Selamat membaca. tinggalkan jejak love dan komemtar ya. makasih sudah mampir baca.🥰
“Apa katamu?! Jadi benar Aira anak Mas Sakha?” “Ya, Aira anak Mas Sakha.” Ana beranjak dari duduknya dan berniat pergi meninggalkan Arga yang masih mematung di tempat. Aura kemarahan jelas terlukis di wajah laki-laki itu. Pun tangannya turut terkepal di atas meja. "Tunggu!" teriak Arga. Laki-laki itu geram hingga tangannya meraih kasar lengan Ana. "Aargh, sakit Ga!" pekik Ana yang lengannya sudah dicengkeram erat oleh tangan Arga. "Lebih sakit mana, ini dengan yang akan dirasakan Mbak Rahma kalau suaminya bersama wanita lain?!" terang Arga dengan tatapan tajam hingga terasa menusuk jantung Ana. Rembesan titik bening pun mulai mengumpul di pelupuk mata. "Siapa sebenarnya di sini yang sakit? Mbak Rahma? Bagaimana dengan Mbak Ratih?" Dada Ana meletup-letup ingin meneriakkan kalimat yang hanya tertahan dihati. Ia tidak ingin menjadikan kakaknya yang depresi sebagai kambing hitam. Biarlah yang diketahui Arga dirinya yang ingin mendekati Sakha. "Aira butuh ayah, bukan? Jangan dekati M
"Mbok Darmi mana, Mbak?" Ana melongok ke pintu kamarnya tetapi tertutup. "Kamu mau masuk? Ini kuncinya dititipin aku. Mbok Darmi mulai jualan keliling sejak kamu dan Aira tinggal di rumah orang kaya itu." "Astaghfirullah, Mbak. Mbok Darmi jualan keliling lagi." Aira yang sempat beranjak kini terduduk kembali dengan kedua tangan meraup wajah. Tak lama kemudian terdengar isakan hingga membuat Rita terkejut. "Kamu kenapa, Na?" Ana tak menjawab justru semakin tergugu. Dadanya sesak, bukan hanya karena kasian dengan wanita tua yang dianggapnya sebagai keluarga seolah neneknya sendiri. Akan tetapi, Ana sedih karena hanya dengan Mbok Darmi ia bisa berkeluh kesah. Ia biasa mendapat pelukan dari wanita itu disaat kondisi terpuruk seperti saat ini. Rita duduk di samping Ana sambil mengusap punggungnya. "Apa kamu ada masalah? Aku siap mendengarkan, Na. Atau kamu butuh bantuan apa saja, aku juga siap bantu." Ana membuka kedua tangannya yang menutupi wajah. Reflek ia menghambur ke pelukan R
Bab 84"Ingat, Na. Jangan lama-lama tinggal di sini! Karena keberadaanmu hanya menjadi duri bagi Mbak Rahma." Deg, Ana merasakan nyeri di dadanya semakin menjadi bagai teriris sembilu. Ia justru memancing amarah Arga dengan sebuah rasa percaya diri yang tinggi. "Aku bilang tidak ya tidak. Demi Aira, aku bisa melakukan apa saja." "Aargh!" Arga menarik Ana ke dalam pelukannya hingga perempuan itu meronta. "Lepasin!" "Kamu kurang belaian, huh? Aku bisa memberi apa yang kamu butuhkan. Jangan ganggu Mas Sakha!" Ana dengan sekuat tenaga mendorong dada Arga. Ia menoleh ke sana kemari tidak ingin ada ART yang suka julid padanya memergoki posisi tadi. Gegas Ana lari menuju kamarnya lalu masuk dan menutup pintunya rapat. Sementara itu, Arga tersenyum penuh kemenangan setelah mampu memberi ancaman pada Ana. Ia berniat ke dapur untuk mengambil minuman di kulkas. "Mas Arga. Mas." Arga menoleh mencari sumber suara, ternyata dari arah kamar ART. "Ada apa, Bi?" "Mas Arga ngapain peluk-pel
"Eh ngomong-ngomong, tumben kamu bau wangi, Ga. Kamu ganti parfum ya?" Rahma mencoba mengendus wangi yang sama dengan tadi saat bersama Ana."Hah, enggak. Parfumku masih sama seperti yang Mbak Rahma jual, cuma hari ini aku lupa pakai." Rahma hanya beroh ria, lalu menuju dapur. "Oya, makasih ya Mbak. Cemilannya gratis, kan?" "Iyalah." Rahma duduk di meja makan sambil mencomot kue yang ada di wadah. Terdengar langkah kecil semakin mendekat. "Mbak, Mbak Rahma." Rahma berjengit kaget setelah sebuah ketukan mendarat di pundaknya disertai bisikan di telinga kanan. "Astaghfirullah, Bibi. Ngagetin aja, sih. Bikin aku jantungan." "Sttt, Mbak Rahma tadi tanya-tanya Mas Arga sudah punya pacar atau belum ya?" "Eh, memangnya bibi tahu kalau Arga punya pacar baru?" Rahma memasang wajah berbinar begitu tahu iparnya dekat dengan perempuan. "Itu, Mbak. Tadi bibi lihat Mas Arga pelukan sama perempuan kampung itu." "Hah, perempuan kampung mana?" "Itu lho, yang dikasih kerjaan sama Mbak Rahma."
Bab 86Rahma membiarkan suaminya melanjutkan aksinya, sementara pikirannya berkecamuk saat mengendus kemeja sang suami, sebuah parfum yang sama menguar menusuk hidungnya. "Kenapa Mas Sakha bau parfum yang sama dengan Arga? Baunya juga sama dengan saat aku bersama Ana." Aargh Lamunan Rahma buyar seketika. Suaminya sudah mendominasi hingga keduanya tenggelam dalam kenikmatan dunia yang berujung pahala. Suara dengkuran halus terdengar dari sosok yang tidur di samping Rahma. Ia memandang lekat wajah suaminya selama beberapa menit. Jemarinya mengukir hidung mancung itu. Tanpa diduga, Sakha mengguman tak jelas. Rahma mengamati dengan seksama perilaku tak biasa suaminya. Hampir jarang Sakha mengigau saat tidur bersamanya. Hanya sekali saja waktu sakit dulu, Sakha mengigau kedinginan. Namun kali ini, suara yang muncul samar-samar seperti sebutan nama orang. "Ra....tih," Sakha terlihat gusar dengan mata terpejam. "Mas, bangun Mas! Mas Sakha." "Jangan pergi! Maafkan aku!" Deg. Rahma me
Bab 87***** Keesokan harinya, Ana sudah berpakaian rapi dan menggendong Aira yang juga sudah selesai makan dan mandi. "Na, bisa ikut aku sebentar. Ai, Sayang ikut uti cantik dulu ya." Rahma begitu ceria dengan kehadiran Aira di rumah mertuanya. Ia bahagia bukan hanya karena dirinya yang mengharapkan segera punya anak, tetapi ia bahagia karena bisa membuat mertuanya juga suaminya senang dengan tangis dan tawa bayi mungil itu. Namun, rasa itu tidak terlukis di wajah ART dan juga Arga. Sejak Arga tahu kalau Ana dan Aira masa lalu kakaknya, ia berniat mengusir keduanya supaya tidak mengganggu kehidupan rumah tangga kakaknya. "Sini, Sayang. Aira mau mama ajak melihat-lihat bunga anggrek yang mekar." "Ishh, hati-hati Ma. Nanti tangan Aira mematahkan bunganya mama nangis lho." "Ckk, kamu tuh, dikira mama anak kecil?" Rahma tergelak dengan candaannya bersama Gita sang ibu mertua. Mereka memang akrab seperti ibu dan anak kandung. Rahma meletakkan tas brandednya sembarang di kursi ruang
Bab 88"Tunggu Mbak. Ini jam siapa bagus sekali? Ana beli jam baru ya?" Semua mata tertuju mengikuti arah telunjuk bibi ke sebuah tas yang tergeletak di nakas.Ana terbelalak melihat jam yang tidak dikenalinya. "Kamu mencuri jam Mbak Rahma, ya? Ayo ngaku!" Bibi sudah mencengkeram erat lengan Ana hingga wajahnya mengernyit menahan sakit. Arga membuang muka karena sedikit merasa bersalah. Skenario yang dibuatnya dengan bibi justru amat berlebihan. Akting bibi terlihat serius ingin menyakiti Ana padahal Arga hanya berniat menjauhkan perempuan itu dari kakaknya. "Sudah-sudah, Bi. Jangan kasar sama Ana. Kasian dia kesakitan, lho." Arga pura-pura membela Ana. "Maafkan saya, Mbak. Saya benar-benar tidak tahu kenapa jam itu ada di tas saya. Saya tidak mencurinya." Ana menjawab terbata disela isak tangis yang menyayat hati. Ia sadar keberadaannya di sana memang ada yang tidak menginginkan. "Mana ada maling mau ngaku," imbuh bibi yang diiyakan oleh Arga. Keributan mereka mengundang Gita y
"Sekarang mungkin jam Mbak Rahma yang diambil. Siapa yang sangka kemudian hari suami Mbak yang diambil," celetuk Arga tak kira-kira membuat Rahma terlonjak. "Arga!" Rahma dan Gita menyahut dengan tatapan tajam mengarah ke Arga. "Kok kamu ngomong gitu, sih?" Rahma memprotes Arga dengan raut wajah tak suka." "Maaf, maaf. Ana memang gadis polos, kali aja semakin kenal semakin berani. Air tenang biasanya menghanyutkan. Ah, sudahlah, aku mau ke kampus aja." Arga mencium punggung tangan mamanya yang masih terpaku omongannya tadi. Pun Rahma diam membisu, sedangkan bibi melesat minta izin kembali ke dapur. "Rahma, jangan dengerin omongan ngaco Arga. Sakha bukan laki-laki seperti itu. Dia pasti setia padamu, terlepas dulu punya masa lalu yang membuat kamu terpuruk." Gita mencoba menenangkan Rahma yang melihat dengan tatapan kosong. "Rahma! Mama mohon, jangan sampai masalah ini mengganggu kesehatanmu,ya! Arga keterlaluan." "Nggak, Ma. Arga benar, Rahma harus sadar diri belum bisa memberi
Bab 137 EndingSakha sudah seperti buka puasa. Sekian purnama tidak menyentuh istrinya, kerinduan pun berada di puncaknya. "Wajah Mas masih sakit, ini. Aku obatin, ya?""Nggak perlu, Rahma. Aku butuh obat rindu.""Mas!"Rahma sudah tidak bisa mengelak, ia pun merasakan rindu yang menggebu. Keduanya melewati malam panjang ditemani rembulan yang sinarnya menyusup dari celah gorden. Sentuhan lembut Sakha menyapa Rahma membuat hati wanita itu mengembang. Seulas senyum terukir di bibir merahnya."Tenang, Nak, Abi mau mengunjungimu."Sakha memperlakukan istrinya dengan lembut walau di dalam sana sudah menahan gair*h yang memuncak. Ia tidak ingin membuat trauma istrinya yang sedang hamil besar.Satu jam berbagi peluh membuat keduanya kelelahan. Sakha memberikan kecupan hangat di kening Rahma. Hingga wanita itu memejamkan mata menikmati ketulusan suaminya."Terima kasih, Sayang.""Terima kasih juga, Mas."Waktu kian berlalu, detik tergerus oleh menit hingga menit berganti menjadi jam. Purnama
Bab 136 Rindu "Percuma, Arga. Kakakmu dari dulu sudah begitu," imbuh Pak Ardi ketus."Ya Allah, Pa, Arga. Ini salah paham," lirih Sakha yang merasakan tubuhnya sudah lunglai."Apa?! Astaghfirullah, ini pasti salah paham.""Pa, Arga, tunggu!" teriakan Sakha tidak digubris dua lelaki beda generasi itu. Pak Ardi dan Arga sudah masuk mobil meninggalkan kediaman untuk menemui Rahma yang terbaring di rumah sakit."Astaga, Mas Sakha kenapa?" Dari dalam rumah keluar satpam yang sedari tadi dicari Sakha."Bapak kemana saja? Muka saya sudah babak belur kayak maling, nih," dengkus Sakha sambil menahan nyeri akbitan tamparan papanya dan juga pukulan Sakha."Ayo, Pak. Kita ke dalam dulu. Bi, Bibi. Tolong ambilkan air kompres untuk Pak Sakha!" "Hah, Mas Sakha kenapa?""Jangan banyak omong, cepat ambilkan."Bibi ART pun mengangguk. Gegas ia ke dapur mengambil air kompres."Maaf, Mas. Tadi saya membereskan kamar Mbak Rahma sama bibi." Satpam mengucap dengan sedikit takut membuat Sakha penasaran."Me
Bab 135 PulangPenerbangan Padang-Jakarta akhirnya pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta. Sakha memang sengaja belum mengabari orang rumah tepat hari apa pulangnya. Ia harus menyiapkan keperluan Cantika dan neneknya di rumah sakit ternama di Jakarta. Setelahnya, Toni yang akan menemani Cantika untuk proses operasi mata neneknya."Pak Toni tolong Cantika ditemani sampai keperluannya tidak kurang satupun," ucao Sakha sambil menyenderkan punggung di sofa tunggu bandara. Mereka masih menunggu bagasi."Siap, Pak. Oya, Pak Sakha yakin tidak perlu ditemani pulang sampau rumah terlebih dulu?" tanya Toni basa-basi."Ckkk, bukankah Pak Toni senang langsung bisa menemani Cantika?" Sakha justru balik bertanya membuat Toni terkesiap."Nanti kalau Cantika bingung di kota ini, Pak Toni yang repot, kan? Gadis itu nggak ada duanya,"ucap Sakha terkekeh."Dia gadis yang pintar, Pak. Nggak mungkin nyasar di kota ini," balas Toni sambil tersenyum."Pak Toni nggak takut Cantika nyasar, tapi takut dia k
Bab 134 Tuntas"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Sakha."Seorang pimpinan petugas kepolisian menjabat tangan serta mengucap terima kasih pada Sakha di ruang kerjanya. Sebab Sakha telah membantu petugas kepolisian untuk menegakkan keadilan. Tuntas sudah tugas Sakha di kota ini."Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Saya harus menemui warga untuk m3nyampaikan hak-haknya,"ucap Sakha yang diangguki petugas. Sakha kembali menaiki mobilnya yang disopiri Toni menuju kediaman Pak Cokro. Di rumah orang terhormat di kampungnya itu telah berkumpul banyak warga. Ada juga karyawan Sakha yang sudah lebih dulu sampai di sana. Sementara itu, Cantika absen karena harus menemani neneknya melakukan diagnosis oleh dokter di rumah sakit."Kita sudah sampai, Pak." Toni menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Ia tahu betul Sakha dangat kelelahan beberapa hari terakhir. Sebab anak bosnya itu kejar target melumpuhkan musuh ayahnya. Beruntung Cantika bisa diajak kerja sama, pun Pak Cokro dengan senang hati mem
Bab 133 Tertangkap TanganSenja menampakkan warna jingga yang indah di cakrawala. Cantika segera pulang ke rumahnya karena sang nenek pasti lama menunggu. Seharusnya, ia pulang siang hari, tetapi demi membantu pihak keamanan untuk menggrebek Robert, kepulangannya molor."Nek, nek." Cantika mendapati neneknya tiduran di kamar. Gadis itu mendekat lalu mengusap lembut wajah sang nenek. Setitik bulir bening menetes membasahi pipi mulusnya. wanita ini telah merawatnya sejak kecil. Cantika yatim piatu, entah di mana orang tuanya kini iapun tidak tahu. Kata Sang nenek orang tuanya telah meninggal. Tapi sunggu misterius baginya."Ika. Kamu sudah pulang?""Iya, Nek. Ika mau siapin baju buat kita ke rumah sakit. Nenek akan diobati dokter di sana biar bisa melihat lagi."Ucapan Cantika tersendat karena isakan kecil menyusul."Bukannya tadi siang kamu sudah pulang?""Hah, enggak. Ika barusan pulang dari bekerja."Cantika sedikit heran, apa ada yang datang ke rumah. Kenapa neneknya merasa ia sudah
Bab 132 Mencuri barangSakha merencanakan strategi untuk menangkap Robert beserta anak buahnya. Dia telah mengumpulkan bukti-bukti dibantu oleh Pak Cokro dan Cantika. Bekerja sama dengan pihak berwajib, Sakha ingin pekerjaan di proyek pembangunan jalan tol berjalan lancar. Ia ingin segera pulang sebelum istrinya melahirkan. Janji di awal hanya pergi satu dua bulan. Hingga kini kehamilan Rahma terhitung masuk trimester tiga.Semalam ia menelpon istrinya."Sayang, maafkan aku baru sempat menelpon. Pekerjaan di sini sungguh menyita waktu. Sinyal juga susah karena lokasi di tengah hutan.""Ia Mas. Aku tahu, yang penting kamu sehat dan baik-baik saja di sana. Aku percaya Mas melakukan kerja keras di sana. Ada Pak Toni yang menemani, aku pun lega.""Iya, Sayang. Selesai proyek di sini, aku segera kembali ke Jakarta. Doakan tidak sampai melewatkan kelahiran anak kita, ya.""Iya, Mas.""Jam segini kok belum tidur, Sayang?""Hmm, akhir-akhir ini aku susah tidur, Mas. Nggak tahu, pikiran selalu
Bab 131 TipuanHari berganti hari hingga menjadi minggu, Cantika berperan dengan tipuannya sebagai wanita penggoda Sakha. Dia bersikap manja saat bersama laki-laki itu. Sesekali meluncurkan rayuan saat di depan Robert. Toni sampai harus menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat aksi mesra keduanya. Akting Sakha dan Cantika layak diberi apresiasi seperti bintang sinetron"Gimana, Sayang. Kita ambil saja proyek dengan Pak Robert. Track recordnya sudah tidak diragukan lagi. Bagi hasil keuntungannya juga besar. Ayolah, nanti setelah proyek selesai, kita bisa liburan ke pulau yang indah berdua," ungkap Cantika dengan gaya centilnya.Robert yang melihat dari balik meja kerjanya tersenyum menyeringai. Dia memang memerintahkan Cantika untuk merayu Sakha supaya bisa diajak kerja sama. Dengan nama perusahan Sakha, kerja ilegal Robert bisa disamarkan."Baiklah, saya perlu membaca surat kerjasamanya terlebih dulu Pak Robert. Paling lama tiga hari, saya akan memberi kabar hasilnya.""Jangan lam
Bab 130 SepakatSetengah jam, Sakha dan Toni duduk di luar kamar yang dimasuki Cantika dan wanita yang sudah renta tadi. "Pak, gimana? Kenapa gadis itu belum keluar juga?"Sakha hanya mengedikkan bahu. Ia lalu beranjak dari duduk dan mendekati kamar. Berhenti sejenak di depan pintu yang sedikit terbuka. Tampak di sana Cantika sedang membenarkan posisi yang nyaman untuk wanita tua tadi."Nek, istirahat saja. Ika baik-baik saja, kok.""Jadi gadis itu biasa dipanggil Ika. Pantas tidak ada yang kenal Cantika."Sakha mengembuskan napasnya kasar. Ia baru sadar kalau Cantika bekerja untuk menghidupi wanita tua yang pantas jadi neneknya itu.Beberapa menit kemudian, Cantika sudah turun dari ranjang dan berniat keluar. Sakha segera kembali ke kursi duduk bersama Toni."Gimana, Pak?" tanya Toni penasaran.Sakha hanya memajukan dagu ke arah pintu kamar di mana Cantika keluar dari sana."Kenapa kalian masih ada di sini? Sana pergi, jangan ganggu aku!"Cantika melenggang masuk ke sebuah ruangan ke
Bab 129B Ancaman"Berhenti! Atau kalian babak belur keluar dari sini.""Ups, sial. Gadis ini kuat juga, Bos.""Awas!" pekik Sakha saat bogeman Cantika mengenai Rahang kiri Toni.Tidak keras tetapi mampu membuat nyeri di pipi Toni."Astaga, perempuan ini ganas sekali."Sakha jengkel sekaligus menahan tawa. Bisa-bisanya ia dan Toni dikalahkan perempuan."Oke,oke. Kami mundur. Sekarang katakan. Apa tujuanmu berbuat licik padaku, hah?"Sakha mencoba bernegosiasi. Ia tidak ingin salah melangkah dan akhirnya usahanya membela hak warga gagal."Aku jelas butuh uang. Jadi kalian pergi saja. Karena kedatangan kalian ke sini hanya akan membuat masalah bagiku.""Oke, berapa uang yang kamu butuhkan? Aku bisa mencukupi lebih banyak dari yang diberikan Robert. Kamu tahu dia bukan siapa-siapa. Dia mantan napi karena sudah menipu ayahku. Sekarang katakan butuh uang berapa kamu? 100juta, 200juta, setengah milyar?"Cantika terkesiap mendengar uang yang besarnya menggoda."Pak. Jangan gila! Pak Ardi tidak