"Tante jahat! Huhuhu... sakit...."
Gia menutup mulutnya. Matanya membulat tak percaya melihat seorang anak laki-laki jatuh terduduk di depannya.Mata anak itu menggenang penuh linangan air mata. Es krim di tangannya sudah meluber di lantai mall. Gia berdesis.Dia memang salah karena menelepon sambil berjalan di tengah keramaian mall, tapi anak ini juga salah karena sudah lari-larian di mall!"Ih, bukannya dibantuin, ya.""Kasian banget adeknya.""Aduh... udah nangis begitu, gak minta maaf."Mata Gia mengedar, lalu meringis. Padahal jelas-jelas anak itu yang salah, tapi pengunjung mall tampaknya tetap menyalahkannya. Mendapati seorang anak kecil jatuh menabrak wanita dewasa, sudah pasti yang salah wanita itu."Dek–" Gia berjongkok."Huaaaa... es krim aku. Hiks… hiks jatoh. Huaaaa… Tante harus ganti! Pokoknya ganti. Huaaa... aku mau es krim baru." anak laki-laki itu menangis meraung-raung."Ng…. Tante, minta maaf ya."Sejujurnya Gia sangat gugup sekarang. Dia tidak pernah berinteraksi dengan anak kecil. Apalagi anak kecil yang sedang tantrum."Tante ganti es krimnya, ya? Kamu mau makan di mana?" tanya Gia mencoba bersikap lembut.Anak laki-laki itu mengusap matanya. "Tante Gia beneran mau traktir aku?”Mata Gia membulat mendengar namanya diucap anak laki-laki itu. "Kamu kenal aku?""Tau dong. Kan aku sering lihat video tante Gia di YouTube. Tante Gia sering masak, sering jalan-jalan, sering make up juga, kan?" ungkap anak laki-laki itu. Suaranya berubah riang.Suara anak laki-laki itu menghipnotis Gia. Kenyataan bahwa dia dikenal anak kecil membuat Gia tersipu. Ternyata dari 900 ribu subscriber nya di YouTube, Gia mendapati sebagiannya adalah anak-anak.Profesi Gia sebagai influencer dan beauty enthusiast memang membuat namanya melejit. Tapi tidak disangkanya seorang anak laki-laki yang Gia taksir berusia 7 tahun juga senang dengan konten youtubenya.Maka tidak menunggu lama lagi, anak laki-laki itu meminta untuk dibawa ke Hagen Dazs—restoran es krim favoritnya. Gia hanya bisa menuruti sambil berharap orang tua dari anak ini segera datang.Sambil menatap anak laki-laki yang sedang asyik menyantap es krim chocomint nya, Gia bertanya. "Nama kamu siapa?"Anak laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke wajah Gia. "Sandrio, Tan. Tapi Papa panggil aku San. Usiaku 7 tahun, dan aku senang makan es krim. Makasih ya, Tante Gia, untuk traktirannya." San tersenyum lebar.Gia ikut tersenyum."San, orang tua kamu di mana? Nanti kalau orang tua kamu nyariin gimana? Tante enggak mau, lho, disangka penculik."San menatap Gia dengan mata polosnya. Sesaat Gia merasa familier dengan mata hitam pekat itu."Kalau Papa sadar aku hilang nanti juga Papa lapor satpam," kata San santai.Gia sampai menganga mendengarnya. "San, kalau Papa kamu panik nyariin kamu gimana?" tanya Gia lagi, sambil menyuapi San sesendok es krim."Papa gak bakal panik. Tante tenang aja.""Kamu gak takut dimarahin sama Papa kamu?"Gia masih bersikeras. Jelas. Dia gak mau dianggap penculik anak dengan iming-iming makan es krim mahal. Bisa hancur reputasinya."Gak bakal, Tante. Papa itu sayang banget sama aku, jadi Papa gak bakal marahin aku. Percaya deh," ujar San sambil menyuapkan es krim ke mulutnya."Iya, kamu emang gak bakal dimarahin. Tapi nanti Tante yang dimarahin sama Papa kamu."Gia menghela nafas panjang. Bagaimana pun, dia perlu bertemu dengan ayah anak ini. Dia juga tidak bisa lama-lama bersama San.San menodongkan tangan. Alis kiri Gia naik sebelah."Apa?""Pinjam handphone. Mau telpon Papa. Aku hafal kok nomor Papa."Gia lantas memberikan ponselnya. Dari pengamatannya selama beberapa menit bersama San, Gia dapat menebak anak ini adalah anak yang pemberani dan santai.Belum lagi tampangnya San kalau lagi bete kayak tadi. Udah songong, tapi juga gemesin minta di unyel-unyel.Gia jadi penasaran setampan apa ayah dari anak ini. Jika melihat bibit good looking yang sudah terpancar dalam diri San sejak dini."Papa, cepat ke sini, ya. Tante nya cerewet, nih, takut disangka penculik mulu."Mata Gia melebar melihat bocah itu yang seperti mengadu pada ayahnya. Heh, udah dijajanin juga!"Nih, Tan, terima kasih banyak, ya." San tersenyum manis hingga lesung pipinya mencuat. "Tante, suapin lagi." Pinta anak itu melihat Gia hanya diam saja.Astaga. Apakah semua anak kecil memang manja seperti San? Gia harus banyak-banyak sabar sampai ayah dari anak ini datang."Kamu sudah sekolah?" tanya Gia. San mengangguk. "Kelas berapa?""Kelas satu, Tan. Tante, Tante mau aku ceritain gak? Di sekolah teman aku banyak sekali," San merentangkan tangannya. Ekspresinya menggebu-gebu."Soalnya aku baik dan pintar, Tan. Kata Eyang, aku juga tampan. Makanya teman-teman aku banyak."Gia tertawa geli. San bercerita dengan semangat. Tidak hanya menjelaskan perihal teman-temannya di sekolah, anak laki-laki itu juga menceritakan bagaimana sosok Sang Papa yang menurutnya sangat keren."Papa itu superman! Papa bisa melakukan apa saja. Papa selalu bacain aku buku cerita, ajarin aku naik sepeda, terus bantuin aku kerjain PR," ucap San.Gia bisa membayangkan sosok yang diceritakan San. Anak ini jelas sangat bangga dengan Papa nya. Melihat kepribadian San yang ceria, ramah, mudah akrab, dan santai, Gia jadi penasaran bagaimana ayah anak ini mendidik anak laki-lakinya."Papa! Yey! Itu Papa datang."Berjalan cepat menuju meja mereka, sosok laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan balutan kaus polo putih dan celana jeans hitam menatap San khawatir.Gia meneguk ludah. Wajahnya pucat pasi.Tidak mungkin, kan? Tidak mungkin. Batinnya terus menjerit, melarang laki-laki dewasa itu untuk menghampiri mereka. Tapi apa daya, San menyambut ayahnya dengan senyum merekah."Papa!"Papa?"Kamu kok baru nelpon Papa, sih, Nak?"Pemilik suara rendah itu membuat jantung Gia berdegup kencang. Pemandangan di depannya sungguh di luar nalar.Genta Pramudya, satu-satunya sosok yang Gia cari selama bertahun-tahun, duduk di depannya dengan memangku seorang anak laki-laki berusia 7 tahun yang memanggilnya dengan sebutan Papa."Gi–"Ekspresi terkejut itu membuat jantung Gia berdetak kencang. Genta masih mengenalinya."Mas Genta?" panggil Gia tanpa sadar.Genta tidak menjawab. Laki-laki itu berdeham canggung. Ekspresinya berubah datar."Terima kasih sudah menjaga anak saya."'Terima kasih katanya'. Gia menggigit bibir bawahnya. Mati-matian menahan air mata agar tidak tumpah.Tidak disangkanya hari ini akan tiba. Setelah bertahun-tahun Gia mencoba untuk berpikir bahwa suatu saat nanti akan ada waktunya dia bisa kembali bersama Genta.Ya, dia memang kembali bertemu dengan Genta, tapi tidak dengan keadaan seperti ini! Gia ingin menjerit.Genta adalah mantan kekasihnya semasa SMA. Sebuah kisah yang rumit dan pahit, lantas mengantarkan Gia ke ujung keputusan yang diambilnya. Gia terbang ke Yogyakarta untuk melanjutkan perkuliahan, sementara Genta memilih Amsterdam untuk meneruskan pendidikannya.Genta memiliki mata hitam tajam persis seperti mata San. Genta, yang sama seperti San memiliki lesung pipi dan senyum manis, yang sayangnya tidak berlaku untuk Gia."Mas Genta sudah menikah?"Gia tahu ia bodoh dengan bertanya seperti itu. Separuh otaknya yang tidak waras menolak kenyataan bahwa Genta sudah tidak melajang."Ya."Satu kata itu menohok hati Gia. Sama seperti terakhir mereka bertemu, Genta tetap dingin kepadanya, tetap mengacuhkannya.Gia memandang langit-langit restoran. Situasi macam apa ini. Dia ingin pergi secepatnya, tapi sebagian hatinya menyuruhnya untuk tetap tinggal. Untuk melihat berapa persen kemiripan antara San dan Genta. Meski begitu, Gia tidak bisa menampik sebuah cincin yang terpasang di jari manis Genta."Istri mas Genta di mana?"Raut sendu di wajah Gia dengan cepat menghilang. Sebuah senyum kecil yang menyimpan banyak arti terbit di bibir merahnya."Gak ikut sama kalian?" tanya Gia lagi.Mata Genta menyipit tidak suka. Pertanyaan Gia seolah mengusiknya.San ikut terpengaruh. Anak laki-laki itu menatap Genta dengan pandangan bertanya."Istri itu… Mama ya, Pa?" tanya San."Iya, San. Mama kamu di mana?" Gia beralih menatap San yang terlihat bingung."Di rumah," jawab Genta cepat. Matanya menatap Gia dingin. "Kamu penasaran dengan istri saya? Jaga batasan kamu."Genta berdiri, menggandeng tangan San. "San, ayo kita pulang.""Mas Genta," jari-jari Gia menahan pergelangan tangan Genta.Genta segera menepisnya. "Apa-apaan kamu?!" tanya Genta marah.Gia tersenyum kecil. Mata polosnya tidak terpengaruh gertakan Genta."Mas Genta kenapa gak undang aku?" tanya Gia.Rahang Genta mengeras. Laki-laki itu berdecih."Kamu bukan siapa-siapa, Gia. Kenapa saya harus undang kamu?"Gia bangun di pagi hari dengan mata sembab dan hidung merah. Ia menatap pantulan kaca yang memperlihatkan betapa acak-acakannya dia. Rambut panjangnya yang berwarna caramel berantakan seperti Singa. Gia menyisir dengan pandangan kosong. Ingatannya memutar kembali kejadian kemarin ketika dia bertemu dengan Genta, juga ketika dia bercerita pada sahabatnya–Moren, perihal Genta dan anak laki-lakinya. Moren bilang dia harus menghapus semua rasa cintanya kepada Genta. Semuanya. Gia mendengus. Apakah mudah menghilangkan perasaan yang sudah tertanam lebih dari 10 tahun?Tapi sepertinya, Moren punya firasat kalau sahabatnya sejak SMA itu akan melakukan segala cara untuk merebut Genta dari istrinya."Jodoh itu sudah ada yang atur, Gi. Mungkin ini memang saatnya kamu lupain Genta. Masih banyak laki-laki di luar sana yang jauh lebih sempurna dari Genta. Kamu berhak untuk dicintai." Tapi bagaimana kalau yang Gia inginkan hanya Genta?! Moren tidak pernah tahu, tidak pernah. Gia menghabiskan ba
Gia bermimpi dia bertemu lagi dengan cinta pertamanya. Akan tetapi sosok itu kini tidak lagi sendiri. Ia telah berkeluarga. Kemudian dia menangis. Pahit sekali rasanya menerima kenyataan kalau orang yang kamu cinta tidak bisa menjadi milikmu. Lalu mimpi itu berganti. Gia memiliki rumah baru sesuai dengan impiannya. Naas, tetangga barunya adalah Sang cinta pertama. Dan semuanya menjadi gelap.‘Itu hanya mimpi, kan?’Gia yang masih memejamkan mata berucap syukur berkali-kali. Mana mungkin dia sanggup melihat Genta bahagia bersama keluarga kecilnya. Tidak akan sanggup. "Papa, Tante Gia sudah bangun! Tante! Tante dengar suara San, kan?" Mata Gia mengerjap. Berusaha menyesuaikan pencahayaan yang terang dengan matanya yang baru terbuka.‘Di mana ini?’ batin Gia bergumam. Gia tidak begitu mengenali langit-langit ruangan ini. Jelas ini bukan di rumahnya. Biarpun rumahnya baru, akan tetapi Gia hafal seperti apa warna atapnya. "Tante Gia? Tante nggak lupa ingatan, kan?" Gia menoleh ke samp
Gak boleh dekat-dekat dia bilang? Memangnya Gia itu kuman?! Genta terlalu overthinking. Padahal Gia tidak punya niat buruk. 'Tapi memang benar, sih' batin Gia pilu. Genta mengenalnya sejak remaja. Meski laki-laki itu selalu dingin kepadanya, Gia sadar Genta teramat memahaminya. Gia kadang suka lupa. Iya, dia lupa kalau Genta yang sekarang sudah jadi suami orang. Laki-laki itu sudah beristri. Gia tidak bisa sebebas dulu buat pdkt sama Genta. Lagipula, mana mungkin Gia mau jadi pelakor? Selain karir nya, otak Gia juga memikirkan perasaan istri Genta. Gia tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga orang lain. 'Tapi kan aku cuma mau jalin silahturahmi!' sekali lagi, dia hanya ingin menjalin silahturahmi. Berangkat dari pemikirannya itu, Gia beranjak ke dapur. Niatnya pagi ini dia ingin memberikan bekal makanan untuk San. Karena sepenglihatan Gia kemarin, San termasuk jenis anak yang doyan makan. Sebelum memasak, seperti biasa Gia memotret dirinya di cermin dengan tampilannya
"Ken, menurut kamu kalau istri jarang di rumah, itu artinya apa?" Kening Keenan mengkerut bingung mendengar pertanyaan yang diajukan bosnya—Gia. Ken merasa Gia sedang banyak masalah. Tidak biasanya sahabat yang merangkap atasannya itu bertanya hal-hal aneh seperti tadi. Ken mengenal Gia sejak wanita itu menjadi runner up Puteri Indonesia tiga tahun yang lalu. Sebagai manager aktris ibu kota, Ken langsung menawarkan diri menjadi asisten pribadi Gia begitu ia tahu kalau wanita itu ingin terjun di dunia entertaiment. Selama bekerja dengan Gia, Ken akui Gia cukup interaktif dan banyak berbicara. Tapi malam ini, pertanyaan Gia membuat Ken penasaran. "Maksudnya gimana, Gi?" Gia menoleh kepadanya. "Masa harus aku perjelas?" Wanita itu menarik nafas panjang. "Menurut kamu, nih, kalau ada satu keluarga terus ibu nya jarang ada di rumah. Bahkan gak ikut sarapan bareng, nah, itu kenapa?" Ken makin dibuat bingung. 'Maksudnya apa, sih?' tapi meski begitu, Ken tetap menjawab sambil garuk-garu
"Demi Tuhan, Gia! Tawaran job lagi banyak-banyaknya, dan kamu malah mau jadi pelakor?!" Gia memandang Ken yang terlihat gusar. Pria itu mengacak-acak rambutnya. Terkadang, Ken bisa sangat berlebihan. Seperti sekarang. Setelah tadi Genta pulang, wajah Ken memerah. Entah dia malu, atau marah dengan kelakuan atasannya. Gia buru-buru menarik Ken masuk ke ruang tamu sebelum pria itu mengoceh panjang lebar di teras rumahnya. Bisa bahaya kalau tetangga yang lain sampai dengar. "Siapa juga, sih, yang mau jadi pelakor?" Gia berkacak pinggang. "Kamu, kan? Sampai si Genta-Genta itu datang ke sini," ujar Ken kesal. Gia berdecak panjang. "Jangan langsung ambil kesimpulan, Ken. Dengarin dulu penjelasan aku!" Ken bersandar di sofa. Lantas menarik nafas panjang. Ditepuknya sofa sebelahnya, menyuruh agar Gia duduk di sana. "Jelasin secara rinci, dan jangan bohong." mata Ken memicing penuh peringatan. "Iya," Gia mengambil posisi menyamping menghadap Ken. "Mas Genta memang mantan aku. Dia juga s
"Pa, kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan Mama, boleh?" BruushhAir mineral yang baru saja masuk tenggorokan Genta, keluar begitu saja hingga membasahi meja makan. Sarapan ayah dan anak itu menjadi berantakan karena beberapa makanan terkena percikan air. San menutup mulutnya dengan telapak tangan."Papa! Jorok banget, ih!" ujar San sambil mengernyit jijik. Genta tidak peduli dengan reaksi San. Pria itu menatap putra satu-satunya dengan gelengan kepala. "Mama?" ulang Genta, tidak habis pikir. San mengangguk semangat. "Iya, Pa. Boleh, kan?" Genta tidak tahu apa yang sudah merasuki San, atau ilmu apa yang diajarkan Gia pada anaknya hingga San bisa memiliki pemikiran seperti ini. Seketika Genta merasa marah pada Gia. Mungkin San tidak menyadari, tapi Genta mengenal anaknya. San tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika tidak ada pemantik dari orang lain. Jadi, sudah pasti Gia bertanya sesuatu perihal 'Mama' kepada San, dan San tidak bisa menjawabnya. 'Maafin Pap
"Ta? Saya kira kamu gak datang!" Memang tidak dipungkiri Genta selalu menghindari undangan pesta yang diselenggarakan di sebuah klub malam. Apalagi malam ini, undangan yang datang dari seorang aktris ternama ibu kota itu hanya acara ulang tahun yang tidak resmi. Walaupun bukan termasuk jajaran aktor atau influencer, tetapi Genta dan Zayn merupakan rekan kerja Steffi Kenza—Sang bintang yang tengah berulang tahun, sehingga keduanya secara resmi diundang.Genta tersenyum kecil melihat reaksi sahabat sekaligus rekan kerjanya—Zayn Javeer. "Tadinya juga saya gak mau datang. Tapi dari sore, San ngambek dan minta nginep di rumah Eyang nya. Jadilah saya di sini, dari pada di rumah, sendiri," ucap Genta. Nada nelangsa dari sahabatnya itu membuat Zayn terkekeh. Jarang-jarang San—putra Genta yang menggemaskan itu, merajuk. "San pasti sangat kesal dengan Papa nya," Zayn tertawa. Genta mendengus panjang. "Iya, dia bahkan menolak panggilan telepon saya." 'Dan semua itu gara-gara Nagia!' Zay
Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini. Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa. "Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti. Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan. "Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Vero—yang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta. Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang. "Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia. Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin. Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta. Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gi
Wajah berseri-seri yang dilengkapi dengan senyum manis itu menyapa siapa saja yang ditemuinya di lokasi syuting. Walau hari menjelang malam, aura kebahagiaan terpancar jelas dari mata coklat terang milik Gia hingga setiap orang yang melihatnya sepakat wanita itu sedang bahagia. "Pagi semua!" Gia merentangkan tangan sambil tersenyum lepas. "Pagi kak Gia!" seorang aktris muda yang Gia ketahui bernama Ellen— balas menyapanya dengan senyum ramah. Di ruang istirahat tempat para pemain webseries berjudul 'Mengapa Kau Pilih Dia'— Gia membawakan hampers kecil berisi cookies yang lalu dibagikan oleh Ken dan seorang office boy. Terdapat 5 aktris dan 3 aktor juga beberapa asisten mereka, dan kru webseries yang mendapat hampers dari Gia. Karena ia membawa cukup banyak, Gia menyuruh office boy untuk turut membagikannya ke kru-kru lain di luar ruangan. Selesai dengan tugasnya, Ken beralih ke sebuah sofa untuk mengecek jadwal Gia. Decak kagum saling bersahutan melihat isi hampers Gia
Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahun— Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. “Mami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s
“Raf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,” pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. “Ayo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,” ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. “Ada apa, mas Genta?” tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. ‘Ck! Tinggal bicara saja’. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. “Mas Genta?” panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. “Hah? Iya, kenapa?” Genta tersentak. Matanya kemudi
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Genta—yang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. San—yang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan
Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ —Gia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan
Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen
Rafael membawa San dalam gendongannya. Bersama-sama mereka menuju pusat informasi setelah sebelumnya San menghubungi Papa melalui ponsel Gia. Beruntung sekarang Gia sudah menyimpan nomer ponsel Genta. Sepanjang menuju pusat informasi, Rafael memperhatikan interaksi antara Gia dengan bocah laki-laki dalam gendongannya. "Tante, Tante kemana aja, sih? Kok jarang main lagi sama San?" tanya San dengan nada merajuk. Gia meringis kecil. "Tante lagi sibuk banget sekarang. Nanti kalau Tante sudah selesai sibuknya, Tante main lagi deh sama San." San ngangguk-ngangguk. Tapi kemudian dia bertanya lagi. "Tante kerja apa, sih, memangnya? Kok vidio Tante di youtube gak ada yang baru?" "Tante lagi jadi aktris San. Nanti San tonton film Tante, ya." Gia menyengir lebar, lalu mengusap tangan San lembut. "Oke, Tante! Semangat kerjanya, ya. Biar bisa main sama aku lagi." San balas tersenyum lebar. Gia tertawa. Kalimat San barusan tak urung membuat Rafael ikut tersenyum lebar. Anak itu terus mener
"Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak
Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka