Sebuah kepulan asam hitam membumbung tinggi dari tubuh Anggita yang menggeliat-geliat. Aroma daging yang terbakar memenuhi udara. Tidak ada api, meski ada asap. Tidak ada api, tetapi separuh tubuh Anggita melepuh, tepat separuhnya. Wajah Anggita seperti terbagi oleh dua bagian. Satu bagian wajahnya masih mulus, sementara satu bagian lain kulitnya mengelupas, memperlihatkan daging merah di bawahnya. Sebagian rambutnya juga hangus sampai tampak kulit kepalanya.Kalau orang melihat Anggita dari sisi kiri, dia akan terlihat cantik, tidak ada yang berbeda, masih bisa membuat orang-orang betah sekadar untuk memandanginya saja, tetapi jika mereka melihatnya dari sisi kanan, niscaya pasti akan langsung memalingkan wajah. Separuh wajah Anggita itu adalah penggambaran dari rasa sakit dan penderitaan.Bahkan Hendi tidak menyangka dampaknya akan sebesar itu. “Apa yang terjadi padamu?”Anggita menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya dari pandangan Hendi. “Jangan pandangi aku! Bukankah ini yang
Hendi berpikir kalau siluman perempuan yang ada di hadapannya itu benar-benar sinting. Dia kemudian meludah ke tanah, sengaja melakukan itu untuk menghina Anggita. “Sialan! Aku terjebak bersama makhluk sepertimu di tempat terkutuk ini tanpa tahu harus ke mana,” maki Hendi.“Aku tahu tempat yang lebih bagus dari ini, tempat di mana sungai-sungai mengalir jernih dan airnya bisa kamu minum sepuas hati, tempat di mana pohon-pohonnya berbuah manis dan besar-besar, tak habis-habis bahkan jika kamu terus memetikinya.” Anggita mengatur rambutnya sedemikian rupa dengan tangannya agar menutupi sebagian wajahnya yang rusak. “Ayo, Hendi, biar kutunjukkan kepadamu tempat itu.” Anggita mengulurkan tangannya.Sesaat Hendi ragu-ragu, dia tahu dia tidak bisa memercayai perkataan siluman, tetapi dia tak punya pilihan lain. Dia berada di dunia asing yang terasa bagaikan mimpi untuknya, semua serba aneh dan tak masuk akal. Hendi tidak tahu harus ke mana atau melakukan apa untuk bisa bertahan hidup di san
Jeritan Hendi semakin nyaring, memekakkan telinga. Siapa saja yang mendengarnya bisa merasakan sakit yang saat itu tengah mendera Hendi, menusuk-nusuk, menyengat.“Tidak ada manusia yang bisa bertahan hidup di dunia kita.” Anggita kembali teringat akan kalimat itu. Dia memandang Hendi dengan putus asa.“Sakit! Kepalaku seperti hendak meledak!” Hendi berkata sambil memegangi kepalanya. Napasnya turun naik. Sekali lagi dia memperdengarkan jeritan panjang kesakitan.“Tidak! Berhenti berusaha mengingat! Sudah, Hendi, hentikan.” Anggita berusaha menenangkan Hendi. Dia merengkuh Hendi ke dalam pelukannya, menenangkannya seperti seorang ibu menenangkan seorang bayi. “Lepaskan, biarkan, tarik napas pelan-pelan, hembuskan.” Anggita memberi aba-aba.Di dalam pelukan Anggita, tubuh Hendi menggigil hebat. Padahal udara saat itu luar biasa panas.“Aku melihat sesuatu, seseorang, tapi enggak jelas,” katanya lemah.“Lupakan. Kamu bisa mati kalau berusaha lebih keras dari ini.” Anggita berbisik di te
Sementara Karmila tenggelam dalam lamunannya sendiri sembari menjagai Hendi di kamar perawatan rumah sakit, malam beranjak semakin larut. Beberapa lampu di lorong rumah sakit sudah dimatikan. Suasana sepi, hanya ada beberapa orang yang sedang menunggu keluarga mereka yang sakit duduk-duduk dalam diam di bangku-bangku selasar. Satu-dua perawat yang berjaga duduk di balik nurse station sambil terkantuk-kantuk. Udara malam itu sedikit dingin karena hujan tengah turun deras membelah langit malam.Beberapa kali kilat menyambar diikuti suara geluduk. Sedikit lampu yang masih menyala berkedap-kedip. Tetapi tak ada orang yang terlalu peduli, menganggapnya itu hanya reaksi elektris biasa karena cuaca buruk.Pintu lift di lantai tempat kamar Hendi dirawat berdenting terbuka. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Selama beberapa detik pintu lift masih terbuka, kemudian saat pintunya hendak menutup rapat, sepotong tangan berwarna hitam keunguan seperti daging busuk keluar dari celah pintu dengan tib
Tangis Karmila berganti gelak tawa. Setelah lelah dengan semua ironi dan tragedi yang terjadi di dalam hidupnya, Karmila mendadak merasa kisah hidupnya adalah sebuah komedi.“Karmila.” Andaru memanggilnya. Ada getaran kecemasan dalam suaranya yang parau.Mendengar ayahnya memanggil namanya, Karmila tahu bahwa sosok yang datang itu memanglah ayah sejatinya. Tidak setiap saat ada sosok ghaib, bukan manusia yang mengaku sebagai ayahnya.Karmila menarik napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan, merasa debar kencang di dadanya sedikit berkurang, barulah dia berbalik, menghadap ayahnya, Andaru. Wajah ayahnya memang sudah rusak, tetapi Karmila masih mengenali sepasang bola mata itu karena saat dia menatapnya, dia merasa seperti sedang memandangi cermin, memandang balik ke bayangannya sendiri yang ditangkap oleh cermin. Ya, sepasang mata Andaru, mengingatkannya akan sepasang matanya sendiri.“Sialan! Kau benar ayahku!” Karmila tersenyum simpul.“Apa berlebihan kalau aku menginginkan sebuah
Tubuh Karmila gemetar mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri. Dengan wajh pucat dia menatap Andaru, bertanya, “Benar, kan?”Andaru tidak berkata apa-apa, tetapi kebisuannya itu sendiri sudah bisa memberikan Karmila jawaban yang sebenarnya tidak ingin dia dengar.“Kembalilah pulang,” kata Andaru akhirnya setelah jeda cukup panjang di antara mereka.Karmila mendesah, melirik Hendi yang masih koma.“Tidak ada yang bisa kau lakukan untuk orang itu.” Kembali Andaru berkata.“Apa yang Ayah tahu tentang Bang Hendi? Apa Ayah tahu penderitaan apa saja yang sudah ditanggungnya?”“Semua yang terjadi kepadanya tidak ada hubungannya denganmu, denganku, atau dengan keluarga kita. Dia hanya orang asing, untuk apa kau begitu peduli kepadanya?” Gigi Andaru gemeretak. Dari dalam dadanya berkobar bara api saat melihat sendiri bagaimana putrinya membela seorang laki-laki yang menurutnya sangat lemah. “Aku kira, Dirga kekasihmu, bukannya dia.”“Dirga? Jadi Ayah sudah bertemu dengan dia?” Ka
Di dunia gaib tempat Hendi berkelana tanpa bisa mengingat dirinya, Anggita juga memanggil-manggil namanya.“Siapa yang memanggilku?” gumam Hendi di batas kesadarannya. Di dalam benaknya yang bagaikan sebuah mimpi itu dia mendengar dua suara berbeda memanggil-manggil satu nama yang sama, Hendi. “Siapa yang harus kujawab?”Anggita meniup wajah Hendi dengan sihirnya, membuat pikirannya kembali jernih dan hanya bisa mendengar satu suara, suara milik Anggita.“Bangun, Hendi, buka matamu,” perintah Anggita lembut.Hendi mengerjapkan mata melihat Anggita. Kepalanya masih berdenyut sakit.“Lihat aku saja, dengar suaraku saja,” ujar Anggita, “dengan begitu sakit di kepalamu akan perlahan hilang.”Suara Anggita begitu lembut merayu, terdengar bagai musik indah di telinga Hendi membuatnya pasrah, menyerah sepenuhnya kepadanya. Sedikit demi sedikit Hendi membuang semua kecemasannya, semua usahanya yang tak perlu akan ingatan yang telah hilang.“Yang sudah hilang, biarlah hilang, mungkin sedari aw
Perjalanan Anggita dan Hendi berakhir di balik bukit, di mana sepasang air terjun bertemu dan menumpahkan airnya yang memantulkan kilau warna-wani pelangi. Sungai lebar di bawahnya jernih bagai kaca, menampakkan ikan-ikan besar-kecil yang berenang meliuk-liuk di dasarnya yang berbatu. Pemandangan yang bagai lukisan itu semakin bertambah pesonanya oleh rimbunan hijau dedaunan dari barisan pepohonan dan tanaman merambat.Hendi tak bisa berkata-kata saling takjubnya.Anggita berlari kecil mendahuluinya dengan langkah-langkah ringan. Perempuan siluman itu masuk ke dalam air yang tingginya tak lebih dari lutut orang dewasa. Tanpa ragu dia melepaskan semua pakaian yang melekat di badannya, lalu berendam. “Sini, ikut mandi bersamaku!” teriaknya kencang kepada Hendi.Hendi tertunduk dengan wajah bersemu, dia sempat melihat tubuh polos Anggita. Anggita bertubuh mungil dengan sepasang buah dada yang tidak terlalu besar ataupun terlalu kecil, berpucuk merah muda. Tubuhnya putih pucat seperti por
Nurlaila memicingkan mata, berusaha berkonsentrasi penuh sambil terus mengawasi makhluk raksasa bertubuh setengah kura-kura, setengah ular yang ada di hadapannya itu, mencari-cari di bagian manakah hatinya berada. Sulit untuk bisa menemukan titik lemah si raksasa karena di saat yang bersamaan dia juga harus berkelit menghindari serangan demi serangan yang dilancarkan oleh ular-ular itu.“Hatinya, seperti apa bentuk hatinya?” Nurlaila berteriak kepada Ki Gendeng yang ada di tepian sungai.“Hatinya bersinar paling terang, berwarna hijau. Ada di pangkal lehernya. Lihat dan cari baik-baik!” Ki Gendeng memberi petunjuk. “Cepatlah, waktumu tak banyak. Kita harus segera menyeberangi sungai ini sebelum malam.”Setidaknya Nurlaila tahu apa yang harus dicarinya saat itu. Sambil meliuk dan menghindar, entah bagaimana tetapi di dunia itu tubuhnya terasa lebih ringan dan lincah sehingga bisa bergerak lebih cepat, dia mendekati pangkal leher si monster. Kemudian dalam jarak semeter, akhirnya Nurlai
Panik, Nurlaila melempar rambut manusia yang ada dalam genggamannnya itu. Tetapi gerakan yang mendadak itu membuat keseimbangannya runtuh sehingga membuatnya terpeleset dan masuk lebih dalam ke sungai.Kepala Nurlaila di dalam aliran air yang seperti darah. Matanya yang terbuka sempat melihat apa yang ada di dalam sungai. Dasar sungai yang dikiranya lumpur ternyata adalah timbunan dari jasad-jasad manusia, potongan-potongan tubuh. Dia terbelalak kemudian berusaha secepat mungkin berenang kembali ke permukaan.Namun tumpukan jasad dan potongan-potongan tubuh yang dikiranya mati itu ternyata hidup. Sepotong tangan menangkap kakinya, menariknya lagi ke dalam sungai. Nurlaila berjuang menyelamatkan dirinya. Dia menendang-nendang dengan kekuatan penuh, berusaha menyingkirkan tangan-tangan yang mencengkeram kaki dan tubuhnya.Kepalanya hilang timbul di permukaan sungai. Sekilas dia melihat Ki Gendeng masih ada di daratan, tapi tidak berbuat apa-apa selain memerhatikannya dengan tatapan hera
Batu-batu yang tiba-tiba saja muncul, berlompatan menyerang Nurlaila dan Ki Gendeng.“Tidak! Ada apa ini? Tolong! Aduh! Siapa yang sudah melempari batu? Ah, bukan, bukan! Batu-batu ini bergerak sendiri. Aki!!” teriak Nurlaila sambil berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.Ki Gendeng mengangkat tangannya, mulutnya mendengungkan mantra, kemudian sekejap sebuat tongkat kayu berkepala ular muncul dari udara berpindah ke tangannya. Dia lalu menghentakkan tongkat itu ke tanah.“Batu tidak seharusnya berlompatan ke sana kemari. Diam kalian semua, kembalilah ke sifat asal kalian, membatu, tidak bergerak, mati!” Ki Gendeng berseru dengan suara lantang.Duk, duk, duk! Puluhan batu yang tadinya beterbangan langsung jatuh ke tanah seakan-akan memahami perintah Ki Gendeng.Ki Gendeng belum berhenti sampai di sana. Dia mengarahkan lagi tongkatnya ke tumpukan batu besar kecil yang berhasil menyusun barikade di hadapan mereka, penghalang antara mereka dengan sungai ratapan. Kemudian, dengan seka
Berjalan lurus ke timur, menyeberangi sungai ratapan, mendaki bukit raungan, menuruni lembah keputusasaan, itu semua adalah rute yang harus dilewati Nurlaila untuk bisa sampai ke tempat Anggita berada. Ki Gendeng memberitahu semua itu dengan begitu santainya seperti layaknya seorang guide sedang memberi informasi destinasi wisata apa saja yang akan mereka lalui.Nurlaila tahu, nama yang tersemat di semua tempat yang disebutkan Ki Gendeng itu bukanlah sekadar nama saja, melainkan kejadian sesungguhnya. Sungainya benar-benar sungai yang terbentuk dari air mata ratapan para makhluk pendosa, bukitnya benar-benar bukit yang berisik oleh raungan para jiwa yang tersesat, dan lembahnya benar-benar lembah yang berdasarkan keputusasaan, kegagalan, penyesalan. Hanya mereka yang punya jiwa berani dan tulus yang bisa melewati semua itu.“Bagaimana? Benar masih mau lanjut?” tanya Ki Gendeng lagi.Nurlaila mengangguk mantap. “Sudah kadung, Ki.”“Baiklah, ayo kita jalan!”Nurlaila dan Ki Gendeng mela
“Ki, tolong saya.” Nurlaila bersimpuh. “Tolong selamatkan putraku, Hendi. Aku yakin betul kalau dia terjebak di alam jin dan tergoda oleh para lelembut di sana sehingga tidak bisa kembali. Kalau dibiarkan terus seperti itu, aku takut selamanya Hendi akan berada di sana. Raganya tidak akan bisa bertahan terlalu lama tanpa kehadiran jiwanya.”Ki Gendeng manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang tak kasat mata sebab dagunya sendiri licin tanpa ditumbuhi sehelai bulu cambang. “Kalian ibu-anak, sukanya memang cari masalah saja. Kenapa sih kalian tidak hidup tenang dan baik-baik saja menjalani hidup tanpa harus berurusan dengan makhluk-makhluk dari dunia lain? Makhluk-makhluk yang kalian sendiri tidak pahami. Toh, pada akhirnya justru kalian sendiri yang dimanfaatkan mereka, diperdaya habis-habisan. Tidak akan pernah ada seorang pun manusia yang sungguh-sungguh beruntung jika melakukan transaksi dengan para jin, setan, atau apalah istilah yang kalian sematkan itu.”“Termasuk Aki
Sosok yang berada di depan Nurlaila menyerupai seorang lelaki muda berparas tampan. Lelaki itu berdiri dengan gagah sambil tangannya bersidekap di depan dada.“Ini aku, kamu lupa kepadaku, ya?” tanyanya.Nurlaila memiringkan kepala, bingung. Meski dia yakin dari suaranya, sosok itu adalah Ki Gendeng, tetapi penampakannya amat sangat berbeda. Sejak kapan Ki Gendeng menyerupai manusia?“Aki?” jawab Nurlaila ragu.“Cih, aku sudah mengubah penampilanku sampai seperti ini masih juga kamu sebut aku Aki-aki?” Sosok pemuda itu mendengkus sebal.“Astaga! Benar ini kau, Ki Gendeng? Ganteng benar rupanya kau! Jadi, harus aku panggil apa sekarang? Gendeng, begitu? Tanpa ada sebutan Aki di depannya karena sekarang wujudmu tidak lagi ular tanah pendek gemuk?” Nurlaila cekikikan antara geli dan lega.“Ah, sudahlah lupakan! Panggil aku saja seperti biasanya. Ki Gendeng. Tapi apa lagi yang kamu lakukan di tempat ini, heh? Kamu apa sudah lupa betapa sulitnya aku membantumu untuk bisa keluar dari tempat
Nurlaila memandangi putranya, Hendi, yang berbaring masih dalam keadaan koma di ranjang rumah sakit. Waja Hendi tenang, tanpa riak-riak emosi, seolah-olah sedang tertidur dalam kedamaian, tidak peduli tentang bahaya yang ada di dekatnya, tidak tahu menahu akan semua kematian yang berserak-serak di dekatnya.“Kamu harus bangun, Hendi. Keluarga kita hanya tinggal kamu dan aku, ibumu. Masih kubermimpi suatu hari nanti bisa melihatmu menikah dan beranak cucu. Kamu masih terlalu muda untuk pergi dari dunia ini, ada banyak hal yang belum pernah kamu temui dan rasakan. Kebahagiaan-kebahagiaan hidup yang tidak bisa aku berikan kepadamu. Bangun, putraku. Temani aku di sini, jangan kalah dengan bujukan makhluk apa pun yang menginginkanmu tinggal di sana.” Nurlaila terus berbincang dengan anaknya itu, berharap Hendi bisa mendengar suaranya.Namun yang diajak bicara sama sekali tidak bereaksi, menggerakkan ujung jarinya saja tidak. Mata Hendi masih menutup rapat, bibirnya membisu. Semua omongan N
Jauh di dalam hutan, di gua yang ada di balik air terjun, lokasi keramat di mana Dirga dan Kandita sering melakukan semedi dan ritual, terbaring tubuh Dirga. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin terus keluar dari pelipisnya. Dirga berada di sana, beralaskan tanah gua, sendirian menahan sakit.Luka yang didapatnya dari pertarungan dengan Karmila ternyata lumayan serius. Karmila telah tanpa sadar menyerangnya menggunakan tenaga dalamnya. Dirga menerima semua serangan Karmila tanpa ada keinginan sama sekali untuk membalasnya.“Dosaku tak terampuni,” gumam Dirga, “aku pantas untuk mati.”Dirga masih sadar, dia ingat kalau Andaru dan Kandita yang membawanya ke dalam gua.“Untuk sementara waktu kamu sembunyi dulu di sini. Karmila sudah mengetahui semuanya. Dia tahu kalau kamu yang sudah melakukan pembantaian di rumah sakit jiwa itu. Bahkan bukan hanya Karmila yang tahu, tapi juga perempuan itu, Nurlaila.” Kandita berkata kepadanya.“M-maafkan aku. Aku gagal membunuh
Di tempat lain, seseorang juga sudah tersadar dari pingsannya. Karmila bangun dan mendapati kedua orang tuanya berdiri di hadapannya, Kandita dan Andaru, dalam keadaan lengkap, sehat, tanpa ada jejak-jejak penuaan sama sekali apalagi lebam mayat seperti yang pernah Karmila saksikan pada tubuh Andaru waktu terakhir kali mereka bertemu.“Ayah?” Karmila tercengang melihat betapa besar perbedaan penampilan ayahnya itu.Kandita dan Andaru bagai sepasang remaja, muda, belia, penuh vitalitas. Padahal kenyataannya usia mereka sudah sangat tua.“Kamu sudah bangun, Sayang?” Andaru berkata sambil tersenyum.“Apa benar ini kau, Ayah?” Karmila masih tidak dapat memercayai penglihatannya. Bagaimana mungkin hanya dalam semalam Andaru yang tadinya berwujud mengerikan, tak ubahnya bagai mayat hidup, berubah menjadi muda belia, seperti remaja belasan tahun. Dia tampan dan gagah.“Ya, ini benar ayahmu, putriku yang manis.” Andaru merentangkan tangan, berputar, memamerkan kerupawanannya.Pada saat itu, j