Semua Bab Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu: Bab 1 - Bab 10

21 Bab

1. Ayah dari Seorang Anak Laki-laki

"Tante jahat! Huhuhu... sakit...." Gia menutup mulutnya. Matanya membulat tak percaya melihat seorang anak laki-laki jatuh terduduk di depannya. Mata anak itu menggenang penuh linangan air mata. Es krim di tangannya sudah meluber di lantai mall. Gia berdesis. Dia memang salah karena menelepon sambil berjalan di tengah keramaian mall, tapi anak ini juga salah karena sudah lari-larian di mall! "Ih, bukannya dibantuin, ya." "Kasian banget adeknya." "Aduh... udah nangis begitu, gak minta maaf." Mata Gia mengedar, lalu meringis. Padahal jelas-jelas anak itu yang salah, tapi pengunjung mall tampaknya tetap menyalahkannya. Mendapati seorang anak kecil jatuh menabrak wanita dewasa, sudah pasti yang salah wanita itu. "Dek–" Gia berjongkok. "Huaaaa... es krim aku. Hiks… hiks jatoh. Huaaaa… Tante harus ganti! Pokoknya ganti. Huaaa... aku mau es krim baru." anak laki-laki itu menangis meraung-raung. "Ng…. Tante, minta maaf ya."Sejujurnya Gia sangat gugup sekarang. Dia tidak pernah berin
Baca selengkapnya

2. Tetangga

Gia bangun di pagi hari dengan mata sembab dan hidung merah. Ia menatap pantulan kaca yang memperlihatkan betapa acak-acakannya dia. Rambut panjangnya yang berwarna caramel berantakan seperti Singa. Gia menyisir dengan pandangan kosong. Ingatannya memutar kembali kejadian kemarin ketika dia bertemu dengan Genta, juga ketika dia bercerita pada sahabatnya–Moren, perihal Genta dan anak laki-lakinya. Moren bilang dia harus menghapus semua rasa cintanya kepada Genta. Semuanya. Gia mendengus. Apakah mudah menghilangkan perasaan yang sudah tertanam lebih dari 10 tahun?Tapi sepertinya, Moren punya firasat kalau sahabatnya sejak SMA itu akan melakukan segala cara untuk merebut Genta dari istrinya."Jodoh itu sudah ada yang atur, Gi. Mungkin ini memang saatnya kamu lupain Genta. Masih banyak laki-laki di luar sana yang jauh lebih sempurna dari Genta. Kamu berhak untuk dicintai." Tapi bagaimana kalau yang Gia inginkan hanya Genta?! Moren tidak pernah tahu, tidak pernah. Gia menghabiskan ba
Baca selengkapnya

3. Sarapan Bersama

Gia bermimpi dia bertemu lagi dengan cinta pertamanya. Akan tetapi sosok itu kini tidak lagi sendiri. Ia telah berkeluarga. Kemudian dia menangis. Pahit sekali rasanya menerima kenyataan kalau orang yang kamu cinta tidak bisa menjadi milikmu. Lalu mimpi itu berganti. Gia memiliki rumah baru sesuai dengan impiannya. Naas, tetangga barunya adalah Sang cinta pertama. Dan semuanya menjadi gelap.‘Itu hanya mimpi, kan?’Gia yang masih memejamkan mata berucap syukur berkali-kali. Mana mungkin dia sanggup melihat Genta bahagia bersama keluarga kecilnya. Tidak akan sanggup. "Papa, Tante Gia sudah bangun! Tante! Tante dengar suara San, kan?" Mata Gia mengerjap. Berusaha menyesuaikan pencahayaan yang terang dengan matanya yang baru terbuka.‘Di mana ini?’ batin Gia bergumam. Gia tidak begitu mengenali langit-langit ruangan ini. Jelas ini bukan di rumahnya. Biarpun rumahnya baru, akan tetapi Gia hafal seperti apa warna atapnya. "Tante Gia? Tante nggak lupa ingatan, kan?" Gia menoleh ke samp
Baca selengkapnya

4. Pendekatan

Gak boleh dekat-dekat dia bilang? Memangnya Gia itu kuman?! Genta terlalu overthinking. Padahal Gia tidak punya niat buruk. 'Tapi memang benar, sih' batin Gia pilu. Genta mengenalnya sejak remaja. Meski laki-laki itu selalu dingin kepadanya, Gia sadar Genta teramat memahaminya. Gia kadang suka lupa. Iya, dia lupa kalau Genta yang sekarang sudah jadi suami orang. Laki-laki itu sudah beristri. Gia tidak bisa sebebas dulu buat pdkt sama Genta. Lagipula, mana mungkin Gia mau jadi pelakor? Selain karir nya, otak Gia juga memikirkan perasaan istri Genta. Gia tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga orang lain. 'Tapi kan aku cuma mau jalin silahturahmi!' sekali lagi, dia hanya ingin menjalin silahturahmi. Berangkat dari pemikirannya itu, Gia beranjak ke dapur. Niatnya pagi ini dia ingin memberikan bekal makanan untuk San. Karena sepenglihatan Gia kemarin, San termasuk jenis anak yang doyan makan. Sebelum memasak, seperti biasa Gia memotret dirinya di cermin dengan tampilannya
Baca selengkapnya

5. Peringatan Pertama

"Ken, menurut kamu kalau istri jarang di rumah, itu artinya apa?" Kening Keenan mengkerut bingung mendengar pertanyaan yang diajukan bosnya—Gia. Ken merasa Gia sedang banyak masalah. Tidak biasanya sahabat yang merangkap atasannya itu bertanya hal-hal aneh seperti tadi. Ken mengenal Gia sejak wanita itu menjadi runner up Puteri Indonesia tiga tahun yang lalu. Sebagai manager aktris ibu kota, Ken langsung menawarkan diri menjadi asisten pribadi Gia begitu ia tahu kalau wanita itu ingin terjun di dunia entertaiment. Selama bekerja dengan Gia, Ken akui Gia cukup interaktif dan banyak berbicara. Tapi malam ini, pertanyaan Gia membuat Ken penasaran. "Maksudnya gimana, Gi?" Gia menoleh kepadanya. "Masa harus aku perjelas?" Wanita itu menarik nafas panjang. "Menurut kamu, nih, kalau ada satu keluarga terus ibu nya jarang ada di rumah. Bahkan gak ikut sarapan bareng, nah, itu kenapa?" Ken makin dibuat bingung. 'Maksudnya apa, sih?' tapi meski begitu, Ken tetap menjawab sambil garuk-garu
Baca selengkapnya

6. Mama

"Demi Tuhan, Gia! Tawaran job lagi banyak-banyaknya, dan kamu malah mau jadi pelakor?!" Gia memandang Ken yang terlihat gusar. Pria itu mengacak-acak rambutnya. Terkadang, Ken bisa sangat berlebihan. Seperti sekarang. Setelah tadi Genta pulang, wajah Ken memerah. Entah dia malu, atau marah dengan kelakuan atasannya. Gia buru-buru menarik Ken masuk ke ruang tamu sebelum pria itu mengoceh panjang lebar di teras rumahnya. Bisa bahaya kalau tetangga yang lain sampai dengar. "Siapa juga, sih, yang mau jadi pelakor?" Gia berkacak pinggang. "Kamu, kan? Sampai si Genta-Genta itu datang ke sini," ujar Ken kesal. Gia berdecak panjang. "Jangan langsung ambil kesimpulan, Ken. Dengarin dulu penjelasan aku!" Ken bersandar di sofa. Lantas menarik nafas panjang. Ditepuknya sofa sebelahnya, menyuruh agar Gia duduk di sana. "Jelasin secara rinci, dan jangan bohong." mata Ken memicing penuh peringatan. "Iya," Gia mengambil posisi menyamping menghadap Ken. "Mas Genta memang mantan aku. Dia juga s
Baca selengkapnya

7. Panggilan Aneh-aneh

"Pa, kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan Mama, boleh?" BruushhAir mineral yang baru saja masuk tenggorokan Genta, keluar begitu saja hingga membasahi meja makan. Sarapan ayah dan anak itu menjadi berantakan karena beberapa makanan terkena percikan air. San menutup mulutnya dengan telapak tangan."Papa! Jorok banget, ih!" ujar San sambil mengernyit jijik. Genta tidak peduli dengan reaksi San. Pria itu menatap putra satu-satunya dengan gelengan kepala. "Mama?" ulang Genta, tidak habis pikir. San mengangguk semangat. "Iya, Pa. Boleh, kan?" Genta tidak tahu apa yang sudah merasuki San, atau ilmu apa yang diajarkan Gia pada anaknya hingga San bisa memiliki pemikiran seperti ini. Seketika Genta merasa marah pada Gia. Mungkin San tidak menyadari, tapi Genta mengenal anaknya. San tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika tidak ada pemantik dari orang lain. Jadi, sudah pasti Gia bertanya sesuatu perihal 'Mama' kepada San, dan San tidak bisa menjawabnya. 'Maafin Pap
Baca selengkapnya

8. Party

"Ta? Saya kira kamu gak datang!" Memang tidak dipungkiri Genta selalu menghindari undangan pesta yang diselenggarakan di sebuah klub malam. Apalagi malam ini, undangan yang datang dari seorang aktris ternama ibu kota itu hanya acara ulang tahun yang tidak resmi. Walaupun bukan termasuk jajaran aktor atau influencer, tetapi Genta dan Zayn merupakan rekan kerja Steffi Kenza—Sang bintang yang tengah berulang tahun, sehingga keduanya secara resmi diundang.Genta tersenyum kecil melihat reaksi sahabat sekaligus rekan kerjanya—Zayn Javeer. "Tadinya juga saya gak mau datang. Tapi dari sore, San ngambek dan minta nginep di rumah Eyang nya. Jadilah saya di sini, dari pada di rumah, sendiri," ucap Genta. Nada nelangsa dari sahabatnya itu membuat Zayn terkekeh. Jarang-jarang San—putra Genta yang menggemaskan itu, merajuk. "San pasti sangat kesal dengan Papa nya," Zayn tertawa. Genta mendengus panjang. "Iya, dia bahkan menolak panggilan telepon saya." 'Dan semua itu gara-gara Nagia!' Zay
Baca selengkapnya

9. Pertikaian di ujung lorong

Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini. Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa. "Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti. Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan. "Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Vero—yang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta. Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang. "Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia. Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin. Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta. Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gi
Baca selengkapnya

10. Rafael Dinata

Bunyi dering telepon yang masuk dari ponsel Gia membuat Genta tersadar apa yang telah terjadi.Didorongnya bahu Gia menjauh. Mata Genta nyalang menyimpan amarah, keterkejutan, dan kecewa. Pias, ditatapnya Gia dengan sorot tidak percaya. Sementara itu, Gia tergugu. Linglung, ditatapnya Genta dengan mata terbelalak. "Mas.." Gia menelan ludah. Tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Rasa malu menyergap hati Gia. Dalam hatinya, ia merutuki perbuatan impulsif nya. 'Gila kamu, Nagia!'. Wanita itu memegang bibirnya, lalu menatap Genta, dan kembali lagi memegang bibir nya. Ini seperti mimpi, karena sungguh Gia tidak ingin bertindak lebih jauh. Mata tajam Genta menghunusnya. Emosi terlihat jelas dari pancaran mata hitam pekat tersebut. Gia menelan ludah. "Keterlaluan kamu." Hanya itu yang diucapkan Genta. Setelahnya, pria itu berlalu meninggalkan Gia sendirian dengan perasaan kacau. Gia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya lemas. Hatinya berteriak ketakutan. 'Bagaimana bisa?' Gia membatin ti
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status