur sejauh mungkin. Nara tentu tak mungkin menyerah begitu saja, karena pasti Bella akan membuatnya terlihat bersalah di hadapan seluruh orang dengan seluruh upaya yang dilakukannya."Maaf karena telah membuat kalian berdua seperti ini," lirih Nara pelan, tepat setelah menidurkan Melody di dekapannya.Dengan mencoba menahan tangisnya, Nara mengeratkan pelukannya pada sang buah hati. Bibirnya bergetar, menahan semua rasa pening dan sakit. Sehingga membuat Bu Inah yang melihatnya pun tak tega, dan segera langsung memeluk dan menenangkannya."Tidak
Bella tersenyum sekilas sebelum akhirnya berlari dan berteriak seolah mencari pertolongan. Sementara Nara, wanita itu masih terdiam dengan ekspresi syok yang tak dapat ditahannya lagi. Seluruh tubuhnya benar-benar membeku, melihat Haris tergeletak tak berdaya di hadapannya dengan cairan kental kemerahan yang mengalir dengan deras dari belakang tengkuknya."Tidak! Apa yang harus aku lakukan?!"Nara berteriak dengan sekujur tubuh yang bergetar ketakutan. Sungguh, sebenarnya ia ingin segera pergi dari tempat ini. Namun di sisi lain, dirinya juga tak tega meninggalkan Haris begitu saja sebelum benar-benar memastikan pria itu telah ditangani oleh tangan yang tepat."Stop! Jangan sentuh dia! Sebaiknya kau sekarang segera pergi dari tempat ini, Nara!"Nara terperanjat, kala mendengar suara Evan yang tergesa-gesa dan mendapatkan tarikan dari pria itu. Entah sejak kapan mantan suaminya tersebut ada di tempat ini, dirinya tak tahu. Yang jelas saat ini Evan sama sekali tak memberikannya jeda wak
Dengan langkah tergesa-gesa, Nara langsung mengecek satu persatu semua nomor pintu kamar hotel yang telah dilewatinya. Ia sungguh tak sabar ingin segera bertemu dengan sang suami, apalagi tadi di telepon Bella sempat menangis sesenggukan tanpa menjelaskan sebab."Kamar 207! Tidak salah lagi ini pasti tempatnya!" Nara bergumam pelan, sambil melihat ke arah celah pintu yang tak tertutup rapat tersebut. Dirinya merasa sangat penasaran, tetapi ragu ingin masuk begitu saja atau tidak. Biar bagaimanapun Nara bukanlah wanita yang polos, ia tahu hal apa saja yang biasa dilakukan jika seorang wanita dan pria berada di dalam kamar hotel yang sama. Terlebih tadi, Bella sempat mengabarkan bahwa suaminya itu dalam keadaan yang mabuk berat."Tidak! Aku harus percaya dengan Mas Dimas!" gumam wanita itu berusaha membuyarkan pikiran buruknya.Dengan menarik napas terlebih dahulu, Nara pun akhirnya mengetuk pintu. Ia berusaha mempersiapkan mental sebelum mengetahui apa pun yang tengah terjadi di dalam
Sementara itu di sebuah hotel di pusat kota, terdapat seorang pria yang tengah tertidur dengan pulas di atas sebuah ranjang besar dengan pakaiannya yang terlihat sedikit acak-acakan. Seorang wanita yang baru saja membawanya ke tempat ini terlihat tersenyum penuh kemenangan, hingga akhirnya tatapannya pada pria itu teralihkan berkat panggilan masuk dari seseorang."Bagaimana?" tanya seseorang dari sambungan telepon."Semuanya berjalan sesuai rencana! Tapi, aku masih kesal denganmu! Kenapa sangat mendadak seperti ini sih? Karenamu aku jadi tidak mempunyai persiapan yang lebih, sehingga aku hanya memasukkan obat tidur saja dalam minumannya!"Wanita itu berdecak kesal, karena perintah mendadak yang ditujukan padanya. Andai saja lawan bicara teleponnya ini mengutarakan rencananya dari jauh-jauh hari, sudah pasti dirinya memasukkan obat lain yang akan membuat malamnya detik ini menjadi lebih panas dan menyenangkan."Hahaha! Itu semua salahmu yang tidak cekatan!" ejek sosok lelaki itu dari
"Tunggu!"Nara berteriak, mencegah kepergian Bi Inah. Dengan tergesa-gesa, ia langsung menahan salah satu tangan perempuan paruh baya tersebut seraya menatapnya dengan penuh harap."Tidak bisakah semua ini dibicarakan secara baik-baik terlebih dahulu, Mas? Biar bagaimanapun kita harus selesai masalah ini dengan kepala dingin, bukan seperti di saat situasi tegang dan kacau seperti ini!" pintanya dengan pandangan yang mulai berkaca-kaca.Masih dengan adanya Melody di dekapannya, Nara melangkah menghampiri sang suami. Ia berharap agar Dimas bisa merubah keputusannya, atau setidaknya pria itu mau memberikan kelonggaran waktu sebelum benar-benar mengusir Bi Inah dari tempat ini.Walau sebenarnya Nara tahu bahwa sekarang suaminya sedang sangat hancur dan terkejut dengan semua kenyataan ini, akan tetapi tetap saja dirinya tidak mau membiarkan semua masalah ini semakin memburuk. Menurutnya semua itu masih bisa dibicarakan dengan baik-baik, meskipun pastinya sangat sulit sekali mengalahkan ego
"Apa maksudmu? Kenapa Bi Inah bisa akan tahu itu? Jangan sembarang asal tuduh Darren!"Dimas tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan tatapan tajamnya yang penuh menyelidik. Langkahnya yang perlahan pasti mendekat, kian membuat nyali perempuan paruh baya yang sudah lama mengabdikan dirinya pada keluarga besar itu pun semakin menciut. Bi Inah sekarang hanya bisa menunduk dalam, tanpa bisa berkata-kata atau pun membela dirinya sendiri."Aku? Asal tuduh?" ucap Darren tak terima."Ya! Kau jelas mengada-ngada! Mana mungkin orang seperti Bi Inah tahu tentang perusahaan ayahku yang telah direbut oleh orang tuamu!"Darren tersenyum miring setelahnya. Ia mengamati sesaat wajah Bi Inah yang semakin terlihat ketar-ketir, dan kembali memusatkan perhatiannya pada sang saudara sepupu."Lebih baik kau sekarang pulang, Darren! Kedatanganmu sangat mengganggu rumah ini! Apalagi sekarang sudah ada Melody yang sangat sensitif dengan suara keributan!" tegas Dimas tepat di hadapan wajah Darren yang bergemi
"Ada apa, Sayang? Apa yang telah mengganggu pikiranmu?" Dimas akhirnya bertanya seraya mendekap pelan tubuh sang istri dari belakang. Selama di perjalanan pulang tadi, ia memang sempat memperhatikan istrinya yang terus terdiam dan seperti tengah memikirkan sesuatu. Namun sayang yang didapatkannya saat ini hanyalah sebuah gelengan singkat, dan usapan lembut di lengannya.Dalam kepala cantiknya, Nara memang masih terbayang-bayang dengan ucapan Evan dan Bella. Dirinya berpikir, apakah benar ia hanya memanfaatkan suaminya saja? Apakah dirinya memang sejahat itu? Lalu, bagaimana jika suatu saat nanti suaminya yang sangat baik padanya ini akan berpaling pada wanita lain yang jauh lebih baik darinya? Entah kenapa Nara semakin merasa tak percaya diri, seiiring dengan bayang-bayang ucapan Bella dan Evan yang terus menggema di telinganya."Sayang? Apa yang telah aku tidak ketahui?" tanya Dimas sekali lagi, seraya mencuri sebuah kecupan singkat di bibir merah menggo