jangan lupa jejak love dan komentar ya. makasih.
Bab 74"Astaga, jangan fitnah. Nanti tuan dan nyonya tahu kamu bisa dipecat." "Cih, kita tunggu saja. Kalau ada laki-laki yang tak ada angin tak ada hujan membawa wanita ke rumah pasti ada udang dibalik batu." ART itu menyeringai tipis atas kecurigaannya. Selesai bercengkerama dengan keluarga besar Sakha, Ana beristirahat di kamar tidur tamu. Ia menata barang-barangnya setelah Aira terlelap. Pintu kamar masih ia biarkan terbuka karena belum terbiasa tinggal di situ. Suara deru mobil memasuki pelataran rumah. Sakha baru saja pulang dari kantor. Dia mengucap salam lalu masuk ke rumah. Suasana sepi seperti biasa jam santai orang tuanya pasti duduk mengobrol di belakang. Saat melintasi kamar tidur tamu netranya memicing ke arah pintu yang terbuka. Tidak biasanya pintu itu terbuka, apa ada tamu keluarganya jauh yang datang menginap. Dia mendekati ambang pintu bersamaan dengan Ana yang melangkah ingi keluar kamar. "Astaghfirullah, Mas Sakha." "Ana?!" Sakha justru melangkah masuk ke kam
"Astaga Mas Sakha, Ana! Kalian benar-benar keterlaluan menghianati Mbak Rahma." Arga memilih diam terlebih dahulu. Ia ingin menyelidiki kebenarannya. Baru sekali ini ia memergoki kakaknya mendekati Ana. Meskipun di dalam Ana pasti bersama Aira, kakaknya tidak pantas masuk kamar itu. "Apa yang mereka berdua lakukan di kamar? Jangan-jangan mereka? Aargh, Mas Sakha kurang aj*r," umpat Arga dalam hati. Arga juga sebisa mungkin menutupi masalah ini dari Rahma supaya kakak iparnya tidak terpuruk kembali jika tahu yang sebenarnya. Menjelang makan malam, Ana mengikuti ajakan Rahma untuk makan di meja bersama keluarga besar Sakha. Ia sudah menidurkan dulu Aira sambil minum susu dari dot. "Mbak, saya makan di kamar aja ya. Nggak enak nih kalau makan bareng." Ana mencoba tawar menawar dengan Rahma. Namun wanita itu tetap kekeh mengenalkan Ana pada keluarga Sakha. "Ayo, santai saja! Papa dan mama orangnya ramah, kok." "Malam om, tante." Ana mencoba menyapa dengan kerendahan hatinya. Ia mera
Bab 76Keesokan harinya Ana sudah mulai bekerja membantu Rahma. Ia sudah selesai menyuapi Aira dan memberi minum susu. Setelah itu, Aira digendong sebentar sudah pulas dan ditidurkan di kasur kecil yang sibawa di ruang keluarga. Di sana sudah ada Gita yang menunggu sambil menonton televisi. Ana mengulas senyum melihat respon baik dan ramah yang ditunjukkan tuan rumah ini. Berbeda dengan ART dan satpam yang kurang menyukai dirinya, Ana tetap berlaku sopan pada mereka. Teringat percakapan semalam, Ana bersyukur tidak dicecar lebih jauh tentang ayah Aira. Ana menjawab kalau ayah Aira bekerja di ibukota dan ia sedang mencarinya. Tidak ada lagi pembicaraan mengenai masalah itu, makan malam pun berlangsung lancar. "Bu, nanti kalau Ai bangun, saya ada di sebelah ya," ucap Ana meminta izin meninggalkan Aira. "Tenang saja, nanti saya panggil kamu, Na. Di sini ada bibi juga yang bisa jagain Aira. Iya kan, Bi?" "Eh, hmm, iya Nyonya." Bibi hanya ngedumel sendiri sambil menatap sinis ke arah
Bab 77"Ini kurang ke sini, proporsi kalimat dan gambar disesuaikan. Warnanya juga dibuat kontras agar lebih menarik. Masak kayak gini aja kamu nggak paham. Anak TK aja tahu warna apa aja yang menarik." Ana mendecis kesal Sakha membandingkannya dengan anak TK. Sepertinya laki-laki itu sengaja membuat dirinya tidak betah bekerja di sini. "Iya, Mas. Nanti saya otak-atik lagi. Terima kasih," ucap Ana penuh penekanan. Sakha hanya mengulas senyum penuh kemenangan karena berhasil membuat Ana kesal. "Benar kan, Mas? Ana pasti bisa kerja dengan baik." "Iya, Sayang. Semoga kerjaanmu semakin ringan dibantu Ana. Aku berangkat dulu ya!Sakha mengecup kembali kening Rahma membuat ana memalingkan muka ke arah layar komputer. "Ishh, bukannya kasih apresiasi biar aku semangat malah meremehkan aku lebih jelek dari anak TK." "Na, kamu kenapa menggerutu begitu?" "Eh enggak, Mbak. Aku berusaha mengkombinasikan warna nih." "Sudah, jangan dimasukkan hati ucapan Mas Sakha. Dia itu baik hati kok. Cuma
Bab 78Ana selesai mandi telah berganti dengan pakaian santai dan sopan. Ia hendak keluar menggantikan Gita momong Aira. Baru beberapa langkah kaki menginjak ruang tamu, ada Sakha yang berjalan bergandengan dengan Rahma. Ana segera menghentikan langkahnya dan menundukkan pandangan. "Aku buatin minum dulu ya, Sayang." Rahma melepaskan tangannya yang mengamit mesra lengan Sakha. Ia lalu mendekati Ana supaya menemani mamanya di depan. "Aira sama mama dan papa di teras, Na." "Iya, Mbak." Rahma berlalu, menyisakan Sakha dan Ana yang saling bersitatap dalam keheningan. Ana melangkah kembali dan menundukkan kepala di depan Sakha. "Bagaimana kerjaanmu hari ini?" tanya Sakha dengan suara datar. "Lancar, Mas." "Syukurlah. Aira gimana?" Ana terkesiap. Ia tidak menyangka Sakha akan menanyakan kabar anaknya. "Baik, Mas. Hari ini tidak rewel." "Kalau sudah sehat betul, sebaiknya kalian kembali ke rumah." Mendengar ucapan Sakha dengan wajahnya yang serius membuat Ana harus menelan ludahnya
Bab 79"Nanti malam antar aku belanja bulanan bisa, Mas?" Sakha menyeruput minuman hangat yang membuat tenggorokannya lega. "Tentu, Sayang. Tapi ada imbalannya," celetuk Sakha dengan kerlingan mata kanannya. "Apa?" tanya Rahma penasaran. "Aargh! Mas Sakha!" "Kasih imbalannya dulu ya." Sakha sudah membuat istrinya seolah terbang ke awan. Sentuhan penuh cinta menemani keduanya meneguk nikmatnya dunia. "Mas mandi dulu!" protes Rahma. Namun laki-laki itu tidak mengindahkan omongannya. "Habis ini pasti mandi." Gelak tawa keluar dari mulut Sakha yang melihat istrinya kesal dan mengerucutkan bibir. Tidak ada penolakan hingga akhirnya keduanya larut dalam aktivitas yang menjadi candu. Sakha memberikan sebuah kecupan di kening istrinya sebagai tanda kasih sayangnya yang mendalam. Malam tiba, sehabis salat Isya Rahma sudah bersiap dengan gamis marun kesukaannya dipadukan jilbab floral. Sementara itu Ana juga mengenakan dress lengan panjang selutut. Rambutnya sebahu dibiarkan tergerai.
Bab 80Kepalan tangan Sakha menonjok meja hingga mengeluarkan darah segar. "Mas Sakha!"pekik Ana ngilu. "Lalu gimana kondisi Ratih, Na?' Mendapat pertanyaan itu, Ana hanya bergeming. Pikirannya terbang mengingat keadaan menyedihkan kakaknya. Tak terasa air mata luruh membasahi pipinya. Ia menangis tersedu hingga membuat Sakha kebingungan. Sakha jelas tidak tahu apa-apa, karena mengira Ratih sudah bahagia dengan laki-laki lain. "Tenanglah, Na. Ceritakan padaku, apa yang terjadi dengan kakakmu?' Menunggu beberapa menit, Ana kembali tenang setelah minum segelas air yang disodorkan Sakha. “Mbak Ratih depresi, Mas. Dia sempat dirawat di rumah sakit, tapi aku nggak punya biaya cukup. Aku berusaha mengumpulkan biaya supaya Mbak Ratih bisa dirawat rutin. Surat keterangan tidak mampu bisa kami pakai tapi pengobatannya tidak bisa rutin. Sekarang kondisinya hanya suka meracau nggak jelas. Mbak Ratih selalu bilang minta maaf karena telah menyakiti. Entah siapa yang disakiti.” Kini gantian S
Bab 81“Arga! Kenapa kamu bisa ada di sini?”tanya Ana gugup. Ia takut Arga melihat dirinya bersama Sakha. “Kebetulan tadi lewat trus lihat kamu jalan kaki. Ayo naik, aku antar.” “Tidak usah, terima kasih, Ga.” Ana mencoba menolak. Ia ingin segera menghindar dari laki-laki yang pernah mencurigainya itu. “AKu tidak terima penolakan. Buruan naik, atau perlu aku gendong?” Ancaman Arga berhasil juga. Dengan berdecak kesal, Ana terpaksa menuruti pintanya. Arga melajukan motornya bukan ke arah kontrakan Ana, tetapi justru masuk ke sebuah restoran besar. Ana heran tetapi tidak bisa menghentikan Arga yang seenak jidat memaksanya. “Ga, kita mau kemana?” tanya Ana heran seraya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru restoran. Baru kali ini, Ana mengunjungi restoran tergolong mewah ini. Ia mengekori saja Langkah Arga. Laki—laki itu memesan ruang VIP membuat nyali Ana semakin menciut. “Nggak usah taku, ayo masuk!’ “Tapi, Ga.” Ana ragu melangkah masuk ke sebuah ruangan kosong dengan pintu b