"Bu Aminah mau cari apa? Sini, sini. Mampir dulu." Seorang perempuan dengan lipstik cetar melambai.Kami pun mengikuti karena memang tidak tahu tempat yang akan dituju. Jika di mall jauh lebih mudah tinggal masuk ke baju dan pilih-pilih sudah pasti bagus semua.Di pasar tradisonal sering kali dihadapkan dengan harga mahal kwalitas murah dan sebagai konsumen harus pandai menawar. "Sama siapa di belakang, Bu?" Perempuan itu menggedikkan alisnya naik turun dan memicingkan mata ke arahku dan istriku."Ini Aira, Ani. Kamu pasti lupa. Karena terakhir ke sini dia masih SMP.""Oalah, Aira!" seru perempuan itu.Sok kenal.Aira pun maju selangkah dan menyalami."Mas!" Istriku mendelik. Aku pun mengikuti gerakan tangannya menyalami wanita cerewet tersebut."Ini suaminya--namanya Kevin.""Oalah, ganteng banget. Dari penampilannya seperti orang kaya. Tapi ...""Tapi apa?" sanggahku ketika dia menjeda."Nggak, nggak jadi.""Ya sudah, Ani. Kami mau jalan lagi."Kaki ibu melangkah lagi. Semakin masu
"Sebutkan, Sayang! Kalau tidak kamu sebutkan aku mana tahu apa keinginanmu?""Toko baju," sahutnya kemudian.CkYang benar saja."Sayang, kamu jangan bercanda.""Aku nggak bercanda. Kalau mau membelikan ibu daster ya sudah, bayar segera. Aku sudah punya." Aku mengusap wajah dengan kasar. Wanita itu maunya apa sih."Ayo, Bu!" Aira menggandeng ibunya."Eh, tunggu sebentar." Aku menggenggam lengan Aira. Dia berhenti, tapi tidak menoleh."Berapa, Mbak. Langsung bungkus saja."Wanita itu pun memasukkan daster ibu ke kantong plastik besar."Sayang, aku kan belum membeli baju!" Aira dan Ibu tak menoleh dan berjalan cepat melewati banyak orang. Sedangkan aku sedikit kepayahan karena berusaha agar kantong plastik tidak menyenggol badan orang.Setelah berdesakan cukup lama, kami pun berhasil keluar dan aku baru sadar jika tadi masuknya melewati pintu belakang.Di luar pasar kepalaku semakin pusing karena mencium aroma bunga mawar dan telaseh.Aku terus mengekori kedua wanita beda generasi itu
"Apa?!"Gluguk. Perutku serasa digoncang di dalam roler coster. Aku berlari ke depan dan memuntahkan bakso yang baru kumakan tadi di selokan.Rasanya lega sekali. Ternyata mereka wanita-wanita jorok.Mau masuk dan ingin menghabiska sisa secuil bakso pun sudah nggak nafsu. Aku pun langsung membayar 4 porsi bakso termasuk punya Melani, yang kuperkirakan totalnya paling hanya mencapai satu lembar warna merah.Tapi, ketika dihitung-hitung oleh penjualnya. Totalnya mencapai lima lembar warna merah."Bapak pasti salah hitung.""Sudah benar kok, Mas. Tadi istrinya yang nambah untuk dibawa pulang.""Belum," sahut Aira. "Apa lagi?""Toko baju.""Ya Tuhan, buat apa beli toko baju?""Agar kalau butuh baju bisa langsung ambil. Nggak perlu berlama-lama cuci mata dengan pemilik atau penjaganya. Aku tahu, matamu ijo kalau melihat cewek yang bening sedikit."Ck. Kugaruk kepala yang tidak gatal. Mau kusalahkan tapi benar. Tidak kusalahkan, dia besar kepala.***Seperti biasa ketika ada mobil melintas
Belum," sahut Aira. "Apa lagi?""Toko baju.""Ya Tuhan, buat apa beli toko baju?""Agar kalau butuh baju bisa langsung ambil. Nggak perlu berlama-lama cuci mata dengan pemilik atau penjaganya. Aku tahu, matamu ijo kalau melihat cewek yang bening sedikit."Ck. Kugaruk kepala yang tidak gatal. Mau kusalahkan tapi benar. Tidak kusalahkan, dia besar kepala.***Seperti biasa ketika ada mobil melintas, ibu-ibu kampung mengejar dan ingin tahu. Begitu dua mobil bak yang mengangkut elektronik dan furniture berhenti di depan runah ibu mertua semua melongo."Walah ..., habis berapa juta sebanyak ini?" Bu Tuti yang biasa keluar masuk rumah Ibu mertua meraba-raba setiap barang yang diturunkan dari mobil."Wah, kasur seperti sultan," celetuk Bu Tuti sembari menepuknya."Ini persis dengan yang ada di rumah Kevin ketika aku di rumahnya," ujar Mbak Ummi.Bu Marni pun menghampiri rumah ibu mertua yang mendadak ramai. "Halah ...! Kalian jangan terlalu memuji. Palingan kredit. Nanti nggak bisa bayar d
"Ini namanya oblok-oblok, Vin. Orang desa kalau masak seadanya. Nggak yang aneh-aneh. Kalau nggak suka makan ayam saja."Ibu mertua membuka tempat di sebelahnya."Kapan motong ayamnya, Bu?""Sebelum subuh."Aku pun meninggalkan sayuran yang isinya campur aduk itu dan menikmati opor ayam andalan mertua.Aira juga duduk di sampingku. Tapi dia makan dengan sayur campur aduk tersebut.Kuperhatikan lahap sekali tanpa menoleh padaku sedikit pun.Usai sarapan, Aira membawa semua piring kotor ke belakang untuk di cuci. Kemudian kembali dengan sapu lidi."Mas, ambil ini!""Nggak, itu pekerjaan wanita," tolakku."Kalau tidak mau mengambil sapu ini, Mas boleh kembali ke kota, bawa semua barang-barang ini. Aku nggak butuh laki-laki sombong dan suka selingkuh.""Ck. Susah ya. Ngomong dengan cewek kampung. Sudah kubilang aku nggak punya niat kembali pada Selena. Tapi kamu tidak dengar juga.""Terserah!"Brak.Sapu lidi dia lempar ke sampingku dan mengenai barang. Wanita nggak punya adab.Remang-rem
Ibu memegang kedua pundakku. Perlahan aku pun berdiri dan memeluknya. "Dasar menantu nakal!" Dalam pelukannya Ibu menepuk-nepuk punggungku sampai dada terpental-pental."Su-sudah, Bu! Aku sesak napas.""Sekalian mukulnya pakai bambu biar lebih terasa!" Aira mengangkat benda serba guna itu dan mengarahkan padaku."Bu Aminah, ayammu sudah memporak-porandakan jagung yang kujemur. Kalau tidak dikandang akan kulempari dengan batu biar sekalian pincang!" Kami menoleh bada sumber suara. Ternyata jagung yang dijemur di jalan adalah milik Bu Marni."Maaf, Bu!" Ibu mertua berlari dan menggiring ayam-ayamnya masuk ke kandang. Kasihan juga. Tapi aku nggak mau direpotkan dengan ayam-ayam tak tahu diri itu."Masuk, nggak? Kalau nggak masuk kugoreng kalian!" hardikku"Orang gila sekali pun tidak akan berkata seperti itu!" seloroh Aira. Dia memang suka sekali menjatuhkan harga diriku.~~~Suara gemuruh, berisik, dari beberapa mobil truk pengangkut pasir, semen, batu, dan bata telah sampai ke inder
Konyol. Tapi itu yang selalu kulakukan ketika capek pada diri sendiri, maka makluk tak kasat mata yang kusalahkan."Mas, ayo buruan! Kuncinya sudah ketemu!" teriak Aira lagi. Aku pun segera keluar dan masuk ke mobil."Ketemu di mana tadi?""Tu, di tempat tisu. Dasar tulalit. Kebanyakan makan tempe."Dia selalu menyindirku. Padahal aku sudah mencoba berubah lebih loyal dari sebelumnya.Kenapa Allah harus menciptakan otak wanita berbeda dengan pri? Sehingga dia selalu mengingat momory-memory yang menyedihkan. Ini semua salah sistem limbik yang membuat wanita lebih ekspresif dan menggambarkan emosi.Kutancap gas dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Bahkan kening Aira sampai kepentok ketika melewati jalan berlubang."Mas, pelan-pelan!" jerit Aira. "Di mana ibu, Ra?""Ibu? Ya Allah. Akhirnya Ibu sudah sadar. Aira sangat khawatir, Bu!"Aku menepikan mobil dan akhirnya bisa bernapas lega."Minum dulu, Bu!" Aira mengambil botol air mineral. "Ibu tadi pingsan. Mas Kevin berusaha membawa
"Lho, kok sudah kembali?" Mbak Ummi memapah ibu ketika turun dari mobil."Iya, Mbak. Ibu nggak apa-apa. Alhamdulillah di jalan Ibu tadi sadar," sahut Aira.Sementara otakku masih sibuk memikirkan wanita yang saat ini entah baik-baik saja atau tidak di villa itu."Bos, semua material sudah diturunkan," seru seorang pria yang kuberi wewenang untuk mengawasi."Oke! Kalian boleh pulang. Upahnya akan kutransfer.""A-syiap, Bos!" Dia letakkan tangan ke keningnya. Kemudian kembali bergabung bersama teman-temannya. Truk satu persatu keluar dari kampung terpencil ini dan menyisakan beberapa tukang dan kulinya. "Kalau mau di bangun, rumahnya pasti dirobohkan, Vin. Kita mau tinggal di mana?" "Ibu tenang saja. Tukangnya sudah ahli. Mereka tidak akan langsung merobohkan seperti di TV. Ibu tenang saja. Ibu juga tidak perlu repot-repot untuk memasak bagi mereka. Karena kerjaan borongan, semua upah sudah dihitung sedemian rupa. Jika mau memberi cukup air putih saja." Aku menepuk pundaknya. Kemudia
Tidak, tidak. Aku dan Ikhsan hanya sahabat. Karena saat kecil aku tidak punya teman wanita. Tidak ada yang mau main denganku karena aku nggak pernah bawa uang jajan. Saat kecil aku tergolong pendiam dan takut dengan anak-anak sebaya. Mereka hanya mau bermain denganku ketika aku membawa rupiah agar bisa diajak jajan ke warung. Jika tidak, aku akan bermain dengan anak culun itu di depan rumah.Tapi tidak mungkin jika Ibu menginginkanku bercerai. Sementara beliau kerap kali menasehatiku agar selalu bersabar dalam ujian rumah tangga. "Aira ...! Sayang ...! Habislah sudah!" Rengekannya seperti anak kecil. Muak aku mendengar."Aira ...!" ulangnya lagi.Karena Mas Kevin terus berteriak, Kuletakkan ponsel di nakas, kumudian keluar menemuinya di depan TV."Ada apa? Kenapa kok seperti belut sawah begitu?"Badannya menggeliat seperti cacing kepanasan sembari menarik ujung rambut lurusnya. Mata terpejam dan kepalanya terus bergerak."Kamu kenapa sih, Mas? Malu dong sama umur, kelakuan seperti a
POV AIRAMas Kevin sungguh keterlaluan. Dia selalu saja menilai sesuatu dari nominal uang. Padahal isi amplop kondangan nggak setiap hari. Orang mengadakan hajatan juga tidak setiap tahun. Dari pada aku datang dan diantar dengan mengisi amplop di bawah lima ribu, aku memilih untuk tidak menghadiri sekalian. Aku masih ingat putri Bu Tuti saat itu memberiku hadiah bad cover dan juga amplop berisi uang lembaran merah. Setidaknya, aku juga menghargai dengan bawaan yang senilai. Apa lagi suamiku bisa dikatakan orang yang berada.Setelah kucopot gamis, sepatu, dan menghapus riasan wajah, aku memilih mengurung diri di kamar dan memberi kabar pada Ibu melalui video call."Aira, kamu pulang kapan?" tanya Ibu di seberang sana. Dia cuma memakai daster biasa, karena biasanya ibu mendapat bagian dapur ketika di tempat hajatan. Tangan dan tenaga ibu yang cekatan membuat h yang mengandungku sembilan bulan itu menjadi langganan masak nasi. Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan berat tersebut
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
"Amira sudah sembuh. Kamu nggak berhak menahan istriku lebih lama lagi di sini.""Tenang. Aku tahu. Untuk yang pertama kalinya aku mengucapkan terima kasih padamu. Meski sebenarnya nggak penting." Radit menyeringai.Aku meremas tangan. Sudah ditolong masih saja sombong."Sayang, ayo pulang!"Dari lantai bawah aku berteriak. Aira pun turun bersama putri kecil pria di hadapanku saat ini."Ayo pulang!" ulangku ketika Aira sudah di depanku."Aku boleh ikut ke rumah Tante kan?" Amira menatap istriku. Aira pun menoleh padaku."Dengar ya anak kecil, Tante Aira bukan ibumu. Kamu nggak berhak untuk dua puluh empat jam menguasainya.""Mas ...!""Kamu diam. Aku tahu Amira masih tiga tahun. Tapi, dia juga harus diberi tahu tentang kebenaran ini.""Tapi, Mas ...!""Aira, aku suamimu. Nggak ada kata tapi. Kita pulang sekarang."Kugandeng tangan Aira dan berpamitan pada Radit. Anak itu memeluk papanya sembari menangis. Meski Radit mencoba membujukku, tapi aku tak akan terkecoh. Ini semua demi keutu
Aira menghela napas, kemudian menundukkan sebagian badannya dan berbisik pada wanita tersebut, "Bahkan untuk menjadi pembantu di rumahku pun aku nggak memgizinkan. Mbak, aku sudah nggak minat dengan bayimu. Jadi, jangan lupa bayar hutangmu."Mata wanita itu membulat sempurna."Ayo, Mas!" Aira menggandeng tanganku."Mbak! Pikirkan dulu, Mbak! Lihatlah bayiku begitu cantik dan lucu."Wanita yang masih terbaring di ranjang itu meneriaki dengan suara yang cukup memekikkan indera pendengaran."Enak saja meminta syarat seperti itu. Dia pikir dia itu siapa? Masak aku harus merawat bayinya, kedua balitanya, dan mengizinkan ibunya tinggal di rumah kita."Sembari terus berjalan ke arah parkiran mobil, Aira terus merancau. "Jika ada wanita lain yang seatap dengan kita, itu artinya awal dari kehancuran rumah tangga. Bisa saja kalau dia khilaf dan kita lengah, dia akan merayu dan menggodamu, Mas."Aku mengulum senyum dan membuang muka. Dada rasanya berbunga-bunga seperti mengalami jatuh cinta ya
"Maaf ya, Sayang ...! Tante nggak bisa bobok di rumah Amira. Tapi, besok Amira boleh main ke sini lagi kok. Sekarang anak cantik pulang sama papanya dulu ya ...!"Aira menoel pipi anak kecil dalam gendongan Radit. Seperti tidak ada rumah lain di kota ini. Sampai-sampai dia membeli hunian yang posisinya berhadapan denganku. Ini bukanlah suatu kebetulan, melainkan kesengajaan. "Kita pulang yuk! Salim dulu sama Tante Aira dan juga Om." Radit menatap putrinya dengan seulas senyun.Gadis kecil bermata sipit itu pun turun dari gendongan papanya dan mencium punggung tangan istriku beserta pipi kanan kirinya.Aku pun mengangkat tangan agar dia tidak terlalu susah ketika menyalamiku. Tapi ternyata Amira hanya menatapku sekilas dengan tatapan nyalang. Aku mengedikkan mata dan mencoba mengambil hatinya. Tapi, mungkin anak itu sudah menganggap diriku ini musuh sehingga memilih berpaling muka sembari bersedekap. Dia membalik badan dan kembali ke gondongan papanya."Lho. Eh. Belum salim sama Om!
"Mas, jangan keterlaluan. Dia di sini cuma hari ini.""Tapi kenapa? Apa kamu sudah menjadi ibu sambungnya? Apa kamu naksir dengan papanya? Apa?! Apa alasannya?"Aku yakin ini hanya akal-akalan Radit agar bisa dekat dengan istriku."Jaga bicaramu, Mas! Radit cuma menitipkan putrinya sebentar karena dia harus kerja. Lagi pula aku juga jadi nggak kesepian di rumah sendiri, Mas. Anak itu bisa menemaniku. Dia nggak nakal kok.""Nggak nakal bagaimana? Kamu lihat rumahku sudah seperti kapal pecah. Aku nggak suka tempat yang berantakan. Lagi, kenapa kamu harus mau dititipi? Kamu kan bisa menolak. Katanya dia juga kaya. Seharusnya dia bisa mencari pengasuh pribadi.""Rumah anak itu di mana? Biar kuatar dia sekarang. Aku nggak mau waktumu habis untuk anak orang."Aku melangkah menemui balita itu."Rumahmu di mana?""Aku baru pindah ke rumah depan situ Om? Om mau main ke rumahku?" Dia menatapku dengan polos.Sepertinya Radit memang sengaja pindah ke rumah depan agar bisa mendekati istriku. Aku a
Pov Kevin"Ada apa, Vin? Tumben kamu mengajak aku ketemuan di sini."Aku menunduk lesu tanpa menjawab pertanyaan Angga. Sebelumnya aku tidak pernah membahas persoalan pribadi pada sahabat. Aku memilih memendam dan mengurainya sendiri."Angga, kamu tahu diantara teman-teman kita, aku sendiri yang belum memiliki momongan. Aku mengajakmu ke sini karena aku tahu, kamu sangat bijak dalam memberikan sebuah nasehat. Tidak seperti Zaki--dia cuma mengejek tanpa memberi solusi."Aku mengusap wajah dan menghirup oksigen bebas kemudian membuangnya perlahan. "Aku sudah membujuk Aira untuk mengikuti program bayi tabung. Tapi dia menolak dan memilih mengadopsi anak. Aku dan dia kan tidak mandul. Ngapain mengadopsi anak coba? Malahan, ada yang minta aku harus membiayai kehamilan si ibu hamil. Siapa dia ... istri bukan, saudara juga bukan."Angga mengulas senyum sesaat, kemudian tertawa ngakak mendengar curhatanku."Kenapa nggak sekalian biayai bapak, ibu, atau neneknya?" Kupikir tidak ada yang lucu
"Aku nggak mau mengasuh anak orang.""Kalau nggak mau mengasuh anak orang, asuh saja anak ikan.""Benar! Asuh saja anak ikan." Mas Kevin menatap Kristin dengan tajam."Mm. Maaf. Aku pergi dulu. Selesaikan masalah kalian di rumah." Kristin berlari.Hah.Aku dan Mas Kevin terhenyak menatap kepergian wanita tersebut. Kami saling menatap dan ternyata orang-orang di sekitar juga mengamati perdebatan yang aku dan suamiku lakukan."Ayo pulang!" ***"Kenapa sih, kamu tidak pernah mau mendengarkan omonganku? Kalau kita program bayi tabung, kesempatan untuk mempunyai buah hati sangat besar. Rumah jadi lebih ramai."Aku memilih diam dari pada menanggapi setiap ucapan yang keluar dari mulut Mas Kevin ketika sampai rumah. Aku memakluminya karena dia juga tidak tahu apa yang kumau. Dari rumah sakit, di jalan, dan sampai rumah pun tak berhenti membahas tentang program bayi tabung yang sama sekali tak kuminati."Kenapa diam? Kalau kamu membisu, masalah ini tidak akan selesai."Aku duduk di samping r