Home / Horor / Mayat di Atas Ranjang / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Mayat di Atas Ranjang: Chapter 41 - Chapter 50

84 Chapters

41. Debu

Operasi Hendi memang berjalan lancar, tetapi dia belum juga siuman. Kondisi Hendi mengingatkan Karmila akan kondisi Nurlaila dahulu. Nurlaila juga pernah berada dalam koma tanpa sebab yang jelas. Tak ada ilmu kedokteran mana pun yang mampu mengatasinya.“Bang, jangan lama-lama main di dunia sana. Ayo, pulang, aku nunggu kamu di sini.” Karmila berkata lirih sambil menyeka tangan Hendi dengan handuk yang sudah dibasahi air hangat.Di dalam ruang perawatan VIP rumah sakit itu, Karmila menghabiskan waktunya di sisi Hendi, menanti lelaki itu membuka matanya. Dia tidak bisa melakukan apa-apa, sama seperti halnya dengan tim dokter di sana, untuk membuat Hendi siuman. Semuanya tergantung dari berapa keras usaha Hendi untuk mau kembali. Sebab, bukan karena sakitnya dia tidak sadarkan diri seperti itu, melainkan karena rohnya sendiri yang terjebak di alam lain.**“Selamat datang, Hendi!”Hendi memandang heran ke seorang perempuan yang ada di hadapannya, menyambutnya dengan cara seorang kekasih
last updateLast Updated : 2023-03-25
Read more

42. Angin

Sosok Anggita perlahan-lahan bergerak. Hendi mendesah lega, meski dalam hatinya dia heran sendiri dengan reaksinya. Sebab, kalau benar Anggita alias Kanjeng Ratu tewas saat itu, bukankah dia akan otomatis terbebas dari semua sumpah dan perjanjian apa pun? Kemudian, Hendi menduga bahwa bisa jadi reaksinya itu karena perubahan karakter Anggita. Entah mana karakternya yang sejati, Hendi masih bertanya-tanya. Kanjeng Ratu yang kuat dan kejam, atau Anggita yang lemah dan gelisah?“Apa yang terjadi kepadamu?”“Semua yang kamu katakan benar. Di sini aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah salah satu pelayan dari penguasa yang sesungguhnya, ratu yang sesungguhnya.” Anggita bicara. Dia duduk bersimpuh, sama sekali tidak merasa terganggu dengan debu-debu kuning yang menyelimuti tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sosoknya saat itu lebih menyerupai berhala debu. Tatapan kosong, diam, tak bergerak.“Jadi kau sungguh-sungguh bukan Kanjeng Ratu?”Patung Anggita bergerak sedikit, merontokkan d
last updateLast Updated : 2023-03-26
Read more

43. Liontin

Mata Hendi berkilat-kilat mendengar penjelasan Anggita. “Berikan liontin itu!” Dia berpikir itu adalah kesempatan yang tak akan datang lagi, menghancurkan Kanjeng Ratu, sosok gaib yang menjadi ancamannya, mimpi buruknya, terornya, untuk selama-lamanya.Anggita balik memandang Hendi dengan wajah pucat. Dia bisa saja menyerahkan liontin itu, tetapi setengah dari kekuatannya akan hilang. Mustahil baginya untuk bertahan di dunia yang sekarang ditinggalinya jika dia melemah. Makhluk-makhluk yang lain akan dengan mudah menghancurkannya, meremuk tubuhnya, memisah-misahkan tangan, kaki, dan kepalanya. Anggita pikir seandainya dengan begitu dia akan tewas untuk selamanya, mungkin itu tidak akan telalu buruk. Tetapi, dia tahu, angin akan datang menyatukan kembali semua anggota tubuhnya, memasukkan udara ke dalam tenggorokannya, memberinya hidup sekali lagi, lagi, dan lagi, sampai waktunya benar-benar sudah habis.Setelah itu, mereka kembali akan mempermainkannya.“J-jangan. Aku bersumpah, Kanje
last updateLast Updated : 2023-03-28
Read more

44. Api

Sebuah kepulan asam hitam membumbung tinggi dari tubuh Anggita yang menggeliat-geliat. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara. Tidak ada api, meski ada asap. Tidak ada api, tetapi separuh tubuh Anggita melepuh, tepat separuhnya. Wajah Anggita seperti terbagi oleh dua bagian. Satu bagian wajahnya masih mulus, sementara satu bagian lain kulitnya mengelupas, memperlihatkan daging merah di bawahnya. Sebagian rambutnya juga hangus sampai tampak kulit kepalanya.Kalau orang melihat Anggita dari sisi kiri, dia akan terlihat cantik, tidak ada yang berbeda, masih bisa membuat orang-orang betah sekadar untuk memandanginya saja, tetapi jika mereka melihatnya dari sisi kanan, niscaya pasti akan langsung memalingkan wajah. Separuh wajah Anggita itu adalah penggambaran dari rasa sakit dan penderitaan.Bahkan Hendi tidak menyangka dampaknya akan sebesar itu. “Apa yang terjadi padamu?”Anggita menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan Hendi. “Jangan pandangi aku! Bukankah ini yang
last updateLast Updated : 2023-04-02
Read more

45. Memori

Hendi berpikir kalau siluman perempuan yang ada di hadapannya itu benar-benar sinting. Dia kemudian meludah ke tanah, sengaja melakukan itu untuk menghina Anggita. “Sialan! Aku terjebak bersama makhluk sepertimu di tempat terkutuk ini tanpa tahu harus ke mana,” maki Hendi.“Aku tahu tempat yang lebih bagus dari ini, tempat di mana sungai-sungai mengalir jernih dan airnya bisa kamu minum sepuas hati, tempat di mana pohon-pohonnya berbuah manis dan besar-besar, tak habis-habis bahkan jika kamu terus memetikinya.” Anggita mengatur rambutnya sedemikian rupa dengan tangannya agar menutupi sebagian wajahnya yang rusak. “Ayo, Hendi, biar kutunjukkan kepadamu tempat itu.” Anggita mengulurkan tangannya.Sesaat Hendi ragu-ragu, dia tahu dia tidak bisa memercayai perkataan siluman, tetapi dia tak punya pilihan lain. Dia berada di dunia asing yang terasa bagaikan mimpi untuknya, semua serba aneh dan tak masuk akal. Hendi tidak tahu harus ke mana atau melakukan apa untuk bisa bertahan hidup di san
last updateLast Updated : 2023-04-08
Read more

46. Koma

Jeritan Hendi semakin nyaring, memekakkan telinga. Siapa saja yang mendengarnya bisa merasakan sakit yang saat itu tengah mendera Hendi, menusuk-nusuk, menyengat.“Tidak ada manusia yang bisa bertahan hidup di dunia kita.” Anggita kembali teringat akan kalimat itu. Dia memandang Hendi dengan putus asa.“Sakit! Kepalaku seperti hendak meledak!” Hendi berkata sambil memegangi kepalanya. Napasnya turun naik. Sekali lagi dia memperdengarkan jeritan panjang kesakitan.“Tidak! Berhenti berusaha mengingat! Sudah, Hendi, hentikan.” Anggita berusaha menenangkan Hendi. Dia merengkuh Hendi ke dalam pelukannya, menenangkannya seperti seorang ibu menenangkan seorang bayi. “Lepaskan, biarkan, tarik napas pelan-pelan, hembuskan.” Anggita memberi aba-aba.Di dalam pelukan Anggita, tubuh Hendi menggigil hebat. Padahal udara saat itu luar biasa panas.“Aku melihat sesuatu, seseorang, tapi enggak jelas,” katanya lemah.“Lupakan. Kamu bisa mati kalau berusaha lebih keras dari ini.” Anggita berbisik di te
last updateLast Updated : 2023-04-08
Read more

47. Ayah

Sementara Karmila tenggelam dalam lamunannya sendiri sembari menjagai Hendi di kamar perawatan rumah sakit, malam beranjak semakin larut. Beberapa lampu di lorong rumah sakit sudah dimatikan. Suasana sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang menunggu keluarga mereka yang sakit duduk-duduk dalam diam di bangku-bangku selasar. Satu-dua perawat yang berjaga duduk di balik nurse station sambil terkantuk-kantuk. Udara malam itu sedikit dingin karena hujan tengah turun deras membelah langit malam.Beberapa kali kilat menyambar diikuti suara geluduk. Sedikit lampu yang masih menyala berkedap-kedip. Tetapi tak ada orang yang terlalu peduli, menganggapnya itu hanya reaksi elektris biasa karena cuaca buruk.Pintu lift di lantai tempat kamar Hendi dirawat berdenting terbuka. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Selama beberapa detik pintu lift masih terbuka, kemudian saat pintunya hendak menutup rapat, sepotong tangan berwarna hitam keunguan seperti daging busuk keluar dari celah pintu dengan tib
last updateLast Updated : 2023-04-09
Read more

48. Harga

Tangis Karmila berganti gelak tawa. Setelah lelah dengan semua ironi dan tragedi yang terjadi di dalam hidupnya, Karmila mendadak merasa kisah hidupnya adalah sebuah komedi.“Karmila.” Andaru memanggilnya. Ada getaran kecemasan dalam suaranya yang parau.Mendengar ayahnya memanggil namanya, Karmila tahu bahwa sosok yang datang itu memanglah ayah sejatinya. Tidak setiap saat ada sosok ghaib, bukan manusia yang mengaku sebagai ayahnya.Karmila menarik napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan, merasa debar kencang di dadanya sedikit berkurang, barulah dia berbalik, menghadap ayahnya, Andaru. Wajah ayahnya memang sudah rusak, tetapi Karmila masih mengenali sepasang bola mata itu karena saat dia menatapnya, dia merasa seperti sedang memandangi cermin, memandang balik ke bayangannya sendiri yang ditangkap oleh cermin. Ya, sepasang mata Andaru, mengingatkannya akan sepasang matanya sendiri.“Sialan! Kau benar ayahku!” Karmila tersenyum simpul.“Apa berlebihan kalau aku menginginkan sebuah
last updateLast Updated : 2023-04-09
Read more

49. Perpisahan

Tubuh Karmila gemetar mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri. Dengan wajh pucat dia menatap Andaru, bertanya, “Benar, kan?”Andaru tidak berkata apa-apa, tetapi kebisuannya itu sendiri sudah bisa memberikan Karmila jawaban yang sebenarnya tidak ingin dia dengar.“Kembalilah pulang,” kata Andaru akhirnya setelah jeda cukup panjang di antara mereka.Karmila mendesah, melirik Hendi yang masih koma.“Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk orang itu.” Kembali Andaru berkata.“Apa yang Ayah tahu tentang Bang Hendi? Apa Ayah tahu penderitaan apa saja yang sudah ditanggungnya?”“Semua yang terjadi kepadanya tidak ada hubungannya denganmu, denganku, atau dengan keluarga kita. Dia hanya orang asing, untuk apa kau begitu peduli kepadanya?” Gigi Andaru gemeretak. Dari dalam dadanya berkobar bara api saat melihat sendiri bagaimana putrinya membela seorang laki-laki yang menurutnya sangat lemah. “Aku kira, Dirga kekasihmu, bukannya dia.”“Dirga? Jadi Ayah sudah bertemu dengan dia?” Ka
last updateLast Updated : 2023-04-10
Read more

50. Bukit

Di dunia gaib tempat Hendi berkelana tanpa bisa mengingat dirinya, Anggita juga memanggil-manggil namanya.“Siapa yang memanggilku?” gumam Hendi di batas kesadarannya. Di dalam benaknya yang bagaikan sebuah mimpi itu dia mendengar dua suara berbeda memanggil-manggil satu nama yang sama, Hendi. “Siapa yang harus kujawab?”Anggita meniup wajah Hendi dengan sihirnya, membuat pikirannya kembali jernih dan hanya bisa mendengar satu suara, suara milik Anggita.“Bangun, Hendi, buka matamu,” perintah Anggita lembut.Hendi mengerjapkan mata melihat Anggita. Kepalanya masih berdenyut sakit.“Lihat aku saja, dengar suaraku saja,” ujar Anggita, “dengan begitu sakit di kepalamu akan perlahan hilang.”Suara Anggita begitu lembut merayu, terdengar bagai musik indah di telinga Hendi membuatnya pasrah, menyerah sepenuhnya kepadanya. Sedikit demi sedikit Hendi membuang semua kecemasannya, semua usahanya yang tak perlu akan ingatan yang telah hilang.“Yang sudah hilang, biarlah hilang, mungkin sedari aw
last updateLast Updated : 2023-04-10
Read more
PREV
1
...
34567
...
9
DMCA.com Protection Status