Share

4. Pendekatan

Penulis: Retraza
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Gak boleh dekat-dekat dia bilang? Memangnya Gia itu kuman?! Genta terlalu overthinking. Padahal Gia tidak punya niat buruk.

'Tapi memang benar, sih' batin Gia pilu. Genta mengenalnya sejak remaja. Meski laki-laki itu selalu dingin kepadanya, Gia sadar Genta teramat memahaminya.

Gia kadang suka lupa. Iya, dia lupa kalau Genta yang sekarang sudah jadi suami orang. Laki-laki itu sudah beristri. Gia tidak bisa sebebas dulu buat pdkt sama Genta.

Lagipula, mana mungkin Gia mau jadi pelakor? Selain karir nya, otak Gia juga memikirkan perasaan istri Genta. Gia tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga orang lain.

'Tapi kan aku cuma mau jalin silahturahmi!' sekali lagi, dia hanya ingin menjalin silahturahmi.

Berangkat dari pemikirannya itu, Gia beranjak ke dapur. Niatnya pagi ini dia ingin memberikan bekal makanan untuk San. Karena sepenglihatan Gia kemarin, San termasuk jenis anak yang doyan makan.

Sebelum memasak, seperti biasa Gia memotret dirinya di cermin dengan tampilannya yang memakai dress panjang bewarna biru langit. Lantas menguploadnya di i*******m dan menyapa seluruh penggemarnya.

"Cantik banget kak Gia."

"Ya ampun bare face aja cantik banget!"

"Kak, cantik banget sih? Spill skincare nya dong!"

Gia cekikikan membaca kolom komentar yang memenuhi postingan barunya. Ia memang senang dipuji. Maka tidak heran, tingkat kenarsisannya lumayan tinggi.

Hampir 10 menit berkutat di dapur, Gia keluar rumah dengan membawa kotak bekal berisi dua potong sadwinch. Dugaannya benar kalau San sedang bersiap-siap untuk pergi sekolah.

"San!" panggil Gia seraya berlari kecil menghampiri San yang tengah memandangi kebun kecilnya.

"Tante Gia!" San berseru senang melihat kedatangan Gia. "Tante bawa apa?" mata polosnya melirik penuh minat kotak bekal yang dibawa Gia.

"Tante bikinin sandwich buat kamu. San suka sandwich, gak?" tanya Gia.

San cepat-cepat mengangguk. "Suka banget, Tan! Tapi.." wajah anak laki-laki itu berubah murung. "Ibu sudah masakin aku nasi goreng buat bekal aku."

'Ibu?'

Gia berusaha mengatur mimik wajahnya yang mencelos. Mikir apa, sih, dia? 'Jelas-jelas ibu nya San pasti sudah bikin masakan yang enak untuk keluarga kecilnya'.

"Tante, jangan sedih," San menggenggam pergelangan tangan Gia. "Nanti aku makan kok, sandwich dari tante Gia."

Gia tersenyum kecil melihat upaya San menghiburnya. Diusapnya kepala San dengan lembut.

"Makasih, ya, San. Belajar nya yang rajin, ya. Tante Gia pamit dulu."

"Siap, Tan! Dadah, tante Gia!"

Sepeninggal Gia, San buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Dihampirinya Genta yang masih sibuk membetulkan dasi kerjanya.

"Papa, hari ini aku gak mau makan nasi goreng," ujar San.

Sadar nasi goreng yang dimaksud adalah bekal makan siang anaknya, alis Genta mengkerut bingung. 'Tumben banget San gak mau makan masakan ibu.'

"Kenapa emangnya, Nak?" tanya Genta bingung.

"Soalnya aku mau makan sandwich yang dikasih tante Gia." San menunjukan kotak bekal dari Gia.

Genta terperangah. "Tante Gia kasih ini?" ia menunjuk kotak bekal itu.

San mengangguk senang.

"Iya, Pa. Aku mau cobain masakan tante Gia. Biasanya, kan, aku cuma lihat dari youtube nya tante Gia aja. Sekarang aku bisa ngerasain langsung." anak laki-laki itu menyengir.

Genta meneguk ludah. 'Nagia apa-apaan, sih? Apa maksudnya bikinin sandwich buat San?' batin Genta tidak habis pikir. Gia benar-benar bebal.

'Sabar, Genta. Sabar.'

Pria berusia 29 tahun itu menarik nafas panjang. "San, memangnya kamu gak kasihan sama ibu? Ibu bangun pagi banget, lho, siapin makanan buat San."

San menggeleng tegas. Genta terbelalak. 'Kenapa San jadi keras kepala gini?'

"Papa tenang aja, ibu gak akan marah kok. Aku akan jelasin ke ibu. Papa tunggu sini, ya. Aku mau samperin ibu dulu." San berlari menuju dapur.

Masih di ruang tamu, Genta hanya bisa terpaku. Ia memijat keningnya yang pusing. Apa yang harus dia lakukan untuk menjauhkan San dari Gia?

👠👠

Genta menerima telepon dari mertuanya tadi siang, yang mengatakan hari ini San tidak kesana. Tidak hanya itu, laporan dari mbak Indri—pengasuh San, juga bilang kalau anak laki-lakinya itu meminta bermain di rumah tetangga baru.

Pria bertubuh tegap itu membuka pintu kamar San yang terhubung oleh kamarnya. Anak laki-lakinya sedang menggambar sesuatu di atas kasur. Kehadiran Genta membuat San menoleh.

"Papa," sapa San sejenak, lalu kembali fokus menggambar.

"Itu tugas dari bu Guru, Nak?" tanya Genta.

San menggeleng tanpa menoleh. "Dari tante Gia."

"Kamu main ke rumah tante Gia?" Genta pura-pura terkejut.

San berhenti menggambar. Ditatapnya Papa nya yang sedang duduk dipinggir ranjang. Anak itu menautkan jari-jarinya, takut Genta akan marah.

"Iya, Papa jangan marah, ya. Tadi siang aku main ke rumah tante Gia. Aku bosan, Pa, main ke rumah Eyang terus," rajuk bocah kecil itu.

Lidah Genta kelu mendengarnya. Selama ini San tidak pernah mengeluh. Anaknya selalu bercerita dengan riang bahwa dia bahagia bermain bersama Eyang nya.

Genta menghela nafas panjang. "Kenapa gak izin dulu sama Papa?"

San menunduk. "Aku takut Papa gak ngebolehin aku main ke rumah tante Gia."

'Astaga.' Apakah San menyadari aura kebencian yang ia tebar untuk Gia?

"Nak, Papa gak akan marah. Kalau Papa ngelarang kamu, itu juga ada alasannya. San gak boleh takut ngomong sama Papa, ya, Nak."

"Maafin aku, ya, Pa." San berucap lirih.

Genta merengkuh San dalam pelukannya. "Shut, gak apa-apa. Tapi lain kali jangan diulangi, ya." tangannya mengusap pucuk kepala San.

"Jadi aku gak boleh main ke rumah tante Gia lagi?" San mendongak menatap wajah Papa nya.

Genta tersenyum kecil. "Boleh, tapi harus izin dulu sama Papa."

"Yes!" San bersorak senang. "Papa, Papa mau tau, gak?"

"Kenapa, Nak?"

"Tante Gia itu kayak Superwoman! Kalau Papa, kan, Superman. Nah, tante Gia Superwoman!" cerita San menggebu-gebu.

Alis tebal Genta naik sebelah. "Kenapa Superwoman?"

"Iya, Pa. Soalnya tante Gia bisa ngelakuin apa aja! Dia jago masak, bisa gambar, bisa nyanyi, terus bisa main piano juga!"

Genta hanya tersenyum simpul mendengarnya. 'Kamu ngapain anak aku sampai dia kagum banget sama kamu, Gi?' benak Genta.

Namun, cerita San belum usai rupanya. Kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir San membuat Genta tersedak.

"Kalau jadi anaknya tante Gia pasti seru banget, deh. Tante Gia itu, sudah menikah belum, sih, Pa?"

Bab terkait

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   5. Peringatan Pertama

    "Ken, menurut kamu kalau istri jarang di rumah, itu artinya apa?" Kening Keenan mengkerut bingung mendengar pertanyaan yang diajukan bosnya—Gia. Ken merasa Gia sedang banyak masalah. Tidak biasanya sahabat yang merangkap atasannya itu bertanya hal-hal aneh seperti tadi. Ken mengenal Gia sejak wanita itu menjadi runner up Puteri Indonesia tiga tahun yang lalu. Sebagai manager aktris ibu kota, Ken langsung menawarkan diri menjadi asisten pribadi Gia begitu ia tahu kalau wanita itu ingin terjun di dunia entertaiment. Selama bekerja dengan Gia, Ken akui Gia cukup interaktif dan banyak berbicara. Tapi malam ini, pertanyaan Gia membuat Ken penasaran. "Maksudnya gimana, Gi?" Gia menoleh kepadanya. "Masa harus aku perjelas?" Wanita itu menarik nafas panjang. "Menurut kamu, nih, kalau ada satu keluarga terus ibu nya jarang ada di rumah. Bahkan gak ikut sarapan bareng, nah, itu kenapa?" Ken makin dibuat bingung. 'Maksudnya apa, sih?' tapi meski begitu, Ken tetap menjawab sambil garuk-garu

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   6. Mama

    "Demi Tuhan, Gia! Tawaran job lagi banyak-banyaknya, dan kamu malah mau jadi pelakor?!" Gia memandang Ken yang terlihat gusar. Pria itu mengacak-acak rambutnya. Terkadang, Ken bisa sangat berlebihan. Seperti sekarang. Setelah tadi Genta pulang, wajah Ken memerah. Entah dia malu, atau marah dengan kelakuan atasannya. Gia buru-buru menarik Ken masuk ke ruang tamu sebelum pria itu mengoceh panjang lebar di teras rumahnya. Bisa bahaya kalau tetangga yang lain sampai dengar. "Siapa juga, sih, yang mau jadi pelakor?" Gia berkacak pinggang. "Kamu, kan? Sampai si Genta-Genta itu datang ke sini," ujar Ken kesal. Gia berdecak panjang. "Jangan langsung ambil kesimpulan, Ken. Dengarin dulu penjelasan aku!" Ken bersandar di sofa. Lantas menarik nafas panjang. Ditepuknya sofa sebelahnya, menyuruh agar Gia duduk di sana. "Jelasin secara rinci, dan jangan bohong." mata Ken memicing penuh peringatan. "Iya," Gia mengambil posisi menyamping menghadap Ken. "Mas Genta memang mantan aku. Dia juga s

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   7. Panggilan Aneh-aneh

    "Pa, kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan Mama, boleh?" BruushhAir mineral yang baru saja masuk tenggorokan Genta, keluar begitu saja hingga membasahi meja makan. Sarapan ayah dan anak itu menjadi berantakan karena beberapa makanan terkena percikan air. San menutup mulutnya dengan telapak tangan."Papa! Jorok banget, ih!" ujar San sambil mengernyit jijik. Genta tidak peduli dengan reaksi San. Pria itu menatap putra satu-satunya dengan gelengan kepala. "Mama?" ulang Genta, tidak habis pikir. San mengangguk semangat. "Iya, Pa. Boleh, kan?" Genta tidak tahu apa yang sudah merasuki San, atau ilmu apa yang diajarkan Gia pada anaknya hingga San bisa memiliki pemikiran seperti ini. Seketika Genta merasa marah pada Gia. Mungkin San tidak menyadari, tapi Genta mengenal anaknya. San tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika tidak ada pemantik dari orang lain. Jadi, sudah pasti Gia bertanya sesuatu perihal 'Mama' kepada San, dan San tidak bisa menjawabnya. 'Maafin Pap

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   8. Party

    "Ta? Saya kira kamu gak datang!" Memang tidak dipungkiri Genta selalu menghindari undangan pesta yang diselenggarakan di sebuah klub malam. Apalagi malam ini, undangan yang datang dari seorang aktris ternama ibu kota itu hanya acara ulang tahun yang tidak resmi. Walaupun bukan termasuk jajaran aktor atau influencer, tetapi Genta dan Zayn merupakan rekan kerja Steffi Kenza—Sang bintang yang tengah berulang tahun, sehingga keduanya secara resmi diundang.Genta tersenyum kecil melihat reaksi sahabat sekaligus rekan kerjanya—Zayn Javeer. "Tadinya juga saya gak mau datang. Tapi dari sore, San ngambek dan minta nginep di rumah Eyang nya. Jadilah saya di sini, dari pada di rumah, sendiri," ucap Genta. Nada nelangsa dari sahabatnya itu membuat Zayn terkekeh. Jarang-jarang San—putra Genta yang menggemaskan itu, merajuk. "San pasti sangat kesal dengan Papa nya," Zayn tertawa. Genta mendengus panjang. "Iya, dia bahkan menolak panggilan telepon saya." 'Dan semua itu gara-gara Nagia!' Zay

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   9. Pertikaian di ujung lorong

    Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini. Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa. "Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti. Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan. "Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Vero—yang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta. Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang. "Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia. Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin. Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta. Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gi

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   10. Rafael Dinata

    Bunyi dering telepon yang masuk dari ponsel Gia membuat Genta tersadar apa yang telah terjadi.Didorongnya bahu Gia menjauh. Mata Genta nyalang menyimpan amarah, keterkejutan, dan kecewa. Pias, ditatapnya Gia dengan sorot tidak percaya. Sementara itu, Gia tergugu. Linglung, ditatapnya Genta dengan mata terbelalak. "Mas.." Gia menelan ludah. Tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Rasa malu menyergap hati Gia. Dalam hatinya, ia merutuki perbuatan impulsif nya. 'Gila kamu, Nagia!'. Wanita itu memegang bibirnya, lalu menatap Genta, dan kembali lagi memegang bibir nya. Ini seperti mimpi, karena sungguh Gia tidak ingin bertindak lebih jauh. Mata tajam Genta menghunusnya. Emosi terlihat jelas dari pancaran mata hitam pekat tersebut. Gia menelan ludah. "Keterlaluan kamu." Hanya itu yang diucapkan Genta. Setelahnya, pria itu berlalu meninggalkan Gia sendirian dengan perasaan kacau. Gia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya lemas. Hatinya berteriak ketakutan. 'Bagaimana bisa?' Gia membatin ti

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   11. Reputasi

    Gerimis kecil membasahi permukaan tanah sejak malam hingga pagi saat ini. Rutinitas yang biasa dilakukan Genta dan San di hari weekend—yaitu lari pagi bersama, jadi dibatalkan. Sebagai gantinya, San sibuk merangkai puzzle dengan 100 kepingan yang akan menjadi gambar lukisan Van Googh, di ruang keluarga. Tidak lupa, Tv yang menyala tanpa ditonton menemani San pagi itu. Genta menatap anak semata wayangnya dari koridor kamar lantai dua. 'Maafin, Papa, San'. Sesalnya dalam hati. Genta lantas masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, dan mengambil sebuah pigura foto yang tersimpan di dalam laci nakas. Foto pernikahannya delapan tahun yang lalu. "Maafin aku," suara Genta bagai bisikan di malam hari. Begitu lirih dan sedih. Sejak malam itu perasaan bersalah tidak berhenti menghinggapi benak Genta. Dia merasa tidak bisa menjaga batasan sebagai suami. Meski tidak ada yang mengetahui selain Gia, Genta tetap merasa telah melakukan perbuatan terlarang. Matanya terus memandang sosok wanita

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   12. Kenyataan yang Sedikit Terungkap

    "Soal kontrak kerja sama kita, kamu gak perlu khawatir. Saya sudah menghubungi Zayn untuk menerima kamu." Ucapan Genta serta merta membuat Gia yang sejak tadi menunduk—mengangkat kepala. Gia mempertanyakan apa maksud Pria itu melalui sorot matanya. "Kamu akan main dalam series besutan Praz Company. Itu, kan, yang kamu inginkan?" tanya Genta. Gia terdiam. Semua rencana yang Pria itu susun sangat sempurna. Keberuntungannya bertemu dengan Vero membuat Genta langsung bergerak cepat untuk mengunci pergerakan Gia. Sekarang, Gia tau dia tidak bisa melakukan apa-apa. Meski sebagian hatinya ingin terus mengenal San, namun Gia sadar ada prioritas yang harus ia selamatkan. Karir dan reputasinya jauh lebih penting dari mencari tahu keberadaan istri Genta yang belum pernah Gia temui. "Aku.. mau ketemu sama San, boleh?" Pertanyaan Gia ditanggapi Genta dengan dengusan panjang. "Terakhir kali. Saya hanya kasih kamu kesempatan hari ini," titah Genta tidak ingin dibantah. Gia mengangguk. Genta

Bab terbaru

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   21. Gosip Baru

    Wajah berseri-seri yang dilengkapi dengan senyum manis itu menyapa siapa saja yang ditemuinya di lokasi syuting. Walau hari menjelang malam, aura kebahagiaan terpancar jelas dari mata coklat terang milik Gia hingga setiap orang yang melihatnya sepakat wanita itu sedang bahagia. "Pagi semua!" Gia merentangkan tangan sambil tersenyum lepas. "Pagi kak Gia!" seorang aktris muda yang Gia ketahui bernama Ellen— balas menyapanya dengan senyum ramah. Di ruang istirahat tempat para pemain webseries berjudul 'Mengapa Kau Pilih Dia'— Gia membawakan hampers kecil berisi cookies yang lalu dibagikan oleh Ken dan seorang office boy. Terdapat 5 aktris dan 3 aktor juga beberapa asisten mereka, dan kru webseries yang mendapat hampers dari Gia. Karena ia membawa cukup banyak, Gia menyuruh office boy untuk turut membagikannya ke kru-kru lain di luar ruangan. Selesai dengan tugasnya, Ken beralih ke sebuah sofa untuk mengecek jadwal Gia. Decak kagum saling bersahutan melihat isi hampers Gia

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   20. Ibu dan Anak Laki-lakinya

    Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahun— Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. “Mami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   19. Kebohongan Yang Berkembang

    “Raf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,” pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. “Ayo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,” ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. “Ada apa, mas Genta?” tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. ‘Ck! Tinggal bicara saja’. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. “Mas Genta?” panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. “Hah? Iya, kenapa?” Genta tersentak. Matanya kemudi

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   18. Titipan Genta

    Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Genta—yang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. San—yang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   17. Sore Bersama mas Genta

    Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ —Gia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   16. Aku Sudah Tau Semuanya

    Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   15. Awal Mula Kebohongan

    Rafael membawa San dalam gendongannya. Bersama-sama mereka menuju pusat informasi setelah sebelumnya San menghubungi Papa melalui ponsel Gia. Beruntung sekarang Gia sudah menyimpan nomer ponsel Genta. Sepanjang menuju pusat informasi, Rafael memperhatikan interaksi antara Gia dengan bocah laki-laki dalam gendongannya. "Tante, Tante kemana aja, sih? Kok jarang main lagi sama San?" tanya San dengan nada merajuk. Gia meringis kecil. "Tante lagi sibuk banget sekarang. Nanti kalau Tante sudah selesai sibuknya, Tante main lagi deh sama San." San ngangguk-ngangguk. Tapi kemudian dia bertanya lagi. "Tante kerja apa, sih, memangnya? Kok vidio Tante di youtube gak ada yang baru?" "Tante lagi jadi aktris San. Nanti San tonton film Tante, ya." Gia menyengir lebar, lalu mengusap tangan San lembut. "Oke, Tante! Semangat kerjanya, ya. Biar bisa main sama aku lagi." San balas tersenyum lebar. Gia tertawa. Kalimat San barusan tak urung membuat Rafael ikut tersenyum lebar. Anak itu terus mener

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   14. Mencari tante Gia

    "Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak

  • Suatu Hari, Aku Akan Menjadi Istrimu   13. Insiden di Pagi Hari

    Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka

DMCA.com Protection Status