"Sudahlah, Mas! Ayo masuk!" Kutarik tangan Mas Kevin sampai di depan pintu yang terbuka."Eh, ada tamu ...! Mari masuh Aira!" sapa Pak RT mengawali."I-ya, Pak! Assalamualaikum!" ucapku sembari melangkah ke dalam dan duduk di kursi sofa berwarna merah. Laki-laki genit itu menaikkan satu alisnya dan menatapku. "Hallo, kita bertemu lagi. Apa mungkin ini jodoh?" ujarnya tanpa rasa sungkan meski ada suami di sampingku. Tangan Mas Kevin mengepal. Aku menggenggam kuat-kuat agar dia tidak melayangkan pukulan. Suamiku menoleh padaku. Tatapan matanya mengisyaratkan agar aku melepas genggamannya. Tapi aku cuma menggelengkan kepala."Lho, kalian sudah saling mengenal rupanya?" Pak RT mengulas senyum."Nggak!" jawabku dan pria itu serentak."Kebetulan di jalan bertemu. Ternyata tujuan kami sama. Ya sudah, kita bareng saja. Mungkin Mbak-nya mengira aku pengemudi taxi. Karena kulihat dia bersama dengan satu wanita lagi di tepi jalan. Kebetulan aku ada telepon dan menepi tepat di depannya. Dia masu
"Radit ..., Diamlah! Kamu paham adab berbicara kan?" sanggah Pak RT. Pemuda di ruang keluarga Pak RT yang hanya bersekat dinding tembok dengan ruang tamu itu benar-benar membuatku darah tinggi. Sejak awal bertemu aku tidak suka dengan tingkah polahnya yang sok kecakepan. Padahal, kalau aku mau perawaran di klinik kecantikan, kemana-mana juga gantengan diriku.Pemuda itu terus saja menyambar diskusi kami diikuti tawa yang membuat dadaku memanas. Lagaknya keren, datang dari kota. Tapi adabnya minim. Kuberi jempol ke bawah.Sepertinya istriku juga tidak nyaman dengan adanya pria tersebut. Aira lebih sering menundukkan pandangan dari pada mencari perhatian."Jadi, ini bagaimana? Apa masih mau dilanjutkan?" Pak RT menatap aku dan istriku bergantian.Aku menghela napas. Ini pilihan yang sulit. Jika aku tidak memenuhi keinginan istriku, dia pasti mengancam minta cerai. Tapi, jika kuturuti Aira akan semakin besar kepala. Lagi pula aku nggak yakin bisa tinggal di tempat yang jauh dari teman d
Ibu dan Aira menatapku. Mulut mereka melongo. Seolah tidak percaya jika aku makan begitu banyak. Sedangkan ketika di rumah, aku hanya makan tiga sendok karena takut gemuk. Belum lagi sering ditakut-takuti temanku kalau kebanyakan makan nasi bisa diabetes. "Mas, kamu nggak kesurupan kan? Biasanya orang asing yang masuk kampung sini sering pada kerasukan setan."Aira menatapku dengan mata membelalak."Enak saja. Nggaklah. Masakan ibu mertua enak," sahutku sembari mengelus perut yang sudah penuh dan begah."Enak atau karena kelaparan?""Dua-duanya.""Makanya, Mas! Kalau mau makan enak jangan pelit," pungkas Aira. Dia membereskan meja makan bersama Ibu. Sedangkan aku masih duduk di kursi yang sama. Iseng kubuka ponsel dan langsung ke sosial media berwarna hijau. Di beranda langsung kulihat sebuah unggahan Selena.[Maafkan, Mama. Karena Mama, di dalam sana pun kamu sudah kehilangan sosok ayah.]Aku membuka komentar. Teman-temanku ternyata juga nimbrung di sana. Mereka memberi semangat da
Aira langsung tepuk jidad. Maafkan aku, Sayang. Pasti kamu malu."Jangan-jangan kamu bohong. Itu cuma alasan," timpal Radit. Mahluk yang satu itu kenapa seperti menjadi bayangan burukku? "Maksudmu apa?""Bisa saja kamu nafsu pada anak itu.""Eh, tutup mulutmu. Kalau berani lawan aku!" Aku naik pitam dan hampir melayangkan pukulan. Tapi ditahan istriku."Aku percaya pada suamiku. Pak Ustaz, Pak RT, suamiku sejak kecil tidak peenah belajar agama. Mohon bimbingannya Pak Ustaz, agar suami bisa menyempurnakan rumah tangga kami. Supaya dia paham bagaimana menjadi seorang pemimpin dalam rumah tangga," ujar istriku tanpa rasa malu."Isya Allah, Aira! Sekarang kita masuk dan salat berjamaah." Pak Ustaz menatap Aira, kemudian beralih padaku."Tono, Om Kevin adalah suami Tante Aira. Jangan takut padanya ya!" Pak Ustaz mengelus rambut si Tono.Anak itu berlari ke dalam dan menjulurkan lidah. Tanganku semakin gatal untuk menjitaknya. ***Selesai salat berjamaah, aku menghadap Pak Ustaz ditemani
Pulang dari masjid, seperti biasa banyak warga yang berada di pelataran rumahnya. Apa lagi yang mereka kerjakan selain ngrumpi, ngegosip, dan ngomongin orang.Mungkin ini sebabnya mereka nggak berkembang. Selalu mencari-cari kesalahan orang lain dan lupa kalau hidupnya sendiri belum sempurna."Ehrm! Suamimu sudah jatuh miskin ya, Ra? Sampai-sampai harus mengungsi di rumah mertuanya. Kok mau-maunya punya suami mental gembus. Gengsi dong! Biasa tinggal di rumah yang katanya mirip sultan, sekarang jatuh pamor karena tinggal di rumah yang mau roboh," cibir seorang wanita paruh baya.Lemes banget lidahnya. Untung dia wanita. Kalau tidak sudah remas mulutnya. Sayangnya pantang bagiku melawan seseorang yang bukan tandingan."Siapa sih dia?" tanyaku pada istri."Namanya Bu Marni. Sudahlah, Mas. Jangan diambil hati. Memang mulutnya dari dulu sudah seperti payung somplak."Aku dan istriku terus berjalan. Sesekali menjawab sapaan warga."Eh, Aira! Apa suamimu mandul? Kuperhatikan sampai sekarang
"Ingat, Mas! Masakan ibu nggak semua metik di kebun. Kalau beras memang Ibu punya banyak."Rolade yang kutelan berhenti di kerongkongan. Baru saja ingin menikmati hidup, Aira sudah membahas uang belanja."Iya. Tenang saja. Kita nanti belanja."Aira mengulas senyum. Senyum yang jarang kulihat sewaktu tinggal di rumah yang telah hangus terbakar. Cuma karena satu kali tanda tangan bisa merubah pengeluaranku."Di mana tempat belanja kebutuhan dapur?" tanyaku sembari menyeruput kopi."Di warung, Mas! Kalau ke pasar jauh.""Ya sudah, ayo! Tanyakan pada ibu mau beli apa saja. Catat di aplikasi catatan di ponselmu!" titahku.Aira masuk ke dalam dan menit kemudian keluar.Kami pergi ke warung yang berada di ujung kampung. Aku pernah melihat ketika masuk desa ini."Besok aku mau membeli sepeda motor. Aku nggak bisa jalan seperti ini terus. Genap sebulan di sini aku bisa gosong, kaki bengkak-bengkak," gerutuku. Sepanjang jalan bahkan betisku rasanya gatal akibat butiran-butiran halus dari jemura
Aira pun mengambil uang kertas berwarna merah dua lembar dan membayarnya. Ketika mengembalikan uang sisa pun si nyai sama sekali tak tersenyum.***Sampai di rumah Aira membawa belanjaan ke belakang. Lalu kembali dengan buah yang sudah dicuci. Kami pun duduk-duduk kembali di teras. Tidak ada yang bisa kukerjakan pula di kampung ini.Sedangkan ibu mertua sedang menggaruk jemuran padinya dengan kayu berbentuk gerigi di bagian ujungnya. "Bu Aminah, kalau aku jadi Anda, punya menantu yang kerjaannya cuma makan, tidur, makan, tidur, sudah kuusir dia, Bu! Sepet mata melihatnya. Menghabiskan beras saja." Seorang tetangga berteriak dari rumahnya."Sayang, di desa mulutnya pedes-pedes, ya! Aku jadi pengen membeli pintu gerbang agar ketika bersantai tidak ada yang melihat seperti ketika di kota. Mereka pikir aku tidak bekerja kali. Zaman sudah moderen. Semua bisa kukontrol hanya dengan satu genggaman saja."Aira menyeruput es jeruk yang baru saja dia buat, lalu berkata, "Namanya juga di desa,
"Bu Aminah mau cari apa? Sini, sini. Mampir dulu." Seorang perempuan dengan lipstik cetar melambai.Kami pun mengikuti karena memang tidak tahu tempat yang akan dituju. Jika di mall jauh lebih mudah tinggal masuk ke baju dan pilih-pilih sudah pasti bagus semua.Di pasar tradisonal sering kali dihadapkan dengan harga mahal kwalitas murah dan sebagai konsumen harus pandai menawar. "Sama siapa di belakang, Bu?" Perempuan itu menggedikkan alisnya naik turun dan memicingkan mata ke arahku dan istriku."Ini Aira, Ani. Kamu pasti lupa. Karena terakhir ke sini dia masih SMP.""Oalah, Aira!" seru perempuan itu.Sok kenal.Aira pun maju selangkah dan menyalami."Mas!" Istriku mendelik. Aku pun mengikuti gerakan tangannya menyalami wanita cerewet tersebut."Ini suaminya--namanya Kevin.""Oalah, ganteng banget. Dari penampilannya seperti orang kaya. Tapi ...""Tapi apa?" sanggahku ketika dia menjeda."Nggak, nggak jadi.""Ya sudah, Ani. Kami mau jalan lagi."Kaki ibu melangkah lagi. Semakin masu
Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a
POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!
"Mas, jangan keterlaluan. Dia di sini cuma hari ini.""Tapi kenapa? Apa kamu sudah menjadi ibu sambungnya? Apa kamu naksir dengan papanya? Apa?! Apa alasannya?"Aku yakin ini hanya akal-akalan Radit agar bisa dekat dengan istriku."Jaga bicaramu, Mas! Radit cuma menitipkan putrinya sebentar karena dia harus kerja. Lagi pula aku juga jadi nggak kesepian di rumah sendiri, Mas. Anak itu bisa menemaniku. Dia nggak nakal kok.""Nggak nakal bagaimana? Kamu lihat rumahku sudah seperti kapal pecah. Aku nggak suka tempat yang berantakan. Lagi, kenapa kamu harus mau dititipi? Kamu kan bisa menolak. Katanya dia juga kaya. Seharusnya dia bisa mencari pengasuh pribadi.""Rumah anak itu di mana? Biar kuatar dia sekarang. Aku nggak mau waktumu habis untuk anak orang."Aku melangkah menemui balita itu."Rumahmu di mana?""Aku baru pindah ke rumah depan situ Om? Om mau main ke rumahku?" Dia menatapku dengan polos.Sepertinya Radit memang sengaja pindah ke rumah depan agar bisa mendekati istriku. Aku a
Pov Kevin"Ada apa, Vin? Tumben kamu mengajak aku ketemuan di sini."Aku menunduk lesu tanpa menjawab pertanyaan Angga. Sebelumnya aku tidak pernah membahas persoalan pribadi pada sahabat. Aku memilih memendam dan mengurainya sendiri."Angga, kamu tahu diantara teman-teman kita, aku sendiri yang belum memiliki momongan. Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu, kamu sangat bijak dalam memberikan sebuah nasehat. Tidak seperti Zaki--dia cuma mengejek tanpa memberi solusi."Aku mengusap wajah dan menghirup oksigen bebas kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah membujuk Aira untuk mengikuti program bayi tabung. Tapi dia menolak dan memilih mengadopsi anak. Aku dan dia kan tidak mandul. Ngapain mengadopsi anak coba? Malahan, ada yang minta aku harus membiayai kehamilan si ibu hamil. Siapa dia ... istri bukan, saudara juga bukan."Angga mengulas senyum sesaat, kemudian tertawa ngakak mendengar curhatanku."Kenapa nggak sekalian biayai bapak, ibu, atau neneknya?" Kupikir tidak ada yang lucu
"Aku nggak mau mengasuh anak orang.""Kalau nggak mau mengasuh anak orang, asuh saja anak ikan.""Benar! Asuh saja anak ikan." Mas Kevin menatap Kristin dengan tajam."Mm. Maaf. Aku pergi dulu. Selesaikan masalah kalian di rumah." Kristin berlari.Hah.Aku dan Mas Kevin terhenyak menatap kepergian wanita tersebut. Kami saling menatap dan ternyata orang-orang di sekitar juga mengamati perdebatan yang aku dan suamiku lakukan."Ayo pulang!" ***"Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan omonganku? Kalau kita program bayi tabung, kesempatan untuk mempunyai buah hati sangat besar. Rumah jadi lebih ramai."Aku memilih diam dari pada menanggapi setiap ucapan yang keluar dari mulut Mas Kevin ketika sampai rumah. Aku memakluminya karena dia juga tidak tahu apa yang kumau. Dari rumah sakit, di jalan, dan sampai rumah pun tak berhenti membahas tentang program bayi tabung yang sama sekali tak kuminati."Kenapa diam? Kalau kamu membisu, masalah ini tidak akan selesai."Aku duduk di samping r