Home / Rumah Tangga / Yang Mandul Itu Kamu, Mas! / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Yang Mandul Itu Kamu, Mas!: Chapter 11 - Chapter 20

185 Chapters

Bab 11. Aku Sudah Lelah

Hati Mbak Maya terbuat dari apa sih? Kenapa tidak sadar jika aku menangis karena ucapannya tadi? Dasar perempuan tidak punya hati. Tak lama kemudian, ibu mertuaku juga masuk ke dalam kamar. Kini mereka bertiga - penduduk bumi yang selalu menyakitiku, sudah berkumpul di Kamar utama rumah ini. "Aku tidak ingin bercerai dari istriku, Mbak. Kalau ibu dan Mbak ingin menikahkan aku dengan perempuan lain, silahkan! Tetapi, sampai kapan pun aku tidak akan pernah menceraikan Arumi." Ada perasaan hangat menjalar di hati ketika mendengar perkataan Mas Amar. Untuk pertama kali aku mendengar dia membelaku di depan mereka — ibu mertua dan iparku. Tetapi semuanya sudah terlambat, aku akan tetap ingin cerai. Rasa sakit sudah sangat berat dan sulit untuk disembuhkan. "Tadi istrimu yang meminta untuk cerai. Bukan kami yang suruh. Kalau dia ingin bercerai dari kamu, ya sudah. Lepaskan saja dia, Amar. Kasihan Arumi, dia sudah ingin pisah dengan kamu. Berarti dia tidak mencintai kamu lagi. Tadi dia bi
last updateLast Updated : 2023-01-27
Read more

Bab 12. Tamparan Dipipiku

"Ya Allah, sayang. Kenapa kamu bicara begitu? Apa salah aku ke kamu? Selama ini semua uang bulananmu selalu aku kasih. Aku juga selalu pengertian dan perhatian ke kamu. Kenapa ingin cerai?" Aku masih saja menangis. Bibir hanya bisa diam. Mau bicara apapun, aku yakin Mas Amar tidak akan menyadari kesalahannya. "Dosa loh, sayang, minta cerai ke suami yang sudah memenuhi kewajibannya." "Itu lah sifat buruk Mas, yang tidak pernah Mas sadari. Selalu menjadikan aku pihak yang salah. Apapun yang aku katakan selalu saja salah. Hingga akhirnya aku memilih untuk diam. Tetapi saat aku diam, juga disalahkan. Berhenti menasehatiku tentang dosa, Mas. Karena Mas tidak tahu bagaimana sakitnya aku diperlakukan begini … Aku sudah lelah, Mas. Lebih baik lepaskan saja aku." Aku bicara dengan suara tangis. "Mas pernah sadar tidak, kalau aku kecewa setiap kali harus mengalah? Mas tahu tidak, aku ingin marah setiap kali difitnah oleh ibu, Mbak Mira dan Mbak Maya? Tetapi aku berusaha tahan demi menjaga n
last updateLast Updated : 2023-02-03
Read more

Bab 13. Hari Akad Nikah

*** Aku sedang melihat pantulan diri di cermin. Menatap wajah yang sangat terluka. Meratap takdir yang tidak adil. Aku sudah tidur di kamar ini dari semalam – Kamar yang digunakan sebagai kamar tamu. Karena kamar yang biasa aku tempati dengan Mas Amar sudah dihias menjadi kamar pengantin. Ya, hari ini Mas Amar akan menikah dengan perempuan lain – Perempuan pilihan ibu mertuaku. Rasanya ingin marah. Tetapi itu hanya akan membuang-buang waktu. Percuma, Mas Amar hanya akan mencelaku sebagai perempuan tidak sabar. Jika melakukan itu, Mas Amar hanya akan menceramahi ku dengan kata-kata manisnya yang agamis. Sudahlah, aku telah bosan mendengarnya. Hingga kini aku masih bertahan. Semua karena Mas Amar yang terus merayu dan memohon. Dia selalu berkata jika tidak bisa hidup tanpaku. Mas Amar terlalu mencintaiku dan tak akan pernah mau bercerai. Lagi dan lagi, aku luluh karena perkataannya. Membuatku bimbang dan sulit mengambil keputusan. Tok tok! Suara ketukan pintu menyadarkan aku. Kep
last updateLast Updated : 2023-05-01
Read more

Bab 14. Istri Sholeha?

"Aku akan memakai baju ini. Baguskan, sayang?" Aku tersadar saat mendengar suara Mas Amar. Ternyata kami sudah tiba di kamar yang dulu menjadi tempat kami berbagi kasih. Mata melihat sekeliling. Kamar ini ternyata sudah dihias begitu indah. Di setiap sudut terdapat bunga melati. Semua dinding ditutupi kain putih. Ada perasaan iri, dulu saat pernikahan Mas Amar denganku, kamar pengantin tidak dihias seperti ini. Mungkin kah karena aku bukan menantu idaman mertua? Pasti jelas, itu jawabannya. Sejak tiga hari yang lalu, aku sudah tidak lagi menempati kamar ini. Bahkan semua bajuku pun telah dipindahkan. Rasanya masih tidak percaya, jika kamar ini akan menjadi milik perempuan lain. Aku pernah berbagi kasih di ruangan ini. Normal kan, jika aku tidak rela? Kenapa harus kamar ini yang digunakan sebagai kamar pengantin? Padahal masih ada kamar yang lain. "Sayang, kenapa malah bengong? Coba lihat bajunya. Bagus kan? Ini baju yang dipilihkan oleh calon istriku." Aku hanya menganggukan k
last updateLast Updated : 2023-05-01
Read more

Bab 15. Poligami Itu Berat

"Sana, siap-siap. Pokoknya kamu harus ikut." Mas Amar kembali berkata. Mungkin karena aku hanya diam saja. Apa baiknya aku turuti saja keinginan Mas Amar. Tidak mengapa jika akan merasakan sakit. Setelah pulang dari rumah perempuan itu, aku langsung pulang ke rumah ibu untuk menenangkan diri. Ide yang bagus! "Baik, Mas. Aku siap-siap dulu." "Istri yang pintar. Harus cantik, ya. Hari ini kamu juga akan berkenalan dengan madumu," ujar Mas Amar sambil mengusap puncak kepalaku dan tersenyum. "Iya." Aku langsung berlalu dari dalam kamar. Rasanya sangat sakit mendengar Mas Amar berkata seperti itu. Kenapa bibirnya terlalu gampang berkata? Kenapa tidak pernah memikirkan, jika aku sakit mendengarnya. Apakah hari ini aku akan membuat keputusan besar? Dari kemarin aku masih saja bimbang. Ingin bercerai, tetapi aku masih sangat mencintai Mas Amar. Apakah hari ini kita berdua akan selesai, Mas? Saat kamu mengabulkan ijab pernikahan dengan perempuan itu, apa hubungan kita akan berakhir.
last updateLast Updated : 2023-05-01
Read more

Bab 16. Mengantar Suami Untuk Menikah

Lagi dan lagi aku hanya bisa tersenyum sebagai respon ucapan Tante Lasmi. Aku tidak sehebat yang semua orang kira. Tante Lasmi terlalu berlebihan jika mengagumiku. Mungkin jika sudah terlalu lelah, aku akan berhenti mengancam dan akan langsung bertindak. Terlihat Mas Amar sedang bercerita dengan tetangga sebelah. Wajahnya sangat ceria. Nampak tidak ada rasa bersalah disana. Hati kembali bertanya, apa selama ini Mas Amar tidak mencintaiku? Tetapi katanya, dia sangat mencintaiku. Ya Allah, kini aku ragu terhadap perasaan Mas Amar. Ibu Mertuaku dari tadi sibuk mondar mandir menyapa keluarga. Terlihat di wajahnya, dia sangat bahagia. Pikiran kembali pada kenangan delapan tahun lalu, saat aku menyalami tangan ibu mertua setelah akad nikah. Hanya ada senyum tipis di wajahnya. Sangat berbeda dengan hari ini. Aku jadi penasaran, siapa perempuan yang akan jadi maduku. Seperti apakah dia, hingga ibu mertuaku sangat bahagia seperti ini? Apa dia perempuan yang dulu disukai oleh mertuaku? Kini p
last updateLast Updated : 2023-05-01
Read more

Bab 17. Mengabulkan Ijab Pernikahan Kedua

Tak lama kemudian keluarlah seorang perempuan. Semua mata tertuju padanya. Gaun putih yang menutupi tubuhnya sangat indah. Ya, dia cantik dan terlihat sangat anggun. Pantas saja ibu mertua menjodohkan Mas Amar dengannya. "Cantik, ya. Berbeda jauh dengan Arumi yang kurus." Terdengar bisik-bisik dari orang dibelakangku. Aku kenal siapa pemilik suara ini. Sepupu Mas Amar yang sangat cerewet. Dia dan Mbak Mira sangat dekat. Aku memejamkan mata. Dulu badanku tidak sekurus ini. Setelah menikah, aku bahkan sudah turun 10 kilogram. Bagaimana tidak kurus jika aku harus makan hati setiap hari? "Beruntung sekali Amar mendapatkan Lilis. Dia sangat cantik. Dia juga masih muda. Rahimnya pasti subur." Mbak Susi berkata lagi. "Ibuku sudah dari dulu suka dengan Lilis. Tapi dulu Lilis masih SMA. Masa iya, menikahkan dengan Amar saat masih sekolah. Ternyata Amar meminta untuk menikah dengan perempuan itu. Ibu sebenarnya tidak setuju. Tetapi Amar terus saja memohon karena alasan sudah sangat mencintai
last updateLast Updated : 2023-05-01
Read more

Bab 18. Pulang!

Dua jam perjalanan, mobil bus yang aku tumpangi akhirnya memasuki gerbang Desa Lombir. Sudah dua tahun aku tidak pulang kampung. Ternyata banyak yang telah berubah. Dulu tidak ada gapura yang bertuliskan selamat datang di Desa Lombir. Dulu juga tidak ada taman di dekat kantor desa. Bus kini berhenti tepat di depan rumah. Nampak ibu dan ayah sedang duduk bersantai di teras rumah. Mereka tidak tahu jika aku akan pulang hari ini. Pasti mereka akan kaget saat melihatku. Benar saja, ibu dan ayah hanya mematung saat melihatku turun dari bus. Aku pun melangkah pelan sambil tersenyum. "Arumi! Ya Allah, Nak. Kenapa tidak bilang kalau mau pulang? Kenapa tidak mengabari ibu dan ayah?" teriakan ibu membuat tetangga yang sedang berkumpul, menoleh pada kami. Bisa dimaklumi, suara ibu memang besar. Sambil melangkah, aku tersenyum pada beberapa tetangga yang melihatku. "Assalamualaikum." Aku pun menyalami tangan yang kini sudah mulai menua. Aku juga langsung memeluk. Rasanya sudah sangat lama t
last updateLast Updated : 2023-05-01
Read more

Bab 19. Alasan yang salah

*** "Arumi, yuk makan, Nak." Terdengar ibu sambil mengetuk pintu kamarku diikuti suaranya yang terdengar memenuhi penjuru rumah. Aku yakin tetangga bisa mendengar suara ibu yang cempreng. "Iya, Bu. Aku baru selesai sholat. Tunggu bentar." Aku pun menaruh mukenah ke tempat asalnya lalu bergegas untuk keluar dari dalam kamar. Ternyata Ayah sudah duduk di singgasananya. Kursi yang hanya boleh diduduki oleh ayah. Aku memilih duduk di samping kanan ayah dan ibu di samping kiri. Mata menatap wajah ayah yang sudah mulai menua. Telah nampak garis keriput. Rambut yang dahulu hitam segar, kini telah memutih.Ada rasa sakit yang menjalar di hati. Aku belum bisa memberi cucu di usia ayah yang sudah lebih dari enam puluh tahun. Ayah dan ibu memang tidak pernah mempermasalahkan, karena mereka sudah memiliki cucu dari kedua kakak lelakiku. Tetapi, aku berkecil hati."Kamu ijin ke suami berapa hari pulang ke sini?" tanya ibu dengan suara pelan. Ibu sedang menyendok makanan untuk ditaruh di atas pi
last updateLast Updated : 2023-05-02
Read more

Bab 20. Merasa Sendiri

Aku tidak boleh gugup. Aku harus tetap tenang. Bibir pun membentuk segaris senyum. "Mas Amar ngomong apa ke ayah?" ujarku dengan lembut dan bibir yang masih tersenyum"Dia menanyakan keadaan kamu. Katanya nomormu sudah beberapa hari tidak aktif. Tidak usah berbohong, Nak. Ceritakan ke ayah dan ibu, ada masalah apa." Aku menarik napas. Sepertinya tidak bisa lagi berbohong. Siap tidak siap, aku harus cerita malam ini. Mungkin aku bisa membohongi orang diluar sana tentang keadaanku, tetapi tidak dengan ayah dan ibu. Mereka pasti tahu perubahan yang terjadi pada anaknya. "Aku ingin bercerai dengan Mas Amar. Sepertinya rumah tangga kami tidak bisa lagi dipertahankan," ujarku dengan mata yang telah berkaca. "Ya Allah, Nak. Apa yang sudah terjadi. Bukankah selama ini kalian baik-baik saja." Ibu langsung berdiri dan duduk di kursi yang ada di sampingku. Dada terasa sesak. Rasanya bibir tak mampu untuk berucap. Air mata terus saja berjatuhan. Kini ibu telah memelukku. "Ceritakan semuanya
last updateLast Updated : 2023-05-02
Read more
PREV
123456
...
19
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status