Semua Bab Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu: Bab 71 - Bab 80

90 Bab

71. Pilihan Yang Sulit

Sejenak aku tertegun mendengar lamaran yang diungkapkan oleh Mas Hakim. Antara kaget dan tak siap. Ini terlalu cepat, baru satu bulan lepas massa iddah rasanya semua baru terjadi kemarin. Sungguh hati belum ingin untuk mencoba kembali.Beberapa detik suasana hening, jemariku memilih ujung khimar. Bingung, apa yang harus kukatakan?Akhirnya hanya tatapan kami yang saling beradu sampai datanglah seorang perawat masuk ke ruangan ini. Dia melempar sebuah pertanyaan."Maaf Dok, apa sudah bisa dimulai praktiknya?""Lima menit lagi."Dokter Hakim langsung menjawab pertanyaan suster tersebut. Dengan cepat wanita itu keluar dan kembali menutup pintu."Tidak apa 'kan mengulur jadwalmu?"Aku hanya menghela napas mengusir kegugupan, sedikit aneh melihat sikap Mas Hakim pagi ini. Akhirnya kuanggukkan kepala."Oke, kembali ke cincin ini? Apa kamu ingin aku menyimpannya kembali?"Tak punya banyak waktu untuk berpikir apalagi menimbang dengan mengandalkan hati nurani paling dalam. Di detik ini juga a
Baca selengkapnya

72. Sebuah Kebohongan

Pov Rian"Aku ingin bicara dengan Syaina.""Syaina sedang masuk ke rumah, tas nya ketinggalan."Deg.Dada ini semakin dalam tertusuk. Apa yang sedang mereka lakukan berdua?"Ponsel Syaina kenapa ada padamu?""Dia meninggalkan ponsel dalam mobilku. Kebetulan aku melihat ada panggilan dari nomor tanpa nama di layar ponselnya, yasudah langsung saja aku angkat.""Tanpa nama?" tanyaku memperjelas."Iya, dilayar hanya muncul nomor tanpa nama. Kupikir itu pasien. Maaf, apa ada yang bisa kusampaikan pada Syaina?"Aku membuang napas berat."Tidak ada, aku hanya ingin bicara dengan anakku.""Dia tidak ada di rumah, sedang mengikuti English Course."Entah kenapa ada yang semakin menyesakkan dada tatkala pada kenyataan, sekarang Hakim lebih tahu segala hal tentang Aa dan mantan istriku. Kucoba untuk menguatkan hati."Oke, nanti aku akan menghubunginya kembali.""Baik."Ponsel di tangan kuletakkan kembali ke atas nakas. Harusnya aku tak cemburu apalagi marah, bukankah Syaina telah lepas massa idda
Baca selengkapnya

73. Akhirnya Bertemu

Lebih baik Syaina membersihkan diri saja dulu, nanti malam saja kita bicara sekalian Pak Candra makan malam di rumah. Gimana?" jawab Papa menyambut ucapan Mama."Em boleh juga, pasti Syaina dan Hakim sama-sama capek. Pertemuan kita pun sudah lama, lebih baik kami pulang saja dulu. Jangan malam inilah, lain kali saja kita makan malamnya. Bukan begitu lebih baik, Ma?"Papa Mas Hakim bertanya pada istrinya."Iya, Papa benar. Lebih baik kami pulang saja dulu. Hakim juga pastinya sangat lelah," jawab ibunda Mas Hakim. Aku hanya terdiam, sedikit mengumbar senyum meski tubuh terasa amat lelah."Yasudah kalau memang begitu keputusannya, kami tidak bisa memaksa," ucap Papa menanggapi perkataan Papa Mas Hakim."Baiklah kalau begitu, kami langsung pamit. Terima kasih atas jamuan sore ini. Semoga lain kali bisa lebih sering mampir silaturrahmi seperti ini."Ibunda Mas Hakim memeluk Mama, lalu setelahnya beliau memelukku. Sementara itu Papa menyalami Papanya Mas Hakim.Pandangan ini tak sengaja te
Baca selengkapnya

74. Belum Berubah

Jujur ada perasaan senang, tapi entah kenapa ada satu sebab yang muncul di dalam dada yang pada akhirnya menuntutku untuk bersikap sebiasa mungkin. "Mama, Papa datang," teriak Aa begitu bahagia. Aku hanya tersenyum dan melangkah masuk perlahan. Kusalami mantan papa dan mama mertua lalu mengucapkan tangan ke arah Mas Rian yang terlihat lebih kurus dari dahulu. Wajahnya lebih tirus apalagi dengan model rambut cepak tipis. Ya Allah, kasihan sekali jika melihatnya demikian. Sosok yang dahulu begitu gagah, kini lemah tak bersemangat. "Sudah lama, Ma?"Kualihkan kedua netra dari Mas Rian dan melempar pertanyaan pada mantan mama mertua."Baru sekitar lima belas menit yang lalu.""Owh, sudah lama balik ke Indonesia?""Baru nyampe kemarin. Seharusnya Rian masih istirahat, tapi dia udah nggak bisa nahan pengen ketemu Aa, Lita sama kamu."Wajahku langsung tertuju kembali pada Mas Rian. Dia hanya sedikit menarik bibirnya lalu menunduk."Lita mana, Ma?" tanyaku kemudian pada Mama."Lagi ganti p
Baca selengkapnya

75. Cincin Untuk Syaina

Melihatku, dua netranya basah lagi."Kau pasti melihatku tadi dipermalukan di depan umum, iya 'kan?""Iya, aku tidak mungkin menutup mata karena memang kejadiannya di depan mataku."Dia tersenyum menyembunyikan tangisannya."Puas? Puas kau melihat aku dipermalukan seperti itu?""Kau selalu berpikir aku akan bahagia jika melihatmu sengsara. Apa kamu pikir hatiku sekotor itu?"Dia terdiam, tapi langkahnya tak terangkat sedikitpun."Sudahi memperburuk citramu sebagai dokter, Fris."Dia menatapku dengan tatapan yang begitu dalam, seperti ingin minta tolong tapi mungkin keangkuhan diri tak dapat membuatnya berserah begitu saja."Percayalah masih ada lelaki single yang baik-baik yang berhak kau cintai."Dia masih bergeming, tapi air mata jatuh perlahan di kedua sudut. Dengan kasar Friska mengusap pipinya."Anak-anakmu pasti akan senang jika melihatmu bahagia, sebab itu gapailah bahagiamu dengan tidak menyakiti hati orang lain, Fris."Aku tak lagi menunggu, setelah mengatakan kalimat terakhi
Baca selengkapnya

76. Rencana Rian

Sudah biasa jika aku menelpon, dia tak mengangkat. Tapi apa kali ini pun tetap sama, setelah pertemuan kami tadi?Satu kali panggilan dibiarkan sampai berhenti dengan sendirinya, tapi aku masih merasa tak boleh menyerah, kembali kulakukan panggilan ulang.Tut ...Tut ..."Hallo."Diangkat?Kupikir ini adalah sebuah keajaiban yang berhasil membuat perasaan ini amat sangat bahagia."Syaina.""Aa sudah tidur Mas, jika mau bicara dengannya besok pagi saja."Dia langsung ke pokok tujuan, seperti biasa saat aku menelpon."Jangan ditutup dulu telponnya, jika Aa sudah tidur tidak apa. Tapi apa apa boleh Mas bicara dengan ibunya saja?"Dia terdiam beberapa waktu, hingga kembali menjawab,"Maaf Mas, saya juga mau istirahat. Assalamualai-""Tunggu sebentar.""Ada apa lagi?""Besok apa kamu ada waktu? Aku ingin mengajakmu dan anak-anak ke suatu tempat.""Maaf Mas aku udah janjian sama Mbak Fera mauke salon. Mas kalau mau jalan-jalan sama Aa, datang aja seperti biasa."Sudah dua bulan semenjak ka
Baca selengkapnya

77. Jawaban Syaina

Aa tersenyum ke arahku, entah kenapa dua netra ini langsung menatap ke depan memastikan siapa supir taksi ini. Seketika harus kumembuang napas kasar menyaksikan senyum semringah Mas Rian yang duduk di balik kemudi. "Silahkan masuk Mbak, saya akan mengantar sampai tujuan." Entah kenapa melihat kelakuannya aku sedikit kesal. "Nggak ada kerjaan lain, Mas?" Mas Rian terdiam, tahu aku tidak suka. "Ini taksi siapa?" "Taksi orang Ma, Papa bayar untuk jemput Mama dan ajak aku jalan-jalan." Aku menghela napas panjang melihat sikap mantan suamiku itu. "Mas nggak perlu repot-repot seperti ini, aku bisa pulang sendiri." Masih berdiri di depan pintu, aku mencoba menolak ajakannya. "Nggak repot kok, tadi Aa yang bilang kalau mobilmu di pinjam Arif. Makanya Mas sekalian yang jemput." "Ayo Ma, masuk." Ajakan Aa membuat egoku sedikit turun, lalu dengan sungguh terpaksa aku melangkah masuk dan duduk di samping Aa. "Mau langsung pulang atau keliling-keliling dulu." "Pulang." "Keliling-kel
Baca selengkapnya

78. Mulai Cemas

Sudah dua hari aku di Jakarta untuk menjalani serangkaian pemeriksaan guna menunjang diagnosa pasti, setelah pemeriksaan biopsi kemarin. Hari ini hasil pemeriksaan MRI tersebut keluar, entah kenapa ada rasa deg-degan saat memasuki ruangan teman sekaligus dokter yang menanganiku saat ini. Aku melihatnya mengeluarkan sebuah amplop besar, lalu menghela napas berat."Glioblastoma?" tanyaku lirih tanpa membaca sendiri penampakan pada lembaran pemeriksaan itu.Dia mengangguk, sungguh membuat dada ini menyentak kuat."Apa ini tidak salah? Mungkin hasilnya keliru, lakukan MRI sekali lagi," ucapku dengan suara bergetar sembari menggoyang-goyangkan bahunya."Pemeriksaan yang sudah dilakukan itu dikerjakan dengan sangat teliti."Tubuhku terhempas kembali pada sandaran kursi mendengar jawabannya, sementara degup jantung seolah berhenti. Sungguh kecewa dengan apa yang kuketahui kini."Aku tidak percaya, aku akan ke Singapura untuk mengecek ulang. Pasti ini ada yang keliru,"ucapku kemudian menund
Baca selengkapnya

79. Gara-Gara Diklat Pra Jabatan

"Rian sakit, Sya. Ca otak."Sejenak, jarum jam seperti berhenti berdetak. Aku tak ingin percaya dengan apa yang kudengar ini."Tolong jangan beritahu Aa, sebenarnya Rian tak mengijinkan Mama memberitahu siapapun termasuk kamu karena dia tidak mau membuat kalian susah. Tapi Mama nggak sampai hati melihatnya berjuang seorang diri. Mungkin dengan kehadiranmu, Aa dan Talita, semangat hidup Rian akan semakin besar."Aku masih terdiam, bibir ini terasa kelu."Papa kenapa, Ma?"Suara Aa membuyarkan lamunanku yang tengah menelaah perkataan mantan mama mertua."Papa sakit demam, Nak."Aku terpaksa berbohong demi mengiyakan perkataan ibunda Mas Rian untuk tidak berterus terang pada Aa."Kalau begitu, ayo Ma kita jenguk Papa.""Iya Nak, sebentar Mama tanya sama Nenek Papa sekarang dirawat dimana?"Aa mengangguk dan kembali duduk tenang."Apa Aa menanyakan Papanya?""Iya Ma.""Jangan sampai Aa tahu perihal ini ya, Sya.""Baik, Ma. Aku akan berusaha untuk menutupinya.""Terima kasih Syaina."Baru
Baca selengkapnya

80. Perjuangan Mas Rian

Dengan ribuan perasaan bersalah aku menyusul Aa ke kamarnya."Aa, buka pintunya, Nak."Ternyata Aa benar-benar marah padaku hingga ia sengaja mengunci pintu kamar."Maafkan Mama, Nak. Mama benar-benar merasa bersalah.""Aa nggak mau buka pintu. Aa mau sendiri."Aku menghela napas berat, terasa teramat sakit di dalam dada, karena kecewa dan penyesalan menghujam begitu tajam. Ya Allah, kenapa aku bisa lepas diri seperti tadi?Jujur jika tadi Aa mengira aku menampar, sebenarnya tidak. Aku hanya reflek menyentuh pipi Aa sebagai isyarat agar dia bersikap baik. Tapi tetap saja ditengah kemarahan mungkin Aa merasa itu adakah sebuah pukulan."Maafkan Mama, A."Tak bisa kubendung, akhirnya air mata jatuh jua di kedua pipi. Aku takkan bisa duduk tenang jika Aa masih mengurung diri di kamarnya."Tolong Nak, buka pintunya. Ijinkan Mama bicara.""Nggak!""Aa nggak sayang Mama lagi, ya?""Mama yang nggak sayang Aa lagi.""Siapa bilang, anak Mama cuma Aa sama Dedek. Jadi semua kasih sayang yang Mama
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
456789
DMCA.com Protection Status