All Chapters of Istri yang Kabur di Malam Pertama: Chapter 101 - Chapter 110

183 Chapters

Bab 56 Cowok Kulkas

"Gimana, Dok?" tanya Ana penasaran. "Maaf..., lain kali kalau badannya demam jangan di pakaikan pakaian tebal dan selimuti. Ana termenung karena merasa bersalah. Ia minim pengetahuan merawat bayi. Sehari-hari hanya memikirkan bagaimana mencari uang untuk bertahan hidup. Juga mencari ayah Aira di ibukota yang luasnya tak terkira. "Kenapa begitu, Dok?" Ana pun tidak malu untuk bertanya supaya lain kali kejadian yang sama tidak terulang. "Awalnya banyak ibu memakaikan jaket alasannya agar anak tidak kedinginan dan segera berkeringat lalu suhu tubuhnya menjadi menurun. Padahal hal tersebut tidak boleh dilakukan, karena bahan yang tebal justru akan mencegah keluarnya panas dari dalam tubuh." Ana mendengarkan seraya menganggukkan kepala. "Alih-alih turun, suhu tubuh bisa saja semakin naik, dan demam anak menjadi lebih tinggi. Sebaiknya ibu memakaikan anak dengan pakaian yang tipis, sehingga suhu panas dalam tubuh dapat dengan mudah keluar dari dalam tubuh," imbuh dokter membuat An
Read more

Bab 57 Sok Kenal

"Ana, Ana. Sudah aku bilang kamu layak mencobanya. Sini aku ajari dandan biar cantik. Jadi pembeli nggak meragukan produk yang kamu tawarkan." Rita menerocos tanpa henti membuat Ana meringis. "Lagian kayak tuh cowok ganteng aja, Mbak." Ana mendecis kesal. "Memangnya kayak mana orangnya?" Rita mengambil satu produk kosmetik dari pouch di tasnya untuk pemula. Ana hanya memperhatikan dengan seksama. "Muka item dingin kayak kulkas. Ishh gemes deh mau maki-maki kok ya pembeli itu raja." Rita tergelak dengan ucapan Ana. Wajah Ana yang ditekuk membuat Rita terpingkal sampai sakit perut. "Aku malah diceramahi udah pakai produknya belum, tahu asal usulnya nggak, promonya hanya beginian? Haduh Mbak pengin jitak kepalanya tahu, nggak?" "Haha, Ana, Ana. Benar kan kata cowok itu. Kamu ikutin aja! Kalau berhasil kan lumayan saran gratis tuh." "Tapi kan kesel juga, kayak nggak ada pembeli lain aja." 
Read more

Bab 58 Tabrakan

"Mbak gimana, sih? Ini mobil mahal, kalau lecet kamu nggak bisa bayar biaya bengkel." Seorang laki-laki muda keluar dari pintu kemudi. Ia berdiri dengan wajah garang di dekat Ana. Mungkin dia adalah sopir mobil mewah yang menabrak Ana. Jantung Ana berdebar, bukan karena rasa sakit akibat badannya membentur tanah. Akan tetapi, ia takut kalau dimarahi pemilik mobil. Akibat menabraknya, bisa jadi mobilnya lecet. Sopirnya saja marahnya kayak gitu, apalagi pemiliknya pasti sudah mencak-mencak "Ough...sakit." "Sengaja ya? Biar dikasih uang berobat?"Ana beristighfar dalam hati. Matanya sudah mengembun. Ternyata begini rasanya diperlakukan semena-mena di ibukota. Kalau di kampung, tetangga akan memarahi habis-habisan orang yang naik mobil karena menabrak. Ini justru korban yang dicaci. Memang Ana yang salah tidak melihat jalan saat menyeberang. Namun, ia berharap dibantu bangun bukannya malah dihina. "Ada apa, Ton?" Sebuah kaca mobil bagian belakang terbuka memperlihatkan laki-laki pa
Read more

Bab 59 Laki-laki itu

"Oh, iya maaf Pak. Tidak apa-apa, saya akan menawarkan ke orang lain." "Maksud saya produk ini mungkin lebih cocok dipakai anak saya." Senyum di wajah Ana terbit kembali, ia berharap produknya dibeli oleh orang ini. "Ini kartu nama saya. Ada alamat yang tertera. Kamu bisa datang ke rumah bertemu anak atau menantu saya. Mungkin saja mereka mau memakainya." "Wah terima kasih banyak, Pak. Saya akan mengunjunginya nanti atau besok." Ana membungkukkan badan seraya mengucap terima kasih, lalu meninggalkan pemilik mobil mewah yang juga adalah direktur kantor pelatihan yang dua hari ini disambangi Ana. Siang hari yang terik, Ana menahan nyeri di lutut saat melangkah pulang ke kontrakan yang masih bisa dijangkau dengan jalan kaki dari kantor pelatihan tadi. "Na, kenapa jalan kamu tertatih begitu?" sapa Mbok Darmi heran. "Keserempet mobil, Mbok." "Astaghfirullah. Trus gimana? Mana yang sakit. Apa mobilnya kabur? Kamu nggak kenapa-napa, kan?" "Satu-satu, Mbok. Aku baik-baik saja
Read more

Bab 60 Ayahnya

Bab 60"Siapa, Pak?!" Sebuah suara bariton terdengar dari sosok laki-laki yang berdiri di teras. "Hah. Bukankah dia...." Ana berbalik memunggungi laki-laki bernama Arga yang dua kali ditawarinya produk. Ia heran kenapa laki-laki itu ada di rumah Pak Ardi."Apa dia kerja di sini juga? Jangan-jangan dia anaknya." Ana bergidik ngeri jika faktanya benar. Motor yang dipakai kemarin sudah menandakan kalau pengendaranya orang kaya. "Maaf, Pak. Saya nggak jadi ketemu Pak Ardi. Saya mau balik saja." "Eh gimana sih, Mbak. Tapi baguslah, disini memang nggak nerima sales," ungkap satpam. "Hei tunggu! Siapa perempuan itu, Pak?" "Sales, Mas." Satpam menjawab asal membuat Arga memicingkan mata ke arah Ana. "Sepertinya saya pernah melihatnya. Hmm, tidak salah lagi. Hei kamu!" Ana tidak menoleh karena merasa Arga tidak memanggilnya. "Hei, kamu budeg ya? Atau pura-pura nggak dengar?" "Saya?" Ana menoleh sambil menunjuk dadanya. Ia sebisa mungkin menahan diri agar tidak terpancing emosi. Dua kal
Read more

Bab 61 Foto itu

Bab 61"Ayah Aira? Foto itu ayah Aira. Bagaimana bisa Mas Sakha ada di foto itu." Ana menutup mulutnya yang ternganga. Hatinya berkecamuk kenapa sampai dirinya terdampar di rumah ayah Aira. Allah mendengar doanya. Dalam setia sujud panjangnya, ia menyerukan keinginan mempertemukan Aira dengan ayahnya agar balita itu mendapat kehidupan yang lebih layak. Apa jadinya kalau besar nanti Aira bersamanya. Untuk makan saja ia kesusahan mendapatkan uang. Bahkan ke rumah sakit saat genting ia masih menimang-nimang biaya periksa. "Ai. Ayahmu ada di sini. Apakah ini takdir Allah yang membuat kita akan mulai terpisah. Aku akan hidup sendiri dan kamu besar bersama keluarga ayahmu." Ana menunduk menahan sesak di dada. Bahkan bulir bening berjatuhan tanpa seizin pemiliknya. "Ai, kenapa aku jadi nggak rela berpisah denganmu, Sayang. Tapi aku takut kamu menderita tinggal bersamaku. Sementara ayahmu kondisinya berlimpah harta." "Na. Ana!" Suara Rahma membuyarkan kegiatan Ana mengguman sendiri. Ia b
Read more

Bab 62 Rewel

Bab 62Sakha meninggalkan Rahma berdua dengan Ana yang masih terpaku. Keduanya mengobrolkan tentang strategi memasarkan produk. "Jadi, nanti kamu hanya menawarkan lewat medsos. Sudah ada grup yang di list ini. Satu-satu kita share produk baru. Jangan lupa setiap komentar kita balas dengan sopan." Ana seolah mendengar penjelasan panjang lebar, padahal pikirannya berselancar ke sana kemari. "Na! Apa kamu sudah paham?" Ana tersentak oleh suara meninggi yang sampai ke telinganya. Fokusnya sudah buyar. Alih-alih mendengarkan langkah-langkah yang disampaikan Rahma, Ana justru memikirkan nasib Aira. Apa tujuan hidupnya akan tetap sama atau justru berbelok setelah bertemu Sakha "Maaf, Mbak. Perasaan saya kok nggak enak ya. Saya kepikiran Aira di rumah. Tadi sempat anget." "Aira siapa? Anakmu?" Ana mengangguk dengan seulas senyum. "Kamu sudah punya anak? Umur berapa? Kenapa tadi nggak diajak saja? Saya bisa berkenalan dengan anak kamu." Binar yang terlukis di wajah Rahma membuat Ana
Read more

Bab 63 Bertahanlah

Bab 63"Mas. Kasian anaknya sakit." Rahma masih mendesaknya. Traumanya terhadap anak balita menyeruak kembali. "Gimana kalau terjadi apa-apa pada anaknya, Mas. Seperti anak ki..." "Stt, mereka bukan keluarga kita, Sayang. Sudah biarkan saja dia naik taksi sendiri. Aku capek, mau rebahan dulu." Rahma sedikit kecewa, tetapi tidak patah arang. Ia akan meminta bantuan Arga atau kalau perlu satpam rumah. Sementara itu, Ana yang tak sengaja mendengar perdebatan suami istri di kamar yang pintunya masih terbuka sedikit, hanya mematung di luar kamar. "Mas Sakha sungguh tidak peduli Aira. Dia begitu membenci anak dan istrinya, kah?" Menepuk-nepuk berulang dadanya, Aira tidak bisa menahan emosi yang menyesakkan dada. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Memilih ke luar ke teras, Ana tidak mau penghuni rumah tahu kalau dia menangis. "Hei, Mbak mau kemana? Seenaknya keluar masuk rumah orang. Nggak tahu sopan santun ya?" Ana menulikan pendengarannya. Keinginannya hanya satu menjauh dari
Read more

Bab 64 Rumah Sakit

Bab 64Begitu mobil pajero sampai pelataran rumah sakit, Ana meminta diturunkan. Akhirnya Rahma menemaninya, sedangkan Arga memarkirkan mobilnya. "Hati-hati, Na!" tegur Rahma saat Ana berjalan tanpa mempedulikan sekitar. Bahkan ia hampir beberapa kali menabrak petugas yang sedang mendorong brankar. "Mbak, ada pasien balita bernama Aira Kus..." Ucapan Ana terjeda karena ia tersadar siapa yang ada di sampingnya. "Aira Kusuma, Mbak." Ana berucap lirih saat melihat Rahma sedang mencari-cari adik iparnya. Arga sempat berjanji akan menyusul mereka. Akan tetapi, yang dicari belum nampak batang hidungnya. "Oh, balita bernama Aira baru diperiksa dokter di dalam." "Ana!" Sebuah seruan membuat Ana menoleh. "Mbak Rita. Gimana Aira?" Ana memeluk erat teman kosnya yang baru saja keluar dari ruang periksa. Wajah Rita menandakan ada kabar buruk yang dibawa dari dalam ruangan. "Ayo kita ketemu dokter yang menangani Aira!" "Maaf, Dok. Bagaimana kondisi Aira?" Wajah Ana sudah gusar karena penasa
Read more

Bab 65 Mengusik

Bab 65"Ai, semoga kita segera dapat pendonor untukmu, Sayang. Bertahanlah!" Air mata mengucur deras membuat Ana menutup mulutnya karena takut mengusik tidur Aira. "Na. Semua kuasa Allah. Yakinlah pasti akan datang pertolonganNya." Ana mengangguki ucapa Rita. Ia tidak boleh pasrah. Demi Aira, Ana telah melakukan apa saja. Ia tidak akan berhenti berusaha dan berdoa. Kondisi darurat ini memaksanya untuk meminta tolong pada ayah Aira. "Aku tahu kemana harus mengadu dan meminta tolong, Mbak," celetuk Ana membuat Rita tersenyum. Akhirnya Ana mau bersemangat lagi pikirnya. "Ai, satu kali ini aku akan minta pertolongan ayahmu. Lepas itu, kita pergi menjauh darinya. Ayahmu sudah punya kehidupan sendiri. Kita tidak boleh mengusik kebahagiaannya." "Gimana, Mbak?" Ana beranjak dari duduknya saat mengetahui Rahma dan Arga telah keluar dari ruang pemeriksaan. Ana beberapa menit yang lalu memilih duduk di luar ruang perawatan Aira supaya isakannya tidak mengganggu tidur balita itu. "Maaf, Na.
Read more
PREV
1
...
910111213
...
19
DMCA.com Protection Status