Tinggalkan komentar dan love ya. nantikan next partnya. makasih sudah baca ceritaku. more info di IG @dlista2021
Bab 80Kepalan tangan Sakha menonjok meja hingga mengeluarkan darah segar. "Mas Sakha!"pekik Ana ngilu. "Lalu gimana kondisi Ratih, Na?' Mendapat pertanyaan itu, Ana hanya bergeming. Pikirannya terbang mengingat keadaan menyedihkan kakaknya. Tak terasa air mata luruh membasahi pipinya. Ia menangis tersedu hingga membuat Sakha kebingungan. Sakha jelas tidak tahu apa-apa, karena mengira Ratih sudah bahagia dengan laki-laki lain. "Tenanglah, Na. Ceritakan padaku, apa yang terjadi dengan kakakmu?' Menunggu beberapa menit, Ana kembali tenang setelah minum segelas air yang disodorkan Sakha. “Mbak Ratih depresi, Mas. Dia sempat dirawat di rumah sakit, tapi aku nggak punya biaya cukup. Aku berusaha mengumpulkan biaya supaya Mbak Ratih bisa dirawat rutin. Surat keterangan tidak mampu bisa kami pakai tapi pengobatannya tidak bisa rutin. Sekarang kondisinya hanya suka meracau nggak jelas. Mbak Ratih selalu bilang minta maaf karena telah menyakiti. Entah siapa yang disakiti.” Kini gantian S
Bab 81“Arga! Kenapa kamu bisa ada di sini?”tanya Ana gugup. Ia takut Arga melihat dirinya bersama Sakha. “Kebetulan tadi lewat trus lihat kamu jalan kaki. Ayo naik, aku antar.” “Tidak usah, terima kasih, Ga.” Ana mencoba menolak. Ia ingin segera menghindar dari laki-laki yang pernah mencurigainya itu. “AKu tidak terima penolakan. Buruan naik, atau perlu aku gendong?” Ancaman Arga berhasil juga. Dengan berdecak kesal, Ana terpaksa menuruti pintanya. Arga melajukan motornya bukan ke arah kontrakan Ana, tetapi justru masuk ke sebuah restoran besar. Ana heran tetapi tidak bisa menghentikan Arga yang seenak jidat memaksanya. “Ga, kita mau kemana?” tanya Ana heran seraya mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru restoran. Baru kali ini, Ana mengunjungi restoran tergolong mewah ini. Ia mengekori saja Langkah Arga. Laki—laki itu memesan ruang VIP membuat nyali Ana semakin menciut. “Nggak usah taku, ayo masuk!’ “Tapi, Ga.” Ana ragu melangkah masuk ke sebuah ruangan kosong dengan pintu b
“Apa katamu?! Jadi benar Aira anak Mas Sakha?” “Ya, Aira anak Mas Sakha.” Ana beranjak dari duduknya dan berniat pergi meninggalkan Arga yang masih mematung di tempat. Aura kemarahan jelas terlukis di wajah laki-laki itu. Pun tangannya turut terkepal di atas meja. "Tunggu!" teriak Arga. Laki-laki itu geram hingga tangannya meraih kasar lengan Ana. "Aargh, sakit Ga!" pekik Ana yang lengannya sudah dicengkeram erat oleh tangan Arga. "Lebih sakit mana, ini dengan yang akan dirasakan Mbak Rahma kalau suaminya bersama wanita lain?!" terang Arga dengan tatapan tajam hingga terasa menusuk jantung Ana. Rembesan titik bening pun mulai mengumpul di pelupuk mata. "Siapa sebenarnya di sini yang sakit? Mbak Rahma? Bagaimana dengan Mbak Ratih?" Dada Ana meletup-letup ingin meneriakkan kalimat yang hanya tertahan dihati. Ia tidak ingin menjadikan kakaknya yang depresi sebagai kambing hitam. Biarlah yang diketahui Arga dirinya yang ingin mendekati Sakha. "Aira butuh ayah, bukan? Jangan dekati M
"Mbok Darmi mana, Mbak?" Ana melongok ke pintu kamarnya tetapi tertutup. "Kamu mau masuk? Ini kuncinya dititipin aku. Mbok Darmi mulai jualan keliling sejak kamu dan Aira tinggal di rumah orang kaya itu." "Astaghfirullah, Mbak. Mbok Darmi jualan keliling lagi." Aira yang sempat beranjak kini terduduk kembali dengan kedua tangan meraup wajah. Tak lama kemudian terdengar isakan hingga membuat Rita terkejut. "Kamu kenapa, Na?" Ana tak menjawab justru semakin tergugu. Dadanya sesak, bukan hanya karena kasian dengan wanita tua yang dianggapnya sebagai keluarga seolah neneknya sendiri. Akan tetapi, Ana sedih karena hanya dengan Mbok Darmi ia bisa berkeluh kesah. Ia biasa mendapat pelukan dari wanita itu disaat kondisi terpuruk seperti saat ini. Rita duduk di samping Ana sambil mengusap punggungnya. "Apa kamu ada masalah? Aku siap mendengarkan, Na. Atau kamu butuh bantuan apa saja, aku juga siap bantu." Ana membuka kedua tangannya yang menutupi wajah. Reflek ia menghambur ke pelukan R
Bab 84"Ingat, Na. Jangan lama-lama tinggal di sini! Karena keberadaanmu hanya menjadi duri bagi Mbak Rahma." Deg, Ana merasakan nyeri di dadanya semakin menjadi bagai teriris sembilu. Ia justru memancing amarah Arga dengan sebuah rasa percaya diri yang tinggi. "Aku bilang tidak ya tidak. Demi Aira, aku bisa melakukan apa saja." "Aargh!" Arga menarik Ana ke dalam pelukannya hingga perempuan itu meronta. "Lepasin!" "Kamu kurang belaian, huh? Aku bisa memberi apa yang kamu butuhkan. Jangan ganggu Mas Sakha!" Ana dengan sekuat tenaga mendorong dada Arga. Ia menoleh ke sana kemari tidak ingin ada ART yang suka julid padanya memergoki posisi tadi. Gegas Ana lari menuju kamarnya lalu masuk dan menutup pintunya rapat. Sementara itu, Arga tersenyum penuh kemenangan setelah mampu memberi ancaman pada Ana. Ia berniat ke dapur untuk mengambil minuman di kulkas. "Mas Arga. Mas." Arga menoleh mencari sumber suara, ternyata dari arah kamar ART. "Ada apa, Bi?" "Mas Arga ngapain peluk-pel
"Eh ngomong-ngomong, tumben kamu bau wangi, Ga. Kamu ganti parfum ya?" Rahma mencoba mengendus wangi yang sama dengan tadi saat bersama Ana."Hah, enggak. Parfumku masih sama seperti yang Mbak Rahma jual, cuma hari ini aku lupa pakai." Rahma hanya beroh ria, lalu menuju dapur. "Oya, makasih ya Mbak. Cemilannya gratis, kan?" "Iyalah." Rahma duduk di meja makan sambil mencomot kue yang ada di wadah. Terdengar langkah kecil semakin mendekat. "Mbak, Mbak Rahma." Rahma berjengit kaget setelah sebuah ketukan mendarat di pundaknya disertai bisikan di telinga kanan. "Astaghfirullah, Bibi. Ngagetin aja, sih. Bikin aku jantungan." "Sttt, Mbak Rahma tadi tanya-tanya Mas Arga sudah punya pacar atau belum ya?" "Eh, memangnya bibi tahu kalau Arga punya pacar baru?" Rahma memasang wajah berbinar begitu tahu iparnya dekat dengan perempuan. "Itu, Mbak. Tadi bibi lihat Mas Arga pelukan sama perempuan kampung itu." "Hah, perempuan kampung mana?" "Itu lho, yang dikasih kerjaan sama Mbak Rahma."
Bab 86Rahma membiarkan suaminya melanjutkan aksinya, sementara pikirannya berkecamuk saat mengendus kemeja sang suami, sebuah parfum yang sama menguar menusuk hidungnya. "Kenapa Mas Sakha bau parfum yang sama dengan Arga? Baunya juga sama dengan saat aku bersama Ana." Aargh Lamunan Rahma buyar seketika. Suaminya sudah mendominasi hingga keduanya tenggelam dalam kenikmatan dunia yang berujung pahala. Suara dengkuran halus terdengar dari sosok yang tidur di samping Rahma. Ia memandang lekat wajah suaminya selama beberapa menit. Jemarinya mengukir hidung mancung itu. Tanpa diduga, Sakha mengguman tak jelas. Rahma mengamati dengan seksama perilaku tak biasa suaminya. Hampir jarang Sakha mengigau saat tidur bersamanya. Hanya sekali saja waktu sakit dulu, Sakha mengigau kedinginan. Namun kali ini, suara yang muncul samar-samar seperti sebutan nama orang. "Ra....tih," Sakha terlihat gusar dengan mata terpejam. "Mas, bangun Mas! Mas Sakha." "Jangan pergi! Maafkan aku!" Deg. Rahma me
Bab 87***** Keesokan harinya, Ana sudah berpakaian rapi dan menggendong Aira yang juga sudah selesai makan dan mandi. "Na, bisa ikut aku sebentar. Ai, Sayang ikut uti cantik dulu ya." Rahma begitu ceria dengan kehadiran Aira di rumah mertuanya. Ia bahagia bukan hanya karena dirinya yang mengharapkan segera punya anak, tetapi ia bahagia karena bisa membuat mertuanya juga suaminya senang dengan tangis dan tawa bayi mungil itu. Namun, rasa itu tidak terlukis di wajah ART dan juga Arga. Sejak Arga tahu kalau Ana dan Aira masa lalu kakaknya, ia berniat mengusir keduanya supaya tidak mengganggu kehidupan rumah tangga kakaknya. "Sini, Sayang. Aira mau mama ajak melihat-lihat bunga anggrek yang mekar." "Ishh, hati-hati Ma. Nanti tangan Aira mematahkan bunganya mama nangis lho." "Ckk, kamu tuh, dikira mama anak kecil?" Rahma tergelak dengan candaannya bersama Gita sang ibu mertua. Mereka memang akrab seperti ibu dan anak kandung. Rahma meletakkan tas brandednya sembarang di kursi ruang