"Sekarang mungkin jam Mbak Rahma yang diambil. Siapa yang sangka kemudian hari suami Mbak yang diambil," celetuk Arga tak kira-kira membuat Rahma terlonjak. "Arga!" Rahma dan Gita menyahut dengan tatapan tajam mengarah ke Arga. "Kok kamu ngomong gitu, sih?" Rahma memprotes Arga dengan raut wajah tak suka." "Maaf, maaf. Ana memang gadis polos, kali aja semakin kenal semakin berani. Air tenang biasanya menghanyutkan. Ah, sudahlah, aku mau ke kampus aja." Arga mencium punggung tangan mamanya yang masih terpaku omongannya tadi. Pun Rahma diam membisu, sedangkan bibi melesat minta izin kembali ke dapur. "Rahma, jangan dengerin omongan ngaco Arga. Sakha bukan laki-laki seperti itu. Dia pasti setia padamu, terlepas dulu punya masa lalu yang membuat kamu terpuruk." Gita mencoba menenangkan Rahma yang melihat dengan tatapan kosong. "Rahma! Mama mohon, jangan sampai masalah ini mengganggu kesehatanmu,ya! Arga keterlaluan." "Nggak, Ma. Arga benar, Rahma harus sadar diri belum bisa memberi
Bab 90"Ma, bangun Rahma!" "Ah, Sherly. Jam berapa ini? Aku kenapa bisa terbaring di sini?" Aroma obat-obatan menyentak kesadaran Rahma. Ia mencoba mengingat-ingat kenapa dirinya terbaring di brangkar rumah sakit. "Kamu tadi pingsan. Aku coba telpon suamimu, tetapi tidak diangkat. Sepertinya Sakha sedang sibuk." "Iya, Mas Sakha baru ada meeting MOU dengan perusahaan asing." Rahma mencoba bangun dan menegakkan badannya. Ia meraih sebotol air mineral di meja samping brangkar. "Aku turut prihatin dengan masalah ini, Ma. Aku tidak menyangka Sakha menyakitimu untuk yang kedua kalinya," sesal sahabat Rahma sambil duduk di samping brangkar. "Tidak Sher. Ini bukan salah Mas Sakha. Anak itu anaknya dengan wanita yang dicintainya sebelum bersamaku." "Hah. Jadi, suamimu menghamili wanita lain di luar pernikahan?" ujar Sherly shock. "Nggak mungkin Mas Sakha begitu. Aku tahu betul suamiku, Sher. Wanita itu pasti sudah dinikahinya. Aku juga nggak tahu duduk perkaranya. Tolong jaga rahasia in
"Lho, Ana mau kemana?" seru Gita dari posisinya duduk di kursi ruang keluarga. Pak Ardi pun memandang heran Ana seperti orang mau mudik jauh. "Mau kemana, Na?" tanya Pak Ardi. "Maaf, Pak, Bu. Saya izin mau balik ke kontrakan. Berhubung Aira sudah sehat, saya mau mengajaknya pulang. Kasian Mbok Darmi sudah tua. Beliau tinggal sendirian di sana. Saya khawatir ada apa-apa juga dengan beliau. Suami istri yang usianya tak muda lagi itu saling memandang kebingungan. Pasalnya, Rahma dan anak-anaknya tidak ada di rumah, kenapa Ana tiba-tiba pergi seolah tidak mau pamit dengan mereka. Namun, suami istri itu tidak punya alasan kuat menahan Ana karena ada orang tua yang harus dijaga juga. Keduanya menjadi tertegun, Ana sangat perhatian merawat orang yang sudah tua seperti mereka. "Ini hampir malam, Na. Nggak baik untuk kesehatan Aira," ucap Gita memberi saran. "Saya naik taksi kok, Bu." "Tapi kamu belum pamit sama Rahma, bukan? Nanti kalau dia nyariin Aira sama kamu gimana?" Giyamasih menc
Bab 92Sakha berada di dalam mobil yang terparkir di depan kantor tempat Rahma meeting. "Halo, aku sudah di parkiran, Sayang." "Ya, Mas. Aku siap-siap keluar." Tak lama kemudian, Rahma muncul dengan wajah lelahnya. Langkahnya sedikit gontai membuat Sakha sedikit khawatir. "Gimana meetingnya, Ma?" "Lancar, Mas. Untung nggak lewat Isya. Malah tadi katanya Maghrib selesai, eh molor sedikit," gerutu Rahma membuat Sakha mengulum senyum. "Sepertinya kamu lelah, Sayang." "Iya, agak pusing nih, Mas. Kita langsung pulang aja, ya." "Lho katanya mau makan malam, jadi nggak?" "Maaf, aku pengin segera rebahan, nih. Perut juga sedikit mual malah nanti nggak enak makan." Rahma mencoba meyakinkan suaminya. Padahal ia pengin segera sampai di rumah untuk bertemu Ana. "Ya sudah kalau gitu kita langsung pulang saja. Nanti kalau kamu pengin makan apa kita bisa delivery order." "Iya, Mas." Sakha melajukan mobilnya membelah jalanan ibukota. Keramaian yang masih terasa membuat laju mobil pun mela
Bab 93"Astaga, Rahma jangan telat makan. Jaga kesehatanmu!" Saran Gita segera diangguki Rahma. Sakha lantas mengajaknya ke kamar untuk istirahat. "Nanti biar mama bilang ke bibi suruh bawakan makan malam kalian ke kamar." "Makasih, Ma. Oya, apa Arga sudah pulang?" "Iya, lagi ngerjain apa di atas tuh dari tadi masuk rumah nggak turun-turun." Sakha hanya menggelengkan kepalanya. Ia hendak minta tolong Arga mencari tahu kabar Ana dan Aira. "Ya, Ma. Nanti Sakha temui Arga sendiri. Siapa tahu dia bisa bantu cari tahu Ana dan Aira ke kontrakan." Sakha membawa Rahma beristirahat di kamar. Wanita itu masih melamun setelah isakannya mereda. Kenyataan yang diketahui Rahma tetap tersimpan rapi di benaknya. Ia belum siap membuka fakta di depan suaminya. Ia harus mengajak bicara secara langsung ibu dari Aira yang dikiranya adalah Ana." "Ana, kenapa kamu menyembunyikan rahasia besar itu? Aku lebih sakit dibohongi daripada kamu mengaku sebagai istri dari suamiku." Rahma meremas dadanya yang
Bab 94"Mau kemana, Ga?! Lepaskan!" Arga menarik tangan Rahma supaya masuk ke mobilnya. "Kita buntuti suamimu." "Hah." "Ayo, Mbak. Jangan lama-lama, nanti keburu Mas Sakha pergi!" "Pergi ke mana? Mas Sakha cuma ke kontrakan Ana, kok." Rahma masih heran dengan aksi Arga. "Iya, maksudnya kita lihat apa yang dilakukan Mas Sakha di sana." "Memangnya apa yang kamu ketahui, Ga?" Rahma mencoba memancing Arga. "Nggak ada. Aku cuma penasaran aja. Mas Sakha berubah. Dulu nggak suka sama Ana dan bayi itu. Sekarang tampaknya lebih peduli." "Katakan apa yang kamu tahu, Ga. Kamu pasti menyembunyikan sesuatu." "Nggak ada, Mbak. Sudah aku bilang kalau nggak tahu apa-apa." "Lalu kenapa kamu memfitnah Ana?" Bunyi mobil berdecit mengagetkan Rahma. Hampir saja dahinya terantuk dashboard karena Arga menginjak rem dadakan. "Hati-hati! Kamu mau kita celaka, huh?!" "Lagian Mbak Rahma yang ngagetin aku. Siapa juga yang memfitnah Ana," kilah Arga yang sudah kembali fokus dengan jalan di depannya.
Bab 95"Halo, Ma? Apa Ana sudah ke rumah?" "Belum. Gimana? Kamu dan Arga sekarang di mana?" "Ya sudah, Ma. Nanti Rahma hubungi lagi." Rahma tidak menjawab pertanyaan mertuanya justru menutup telponnya. "Gimana sekarang, Ga? Kalau Ana ternyata ke rumah?" "Coba hubungi nomer Ana, Mbak!" Rahma mencoba peruntungan dengan melakukan panggilan ke nomer Ana. "Tidak aktif, Ga." "Kayaknya nggak mungkin Ana ke rumah, Mbak. Mana ada ponselnya nggak aktif sejak kemarin. Jangan-jangan dia pergi." "Ishh, Arga jangan nakuti Mbak, dong. Mbak berharap Ana tidak pergi membawa Aira. Kamu tahu kan kalau Mbak dan Mas Sakha merindukan kehadiran anak." "Jangan lupa, Mbak. Selain Aira ada ibunya juga. Memangnya mau dikemanakan ibunya?" Rahma mencelos, benar saja Aira memang yang diharapkannya meramaikan rumah. Lantas ibunya Aira bagaimana, Rahma tidak berpikir akan dinomer duakan oleh suaminya. "Kita balik saja, Ga. Siapa tahu Ana ke rumah. Ayo buruan!" "Yakin?" Rahma hanya menjawab dengan sebuah
Bab 96"Sayang. Maaf, aku terjebak macet." "Mas pasti capek. Ini diminum dulu habis itu mandi." Rahma dengan telaten melayani suaminya yang baru sampai di rumah. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Padahal biasanya Sakha sampai di rumah paling lambat menjelang Maghrib. "Terima kasih." Sakha sempat memberi kecupan singkat di kening Rahma sebelum duduk lalu menyesap jahe hangat buatan sang istri. "Mas ada tugas ke luar kota?" tanya Rahma tanpa menunjukkan sikap curiga. Sakha pun mengangguk masih dengan menyesap minuman seteguk demi seteguk melewati kerongkongannya. Terasa hangat di saat lelah dan gundah melanda. "Harus ya berangkat malam ini?" "Iya, Sayang. Pembukaan cabang baru di kota sebelah harus segera diluncurkan. Aku harus mengawasi pembangunannya. "Kok tiba-tiba?" "Iya, mumpung investor lagi semangat." Sakha merasa bersalah terhadap istrinya karena harus berbohong demi menjaga kewarasan. Ia takut istrinya kambuh dengan depresinya. Ia perlu melihat kondisi Ratih le