Share

72. Sebuah Kebohongan

Penulis: Wahyuni SST
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-18 10:19:02

Pov Rian

"Aku ingin bicara dengan Syaina."

"Syaina sedang masuk ke rumah, tas nya ketinggalan."

Deg.

Dada ini semakin dalam tertusuk. Apa yang sedang mereka lakukan berdua?

"Ponsel Syaina kenapa ada padamu?"

"Dia meninggalkan ponsel dalam mobilku. Kebetulan aku melihat ada panggilan dari nomor tanpa nama di layar ponselnya, yasudah langsung saja aku angkat."

"Tanpa nama?" tanyaku memperjelas.

"Iya, dilayar hanya muncul nomor tanpa nama. Kupikir itu pasien. Maaf, apa ada yang bisa kusampaikan pada Syaina?"

Aku membuang napas berat.

"Tidak ada, aku hanya ingin bicara dengan anakku."

"Dia tidak ada di rumah, sedang mengikuti English Course."

Entah kenapa ada yang semakin menyesakkan dada tatkala pada kenyataan, sekarang Hakim lebih tahu segala hal tentang Aa dan mantan istriku. Kucoba untuk menguatkan hati.

"Oke, nanti aku akan menghubunginya kembali."

"Baik."

Ponsel di tangan kuletakkan kembali ke atas nakas. Harusnya aku tak cemburu apalagi marah, bukankah Syaina telah lepas massa idda
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   73. Akhirnya Bertemu

    Lebih baik Syaina membersihkan diri saja dulu, nanti malam saja kita bicara sekalian Pak Candra makan malam di rumah. Gimana?" jawab Papa menyambut ucapan Mama."Em boleh juga, pasti Syaina dan Hakim sama-sama capek. Pertemuan kita pun sudah lama, lebih baik kami pulang saja dulu. Jangan malam inilah, lain kali saja kita makan malamnya. Bukan begitu lebih baik, Ma?"Papa Mas Hakim bertanya pada istrinya."Iya, Papa benar. Lebih baik kami pulang saja dulu. Hakim juga pastinya sangat lelah," jawab ibunda Mas Hakim. Aku hanya terdiam, sedikit mengumbar senyum meski tubuh terasa amat lelah."Yasudah kalau memang begitu keputusannya, kami tidak bisa memaksa," ucap Papa menanggapi perkataan Papa Mas Hakim."Baiklah kalau begitu, kami langsung pamit. Terima kasih atas jamuan sore ini. Semoga lain kali bisa lebih sering mampir silaturrahmi seperti ini."Ibunda Mas Hakim memeluk Mama, lalu setelahnya beliau memelukku. Sementara itu Papa menyalami Papanya Mas Hakim.Pandangan ini tak sengaja te

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-18
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   74. Belum Berubah

    Jujur ada perasaan senang, tapi entah kenapa ada satu sebab yang muncul di dalam dada yang pada akhirnya menuntutku untuk bersikap sebiasa mungkin. "Mama, Papa datang," teriak Aa begitu bahagia. Aku hanya tersenyum dan melangkah masuk perlahan. Kusalami mantan papa dan mama mertua lalu mengucapkan tangan ke arah Mas Rian yang terlihat lebih kurus dari dahulu. Wajahnya lebih tirus apalagi dengan model rambut cepak tipis. Ya Allah, kasihan sekali jika melihatnya demikian. Sosok yang dahulu begitu gagah, kini lemah tak bersemangat. "Sudah lama, Ma?"Kualihkan kedua netra dari Mas Rian dan melempar pertanyaan pada mantan mama mertua."Baru sekitar lima belas menit yang lalu.""Owh, sudah lama balik ke Indonesia?""Baru nyampe kemarin. Seharusnya Rian masih istirahat, tapi dia udah nggak bisa nahan pengen ketemu Aa, Lita sama kamu."Wajahku langsung tertuju kembali pada Mas Rian. Dia hanya sedikit menarik bibirnya lalu menunduk."Lita mana, Ma?" tanyaku kemudian pada Mama."Lagi ganti p

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-19
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   75. Cincin Untuk Syaina

    Melihatku, dua netranya basah lagi."Kau pasti melihatku tadi dipermalukan di depan umum, iya 'kan?""Iya, aku tidak mungkin menutup mata karena memang kejadiannya di depan mataku."Dia tersenyum menyembunyikan tangisannya."Puas? Puas kau melihat aku dipermalukan seperti itu?""Kau selalu berpikir aku akan bahagia jika melihatmu sengsara. Apa kamu pikir hatiku sekotor itu?"Dia terdiam, tapi langkahnya tak terangkat sedikitpun."Sudahi memperburuk citramu sebagai dokter, Fris."Dia menatapku dengan tatapan yang begitu dalam, seperti ingin minta tolong tapi mungkin keangkuhan diri tak dapat membuatnya berserah begitu saja."Percayalah masih ada lelaki single yang baik-baik yang berhak kau cintai."Dia masih bergeming, tapi air mata jatuh perlahan di kedua sudut. Dengan kasar Friska mengusap pipinya."Anak-anakmu pasti akan senang jika melihatmu bahagia, sebab itu gapailah bahagiamu dengan tidak menyakiti hati orang lain, Fris."Aku tak lagi menunggu, setelah mengatakan kalimat terakhi

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-20
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   76. Rencana Rian

    Sudah biasa jika aku menelpon, dia tak mengangkat. Tapi apa kali ini pun tetap sama, setelah pertemuan kami tadi?Satu kali panggilan dibiarkan sampai berhenti dengan sendirinya, tapi aku masih merasa tak boleh menyerah, kembali kulakukan panggilan ulang.Tut ...Tut ..."Hallo."Diangkat?Kupikir ini adalah sebuah keajaiban yang berhasil membuat perasaan ini amat sangat bahagia."Syaina.""Aa sudah tidur Mas, jika mau bicara dengannya besok pagi saja."Dia langsung ke pokok tujuan, seperti biasa saat aku menelpon."Jangan ditutup dulu telponnya, jika Aa sudah tidur tidak apa. Tapi apa apa boleh Mas bicara dengan ibunya saja?"Dia terdiam beberapa waktu, hingga kembali menjawab,"Maaf Mas, saya juga mau istirahat. Assalamualai-""Tunggu sebentar.""Ada apa lagi?""Besok apa kamu ada waktu? Aku ingin mengajakmu dan anak-anak ke suatu tempat.""Maaf Mas aku udah janjian sama Mbak Fera mauke salon. Mas kalau mau jalan-jalan sama Aa, datang aja seperti biasa."Sudah dua bulan semenjak ka

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-22
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   77. Jawaban Syaina

    Aa tersenyum ke arahku, entah kenapa dua netra ini langsung menatap ke depan memastikan siapa supir taksi ini. Seketika harus kumembuang napas kasar menyaksikan senyum semringah Mas Rian yang duduk di balik kemudi. "Silahkan masuk Mbak, saya akan mengantar sampai tujuan." Entah kenapa melihat kelakuannya aku sedikit kesal. "Nggak ada kerjaan lain, Mas?" Mas Rian terdiam, tahu aku tidak suka. "Ini taksi siapa?" "Taksi orang Ma, Papa bayar untuk jemput Mama dan ajak aku jalan-jalan." Aku menghela napas panjang melihat sikap mantan suamiku itu. "Mas nggak perlu repot-repot seperti ini, aku bisa pulang sendiri." Masih berdiri di depan pintu, aku mencoba menolak ajakannya. "Nggak repot kok, tadi Aa yang bilang kalau mobilmu di pinjam Arif. Makanya Mas sekalian yang jemput." "Ayo Ma, masuk." Ajakan Aa membuat egoku sedikit turun, lalu dengan sungguh terpaksa aku melangkah masuk dan duduk di samping Aa. "Mau langsung pulang atau keliling-keliling dulu." "Pulang." "Keliling-kel

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-23
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   78. Mulai Cemas

    Sudah dua hari aku di Jakarta untuk menjalani serangkaian pemeriksaan guna menunjang diagnosa pasti, setelah pemeriksaan biopsi kemarin. Hari ini hasil pemeriksaan MRI tersebut keluar, entah kenapa ada rasa deg-degan saat memasuki ruangan teman sekaligus dokter yang menanganiku saat ini. Aku melihatnya mengeluarkan sebuah amplop besar, lalu menghela napas berat."Glioblastoma?" tanyaku lirih tanpa membaca sendiri penampakan pada lembaran pemeriksaan itu.Dia mengangguk, sungguh membuat dada ini menyentak kuat."Apa ini tidak salah? Mungkin hasilnya keliru, lakukan MRI sekali lagi," ucapku dengan suara bergetar sembari menggoyang-goyangkan bahunya."Pemeriksaan yang sudah dilakukan itu dikerjakan dengan sangat teliti."Tubuhku terhempas kembali pada sandaran kursi mendengar jawabannya, sementara degup jantung seolah berhenti. Sungguh kecewa dengan apa yang kuketahui kini."Aku tidak percaya, aku akan ke Singapura untuk mengecek ulang. Pasti ini ada yang keliru,"ucapku kemudian menund

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-23
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   79. Gara-Gara Diklat Pra Jabatan

    "Rian sakit, Sya. Ca otak."Sejenak, jarum jam seperti berhenti berdetak. Aku tak ingin percaya dengan apa yang kudengar ini."Tolong jangan beritahu Aa, sebenarnya Rian tak mengijinkan Mama memberitahu siapapun termasuk kamu karena dia tidak mau membuat kalian susah. Tapi Mama nggak sampai hati melihatnya berjuang seorang diri. Mungkin dengan kehadiranmu, Aa dan Talita, semangat hidup Rian akan semakin besar."Aku masih terdiam, bibir ini terasa kelu."Papa kenapa, Ma?"Suara Aa membuyarkan lamunanku yang tengah menelaah perkataan mantan mama mertua."Papa sakit demam, Nak."Aku terpaksa berbohong demi mengiyakan perkataan ibunda Mas Rian untuk tidak berterus terang pada Aa."Kalau begitu, ayo Ma kita jenguk Papa.""Iya Nak, sebentar Mama tanya sama Nenek Papa sekarang dirawat dimana?"Aa mengangguk dan kembali duduk tenang."Apa Aa menanyakan Papanya?""Iya Ma.""Jangan sampai Aa tahu perihal ini ya, Sya.""Baik, Ma. Aku akan berusaha untuk menutupinya.""Terima kasih Syaina."Baru

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-24
  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   80. Perjuangan Mas Rian

    Dengan ribuan perasaan bersalah aku menyusul Aa ke kamarnya."Aa, buka pintunya, Nak."Ternyata Aa benar-benar marah padaku hingga ia sengaja mengunci pintu kamar."Maafkan Mama, Nak. Mama benar-benar merasa bersalah.""Aa nggak mau buka pintu. Aa mau sendiri."Aku menghela napas berat, terasa teramat sakit di dalam dada, karena kecewa dan penyesalan menghujam begitu tajam. Ya Allah, kenapa aku bisa lepas diri seperti tadi?Jujur jika tadi Aa mengira aku menampar, sebenarnya tidak. Aku hanya reflek menyentuh pipi Aa sebagai isyarat agar dia bersikap baik. Tapi tetap saja ditengah kemarahan mungkin Aa merasa itu adakah sebuah pukulan."Maafkan Mama, A."Tak bisa kubendung, akhirnya air mata jatuh jua di kedua pipi. Aku takkan bisa duduk tenang jika Aa masih mengurung diri di kamarnya."Tolong Nak, buka pintunya. Ijinkan Mama bicara.""Nggak!""Aa nggak sayang Mama lagi, ya?""Mama yang nggak sayang Aa lagi.""Siapa bilang, anak Mama cuma Aa sama Dedek. Jadi semua kasih sayang yang Mama

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-25

Bab terbaru

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   90. Pelajaran Hidup Terbaik

    Satpam yang melihat gambar CCTV yang menunjukkan Kamil, ibunya serta seorang wanita menarik paksa tangan ibunda Rian tampak begitu terhenyak. Lelaki itu segera masuk ke dalam rumah untuk mengecek keadaan.Pintu kamar terbuka, menampakkan kondisi ibunda Rian yang sangat menyedihkan. Wanita itu tergeletak di atas ranjang dengan keadaan lemah. "Ibu, Ibu kenapa, Bu?"Pak Yanto segera membantu ibunda Rian untuk bisa duduk."Kamil dan Ibunya telah membuat saya seperti ini, Pak. Tolong telpon polisi. Mereka ingin menguasai rumah ini.""Ba-baik, Bu."Pak Yanto segera menelpon polisi sementara ibunda Rian menelpon anaknya sendiri. "Hallo, Ma."Suara ibunda Rian terdengar bergetar. Membuat sang anak di seberang sana menjadi khawatir."Rian.""Iya, Ma.""Maafkan Mama Rian. Melani dan keluarganya tak sebaik yang Mama pikirkan. Mereka telah membuat masalah di rumah kita.""Masalah apa, Ma? Mama baik-baik aja 'kan?""Iya, Mama baik-baik saja. Kamil dan Ibunya, mereka ingin menghancurkan keluarga

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   89. Penyesalan Ibunda Rian

    "Sedang apa kau di sini? Apa yang mau kau lakukan pada istriku? Kau menggodanya?" teriak Kamil lantang.Tak menunggu penjelasanku, dia yang tak sabaran segera melayangkan sebuah bogem ke wajah ini hingga aku tersungkur ke lantai."Mas, sudah jangan bertengkar. Mas Rian kemari karena aku yang minta. Dia ingin membenarkan channel televisi yang rusak.""Aku nggak percaya, pasti kamu diancam 'kan sama dia? Sudah ngaku aja, kalau iya dia sudah melakukan hal tidak senonoh sama kamu, kita bawa dia langsung ke kantor polisi.""Nggak Mas, Mas Rian tidak melakukan apapun padaku."Kamil masih diluar kendali, ia terus ingin menghajarku. Syukurlah Ika menahannya. Tak menunggu lama, aku segera turun ke bawah. Tidak mungkin membela diri disaat dia sedang berapi-api dan kondisikupun sangat tidak stabil. Akhirnya dengan pertolongan Ika, aku lepas dari amukan Kamil.Sampai di gundakan terakhir tangga, tampak lah di hadapan. Mama tengah berdiri dan menatap penuh tanya ke arah diri ini."Mama sudah baika

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   88. Siapa Wanita Itu?

    "Itu Dokter Anita bukan, Mas?" tanyaku penasaran, melihat gaya berpakaian serta cadar yang menutupi wajahnya mirip sekali dengan salah satu dokter yang dikabarkan sedang proses hijrah. "Nggak tahu, tadi sewaktu Mas buka pintu kita udah sempat tatap-tatapan tapi kemudian dia seperti enggan masuk ke rumah ini. Kamil berusaha membujuk tapi wanita itu tetap ingin pergi." "Jika benaran itu dokter Anita, jadi suami yang udah buat dia hijrah itu Mas Kamil? Tapi kenapa aku merasa nggak mungkin ya Mas?" "Sepertinya bukan Anita, mungkin orang lain yang hanya mirip saja dengannya. Apalagi kalau sudah bercadar kebanyakan wajah hampir mirip-mirip begitu. Apa mungkin karena hanya kelihatan mata doank? Ah sudahlah jika mereka tak mau masuk biarkan saja. Ayo kita masuk, Yank." Mas Rian mengajakku masuk dan kembali ke ruang makan. "Siapa Rian?" tanya mama mertua yang sudah menyelesaikan makan malamnya. "Kamil sama istrinya." "Lo, mereka sudah pulang? Kenapa tidak masuk?" tanya Bu Mel kelihatan

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   87. Keputusan Ibu Mertua

    "Rumah? Kamu kalau minta sesuatu itu yang wajar."Suara Mas Rian terdengar sedikit meninggi."Kau kalau bicara yang sopan, aku ini Abangmu.""Sudah, sudah. Rian, jangan lagi berdebat. Begini Nak Kamil dan Ibunda, ini adalah rumah yang sudah kami tempat semenjak dahulu, semenjak pertama kali saya dan Mas Arya menikah. Jadi rumah ini punya banyak sejarah yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Mengenai hak waris, sesuai aturan semua harta peninggalan almarhum akan dikumpulkan menjadi satu lalu barulah dibagi sesuai dengan aturan pembagian hak waris menurut Islam.""Oke, saya mengerti maksud Mbak tersebut. Tapi maksud anak saya mengharap rumah ini, karena sebagai anak kandung Mas Arya, dia tak pernah mendapatkan apa yang seharusnya juga dia dapatkan seperti Rian. Tinggal di rumah mewah, disekolahkan sampai menjadi dokter, mau kemana-mana dengan mobil mewah. Padahal Kamil dan Rian statusnya sama, sama-sama anak kandung. Jadi coba Mbak bayangkan, wajar tidak jika kini Kamil menginginkan

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   86. Hak Waris (Season 2)

    Hari ini adalah hari paling membahagiakan, setelah tiga bulan menanti akhirnya benih yang telah bertumbuh di dalam rahim kini terlihat jelas jenis kelaminnya."Gimana Mira, laki-laki atau perempuan?" tanyaku antusias. Mas Rian hanya tersenyum, baginya perempuan atau lelaki tak masalah yang penting sehat dan lahir dengan selamat. Tapi tidak dengan diri ini, semenjak awal dinyatakan positif hamil, aku sudah mengidam-idamkan anak perempuan. Supaya Lita punya teman bermain."Masya Allah ...."Mira tersenyum menatapku. "Seperti keinginanmu Sya, perempuan," ucapnya semangat yang kusambut dengan senyum bahagia. Mas Rian ikut semang dan merangkul bahu ini."Perkembangannya gimana, Dek? Sehat 'kan?" tanya Mas Rian yang lebih mengkhawatirkan kondisi fisik bayi kami. Tersebab sudah bertahun-tahun dia mendapati kemoterapi dan sangat takut akan rusaknya gen-gen yang seharusnya menjadi pembentuk bayi kami.Awalnya Mas Rian memang melarangku hamil, dia bahkan meminta agar aku memakai spiral. Tapi a

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   85. Bahagiakan Aku

    Tangis haru mewarnai pemakaman papa pagi ini. Mama masih tak stabil, sebentar pingsan, nanti sadarkan diri kembali. Begitulah semenjak semalam. Namun, tiga jam ini keadaannya sudah lebih membaik. Lebih tiga jam sudah ia sadarkan diri.Walaupun begitu, aku tetap tak bisa mengantar jenazah Papa untuk terakhir kalinya. Sebab tak mungkin meninggalkan Mama yang tak stabil seorang diri di rumah. Meski keinginan sedemikian besar, tapi kucoba mengikhlaskan dan menyerahkan pemakaman papa sepenuhnya pada Mas Rian dan adik semata wayang, Biantara Atha Arif.Kurang lebih dua jam, semua kembali ke rumah. Arif kini mendekati Mama dan memeluk wanita itu sejenak, postur tinggi serta bentuk tubuh dan wajah yang mewarisi Papa sepenuhnya, membuatku seolah melihat papalah yang kini tengah memeluk Mama."Sudah selesai pemakaiannya?" tanya Mama dengan suara serak. "Udah, Ma.""Sekarang Papa kalian sudah sendiri, biasanya semua Mama yang ngurus. Sekarang Papa kalian gimana? Dia pasti merasa sedih."Mama ke

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   84. Perpisahan Terindah

    Sungguh terhenyak diri ini saat pintu kamar mandi terbuka, bahkan ponsel di tangan sampai jatuh ke atas ranjang."Ma, kenapa?"Mas Rian yang melihatku tiba-tiba berdiri kaku langsung mengambil ponsel dan mengecek isinya. Dia membaca pesan Friska yang belum kukeluarkan dari layar utama. Usai membaca, lelaki itu menatapku."Aamminnn, semoga doanya diijabah."Mas Rian mematikan ponsel lalu meletakkan di atas nakas. Dia kemudian berjalan mendekatiku yang nyaris tak bergerak tersebab perasaan dipenuhi tanda tanya, bagaimana Friska bisa tahu bahwa hari ini aku dan Mas Rian menikah? Lalu perihal keluhan wanita itu, sepertinya aku menangkap jika ternyata Friska telah menikah lagi dan suaminya kemungkinan selingkuh. Benarkah?"Bagamana Friska bisa tahu jika hari ini kita menikah?" tanyaku menatap Mas Rian, seketika rasa cemburu menyergap. Apakah mereka masih berkomunikasi?"Papa nggak tahu, Ma.""Kalian masih berhubungan, ya 'kan?""Demi Tuhan, nggak Ma. Jika kami masih berhubungan kenapa dia

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   83. Impoten

    "Boleh lebih dekat?"Mas Rian memintaku untuk lebih rapat dengannya, usai pemasangan cincin dan menerima sebuah kecupan. Kini saatnya sesi foto-foto, meski tidak berdiri di atas pelaminan dan hanya duduk di atas sebuah karpet tebal berbulu lembut, acara ini tetap sesakral pernikahan pertama kami yang dilaksanakan begitu meriah.Mas Rian menyentuh kembali jemariku lalu sebuah foto tercetak dua kali."Selanjutnya foto bareng anak-anak."Seorang fotografer meminta kedua anakku bergabung. Setelah selesai mencetak foto berempat, lelaki itu kembali meminta seluruh keluarga untuk bergabung."Oke, satu dua tiga."Blast. "Sudah cukup, seadanya saja. Karena kami masih masa berkabung," ucap mama mertua meminta fotografer tidak lagi mengambil gambar. Lelaki itupun berbicara dengan Mas Rian lalu pamit pulang. Seminggu setelah jenazah Papa mertua dikebumikan adalah waktu yang baik yang sudah ditentukan oleh dua belah keluarga untuk melangsungkan pernikahan ini. Seharusnya ini menjadi suatu hal ya

  • Kami Yang Tak Pernah Ada di Hatimu   82. Alhamdulillah, Sah

    Entah kenapa di detik ini kedua netraku tiba-tiba basah, terlebih saat melihatnya memeluk Talita seraya berucap terima kasih."Terima kasih Mama. Papa janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua yang Mama berikan ini."Lagi-lagi dia meluapkan rasa bahagia pada Lita dengan mengecup pucuk kepalanya, membuat anakku keheranan."Papa kenapa sih tiba-tiba peluk dedek?""Papa sedang terharu, Nak.""Terharu karena bahagia?""Iya.""Karena Aa hebat, ya?""Salah satunya.""Dedek juga hebat?""Iya Papa tahu, kamu pasti sehebat Mamamu," ucap Mas Rian kini seraya membawa anakku dalam pelukan.Lita pun tersenyum sembari mengeratkan pelukan papanya. Melihat pemandangan itu, wajah tertunduk sejenak. Tak ada penyesalan saat niat ini sudah mantap menerimanya kembali. Setiap manusia memang sangat mungkin berbuat kesalahan, tapi Mas Rian membuktikan bahwa dia melakukan hal yang baik dengan meninggalkan kesalahannya dan beritikad untuk kembali padaku semenjak dahulu.Maaf Mas telah membuatmu terus be

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status