"Demi Tuhan, Gia! Tawaran job lagi banyak-banyaknya, dan kamu malah mau jadi pelakor?!"
Gia memandang Ken yang terlihat gusar. Pria itu mengacak-acak rambutnya. Terkadang, Ken bisa sangat berlebihan.Seperti sekarang. Setelah tadi Genta pulang, wajah Ken memerah. Entah dia malu, atau marah dengan kelakuan atasannya.Gia buru-buru menarik Ken masuk ke ruang tamu sebelum pria itu mengoceh panjang lebar di teras rumahnya. Bisa bahaya kalau tetangga yang lain sampai dengar."Siapa juga, sih, yang mau jadi pelakor?" Gia berkacak pinggang."Kamu, kan? Sampai si Genta-Genta itu datang ke sini," ujar Ken kesal.Gia berdecak panjang. "Jangan langsung ambil kesimpulan, Ken. Dengarin dulu penjelasan aku!"Ken bersandar di sofa. Lantas menarik nafas panjang. Ditepuknya sofa sebelahnya, menyuruh agar Gia duduk di sana."Jelasin secara rinci, dan jangan bohong." mata Ken memicing penuh peringatan."Iya," Gia mengambil posisi menyamping menghadap Ken. "Mas Genta memang mantan aku. Dia juga sudah menikah.""Tapi aku gak ada niatan buat dekatin dia, Ken! Aku cuma mau mengenal lebih dekat anaknya," lanjut Gia.Alis kiri Ken naik sebelah. "Buat apa kamu dekat sama anaknya?"Bagi Ken, penjelasan Gia masih abu-abu. Selama mengenal Gia, Ken merasa wanita itu bukan orang yang mudah dekat dengan anak kecil. Terlebih, Ken juga punya anak berusia 7 tahun, dan Gia biasa saja dengan putrinya.Gia memainkan jari-jarinya. Kebiasaan kecil yang selalu dilakukannya ketika sedang gelisah."Aku.." wanita itu membasahi bibir nya. "Gak ada alasan apa-apa. Cuma mau jalin silahturahmi aja.""Kamu belum move on dari Genta?" tanya Ken hati-hati.Gia menelan ludah. Seperti ada setumpuk batu yang ditimpah ke dalam dada nya. Fakta bahwa ia belum bisa melupakan Genta membuat Gia tidak bisa berkata apa-apa.Perlahan, Gia menggeleng. Ken berdecak. 'Astaga!'"Gak segampang itu, Ken," ucap Gia lirih. "Aku tiba-tiba bertemu lagi sama mas Genta. Terus aku juga baru tau kalau kami tetanggaan."Ken memijat keningnya. "Lupain."Mata Gia membulat. "Hah?""Lupain Genta, Gia." Sorot mata Ken melembut. Jari-jarinya meraih tangan Gia, berusaha menguatkan.'Lupain mas Genta?' benak Gia dipenuhi pertanyaan tidak masuk akal, seperti.. bagaimana dia bisa menjalani hidup dengan tidak mencintai Genta?Melihat Gia terdiam, jantung Ken berdetak kencang. 'Tidak mungkin'. Dia menganggap Gia layaknya adik sendiri.Ken tidak bisa membayangkan jika Gia memiliki pikiran jahat untuk menghancurkan keluarga orang lain."Kamu.. gak berpikir akan merebut Genta dari istrinya, kan?" tebak Ken, harap-harap cemas."Ken, aku.." Gia menelan ludah.Ken memejamkan mata. 'Benar ternyata'. Ucapan Gia barusan sudah menegaskan posisi hatinya. Hati Ken mencelos.Gia menggigit bibir bawahnya. Apa yang ingin dia ucapkan mungkin akan Ken dengar sebagai pembelaan semata. Tapi sungguh, dia belum bisa melakukan apa yang Ken perintahkan."Aku gak bisa lupain mas Genta. Gak sekarang, atau pun nanti. Jadi, tolong.. tolong jangan suruh aku lupain dia. Aku janji, aku gak akan macam-macam."👠👠"Tante Gia! Tante, ini San."Gia membuka pintu rumahnya, dan menemukan San berdiri di teras dengan cengiran lebar. Anak laki-laki itu datang dengan pengasuhnya."San mau main di rumah tante Gia, boleh, kan?" tanya San.Entah Genta tau hal ini atau tidak, tapi selama dua hari ini Gia berusaha menjaga jarak dengan San. Namun sekarang, lihat siapa yang datang duluan?Tentu saja Gia tidak bisa menolak kehadiran San. Bukan karena ingin merebut hati anak kecil ini, tapi Gia jelas tidak ingin menyakiti hati San.Gia mengangguk kecil. "Ayo, masuk."Tidak ada kegiatan yang dilakukan Gia sore ini. Sebelum San datang, dia sedang rebahan sambil menonton drama korea favoritnya.Tubuh Gia terasa lelah setelah siang tadi melakukan meeting dengan pimpinan Praz Company. Tawaran untuk bermain di salah satu webseries besutan Praz Company belum menemukan titik terang karena salah satu pimpinan sekaligus pendiri Praz Company menolak Gia untuk turut bermain di webseries nya."Ibu, ibu pulang aja, ya. San gak apa-apa, kok, sama tante Gia."Gia yang sedang menuangkan jus di dapur, mendengar anak laki-laki itu berbicara pada pengasuhnya.Ketika Gia datang, San sedang menjejerkan puluhan Dinosaurus miliknya di atas karpet bulu. Gia mengganti saluran channel nutflix yang semulai drama korea menjadi film kartun."Kamu apa kabar?" tanya Gia, sambil ikut merapikan salah satu Dinosaurus agar sesuai barisan."Baik, aku sudah makan, tadi disuapin ibu. Kalau Tante, sudah makan, belum?" tanya San. Matanya menatap Gia yang terlihat lelah.'Tante Gia seperti nya lagi capek' batin San, merasa sedih.San senang berada di rumah Gia. Gia memiliki banyak action figure Disney yang bisa San adu dengan Dinosaurus nya. Gia juga memiliki grand piano yang bisa San tekan-tekan tuts nya."Tante sudah makan. Ini, kamu mau, gak?" Gia menyodorkan segelas jus mangga."Wah, terima kasih, Tante!" San minum dengan cepat. "Aku kangen, deh, sama tante Gia. Terakhir aku ke sini, kan, hm.. kapan, ya?""Baru tiga hari yang lalu kamu main ke sini," ujar Gia.San menjentikkan jarinya. "Nah, itu Tante. Tiga hari itu lama, tau, Tan!" anak laki-laki itu mengerucutkan bibirnya.Gia tertawa geli. "Kamu sudah izin sama Papa kamu, belum?"'Karena kalau belum, Papa kamu akan marah besar sama Tante, San'. Mata Gia menatap San sendu."Belum," San menggeleng. Terlihat santai. "Papa lagi sibuk sepertinya, Tan. Tadi ditelpon sama Ibu, gak diangkat." anak itu mengadu.Gia hanya ngangguk-ngangguk. Cara San memanggil pengasuhnya—yang baru Gia sadari dipanggil Ibu, membuatnya tertarik."San, Tante mau tanya, boleh?"San mengangguk. Ekspresinya menanti apa yang ingin ditanyakan oleh Gia."Kamu manggil mbak Indri, Ibu?" tanya Gia.Gia sadar jika ada orang dewasa di sekitarnya saat ini, dia akan dicap sangat pengin tahu. Tapi, San hanya anak kecil polos yang tidak mengerti maksud dibalik pertanyaan Gia.Gia sendiri mengenal mbak Indri ketika pengasuh San itu memperkenalkan diri tiga hari yang lalu."Papa yang ngajarin, Tan. Kata Papa, aku harus sopan sama mbak Indri."'Sopan, ya?' Gia manggut-manggut."Terus, San panggil Mama, pakai sebutan Ibu atau Mama?" Pertanyaan Gia membuat San terdiam lama.Wanita itu memperhatikan ekspresi San yang sulit dijelaskan. Wajahnya terlihat bingung dan sedih secara bersamaan. Seketika Gia menyesal. Untuk apa dia bertanya seperti itu?'Kamu gak peduliin perasaan San, Gi' bagian dalam diri Gia mengumpatinya. Gia sadar dia memang bodoh, dan.. licik.San menggaruk kepala nya. Anak laki-laki berusia 7 tahun itu terlihat menimbang-nimbang."Ng... Aku belum pernah panggil Mama, Tan. Kalau aku panggil tante Gia, Mama, boleh gak?""Pa, kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan Mama, boleh?" BruushhAir mineral yang baru saja masuk tenggorokan Genta, keluar begitu saja hingga membasahi meja makan. Sarapan ayah dan anak itu menjadi berantakan karena beberapa makanan terkena percikan air. San menutup mulutnya dengan telapak tangan."Papa! Jorok banget, ih!" ujar San sambil mengernyit jijik. Genta tidak peduli dengan reaksi San. Pria itu menatap putra satu-satunya dengan gelengan kepala. "Mama?" ulang Genta, tidak habis pikir. San mengangguk semangat. "Iya, Pa. Boleh, kan?" Genta tidak tahu apa yang sudah merasuki San, atau ilmu apa yang diajarkan Gia pada anaknya hingga San bisa memiliki pemikiran seperti ini. Seketika Genta merasa marah pada Gia. Mungkin San tidak menyadari, tapi Genta mengenal anaknya. San tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika tidak ada pemantik dari orang lain. Jadi, sudah pasti Gia bertanya sesuatu perihal 'Mama' kepada San, dan San tidak bisa menjawabnya. 'Maafin Pap
"Ta? Saya kira kamu gak datang!" Memang tidak dipungkiri Genta selalu menghindari undangan pesta yang diselenggarakan di sebuah klub malam. Apalagi malam ini, undangan yang datang dari seorang aktris ternama ibu kota itu hanya acara ulang tahun yang tidak resmi. Walaupun bukan termasuk jajaran aktor atau influencer, tetapi Genta dan Zayn merupakan rekan kerja Steffi Kenza—Sang bintang yang tengah berulang tahun, sehingga keduanya secara resmi diundang.Genta tersenyum kecil melihat reaksi sahabat sekaligus rekan kerjanya—Zayn Javeer. "Tadinya juga saya gak mau datang. Tapi dari sore, San ngambek dan minta nginep di rumah Eyang nya. Jadilah saya di sini, dari pada di rumah, sendiri," ucap Genta. Nada nelangsa dari sahabatnya itu membuat Zayn terkekeh. Jarang-jarang San—putra Genta yang menggemaskan itu, merajuk. "San pasti sangat kesal dengan Papa nya," Zayn tertawa. Genta mendengus panjang. "Iya, dia bahkan menolak panggilan telepon saya." 'Dan semua itu gara-gara Nagia!' Zay
Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini. Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa. "Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti. Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan. "Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Vero—yang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta. Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang. "Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia. Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin. Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta. Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gi
Bunyi dering telepon yang masuk dari ponsel Gia membuat Genta tersadar apa yang telah terjadi.Didorongnya bahu Gia menjauh. Mata Genta nyalang menyimpan amarah, keterkejutan, dan kecewa. Pias, ditatapnya Gia dengan sorot tidak percaya. Sementara itu, Gia tergugu. Linglung, ditatapnya Genta dengan mata terbelalak. "Mas.." Gia menelan ludah. Tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Rasa malu menyergap hati Gia. Dalam hatinya, ia merutuki perbuatan impulsif nya. 'Gila kamu, Nagia!'. Wanita itu memegang bibirnya, lalu menatap Genta, dan kembali lagi memegang bibir nya. Ini seperti mimpi, karena sungguh Gia tidak ingin bertindak lebih jauh. Mata tajam Genta menghunusnya. Emosi terlihat jelas dari pancaran mata hitam pekat tersebut. Gia menelan ludah. "Keterlaluan kamu." Hanya itu yang diucapkan Genta. Setelahnya, pria itu berlalu meninggalkan Gia sendirian dengan perasaan kacau. Gia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya lemas. Hatinya berteriak ketakutan. 'Bagaimana bisa?' Gia membatin ti
Gerimis kecil membasahi permukaan tanah sejak malam hingga pagi saat ini. Rutinitas yang biasa dilakukan Genta dan San di hari weekend—yaitu lari pagi bersama, jadi dibatalkan. Sebagai gantinya, San sibuk merangkai puzzle dengan 100 kepingan yang akan menjadi gambar lukisan Van Googh, di ruang keluarga. Tidak lupa, Tv yang menyala tanpa ditonton menemani San pagi itu. Genta menatap anak semata wayangnya dari koridor kamar lantai dua. 'Maafin, Papa, San'. Sesalnya dalam hati. Genta lantas masuk ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, dan mengambil sebuah pigura foto yang tersimpan di dalam laci nakas. Foto pernikahannya delapan tahun yang lalu. "Maafin aku," suara Genta bagai bisikan di malam hari. Begitu lirih dan sedih. Sejak malam itu perasaan bersalah tidak berhenti menghinggapi benak Genta. Dia merasa tidak bisa menjaga batasan sebagai suami. Meski tidak ada yang mengetahui selain Gia, Genta tetap merasa telah melakukan perbuatan terlarang. Matanya terus memandang sosok wanita
"Soal kontrak kerja sama kita, kamu gak perlu khawatir. Saya sudah menghubungi Zayn untuk menerima kamu." Ucapan Genta serta merta membuat Gia yang sejak tadi menunduk—mengangkat kepala. Gia mempertanyakan apa maksud Pria itu melalui sorot matanya. "Kamu akan main dalam series besutan Praz Company. Itu, kan, yang kamu inginkan?" tanya Genta. Gia terdiam. Semua rencana yang Pria itu susun sangat sempurna. Keberuntungannya bertemu dengan Vero membuat Genta langsung bergerak cepat untuk mengunci pergerakan Gia. Sekarang, Gia tau dia tidak bisa melakukan apa-apa. Meski sebagian hatinya ingin terus mengenal San, namun Gia sadar ada prioritas yang harus ia selamatkan. Karir dan reputasinya jauh lebih penting dari mencari tahu keberadaan istri Genta yang belum pernah Gia temui. "Aku.. mau ketemu sama San, boleh?" Pertanyaan Gia ditanggapi Genta dengan dengusan panjang. "Terakhir kali. Saya hanya kasih kamu kesempatan hari ini," titah Genta tidak ingin dibantah. Gia mengangguk. Genta
Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka
"Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak
Wajah berseri-seri yang dilengkapi dengan senyum manis itu menyapa siapa saja yang ditemuinya di lokasi syuting. Walau hari menjelang malam, aura kebahagiaan terpancar jelas dari mata coklat terang milik Gia hingga setiap orang yang melihatnya sepakat wanita itu sedang bahagia. "Pagi semua!" Gia merentangkan tangan sambil tersenyum lepas. "Pagi kak Gia!" seorang aktris muda yang Gia ketahui bernama Ellen— balas menyapanya dengan senyum ramah. Di ruang istirahat tempat para pemain webseries berjudul 'Mengapa Kau Pilih Dia'— Gia membawakan hampers kecil berisi cookies yang lalu dibagikan oleh Ken dan seorang office boy. Terdapat 5 aktris dan 3 aktor juga beberapa asisten mereka, dan kru webseries yang mendapat hampers dari Gia. Karena ia membawa cukup banyak, Gia menyuruh office boy untuk turut membagikannya ke kru-kru lain di luar ruangan. Selesai dengan tugasnya, Ken beralih ke sebuah sofa untuk mengecek jadwal Gia. Decak kagum saling bersahutan melihat isi hampers Gia
Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahun— Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. “Mami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s
“Raf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,” pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. “Ayo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,” ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. “Ada apa, mas Genta?” tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. ‘Ck! Tinggal bicara saja’. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. “Mas Genta?” panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. “Hah? Iya, kenapa?” Genta tersentak. Matanya kemudi
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Genta—yang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. San—yang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan
Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ —Gia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan
Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen
Rafael membawa San dalam gendongannya. Bersama-sama mereka menuju pusat informasi setelah sebelumnya San menghubungi Papa melalui ponsel Gia. Beruntung sekarang Gia sudah menyimpan nomer ponsel Genta. Sepanjang menuju pusat informasi, Rafael memperhatikan interaksi antara Gia dengan bocah laki-laki dalam gendongannya. "Tante, Tante kemana aja, sih? Kok jarang main lagi sama San?" tanya San dengan nada merajuk. Gia meringis kecil. "Tante lagi sibuk banget sekarang. Nanti kalau Tante sudah selesai sibuknya, Tante main lagi deh sama San." San ngangguk-ngangguk. Tapi kemudian dia bertanya lagi. "Tante kerja apa, sih, memangnya? Kok vidio Tante di youtube gak ada yang baru?" "Tante lagi jadi aktris San. Nanti San tonton film Tante, ya." Gia menyengir lebar, lalu mengusap tangan San lembut. "Oke, Tante! Semangat kerjanya, ya. Biar bisa main sama aku lagi." San balas tersenyum lebar. Gia tertawa. Kalimat San barusan tak urung membuat Rafael ikut tersenyum lebar. Anak itu terus mener
"Pa, kok tante Gia jarang kelihatan, ya?" Pagi itu di hari libur, Genta yang sedang membantu San merakit lego, mendongak menatap putra satu-satunya. "Sibuk kali, Nak." Genta menjawab sekedarnya. 'Baguslah, akhirnya Nagia tau diri juga'. Batin Genta. San mendecak tidak puas mendengar jawaban Papanya. Sudah hampir seminggu ia tidak pernah bertemu tante Gia. Rumahnya selalu terlihat sepi. Begitu juga dengan mobilnya yang tidak ada di pekarangan rumah. Tante Gia seolah menghilang bak di telan bumi. "Papa gak pernah ketemu tante Gia?" tanya San lagi. Kening Genta mengkerut. Lantas menggeleng. "Papa, kan, bukan temannya tante Gia. Jadi, Papa gak tau tante Gia di mana." San ngangguk-ngangguk. 'Benar juga'. Benaknya polos.Walau umurnya masih belia, San adalah pemerhati yang baik. Dan selama pengamatan San menjadi anak Papa, Papa jarang tersenyum dengan tante Gia. "Aku kangen main sama tante Gia," ujar San dengan wajah lesu. Alis Genta menukik tajam. "Kan masih ada Papa. Emang gak
Seharian penuh otak Gia berpikir keras. Menyambungkan berbagai teka-teki yang ditemuinya dengan beragam fakta yang sudah ia temukan. Beberapa saat otaknya kembali mengulang ucapan San. San tidak pernah memanggil Mama. Apakah itu artinya, San tidak pernah bertemu dengan Mamanya? Lalu percakapan Genta dengan asisten rumah tangganya.. bukankah itu menandakan bahwa Genta seorang single parent? Gia bangun dari ranjangnya. Ia mengambil laptop yang terletak di atas meja kerja, lalu membawanya ke atas ranjang. Sambil berpikir keras, Gia mengetik kata kunci di kolom pencarian g****e. Genta Pramudya "Ketemu!" Sorak sorai senang Gia lanturkan tatkala matanya menangkap nama Genta di beberapa portal berita. Matanya menelusuri rangkaian berita yang membahas Genta. Namun, hingga pencarian terbawah, semua yang dibahas adalah prestasi Genta dalam membangun Praz Company di umur nya yang kala itu baru menginjak 25 tahun. "Kok gak ada nama istrinya, sih?" gumam Gia bingung. Ia kemudian mengubah ka