Bunyi dering telepon yang masuk dari ponsel Gia membuat Genta tersadar apa yang telah terjadi.
Didorongnya bahu Gia menjauh. Mata Genta nyalang menyimpan amarah, keterkejutan, dan kecewa. Pias, ditatapnya Gia dengan sorot tidak percaya.Sementara itu, Gia tergugu. Linglung, ditatapnya Genta dengan mata terbelalak."Mas.." Gia menelan ludah. Tidak sanggup meneruskan kalimatnya.Rasa malu menyergap hati Gia. Dalam hatinya, ia merutuki perbuatan impulsif nya. 'Gila kamu, Nagia!'.Wanita itu memegang bibirnya, lalu menatap Genta, dan kembali lagi memegang bibir nya. Ini seperti mimpi, karena sungguh Gia tidak ingin bertindak lebih jauh.Mata tajam Genta menghunusnya. Emosi terlihat jelas dari pancaran mata hitam pekat tersebut. Gia menelan ludah."Keterlaluan kamu." Hanya itu yang diucapkan Genta. Setelahnya, pria itu berlalu meninggalkan Gia sendirian dengan perasaan kacau.Gia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya lemas. Hatinya berteriak ketakutan. 'Bagaimana bisa?' Gia membatin tidak percaya.Dengan tangan gemetar, diraihnya tas tangan yang sejak tadi terus menderingkan bunyi panggilan masuk dari ponselnya. Ia melihat nama Sang penelepon yang tertera di layar.Rafael Dinata's CallingGia menggeser garis hijau di layar. Berikutnya, suara Rafael yang mengalun lembut penuh khawatir terdengar di ujung telepon."Kamu di mana, Gi?"đ đ Rafael Dinata.Gia mengenalnya sejak tiga tahun yang lalu, di sebuah pesta ulang tahun televisi swasta. Gia yang datang sebagai tamu undangan, tiba-tiba dihampiri seorang pria yang ternyata anak pemilik stasiun televisi tersebut.Namun, dibanding menjadi pengusaha seperti ayahnya, Rafael lebih senang terjun menjadi youtuber. Dan begitulah awal mula perkenalan Gia dengannya. Hingga beberapa kali Rafael mengajak Gia untuk collab di konten youtubenya. Membuat netizen baper dengan segala kedekatan mereka."Kamu dari mana aja, sih, Gi?" tanya Rafael begitu Gia sampai di table yang juga ditempati oleh Ken dan Moren."Toilet. Perut aku bermasalah," jawab Gia, tidak lupa dengan senyum kecil agar Rafael tidak khawatir.Tangan Rafael mengusap bahu Gia. "Lain kali kabarin, ya. Biar aku gak panik nyariin kamu," ujarnya lembut."Tau, Gi! Rafa itu dari tadi panik banget nyariin kamu," ujar Ken sambil menyesap wine-nya.Gia menatap Rafael penuh rasa bersalah. "Sorry ya, Raf, udah bikin kamu khawatir."Rafael mengibaskan tangannya. Sebelah tangannya kemudian merangkul Gia."Gak apa-apa, yang penting, kan, kamu udah di sini." Rafael menyengir lebar.Begitulah hubungan mereka. Sebuah hubungan tanpa ikatan resmi, yang dianggap semua orang lebih dari sekedar teman atau rekan influencer.Rafal memiliki kharisma yang mematikan. Selain wajah tampannya yang indah, kepribadiannya juga hangat dan humoris. Rafael bukan pria sombong yang akan memandang rendah orang lain karena status sosialnya.Sebaliknya, ia adalah si malaikat rendah hati yang senantiasa mengulurkan tangan pada siapa saja yang membutuhkannya.Semua mata bisa melihat bagaimana cara Rafael memandang Gia. Penuh harmonisasi cinta dan kasih. Seolah di matanya hanya ada Gia. Seolah dunianya hanya membutuhkan Gia.Sayangnya, di mata Gia, Rafael tidak lebih dari seorang pria berumur 26 tahun yang manja, childish, dan menjengkelkan. Meski Gia tidak bisa pungkiri bahwa pria itu memiliki hati yang tulus."Hai, Raf." Kehadiran seseorang yang tidak lain adalah Vero, membuat suasana di table mereka menjadi canggung."Hai, Ver." Rafael balas menyapa.Vero kemudian melirik Gia yang berada dalam rangkulan Rafael dengan sorot lain. Gia mengernyit bingung. Mata Vero seolah mengatakan dia mengetahui sesuatu yang disembunyikan oleh Gia. Atau itu hanya asumsinya saja?"Aku kira kalian udah putus," ujar Vero dengan suara cukup kencang hingga beberapa selebgram menoleh ke arah mereka.Alis kiri Rafael terangkat sebelah. Raut tidak suka tercetak jelas di wajahnya. Sementara itu, Gia menghela nafas panjang."Seperti yang kamu lihat, Ver. Kami baik-baik aja." Jawab Rafael, lalu secara tiba-tiba mengecup kening Gia.Gia melotot. Begitu juga dengan Vero yang nyaris jantungan melihat aksi Rafael barusan.Namun, para selebgram di sekeliling mereka justru berseru heboh melihat pemandangan barusan. Termasuk juga Moren yang memekik senang.Seketika ponsel-ponsel diangkat mengarah ke wajahnya. Gia bergerak risih dalam rangkulan Rafael. Sudah pasti dalam beberapa menit ke depan akan ada puluhan tag akun instastory di instagramnya. "Raf," Gia bergumam pelan. Sedikit kesal dengan tingkah Julian yang suka seenaknya. "Sorry ganggu momen kalian, tapi Gia masih ada acara lain, dan dia harus buru-buru," ujar Ken.Asisten pribadi Gia itu rupanya menyadari bos-nya sudah merasa enggan berada dalam situasi tersebut."Yah.. padahal, kan, kita baru ketemu." Rafael merajuk."Nanti telponan aja, ya," bujuk Ken dengan cengiran lebar. "Yuk, Gi."Mau tidak mau, Rafael melepas rangkulannya dengan enggan. Namun sebagai gantinya, pria itu menggenggam tangan Gia dengan sorot memelas."Nanti aku telpon, ya. Hati-hati sayang," ucap Rafael sambil mengusap telapak tangan Gia.Gia mengangguk singkat. "Aku pergi dulu." đ đ Gia memijat keningnya yang pusing melihat sederetan vidio yang diupload di akun-akun i*******m teman-teman selebgramnya.Caption yang melandasi momen ketika Rafael mengecup keningnya itu beragam, mulai dari ucapan sesederhana 'cie' hingga yang brutal seperti 'Ayo, besok lamaran!'.Ken yang duduk di balik stir mobil, menoleh ke samping. Malam ini Gia memang tidak membawa mobil sendiri. Maka dari itu, Ken merasa bertanggung jawab mengantar balik Gia yang terlihat lelah."Kamu gak apa-apa?" terselip nada khawatir dalam suara Ken. Jam sudah menunjukan pukul 9 malam. Tampang Gia sudah lemas dan pucat."Pasti besok masuk akun lambe," ungkap Gia sambil menunjukan salah satu vidio ke hadapan Ken."Gak perlu dipikirin. Nanti aku beresin, Gi." Hibur Ken dengan sorot menenangkan."Hm.." Gia hanya bergumam.Terkadang, ia sebal dengan rendahnya privasi di negara ini. Padahal semua vidio itu dilakukan tanpa persetujuan Gia selaku orang yang dividiokan. Tapi, dengan sesuka hati, mereka mengupload tanpa seizinnya.Dan Rafael.. ah, dia juga biang masalah. Seharusnya Rafael tidak bertindak seperti itu. Tapi, memang seperti itulah Rafael.'Seenaknya!' batin Gia kesal. Ddrttt Gia melirik nama mama nya yang tertera di layar ponsel. Ia menggeser lockscreen dan membuka pesan.Mama mengirim sederet pesan yang intinya mengatakan bahwa beliau sudah melihat vidio Gia dengan Rafael di klub malam ini.Meski kedua orang tua nya tinggal di Puncak Bogor, namun Mama nyaâShanti, merupakan ibu-ibu zaman now yang sangat aktif di media sosial. Maka tidak heran jika Mama berteman dengan beberapa selebgram teman Gia di I*******m."Siapa?" tanya Ken penasaran, karena sejak tadi Gia terlihat serius membalas chat."Mama aku," jawab Gia dengan hela nafas berat. "Biasa, dia senang banget lihat aku sama Rafa."Ken tertawa ngakak mendengarnya. Mama nya Gia yang ia panggil dengan sebutan tante Shanti, memang sangat mendukung hubungan anak semata wayangnya dengan anak dari pemilik stasiun televisi itu."Oh, ya? Terus Tante bilang apa?" tanya Ken lagi.Gia menyandarkan kepalanya di sandaran jok. Kunang-kunang di kepalanya semakin bertambah seusai membaca permintaan Mama."Dia mau aku segera tunangan sama Rafa."Gerimis kecil membasahi permukaan tanah sejak malam hingga pagi saat ini. Rutinitas yang biasa dilakukan Genta dan San di hari weekendâyaitu lari pagi bersama, jadi dibatalkan. Sebagai gantinya, San sibuk merangkai puzzle dengan 100 kepingan yang akan menjadi gambar lukisan Van Googh, di ruang keluarga. Tidak lupa, Tv yang menyala tanpa ditonton menemani San pagi itu. Genta menatap anak semata wayangnya dari koridor kamar lantai dua. 'Maafin, Papa, San'. Sesalnya dalam hati. Genta lantas masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, dan mengambil sebuah pigura foto yang tersimpan di dalam laci nakas. Foto pernikahannya delapan tahun yang lalu. "Maafin aku," suara Genta bagai bisikan di malam hari. Begitu lirih dan sedih. Sejak malam itu perasaan bersalah tidak berhenti menghinggapi benak Genta. Dia merasa tidak bisa menjaga batasan sebagai suami. Meski tidak ada yang mengetahui selain Gia, Genta tetap merasa telah melakukan perbuatan terlarang. Matanya terus memandang sosok wanita
"Soal kontrak kerja sama kita, kamu gak perlu khawatir. Saya sudah menghubungi Zayn untuk menerima kamu." Ucapan Genta serta merta membuat Gia yang sejak tadi menundukâmengangkat kepala. Gia mempertanyakan apa maksud Pria itu melalui sorot matanya. "Kamu akan main dalam series besutan Praz Company. Itu, kan, yang kamu inginkan?" tanya Genta. Gia terdiam. Semua rencana yang Pria itu susun sangat sempurna. Keberuntungannya bertemu dengan Vero membuat Genta langsung bergerak cepat untuk mengunci pergerakan Gia. Sekarang, Gia tau dia tidak bisa melakukan apa-apa. Meski sebagian hatinya ingin terus mengenal San, namun Gia sadar ada prioritas yang harus ia selamatkan. Karir dan reputasinya jauh lebih penting dari mencari tahu keberadaan istri Genta yang belum pernah Gia temui. "Aku.. mau ketemu sama San, boleh?" Pertanyaan Gia ditanggapi Genta dengan dengusan panjang. "Terakhir kali. Saya hanya kasih kamu kesempatan hari ini," titah Genta tidak ingin dibantah. Gia mengangguk. Genta
Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka
"Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak
Rafael membawa San dalam gendongannya. Bersama-sama mereka menuju pusat informasi setelah sebelumnya San menghubungi Papa melalui ponsel Gia. Beruntung sekarang Gia sudah menyimpan nomer ponsel Genta. Sepanjang menuju pusat informasi, Rafael memperhatikan interaksi antara Gia dengan bocah laki-laki dalam gendongannya. "Tante, Tante kemana aja, sih? Kok jarang main lagi sama San?" tanya San dengan nada merajuk. Gia meringis kecil. "Tante lagi sibuk banget sekarang. Nanti kalau Tante sudah selesai sibuknya, Tante main lagi deh sama San." San ngangguk-ngangguk. Tapi kemudian dia bertanya lagi. "Tante kerja apa, sih, memangnya? Kok vidio Tante di youtube gak ada yang baru?" "Tante lagi jadi aktris San. Nanti San tonton film Tante, ya." Gia menyengir lebar, lalu mengusap tangan San lembut. "Oke, Tante! Semangat kerjanya, ya. Biar bisa main sama aku lagi." San balas tersenyum lebar. Gia tertawa. Kalimat San barusan tak urung membuat Rafael ikut tersenyum lebar. Anak itu terus mener
Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen
Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ âGia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Gentaâyang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. Sanâyang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan
Wajah berseri-seri yang dilengkapi dengan senyum manis itu menyapa siapa saja yang ditemuinya di lokasi syuting. Walau hari menjelang malam, aura kebahagiaan terpancar jelas dari mata coklat terang milik Gia hingga setiap orang yang melihatnya sepakat wanita itu sedang bahagia. "Pagi semua!" Gia merentangkan tangan sambil tersenyum lepas. "Pagi kak Gia!" seorang aktris muda yang Gia ketahui bernama Ellenâ balas menyapanya dengan senyum ramah. Di ruang istirahat tempat para pemain webseries berjudul 'Mengapa Kau Pilih Dia'â Gia membawakan hampers kecil berisi cookies yang lalu dibagikan oleh Ken dan seorang office boy. Terdapat 5 aktris dan 3 aktor juga beberapa asisten mereka, dan kru webseries yang mendapat hampers dari Gia. Karena ia membawa cukup banyak, Gia menyuruh office boy untuk turut membagikannya ke kru-kru lain di luar ruangan. Selesai dengan tugasnya, Ken beralih ke sebuah sofa untuk mengecek jadwal Gia. Decak kagum saling bersahutan melihat isi hampers Gia
Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahunâ Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. âMami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s
âRaf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,â pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. âAyo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,â ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. âAda apa, mas Genta?â tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. âCk! Tinggal bicara sajaâ. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. âMas Genta?â panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. âHah? Iya, kenapa?â Genta tersentak. Matanya kemudi
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Gentaâyang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. Sanâyang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan
Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ âGia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan
Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen
Rafael membawa San dalam gendongannya. Bersama-sama mereka menuju pusat informasi setelah sebelumnya San menghubungi Papa melalui ponsel Gia. Beruntung sekarang Gia sudah menyimpan nomer ponsel Genta. Sepanjang menuju pusat informasi, Rafael memperhatikan interaksi antara Gia dengan bocah laki-laki dalam gendongannya. "Tante, Tante kemana aja, sih? Kok jarang main lagi sama San?" tanya San dengan nada merajuk. Gia meringis kecil. "Tante lagi sibuk banget sekarang. Nanti kalau Tante sudah selesai sibuknya, Tante main lagi deh sama San." San ngangguk-ngangguk. Tapi kemudian dia bertanya lagi. "Tante kerja apa, sih, memangnya? Kok vidio Tante di youtube gak ada yang baru?" "Tante lagi jadi aktris San. Nanti San tonton film Tante, ya." Gia menyengir lebar, lalu mengusap tangan San lembut. "Oke, Tante! Semangat kerjanya, ya. Biar bisa main sama aku lagi." San balas tersenyum lebar. Gia tertawa. Kalimat San barusan tak urung membuat Rafael ikut tersenyum lebar. Anak itu terus mener
"Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak
Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka