"Jangan sungkan! Anggap saja aku kakakmu. Aku tidak punya adik perempuan. Aku juga belum dikaruniai anak. Kalau boleh, Aira bisa kuanggap sebagai putriku." Rahma semakin mengakrabkan diri pada Ana membuat wanita yang baru saja berjanji dengan Sakha menjadi gamang. Bagaimana Ana bisa mengecewakan wanita sebaik Rahma. Iya hanya mengiyakan saja entah nanti apa yang terjadi adalah kehendak Rabbnya. "Iya, Mbak. Aira akan senang punya tante baru selain Mbak Rita. Mbak Rahma pasti mudah akrab dengan Aira karena balita itu menggemaskan. Dia mudah akrab dengan siapa saja." "Oh ya? Aku jadi nggak sabar ingin menggendongnya." Ana tersenyum masam. Rahma berkebalikan dengan Sakha. Apa jadinya wanita ini kalau tahu suaminya adalah ayah Aira. Apakah rasa ingin dekat dengan Aira masih sama." Satu jam berselang, mereka menanti tindakan dokter pada Aira. Begitu Sakha keluar, tangannya sambil melepas gulungan lengan kemejanya, Rahma tersenyum menghampiri. "Terima kasih, Sayang. Kamu sudah menyelam
"Mas! Mas Sakha!" Seruan Arga membuat Sakha terbangun dari lelapnya sebentar. Ia justru mimpi buruk tentang masa lalunya. "Ya, Ga. Ada apa?" Sakha justru balik bertanya. Ia mengucek matanya disusul meraup wajahnya secara kasar. Jantungnya berdegup kencang. Ia menghela napas panjang sambil menoleh mencari istrinya. "Rahma mana?" tanya Sakha karena Arga tak kunjung menjawab tanyanya. "Segitunya yang cinta sama istri. Sampai-sampai tidur sambil duduk pun memimpikannya." Sakha tertegun mendengar penuturan Arga. Ia sendiri tidak sadar karena telah terlelap sebab lelahnya belum sempat beristirahat sepulang dari kantor. Niat hati mau merebahkan badan setelah mandi, justru panggilan sang istri menggemparkannya. Ternyata Rahma sedang mengepranknya supaya mau mendonorkan darah. "Apa benar Aira darah dagingku? Tapi kenapa mamanya bilang mencintai laki-laki lain?" Rasa geram terbesit kembali, tetapi Sakha berusaha menahannya. Ia harus mencari tahu yang sebenarnya. "Mas, Mbak Rahma manggil t
"Eh, Aira sepertinya mau digendong sama kamu, Mas." Rahma menyerahkan Aira ke Sakha yang berdiri mematung. "Sayang, aku nggak bisa gendong bayi. Kamu saja!" elak Sakha. Dia memang belum pernah menggendong bayi. Bahkan ada rasa takut nanti kalau tiba-tiba menangis dan meronta-ronta. "Coba dulu, Mas. Gimana besok kalau punya bayi sendiri. Ayo latihan dulu!" Rahma menyunggingkan senyum. Ia memaksa suaminya duduk di sofa dekat pintu. Lalu ia membawa Aira sambil menggeret tiang infus mendekat. "Gimana?" tanya Sakha gugup. Sejujurnya ia gugup karena Ana mengatakan Aira adalah anaknya. Ia takut ekspresinya ketahuan oleh Rahma. Tadi saja Arga sudah mencurigainya. "Gini aja, dipangku sambil diajak ngomong atau dicium juga boleh." Tidak dipungkiri Sakha melihat binar di wajah Rahma. Depresi yang pernah dirasakan istrinya seolah lenyap dan sembuh hanya karena ada Aira. Mungkin mereka harus memprogram anak kembali meski saran dokter harus menunggu satu tahun dari keguguran sebelumnya. "Alhamd
"Apa kamu sudah mengenal Mas Sakha sebelumnya, Na?" Uhuk, uhuk. Ana mengibas-ngibaskan tangannya berharap Arga paham maksudnya kalau ia tidak mengenal Sakha. Ia tidak mau kecurigaan Arga berujung kemarahan yang ditujukan padanya. "Minum dulu! Maaf membuatmu tersedak." Arga memandang heran wajah Ana yang gusar. "Lagian kamu gimana sih Mas tanyanya begitu. Jelas aku baru ketemu Mas Sakha sekarang." "Iya, maaf. Aku kira kamu sudah kenal duluan. Mas Sakha tuh punya masa lalu yang rumit." Ana terkesiap mendengarnya. Seketika jantungnya berdebar kencang. Ia menganggap Arga sudah mulai menebak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Ia harus bisa menghindari kecurigaan Arga. "Rumit gimana?" Ana mencoba mengorek informasi dari Arga dengan wajah polos seolah tidak tahu apa-apa. "Dia pernah terluka karena diputusin wanita. Katanya wanita itu mencintai laki-laki lain. Padahal Mas Sakha tulus banget sama wanita itu. Bahkan dia sudah menikah siri tanpa kehadiran keluarga kami. Lalu papa dan ma
"Jadi, kamu fokus kerja dengan Mabk Rahma. Nanti biar aku atau Mas Sakha bantu cari ayah Aira." "Hah, nggak usah, Mas. Biarkan saja takdir yang akan mempertemukan mereka. Yang penting aku mau fokus menjadi reseller hebat dan sukses seperti Mbak Rahma." "Baguslah. Super mom," ucap Arga sambil mengangkat dua jempolnya. Ana tergelak melihat tingkah lucu Arga. Sejenak ia terhibur oleh ulah laki-laki yang mengenakan kaos kasual itu. Mereka tertawa bersama lalu kembali ke ruang rawat Aira dengan tak lupa membawa bungkusan makan untuk Rahma dan Sakha."Eh, kalian sudah selesai makan?" tanya Rahma yang melihat Ana dan iparnya masuk bareng. Rahma baru saja menidurkan Aira yang terlelap kembali setelah setelah minum susu. "Iya, Mbak. Ini saya bawakan makan buat Mbak Rahma sama Mas Sakha." Ana menyerahkan bungkusan berisi makanan. Ia meminta Rahma makan bersama suaminya. "Ayo, Mas temani aku makan sudah lapar banget nih," rengek Rahma dengan suara manja membuat Ana menatap keduanya dengan w
Bab 72Empat hari setelah dirawat di rumah sakit, Aira diperbolehkan pulang. Ana merasa lega sekali karena dia sudah bisa mulai kerja kembali besok. Ia tidak bisa membayangkan nasib ke depan jika tidak memulai pekerjaannya. Bahkan ia menghilangkan rasa malu dengan meminta izin Rahma untuk dibayar di awal lebih dulu. Rahma wanita berhati lembut itu justru dengan semangat mengiyakan permintaan Ana. Entah kenapa ia langsung saja percaya pada Ana. Bahkan hari ini kepulangan Aira pun Rahma yang jemput bersama Arga. "Mbak Rahma makasih banyak ya, malah merepotkan nih," ucap Ana malu-malu. "Santai saja, Na. Tadinya malah mau minta tolong Mas Sakha, tapi dia masih harus di kantor," balas Rahma sambil melihat Ana yang duduk di kursi belakang dari spion atas. Di sampingnya Arga fokus menyetir membelah jalanan ibukota yang ramai di siang hari jam istirahat. "Ini ke arah mana, Na?" Arga meminta petunjuk karena belum tahu tempat tinggap Ana. "Lurus terus, Mas. Pertigaan hotel itu ambil kanan.
"Gimana, Mbak?" Arga memandang heran wajah kakak iparnya yang berbinar. Pasti kabar baik, pikirnya. "Beres, Ga. Papa dan mama setuju. Apalagi papa paling semangat malah." "Syukurlah." Arga bisa merasakan perubahan sikap papanya waktu muda. Kata mamanya waktu muda papanya angkuh dan sombong, bahkan sama orang kecil saja tak acuh. Entah kenapa sejak mengetahui musibah yang menimpa menantunya, papanya langsung berubah drastis. Setiap Arga bertanya alasannya, sang papa hanya menjawab ingin menebus kesalahan di masa lalu. Arga masih belum ngerti misteri itu. Apa karena papanya pernah menentang hubungan kakaknya dengan istri sirinya. Entahlah. "Na. Kamu sama Aira untuk sementara tinggal di rumahku dulu ya. Kamu bisa fokus kerja tanpa khawatir dengan Aira." Ana melebarkan matanya. Ia jelas terkejut bukan main. Tidak pernah disangka Ana akan tinggal dengan kekuarga ayah Aira. "Giman, Na? Kamu mau, kan?" "Maaf, Mbak. Ini terlalu berlebihan. Saya bisa kok besok berangkat kerja. Ada Mbok Da
Bab 74"Astaga, jangan fitnah. Nanti tuan dan nyonya tahu kamu bisa dipecat." "Cih, kita tunggu saja. Kalau ada laki-laki yang tak ada angin tak ada hujan membawa wanita ke rumah pasti ada udang dibalik batu." ART itu menyeringai tipis atas kecurigaannya. Selesai bercengkerama dengan keluarga besar Sakha, Ana beristirahat di kamar tidur tamu. Ia menata barang-barangnya setelah Aira terlelap. Pintu kamar masih ia biarkan terbuka karena belum terbiasa tinggal di situ. Suara deru mobil memasuki pelataran rumah. Sakha baru saja pulang dari kantor. Dia mengucap salam lalu masuk ke rumah. Suasana sepi seperti biasa jam santai orang tuanya pasti duduk mengobrol di belakang. Saat melintasi kamar tidur tamu netranya memicing ke arah pintu yang terbuka. Tidak biasanya pintu itu terbuka, apa ada tamu keluarganya jauh yang datang menginap. Dia mendekati ambang pintu bersamaan dengan Ana yang melangkah ingi keluar kamar. "Astaghfirullah, Mas Sakha." "Ana?!" Sakha justru melangkah masuk ke kam