Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini.
Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa."Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti.Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan."Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Vero—yang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta.Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang."Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia.Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin.Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta.Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gia membawanya ke sini?'"Kamu ngapain berdiri di depan toilet perempuan? Mau jadi penguntit? Atau nguping?" tanya Gia."Rafael siapa?" Genta mengulangi pertanyaannya.Gia mengernyit tidak suka. "Bukan urusan kamu."Genta ngangguk-ngangguk sok paham."Pacar? Atau mantan? Oh.. atau jangan-jangan tunangan kamu?" tanya Genta beruntun.Gia tidak tau apa yang terjadi pada Genta malam ini. Genta yang biasanya dingin dan datar, berubah menjadi Genta yang cerewet dan ingin tau urusan orang."Kalau dia tunangan kamu, dia tau gak ya, tunangannya mau ngerebut suami orang?" Genta menyeringai."Mas Genta!" Gia memekik tertahan. "Apa-apaan, sih, kamu?!"Genta memasang ekspresi kaget yang didramatisir. "Lho, memang benar, kan? Saking ngebetnya mau ngerebut suami orang, sampai minta dipanggil.." suara Genta mengecil menyerupai bisikan. "Mama."Jantung Gia mencelos. Seperti ada ribuan paku yang menghujani hatinya. Apa yang dikatakan Genta barusan membuat Gia membeku.Genta menikmati keterdiaman Gia dengan senyum puas."Awalnya aku pikir kamu paham apa yang aku bicarakan. Tapi ternyata kamu malah ngelunjak, ya. Kamu memanfaatkan kepolosan anak kecil untuk rasa ingin tau kamu yang gak beralasan!""Emang aku ngapain, sih?" Gia menampik tidak terima.Genta mendengus. "Jangan kamu pikir, aku gak tau apa yang kamu bilang ke San sampai anak aku ingin memanggil kamu 'Mama'." Pria itu menggeleng, tidak habis pikir."San hanya anak kecil, Nagia. Tapi kamu.." Genta menunjuk-nunjuk wajahnya.Gia menggigit bibir bawahnya. Keberaniannya menguap."Kamu pasti tanya perihal Mama nya San, kan? Dan kamu puas, karena San bingung mau jawab apa soal 'Mama nya'? Iya, kan?!" seru Genta penuh emosi.Jari-jari Gia mencengkram dress merah maroon yang ia pakai. Segala ucapan Genta membuat nya susah bernafas."Licik kamu, Nagia! Apakah seperti ini cara kamu untuk masuk ke kehidupan orang lain? Dengan memanipulasi anak kecil?"Benar, semua yang dikatakan pria itu benar. Secara sadar, Gia juga mengakui bahwa dia licik dengan menjadikan San untuk ladang informasinya.Namun, Genta juga salah. Gia tidak merasa puas. Dia justru merasa bersalah mendapati San yang bingung mendengar pertanyaannya."Aku belum pernah panggil 'Mama' ke Mama, aku, Tan. Kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan 'Mama', boleh?" suara kecil San kala itu, kini menghantui kepala Gia, dan membuatnya merasa bersalah setengah mati.Jika membicarakan sosok yang telah melahirkannya membuat San bersedih, Gia berjanji tidak akan mengulangi nya lagi.'San, maafin Tante!' Gia mundur selangkah. Tubuhnya limbung.Genta menganggap reaksi wanita itu sebagai bagian dari akting nya yang selalu sempurna. Gia bisa menampilkan poker face yang epik. Maka dia juga bisa berpura-pura lemas seperti tadi."Sekarang, saya bicara untuk yang terakhir kali, Nagia. Tolong jauhi San, dan jangan dekat-dekat dengan kehidupan kami. Tolong hapus semua perasaan kamu untuk saya. Terima kenyataan kalau saya sudah menikah. Lupakan saya."Gia menatap mata Genta penuh frustasi. Di hadapannya kini, pria itu seolah mencekik lehernya begitu kuat hingga ia susah bernafas.Di hadapannya kini, lelaki yang ia cintai mati-matian, memintanya untuk mematikan perasaan.BukTas tangan Gia jatuh ke lantai."Mas Genta.." suara Gia tercekat memanggil nama Genta. "Aku.. aku sadar aku salah sama San. Aku sadar aku jahat sama San. Tapi aku.. aku gak ada niatan untuk masuk ke kehidupan kamu."Genta membelalak. 'Wanita ini, punya berapa wajah, sih?!'"Aku cuma mau kenal sama anak kamu. Aku cuma mau berteman sama anak kamu. Dan kalau kamu mengizinkan, aku juga gak masalah berteman sama istri kamu." Penjelasan Gia semakin membuat Genta murka."Gak punya otak, ya, kamu, Gi?!" bentak Genta muak.Gia terperanjat. Secara bersamaan, sekelebat memori masa lalu masuk ke ingatan Gia. Ekspresi yang sama, ucapan yang serupa, Gia menggigil."Dasar! Anak gak punya otak!" ucapan yang menyakitkan, kemudian diikuti dengan pukulan bertubi-tubi."Mas Genta!" panggil Gia, setengah berteriak.Meski jejak emosi masih terpatri di wajahnya, tidak dipungkiri Genta terlonjak mendengar suara Gia yang meninggi.Gia menarik nafas panjang. Kilasan masa lalu tadi seolah membuktikan bahwa dia pernah mendapatkan yang lebih dari ini.Ucapan Genta mungkin menyakitinya, tapi Gia sudah terlatih.Dengan dagu terangkat tinggi, Gia maju selangkah. Ditatapnya manik hitam pekat Genta tepat di kedua bola mata."Kamu selalu ngerasa aku akan ngerebut kamu dari istri kamu. Sekarang aku tanya, memangnya aku ngelakuin apa ke kamu, sampai kamu berpikir aku bakal ngerebut kamu?" Gia tersenyum licik. Sorot matanya tegas dan menantang."Kamu juga bilang aku manipulasi San. Coba diingat lagi, siapa yang ngajarin anaknya untuk memanggil orang lain dengan sebutan yang gak pantas?"Perubahan emosi Gia yang terjadi secepat kilat membuat Genta dalam hati terperangah. Beberapa menit yang lalu, wanita ini sudah siap menangis."Penyihir centil, ya? Kreatif juga kamu," sarkas Gia.'Rupanya dia marah dengan sebutan itu.' pikir Genta.Pria itu melipat tangannya depan dada. Ditatapnya Gia dengan senyum miring. "Memang cocok panggilan itu buat kamu. Penyihir."Gia mengangguk-angguk dengan ekspresi menyebalkan. "Aku memang seperti penyihir, sih. Jahat, licik, dan punya seribu satu cara untuk memanipulasi orang lain."Genta mendengarkan dalam diam."Tapi mas Genta, kamu jangan terlalu percaya diri. Memang benar, aku masih cinta sama kamu. Tapi bukan berarti, aku masih tertarik sama kamu." lanjut Gia.Rahang Genta mengetat melihat senyum licik Gia terbit. Wanita ini sengaja mempermainkannya."Kamu bersikap seolah-olah aku pelakor yang tiap hari tidur sama kamu," Gia terkekeh sinis. "Kalau kamu memang ingin aku jadi pelakor, aku kasih permulaan untuk hubungan kita."Gia maju selangkah hingga membuat Genta terdesak antara tembok dengan tubuhnya. Genta menatapnya tajam penuh waspada."Jangan macam-macam kamu, Nagia!"Gia menyeringai puas. Reaksi Genta membuatnya merasa menang. Sebagai pria beristri, Gia ingin lihat sejauh mana Genta bisa menghentikan niatnya saat ini."Cuma satu macam, mas Genta."Secara cepat, Gia menarik tengkuk Genta, dan menyatukan bibir mereka. Di gelapnya lorong yang sepi, di ujung hingar bingar keramaian klub malam, Genta terkesiap.Harusnya Genta ingat kalau Gia tidak pernah main-main dengan ucapannya.Bunyi dering telepon yang masuk dari ponsel Gia membuat Genta tersadar apa yang telah terjadi.Didorongnya bahu Gia menjauh. Mata Genta nyalang menyimpan amarah, keterkejutan, dan kecewa. Pias, ditatapnya Gia dengan sorot tidak percaya. Sementara itu, Gia tergugu. Linglung, ditatapnya Genta dengan mata terbelalak. "Mas.." Gia menelan ludah. Tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Rasa malu menyergap hati Gia. Dalam hatinya, ia merutuki perbuatan impulsif nya. 'Gila kamu, Nagia!'. Wanita itu memegang bibirnya, lalu menatap Genta, dan kembali lagi memegang bibir nya. Ini seperti mimpi, karena sungguh Gia tidak ingin bertindak lebih jauh. Mata tajam Genta menghunusnya. Emosi terlihat jelas dari pancaran mata hitam pekat tersebut. Gia menelan ludah. "Keterlaluan kamu." Hanya itu yang diucapkan Genta. Setelahnya, pria itu berlalu meninggalkan Gia sendirian dengan perasaan kacau. Gia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya lemas. Hatinya berteriak ketakutan. 'Bagaimana bisa?' Gia membatin ti
Gerimis kecil membasahi permukaan tanah sejak malam hingga pagi saat ini. Rutinitas yang biasa dilakukan Genta dan San di hari weekend—yaitu lari pagi bersama, jadi dibatalkan. Sebagai gantinya, San sibuk merangkai puzzle dengan 100 kepingan yang akan menjadi gambar lukisan Van Googh, di ruang keluarga. Tidak lupa, Tv yang menyala tanpa ditonton menemani San pagi itu. Genta menatap anak semata wayangnya dari koridor kamar lantai dua. 'Maafin, Papa, San'. Sesalnya dalam hati. Genta lantas masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, dan mengambil sebuah pigura foto yang tersimpan di dalam laci nakas. Foto pernikahannya delapan tahun yang lalu. "Maafin aku," suara Genta bagai bisikan di malam hari. Begitu lirih dan sedih. Sejak malam itu perasaan bersalah tidak berhenti menghinggapi benak Genta. Dia merasa tidak bisa menjaga batasan sebagai suami. Meski tidak ada yang mengetahui selain Gia, Genta tetap merasa telah melakukan perbuatan terlarang. Matanya terus memandang sosok wanita
"Soal kontrak kerja sama kita, kamu gak perlu khawatir. Saya sudah menghubungi Zayn untuk menerima kamu." Ucapan Genta serta merta membuat Gia yang sejak tadi menunduk—mengangkat kepala. Gia mempertanyakan apa maksud Pria itu melalui sorot matanya. "Kamu akan main dalam series besutan Praz Company. Itu, kan, yang kamu inginkan?" tanya Genta. Gia terdiam. Semua rencana yang Pria itu susun sangat sempurna. Keberuntungannya bertemu dengan Vero membuat Genta langsung bergerak cepat untuk mengunci pergerakan Gia. Sekarang, Gia tau dia tidak bisa melakukan apa-apa. Meski sebagian hatinya ingin terus mengenal San, namun Gia sadar ada prioritas yang harus ia selamatkan. Karir dan reputasinya jauh lebih penting dari mencari tahu keberadaan istri Genta yang belum pernah Gia temui. "Aku.. mau ketemu sama San, boleh?" Pertanyaan Gia ditanggapi Genta dengan dengusan panjang. "Terakhir kali. Saya hanya kasih kamu kesempatan hari ini," titah Genta tidak ingin dibantah. Gia mengangguk. Genta
Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka
"Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak
Rafael membawa San dalam gendongannya. Bersama-sama mereka menuju pusat informasi setelah sebelumnya San menghubungi Papa melalui ponsel Gia. Beruntung sekarang Gia sudah menyimpan nomer ponsel Genta. Sepanjang menuju pusat informasi, Rafael memperhatikan interaksi antara Gia dengan bocah laki-laki dalam gendongannya. "Tante, Tante kemana aja, sih? Kok jarang main lagi sama San?" tanya San dengan nada merajuk. Gia meringis kecil. "Tante lagi sibuk banget sekarang. Nanti kalau Tante sudah selesai sibuknya, Tante main lagi deh sama San." San ngangguk-ngangguk. Tapi kemudian dia bertanya lagi. "Tante kerja apa, sih, memangnya? Kok vidio Tante di youtube gak ada yang baru?" "Tante lagi jadi aktris San. Nanti San tonton film Tante, ya." Gia menyengir lebar, lalu mengusap tangan San lembut. "Oke, Tante! Semangat kerjanya, ya. Biar bisa main sama aku lagi." San balas tersenyum lebar. Gia tertawa. Kalimat San barusan tak urung membuat Rafael ikut tersenyum lebar. Anak itu terus mener
Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen
Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ —Gia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan
Wajah berseri-seri yang dilengkapi dengan senyum manis itu menyapa siapa saja yang ditemuinya di lokasi syuting. Walau hari menjelang malam, aura kebahagiaan terpancar jelas dari mata coklat terang milik Gia hingga setiap orang yang melihatnya sepakat wanita itu sedang bahagia. "Pagi semua!" Gia merentangkan tangan sambil tersenyum lepas. "Pagi kak Gia!" seorang aktris muda yang Gia ketahui bernama Ellen— balas menyapanya dengan senyum ramah. Di ruang istirahat tempat para pemain webseries berjudul 'Mengapa Kau Pilih Dia'— Gia membawakan hampers kecil berisi cookies yang lalu dibagikan oleh Ken dan seorang office boy. Terdapat 5 aktris dan 3 aktor juga beberapa asisten mereka, dan kru webseries yang mendapat hampers dari Gia. Karena ia membawa cukup banyak, Gia menyuruh office boy untuk turut membagikannya ke kru-kru lain di luar ruangan. Selesai dengan tugasnya, Ken beralih ke sebuah sofa untuk mengecek jadwal Gia. Decak kagum saling bersahutan melihat isi hampers Gia
Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahun— Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. “Mami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s
“Raf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,” pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. “Ayo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,” ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. “Ada apa, mas Genta?” tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. ‘Ck! Tinggal bicara saja’. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. “Mas Genta?” panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. “Hah? Iya, kenapa?” Genta tersentak. Matanya kemudi
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Genta—yang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. San—yang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan
Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ —Gia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan
Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen
Rafael membawa San dalam gendongannya. Bersama-sama mereka menuju pusat informasi setelah sebelumnya San menghubungi Papa melalui ponsel Gia. Beruntung sekarang Gia sudah menyimpan nomer ponsel Genta. Sepanjang menuju pusat informasi, Rafael memperhatikan interaksi antara Gia dengan bocah laki-laki dalam gendongannya. "Tante, Tante kemana aja, sih? Kok jarang main lagi sama San?" tanya San dengan nada merajuk. Gia meringis kecil. "Tante lagi sibuk banget sekarang. Nanti kalau Tante sudah selesai sibuknya, Tante main lagi deh sama San." San ngangguk-ngangguk. Tapi kemudian dia bertanya lagi. "Tante kerja apa, sih, memangnya? Kok vidio Tante di youtube gak ada yang baru?" "Tante lagi jadi aktris San. Nanti San tonton film Tante, ya." Gia menyengir lebar, lalu mengusap tangan San lembut. "Oke, Tante! Semangat kerjanya, ya. Biar bisa main sama aku lagi." San balas tersenyum lebar. Gia tertawa. Kalimat San barusan tak urung membuat Rafael ikut tersenyum lebar. Anak itu terus mener
"Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak
Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka