Home / Rumah Tangga / Yang Mandul Itu Kamu, Mas! / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Yang Mandul Itu Kamu, Mas!: Chapter 31 - Chapter 40

185 Chapters

Bab 31. Pelindungku

*** "Dek, kenapa belum makan." Aku tidak menyadari ternyata Mas Riki telah ada di kamarku. Sudah tiga hari dia berada di sini. Mas Arca juga hari ini akan pulang kampung. Mereka rencananya ingin ikut di persidangan besok. "Aku belum lapar, Mas," ujarku pelan. Mataku tetap berfokus pada pemandangan luar jendela. Mas Riki mengusap pelan puncak kepalaku. Dia lalu berkata, "kamu harus semangat, Dek. Kami semua ikutan sedih kalau melihatmu terpuruk seperti ini. Mas tidak rela adik kesayangan Mas jadi begini. Katakan pada Mas, Dek, apa yang bisa mas lakukan untuk membuat kamu ceria seperti dulu lagi." "Aku butuh waktu, Mas. Semuanya terlalu cepat. Aku masih beradaptasi dengan keadaan ini. Besok aku akan bercerai dengan Mas Amar. Aku masih tidak menyangka dengan takdir yang terjadi dalam hidupku." Dadaku kini terasa sesak. Setiap kali mengingat kenangan tentang Mas Amar, rasanya ingin menangis. "Sampai kapan? Sampai kapan kamu begini terus, Dek? Apa dengan kamu terpuruk, rumah t
last updateLast Updated : 2023-05-13
Read more

Bab 32. Tak Ingin Menghadiri Persidangan

Saat Mas Riki sedang merapikan rambutku, terdengar suara mobil memasuki pekarangan rumah. Sepertinya Mas Arca telah tiba. "Sudah, jangan sedih lagi. Mas kamu yang satu lagi sudah datang. Jangan sampai dia pergi mengamuk ke rumah Amar karena lelaki itu telah menghancurkan kehidupan adiknya." Aku berusaha tersenyum mendengar guyonan Mas Riki. Aku memang sangat beruntung memiliki dua kakak lelaki yang sangat menyayangiku. Namun ternyata Allah mengujiku pada urusan percintaan. Aku bukan perempuan beruntung karena tidak mendapatkan lelaki penyayang seperti ayah dan kedua kakakku. Telah terdengar suara ribut di luar kamar. Terdengar dari suaranya, ibu bahagia atas kedatangan Mas Arca. Suara yang sama terdengar seperti saat ibu menyambutku dan Mas Riki. "Arumi, Mas mu sudah datang, Nak!" Suara ibu terdengar sangat besar. Bahkan tetangga sebelah bisa saja mendengar. "Yuk kita keluar. Jangan terlalu betah berada di kamar." Setelah berkata, Mas Riki langsung menarik tanganku dengan pelan
last updateLast Updated : 2023-05-16
Read more

Bab 33 Bertahan Demi Keluarga

"Kehadiranmu di sana sangat penting, Dek. Kamu harus kuat. Dan kita semua harus datang di persidangan besok," ujar Mas Riki sambil menatapku. "Bagaimana kalau aku menangis di persidangan, Mas? Dan dipastikan, aku akan menangis. Bagaimana tidak, aku belum siap dengan perpisahan ini. Namun dipaksa untuk siap." Semua orang terdiam. Aku lagi-lagi kembali menangis. Ya, aku tak ingin datang di persidangan karena rasanya akan sangat sakit. "Semua ini salahku. Dulu, aku memang yang pertama mengatakan pada Mas Amar ingin bercerai. Namun, dalam hati kecil mengharapkan agar Mas Amar tidak mengikuti keinginan ibunya dan bisa berubah. Bukan karena benar-benar ingin bercerai. Mungkin Mas Amar mengira jika aku memang sudah ingin pisah darinya. Makanya mengambil keputusan ini," ujarku sambil menangis tersedu. "Kamu tidak salah, Dek. Berhenti menyalahkan diri sendiri. Amar bukan lelaki bijak dan dewasa. Jika dia lelaki yang bisa berpikir dewasa, seharusnya dia mengerti maksud keinginanmu. Kalau pe
last updateLast Updated : 2023-05-16
Read more

Bab 34. Tidak Bisa Tidur

Detik jam terus berputar. Kini sudah lewat jam tiga dini hari. Aku belum bisa juga memejamkan mata. Memang sekarang aku sangat susah tidur. Tetapi sudah tiga hari ini, aku bisa tidur di jam 1 malam. Ya, aku masih saja memikirkan yang terjadi nanti. Jiwa tidak tenang. Sebenarnya aku belum siap untuk bertemu Mas Amar. Tetapi demi orang tua dan kedua kakak, aku akan berusaha. "Bagaimana nanti jika aku tidak bisa menahan tangis di persidangan? Bagaimana nanti jika keluarga Mas Amar mengejekku karena melihat badanku yang semakin kurus? Bagaimana nanti jika istri kedua Mas Amar merendahkan aku, karena aku tak secantik dirinya? Dan bagaimana nanti jika ibu mertuaku berkata-kata kasar," ujarku lirih di kesunyian malam. Aku diselimuti banyak ketakutan. Apa semua orang yang akan bercerai merasakan hal yang sama? Tetapi di luar sana banyak perempuan yang bahagia ketika keluar dari ruang persidangan. Apa di dunia ini hanya aku perempuan lemah, menangis saat akan menghadapi perceraian? Mung
last updateLast Updated : 2023-05-16
Read more

Bab 35. Jalan Pagi

"Orang di kampung ini tidak ada yang tahu kalau kamu akan bercerai, Nak." Ibu menoleh padaku sejenak. Lalu kembali mengaduk nasi. "Dunia ini sempit, Bu. Kita tidak tahu, mungkin saja ada yang menyebarkan. Apalagi keluarga Mas Amar mulutnya naudzubillah. Mereka pasti sudah lama menyebarkan, sejak surat cerai dikirimkan padaku," ujarku sambil menatap kosong ke depan. Ibu menarik napas lalu berkata, "ya sudah, tidak apa-apa. Kamu di rumah saja dengan ibu." Sepertinya ibu sedang berusaha agar aku tidak terpuruk terus. Hanya saja aku masih takut bertemu orang-orang. Aku takut menghadapi pertanyaan memojok dari banyak orang. Bukannya berburuk sangka dengan keadaan, hanya saja waspada agar tak terjadi itu penting. "Dek, yuk temani mas jalan pagi. Mas mau olahraga," ujar Mas Arca yang kini telah rapi dengan pakaian olahraganya. Baju yang dia pakai itu baju lama. Ternyata masih saja pas di badannya. "Nggak ahh. Aku di rumah saja, Mas. Semalam aku tidak bisa tidur. Mana bisa olahraga." Ma
last updateLast Updated : 2023-05-16
Read more

Bab 36. Berusaha Bangkit

Aku terdiam cukup lama. Ya, aku sangat tidak ingin ayah dan ibu jatuh sakit. Apalagi karena memikirkan aku. Hanya saja saat ini aku sungguh membutuhkan waktu untuk bisa tertawa dan bahagia seperti dulu. Di dunia ini mana ada sih orang yang bisa tetap tertawa bahagia saat sedang dilanda masalah? Aku rasa hanya orang gila yang melakukan itu. "Mas mengerti, Dek. Semua ini pasti sangat berat untuk kamu lewati. Hanya saja kalau kamu tidak pernah mencoba untuk bangkit, kapan kamu bisa. Untuk bisa kembali semangat, kamu perlu mencoba. Dan selagi Mas masih di sini, mas ingin membantumu. Kamu boleh sedih, tetapi jangan berlarut dalam kesedihan. Itu sama saja kamu tidak setuju dengan takdir yang Allah buat untuk kamu." Aku menoleh, melihat Mas Arca. Bibir tergerak untuk berucap, "kenapa Allah mentakdirkan aku berjodoh dengan Mas Amar, jika pada akhirnya kami harus di pisahkan. Aku hamba yang terlalu banyak berbuat dosa ya, makanya Allah memberikan ujian yang sangat berat? Allah tidak sayang
last updateLast Updated : 2023-05-16
Read more

Bab 37. Ingin Terlihat Cantik

"MasyaAllah, Nak. Kamu sudah pulang. Bagaimana jalan paginya?" ujar ibu dengan raut bahagia. "Ya, biasa saja. Kami ke taman dekat kantor desa, Bu … Aku sudah lapar, Bu." "Iya, Nak. Panggil kedua masmu dan ayah. Ini ibu lagi menyendok." Aku mengikuti perintah ibu, memanggil semua orang untuk makan. Ayah dan Mas Riki nampak heran melihatku, namun mereka juga terlihat bahagia. Kini kami semua berkumpul di ruang makan. Ibu sangat sibuk. Mengambil semua keperluan kami dan menyendokkan makanan kepiring kami masing-masing. Ibu terlihat sangat antusias. Aku sudah melakukan hal yang salah. Berfokus pada orang-orang yang membenciku, padahal orang yang menyayangiku yang terluka. Benar kata Mas Arca, mulai hari ini aku harus memaksa diri untuk bangkit. "Setelah makan kamu harus mandi, Arumi. Intinya kamu harus terlihat cantik," ujar ibu saat hening. "Iya, Bu. Tapi boleh nggak, aku pinjam uang ibu. Ada yang ingin aku beli. Tetapi aku nggak punya uang," ujarku setelah makan. Aku sengaja
last updateLast Updated : 2023-05-16
Read more

Bab 38. Menuju Pengadilan

Setelah tiba di rumah, aku langsung menuju ke kamar. Aku menaruh belanjaan di atas meja rias. "Aku tinggal di sini sudah lebih dari sebulan, kenapa baru lihat kalau meja riasku sudah berdebu," lirihku sambil melihat debu yang ada di tangan. Biasanya ibu akan masuk untuk membersihkan. Tetapi karena aku ada di rumah, mungkin ibu mengira jika aku pasti akan membersihkan kamar sendiri. Apalagi ibu tahu jika aku tidak suka kotor. Aku pun mengambil tisu yang tadi dibeli di minimarket. Tangan kini mulai membersihkan meja menggunakan tisu. Mata melihat jam di dinding, sudah pukul delapan lewat lima menit. Aku harus segera mandi. Satu jam aku merias diri di depan cermin, kini sudah selesai. Ternyata kemampuanku bermake-up belum hilang. Meskipun hasilnya tidak seperti delapan tahun yang lalu, tetapi untuk tampilan make up seadanya, aku rasa segini sudah cukup. Selama menikah dengan Mas Amar, aku tak pernah bermake-up. Jangankan memakai make up, skincare saja aku tidak punya. Aku masih
last updateLast Updated : 2023-05-18
Read more

Bab 39. Pertemuan dengan Istri Kedua 

"Iya, Mas Riki ngomong begitu karena aku adik mas. Tapi pasti nanti mas akan menarik semua ucapan saat melihat perempuan itu." Aku berkata dengan nada yang tak kalah tinggi dengan Mas Riki. "Tidak mungkin lah, Dek. Mas sudah punya istri. Ngapain takjub dengan perempuan lain." Aku tidak berkata lagi. Hati kecilku merasa kagum pada Mas Riki. Ya, dia lelaki yang sangat menjaga jarak dengan perempuan. Meskipun Mas Riki bukan lelaki yang begitu paham agama, namun dia tahu batasan untuk berdekatan dengan perempuan. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, kini kami telah tiba di kantor pengadilan agama. Kami pun masuk dan menunggu di tempat duduk yang berada di depan ruang sidang satu. Mataku menoleh ke sana ke mari, mencari keberadaan Mas Amar. Mungkin dia belum datang. Tapi sekarang sudah jam sepuluh lewat. Kalau dia tidak datang bagaimana? Tepat pukul sepuluh lewat lima puluh lima menit, aku pun melihat Mas Amar. Ternyata dia datang bersama istri barunya. Cemburu! Ya aku mer
last updateLast Updated : 2023-05-18
Read more

Bab 40. Orang Yang Mirip Yuda

Aku langsung mencubit lengan Mas Riki. Tidak boleh dibiarkan. Mas Riki harus diingatkan agar bisa meredam emosi. Bisa bahaya kalau kakak lelakiku ini berbuat masalah di sini. "Setidaknya Lilis lebih baik dari pada adik kamu yang tidak bisa menghargai mertuanya." Bu Lela sepertinya tidak ingin Mas Riki menjelekan perempuan yang telah menjadi menantunya. "Adik aku tidak mungkin bersikap demikian jika kalian memperlakukannya dengan baik." Ya Allah, situasi semakin panas. Bagaimana ini? Aku sepertinya tidak bisa menghentikan Mas Riki. Ayah dan ibu juga nampak panik dengan keadaan Mas Riki. "Atas nama bapak Amar silahkan masuk." Kami semua terfokus pada satu titik suara. Seseorang keluar dari ruang sidang. Mungkin dia ditugaskan untuk memanggil kami dan menyuruh masuk. Aku menarik napas lega. Syukurlah kami sudah di panggil. Tanpa menunggu lama, aku pun berdiri. Ayah, ibu, Mas Riki dan Mas Amar pun berdiri. Kami semua melangkah masuk ke dalam ruangan. Kurang lebih sepuluh menit d
last updateLast Updated : 2023-05-19
Read more
PREV
123456
...
19
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status