Bab 62Sakha meninggalkan Rahma berdua dengan Ana yang masih terpaku. Keduanya mengobrolkan tentang strategi memasarkan produk. "Jadi, nanti kamu hanya menawarkan lewat medsos. Sudah ada grup yang di list ini. Satu-satu kita share produk baru. Jangan lupa setiap komentar kita balas dengan sopan." Ana seolah mendengar penjelasan panjang lebar, padahal pikirannya berselancar ke sana kemari. "Na! Apa kamu sudah paham?" Ana tersentak oleh suara meninggi yang sampai ke telinganya. Fokusnya sudah buyar. Alih-alih mendengarkan langkah-langkah yang disampaikan Rahma, Ana justru memikirkan nasib Aira. Apa tujuan hidupnya akan tetap sama atau justru berbelok setelah bertemu Sakha "Maaf, Mbak. Perasaan saya kok nggak enak ya. Saya kepikiran Aira di rumah. Tadi sempat anget." "Aira siapa? Anakmu?" Ana mengangguk dengan seulas senyum. "Kamu sudah punya anak? Umur berapa? Kenapa tadi nggak diajak saja? Saya bisa berkenalan dengan anak kamu." Binar yang terlukis di wajah Rahma membuat Ana
Bab 63"Mas. Kasian anaknya sakit." Rahma masih mendesaknya. Traumanya terhadap anak balita menyeruak kembali. "Gimana kalau terjadi apa-apa pada anaknya, Mas. Seperti anak ki..." "Stt, mereka bukan keluarga kita, Sayang. Sudah biarkan saja dia naik taksi sendiri. Aku capek, mau rebahan dulu." Rahma sedikit kecewa, tetapi tidak patah arang. Ia akan meminta bantuan Arga atau kalau perlu satpam rumah. Sementara itu, Ana yang tak sengaja mendengar perdebatan suami istri di kamar yang pintunya masih terbuka sedikit, hanya mematung di luar kamar. "Mas Sakha sungguh tidak peduli Aira. Dia begitu membenci anak dan istrinya, kah?" Menepuk-nepuk berulang dadanya, Aira tidak bisa menahan emosi yang menyesakkan dada. Ia ingin berteriak sekencang-kencangnya. Memilih ke luar ke teras, Ana tidak mau penghuni rumah tahu kalau dia menangis. "Hei, Mbak mau kemana? Seenaknya keluar masuk rumah orang. Nggak tahu sopan santun ya?" Ana menulikan pendengarannya. Keinginannya hanya satu menjauh dari
Bab 64Begitu mobil pajero sampai pelataran rumah sakit, Ana meminta diturunkan. Akhirnya Rahma menemaninya, sedangkan Arga memarkirkan mobilnya. "Hati-hati, Na!" tegur Rahma saat Ana berjalan tanpa mempedulikan sekitar. Bahkan ia hampir beberapa kali menabrak petugas yang sedang mendorong brankar. "Mbak, ada pasien balita bernama Aira Kus..." Ucapan Ana terjeda karena ia tersadar siapa yang ada di sampingnya. "Aira Kusuma, Mbak." Ana berucap lirih saat melihat Rahma sedang mencari-cari adik iparnya. Arga sempat berjanji akan menyusul mereka. Akan tetapi, yang dicari belum nampak batang hidungnya. "Oh, balita bernama Aira baru diperiksa dokter di dalam." "Ana!" Sebuah seruan membuat Ana menoleh. "Mbak Rita. Gimana Aira?" Ana memeluk erat teman kosnya yang baru saja keluar dari ruang periksa. Wajah Rita menandakan ada kabar buruk yang dibawa dari dalam ruangan. "Ayo kita ketemu dokter yang menangani Aira!" "Maaf, Dok. Bagaimana kondisi Aira?" Wajah Ana sudah gusar karena penasa
Bab 65"Ai, semoga kita segera dapat pendonor untukmu, Sayang. Bertahanlah!" Air mata mengucur deras membuat Ana menutup mulutnya karena takut mengusik tidur Aira. "Na. Semua kuasa Allah. Yakinlah pasti akan datang pertolonganNya." Ana mengangguki ucapa Rita. Ia tidak boleh pasrah. Demi Aira, Ana telah melakukan apa saja. Ia tidak akan berhenti berusaha dan berdoa. Kondisi darurat ini memaksanya untuk meminta tolong pada ayah Aira. "Aku tahu kemana harus mengadu dan meminta tolong, Mbak," celetuk Ana membuat Rita tersenyum. Akhirnya Ana mau bersemangat lagi pikirnya. "Ai, satu kali ini aku akan minta pertolongan ayahmu. Lepas itu, kita pergi menjauh darinya. Ayahmu sudah punya kehidupan sendiri. Kita tidak boleh mengusik kebahagiaannya." "Gimana, Mbak?" Ana beranjak dari duduknya saat mengetahui Rahma dan Arga telah keluar dari ruang pemeriksaan. Ana beberapa menit yang lalu memilih duduk di luar ruang perawatan Aira supaya isakannya tidak mengganggu tidur balita itu. "Maaf, Na.
Bab 66"Mas Sakha." Ana masih berucap lirih di belakang ayah Aira. Sambil menggigit bibirnya, Ana tidak peduli bau anyir yang tiba-tiba menyeruak. "Ternyata laki-laki ini tidak lupa ingatan. Apa kemarin memang sengaja tidak mengenalku karena ada Mbak Rahma?" guman Ana. Saat tidak ada suara lagi, Sakha berbalik menghadap wanita yang sedang menunduk di depannya. "Kamu mau saya mendonorkan darah untuk anak itu? Apa keuntungannya bagiku? Sebaiknya kamu menjauh dari keluargaku!" "Mas, satu kali ini saja. Saya minta tolong Mas Sakha menyelamatkan Aira. Anak itu darah daging Mas Sakha. Setelah Aira pulih, kami akan pergi meninggalkan Jakarta." "Tidak mungkin! Bisa saja itu anak dari benih laki-laki lain. Bagaimana kamu membuktikannya Aira itu anakku? Jangan-jangan kamu mau memerasku karena tahu aku orang kaya? Kalau kamu ke sini bersama kakakmu mungkin aku sedikit percaya." Sakha sudah mengganti ucapan formalitasnya. Memang tidak mungkin Aira membawa kakaknya--Ratih ke Jakarta mengingat
"Jangan sungkan! Anggap saja aku kakakmu. Aku tidak punya adik perempuan. Aku juga belum dikaruniai anak. Kalau boleh, Aira bisa kuanggap sebagai putriku." Rahma semakin mengakrabkan diri pada Ana membuat wanita yang baru saja berjanji dengan Sakha menjadi gamang. Bagaimana Ana bisa mengecewakan wanita sebaik Rahma. Iya hanya mengiyakan saja entah nanti apa yang terjadi adalah kehendak Rabbnya. "Iya, Mbak. Aira akan senang punya tante baru selain Mbak Rita. Mbak Rahma pasti mudah akrab dengan Aira karena balita itu menggemaskan. Dia mudah akrab dengan siapa saja." "Oh ya? Aku jadi nggak sabar ingin menggendongnya." Ana tersenyum masam. Rahma berkebalikan dengan Sakha. Apa jadinya wanita ini kalau tahu suaminya adalah ayah Aira. Apakah rasa ingin dekat dengan Aira masih sama." Satu jam berselang, mereka menanti tindakan dokter pada Aira. Begitu Sakha keluar, tangannya sambil melepas gulungan lengan kemejanya, Rahma tersenyum menghampiri. "Terima kasih, Sayang. Kamu sudah menyelam
"Mas! Mas Sakha!" Seruan Arga membuat Sakha terbangun dari lelapnya sebentar. Ia justru mimpi buruk tentang masa lalunya. "Ya, Ga. Ada apa?" Sakha justru balik bertanya. Ia mengucek matanya disusul meraup wajahnya secara kasar. Jantungnya berdegup kencang. Ia menghela napas panjang sambil menoleh mencari istrinya. "Rahma mana?" tanya Sakha karena Arga tak kunjung menjawab tanyanya. "Segitunya yang cinta sama istri. Sampai-sampai tidur sambil duduk pun memimpikannya." Sakha tertegun mendengar penuturan Arga. Ia sendiri tidak sadar karena telah terlelap sebab lelahnya belum sempat beristirahat sepulang dari kantor. Niat hati mau merebahkan badan setelah mandi, justru panggilan sang istri menggemparkannya. Ternyata Rahma sedang mengepranknya supaya mau mendonorkan darah. "Apa benar Aira darah dagingku? Tapi kenapa mamanya bilang mencintai laki-laki lain?" Rasa geram terbesit kembali, tetapi Sakha berusaha menahannya. Ia harus mencari tahu yang sebenarnya. "Mas, Mbak Rahma manggil t
"Eh, Aira sepertinya mau digendong sama kamu, Mas." Rahma menyerahkan Aira ke Sakha yang berdiri mematung. "Sayang, aku nggak bisa gendong bayi. Kamu saja!" elak Sakha. Dia memang belum pernah menggendong bayi. Bahkan ada rasa takut nanti kalau tiba-tiba menangis dan meronta-ronta. "Coba dulu, Mas. Gimana besok kalau punya bayi sendiri. Ayo latihan dulu!" Rahma menyunggingkan senyum. Ia memaksa suaminya duduk di sofa dekat pintu. Lalu ia membawa Aira sambil menggeret tiang infus mendekat. "Gimana?" tanya Sakha gugup. Sejujurnya ia gugup karena Ana mengatakan Aira adalah anaknya. Ia takut ekspresinya ketahuan oleh Rahma. Tadi saja Arga sudah mencurigainya. "Gini aja, dipangku sambil diajak ngomong atau dicium juga boleh." Tidak dipungkiri Sakha melihat binar di wajah Rahma. Depresi yang pernah dirasakan istrinya seolah lenyap dan sembuh hanya karena ada Aira. Mungkin mereka harus memprogram anak kembali meski saran dokter harus menunggu satu tahun dari keguguran sebelumnya. "Alhamd