Semua Bab TEMPE GORENG DI MEJA MEWAH MENANTU (Fobia Miskin) : Bab 31 - Bab 40

63 Bab

MENYUSUL KE KAMPUNG

"Bener, Mas! Saudaraku ini memang sedang sedih karena rumah suaminya baru terbakar," timpal Mbak Ummi. Aku mencubit pahanya karena mulutnya terlalu bocor, "Kalau aku sedih karena belum ada jodoh. Andai saja ada yang mau dengan janda anak tiga sepertiku."Aku pun tertawa mendengar ucapan Mbak Ummi yang seolah menawarkan diri agar dinikahi.Tidak terasa kami sampai di kampung halaman. Bercanda di jalan membuat jarak tempuh yang cukup jauh terasa dekat.Memasuki perkampungan, ibu-ibu yang bersantai menatap mobil yang kutumpangi. Mereka selalu kagum ketika ada kendaran bagus memasuki desa yang cukup terpencil ini.Mbak Ummi membuka jendela dan dada-dada bak artis yang datang dari kota."Hallo, Yu, Mbak, Mak Dhe, Bu Dhe ...!" seru Mbak Ummi."Aduh ...!" Kepala Mbak Ummi kepentok karena mobil sedikit oleng ketika melintasi jalan berlubang."Oew, Mbah! Alopyupul, Mbah!"Aku menarik baju Mbak Ummi agar duduk diam."Masih jauh?" tanya pria yang namanya tertulis di aplikasi sebagai Gupi. Sudah
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

PRINSIP HEMAT

"Kamu terlahir dari keluarga yang utuh. Bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. Punya tempat untuk berkeluh kesah." Mas Kevin menunduk, sama sekali tak menatap wajahku. Seperti ada beban berat yang dia sembunyikan."Kamu saja yang bodoh, Mas! Ada Allah tempat untuk bersandar."Aku masih gondokan dengan sikapnya. Jadi terasa sulit sekali untuk berbicara halus padanya."Kamu nggak tahu kan rasanya puasa hanya makan satu roti kecil dibagi menjadi empat bagian untuk dua hari? Perut rasanya perih, melilit. Cuma bisa menelan ludah ketika melihat anak-anak lain makan di rumah makan. Sering dihajar preman jalanan. Jarang mandi, karena takut masuk ke tempat wudu masjid. Tak punya uang untuk membayar kamar mandi pom bensin. Buang air pun aku harus mencari selokan atau tanaman yang agak tinggi. Yah, itu masa tersulitku di masa kanak-kanak karena tak punya orang tua."Mendengar cerita suamiku, mata yang sudah membentuk bedungan menganak sungai. "Mencari kerja juga tidak ada yang mempekerjakan,
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

BUKAN MOBIL ASING

Kami pergi ke rumah Pak RT. Banyak tetangga yang berada di teras rumah menyaksikan diriku dan suamiku. Kami sudah seperti artis yang masuk desa. Mulutku bahkan capek menyahut sapaan dari rumah ke rumah. Nggak dijawab dikata sombong. Hidup di desa keras lor ...!Mereka bertanya kabar seperlunya. Tapi tidak untuk wanita yang gagal menjadi mertuaku. Dia menatapku sinis ketika aku dan suami jalan beriringan.Bahkan nenek-nenek pun ikut menyapa meski dia lupa dengan wajahku. "Aira! Oalah, kamu tambah cantik saja. Meski agak kurusan!" sapa Bu Tuti. Aku sedikit menaikkan alis. Pertanyaannya sangat menjebak. Bisa menyangjung juga mengejek.Wanita berbadan gempal itu menenteng plastik bening yang berisi telur juga mi instan. Sepertinya dia baru saja dari warung."Eh, tahu, nggak, Ra?! Si Marni--yang dulu gagal menjadi mertuamu, saat tahu rumah suamimu terbakar, senengnya minta ampun. Semua orang lewat diberi tahu. Dia begitu bahagia tanpa ada rasa prihatin. Naudzubillah ... kok ada manusia se
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

BIBIT PEBINOR

"Sudahlah, Mas! Ayo masuk!" Kutarik tangan Mas Kevin sampai di depan pintu yang terbuka."Eh, ada tamu ...! Mari masuh Aira!" sapa Pak RT mengawali."I-ya, Pak! Assalamualaikum!" ucapku sembari melangkah ke dalam dan duduk di kursi sofa berwarna merah. Laki-laki genit itu menaikkan satu alisnya dan menatapku. "Hallo, kita bertemu lagi. Apa mungkin ini jodoh?" ujarnya tanpa rasa sungkan meski ada suami di sampingku. Tangan Mas Kevin mengepal. Aku menggenggam kuat-kuat agar dia tidak melayangkan pukulan. Suamiku menoleh padaku. Tatapan matanya mengisyaratkan agar aku melepas genggamannya. Tapi aku cuma menggelengkan kepala."Lho, kalian sudah saling mengenal rupanya?" Pak RT mengulas senyum."Nggak!" jawabku dan pria itu serentak."Kebetulan di jalan bertemu. Ternyata tujuan kami sama. Ya sudah, kita bareng saja. Mungkin Mbak-nya mengira aku pengemudi taxi. Karena kulihat dia bersama dengan satu wanita lagi di tepi jalan. Kebetulan aku ada telepon dan menepi tepat di depannya. Dia masu
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

NGGAK NAFSU

"Radit ..., Diamlah! Kamu paham adab berbicara kan?" sanggah Pak RT. Pemuda di ruang keluarga Pak RT yang hanya bersekat dinding tembok dengan ruang tamu itu benar-benar membuatku darah tinggi. Sejak awal bertemu aku tidak suka dengan tingkah polahnya yang sok kecakepan. Padahal, kalau aku mau perawaran di klinik kecantikan, kemana-mana juga gantengan diriku.Pemuda itu terus saja menyambar diskusi kami diikuti tawa yang membuat dadaku memanas. Lagaknya keren, datang dari kota. Tapi adabnya minim. Kuberi jempol ke bawah.Sepertinya istriku juga tidak nyaman dengan adanya pria tersebut. Aira lebih sering menundukkan pandangan dari pada mencari perhatian."Jadi, ini bagaimana? Apa masih mau dilanjutkan?" Pak RT menatap aku dan istriku bergantian.Aku menghela napas. Ini pilihan yang sulit. Jika aku tidak memenuhi keinginan istriku, dia pasti mengancam minta cerai. Tapi, jika kuturuti Aira akan semakin besar kepala. Lagi pula aku nggak yakin bisa tinggal di tempat yang jauh dari teman d
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

TRAGEDI DI MASJID

Ibu dan Aira menatapku. Mulut mereka melongo. Seolah tidak percaya jika aku makan begitu banyak. Sedangkan ketika di rumah, aku hanya makan tiga sendok karena takut gemuk. Belum lagi sering ditakut-takuti temanku kalau kebanyakan makan nasi bisa diabetes. "Mas, kamu nggak kesurupan kan? Biasanya orang asing yang masuk kampung sini sering pada kerasukan setan."Aira menatapku dengan mata membelalak."Enak saja. Nggaklah. Masakan ibu mertua enak," sahutku sembari mengelus perut yang sudah penuh dan begah."Enak atau karena kelaparan?""Dua-duanya.""Makanya, Mas! Kalau mau makan enak jangan pelit," pungkas Aira. Dia membereskan meja makan bersama Ibu. Sedangkan aku masih duduk di kursi yang sama. Iseng kubuka ponsel dan langsung ke sosial media berwarna hijau. Di beranda langsung kulihat sebuah unggahan Selena.[Maafkan, Mama. Karena Mama, di dalam sana pun kamu sudah kehilangan sosok ayah.]Aku membuka komentar. Teman-temanku ternyata juga nimbrung di sana. Mereka memberi semangat da
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

SECEPAT ITU

Aira langsung tepuk jidad. Maafkan aku, Sayang. Pasti kamu malu."Jangan-jangan kamu bohong. Itu cuma alasan," timpal Radit. Mahluk yang satu itu kenapa seperti menjadi bayangan burukku? "Maksudmu apa?""Bisa saja kamu nafsu pada anak itu.""Eh, tutup mulutmu. Kalau berani lawan aku!" Aku naik pitam dan hampir melayangkan pukulan. Tapi ditahan istriku."Aku percaya pada suamiku. Pak Ustaz, Pak RT, suamiku sejak kecil tidak peenah belajar agama. Mohon bimbingannya Pak Ustaz, agar suami bisa menyempurnakan rumah tangga kami. Supaya dia paham bagaimana menjadi seorang pemimpin dalam rumah tangga," ujar istriku tanpa rasa malu."Isya Allah, Aira! Sekarang kita masuk dan salat berjamaah." Pak Ustaz menatap Aira, kemudian beralih padaku."Tono, Om Kevin adalah suami Tante Aira. Jangan takut padanya ya!" Pak Ustaz mengelus rambut si Tono.Anak itu berlari ke dalam dan menjulurkan lidah. Tanganku semakin gatal untuk menjitaknya. ***Selesai salat berjamaah, aku menghadap Pak Ustaz ditemani
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

PENGAGUM ISTRIKU

Pulang dari masjid, seperti biasa banyak warga yang berada di pelataran rumahnya. Apa lagi yang mereka kerjakan selain ngrumpi, ngegosip, dan ngomongin orang.Mungkin ini sebabnya mereka nggak berkembang. Selalu mencari-cari kesalahan orang lain dan lupa kalau hidupnya sendiri belum sempurna."Ehrm! Suamimu sudah jatuh miskin ya, Ra? Sampai-sampai harus mengungsi di rumah mertuanya. Kok mau-maunya punya suami mental gembus. Gengsi dong! Biasa tinggal di rumah yang katanya mirip sultan, sekarang jatuh pamor karena tinggal di rumah yang mau roboh," cibir seorang wanita paruh baya.Lemes banget lidahnya. Untung dia wanita. Kalau tidak sudah remas mulutnya. Sayangnya pantang bagiku melawan seseorang yang bukan tandingan."Siapa sih dia?" tanyaku pada istri."Namanya Bu Marni. Sudahlah, Mas. Jangan diambil hati. Memang mulutnya dari dulu sudah seperti payung somplak."Aku dan istriku terus berjalan. Sesekali menjawab sapaan warga."Eh, Aira! Apa suamimu mandul? Kuperhatikan sampai sekarang
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

ATM NGGAK LAKU

"Ingat, Mas! Masakan ibu nggak semua metik di kebun. Kalau beras memang Ibu punya banyak."Rolade yang kutelan berhenti di kerongkongan. Baru saja ingin menikmati hidup, Aira sudah membahas uang belanja."Iya. Tenang saja. Kita nanti belanja."Aira mengulas senyum. Senyum yang jarang kulihat sewaktu tinggal di rumah yang telah hangus terbakar. Cuma karena satu kali tanda tangan bisa merubah pengeluaranku."Di mana tempat belanja kebutuhan dapur?" tanyaku sembari menyeruput kopi."Di warung, Mas! Kalau ke pasar jauh.""Ya sudah, ayo! Tanyakan pada ibu mau beli apa saja. Catat di aplikasi catatan di ponselmu!" titahku.Aira masuk ke dalam dan menit kemudian keluar.Kami pergi ke warung yang berada di ujung kampung. Aku pernah melihat ketika masuk desa ini."Besok aku mau membeli sepeda motor. Aku nggak bisa jalan seperti ini terus. Genap sebulan di sini aku bisa gosong, kaki bengkak-bengkak," gerutuku. Sepanjang jalan bahkan betisku rasanya gatal akibat butiran-butiran halus dari jemura
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya

PEDAGANG JULID

Aira pun mengambil uang kertas berwarna merah dua lembar dan membayarnya. Ketika mengembalikan uang sisa pun si nyai sama sekali tak tersenyum.***Sampai di rumah Aira membawa belanjaan ke belakang. Lalu kembali dengan buah yang sudah dicuci. Kami pun duduk-duduk kembali di teras. Tidak ada yang bisa kukerjakan pula di kampung ini.Sedangkan ibu mertua sedang menggaruk jemuran padinya dengan kayu berbentuk gerigi di bagian ujungnya. "Bu Aminah, kalau aku jadi Anda, punya menantu yang kerjaannya cuma makan, tidur, makan, tidur, sudah kuusir dia, Bu! Sepet mata melihatnya. Menghabiskan beras saja." Seorang tetangga berteriak dari rumahnya."Sayang, di desa mulutnya pedes-pedes, ya! Aku jadi pengen membeli pintu gerbang agar ketika bersantai tidak ada yang melihat seperti ketika di kota. Mereka pikir aku tidak bekerja kali. Zaman sudah moderen. Semua bisa kukontrol hanya dengan satu genggaman saja."Aira menyeruput es jeruk yang baru saja dia buat, lalu berkata, "Namanya juga di desa,
last updateTerakhir Diperbarui : 2024-10-29
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status