Home / Pernikahan / JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of JADI ISTRI DUDA? BOLEH JUGA: Chapter 31 - Chapter 40

205 Chapters

Pasangan Mesra

Setelah beberapa saat Jevano dikacangin oleh kakek dan neneknya, akhirnya sang kakek menotis dirinya yang hanya diam merana sendirian."Oh, iya. Katanya kamu udah punya hp baru, Jev. Bagi nomer dong. Nanti kalau Kakek gabut, Kakek telepon kamu aja." Tuan Anggari telah melepas pelukannya dari sang istri. Mereka juga sudah duduk normal kembali. Ah, memang pasangan yang sudah berumur ini tetap awet mesraannya. Pria itu merogoh kantongnya dan mengeluarkan benda pipih tersebut kepada cucunya.Jevano maju dan menerima gawai kakeknya. Dia menelan ludah sejenak, Samsung fold. Astaga, berapa uang yang harus dikeluarkan untuk benda ini. Untung saja dia juga tidak katrok. Dengan santai, dia membuka lipatan gawai itu. Layarnya menyala, menampilkan gambar dirinya yang sedang serius membaca di meja baca kakeknya. Kalau tidak salah, baju yang ada di foto itu adalah baju yang dia pakai lima hari yang lalu. Dia mendongak, melihat kakeknya."Ada apa, Jev? Ada yang salah sama hp Kakek? Apa nge-lag lagi,
Read more

Perpisahan Dengan Keluarga Kecil

Malamnya, Jamal sekeluarga benar-benar pindah rumah setelah selesai berkemas. Tuan dan Nyonya Anggari melepaskan kepergian mereka di depan rumah. Sebenarnya mereka sangat berat sekali untuk melepaskan keluarga kecil anak semata wayangnya ini. Mereka baru saja merasakan suasana keluarga yang utuh. Sudah lama mereka ingin mempunyai anggota keluarga tambahan yang bisa meramaikan rumah mereka. Akan tetapi, mereka juga tidak bisa apa-apa karena kemauan anak mereka yang ingin hidup lebih mandiri dengan keluarganya."Sering-sering main ke sini, Jevano," pinta Nyonya Anggari sambil memeluk cucunya. Sempat ada rasa menyesal karena dulu dia terlalu meremehkan pilihan Juwita. Dia pikir, status sosial yang tidak sama akan membuat dirinya keki dengan cara bersosialisasi Jamal dan Jevano. Ternyata dia salah. Bahkan Jevano tidak terlihat keki meskipun cenderung pendiam. Bahkan entah mengapa, dia selalu ingin menghabiskan waktu untuk berbicara dengan cucunya ini. Seperti ada daya tarik tersendiri dar
Read more

Rumah Baru

Juwita mendahului Jamal dan Jevano untuk masuk ke dalam rumah. Dia membawa tas peralatan jahit mini yang tadi dia pakai di rumah orang tuanya. Sedangkan duo ayah anak itu masih berada di garasi untuk berbagi barang bawaan."Itu seragam kamu?" tanya Jamal sambil berisyarat dengan dagu ke tas kertas tebal yang berisikan tiga kantong kain hitam yang ada reslitingnya.Jevano terpaku sejenak mengamati benda yang dimaksud ayahnya. "Kok Ayah tahu?"Jamal tersenyum. Dia mengelus kepala anaknya. "Hidup kamu sekarang berbeda, Jevano. Sekarang hidup kamu enggak murah. Seragam kamu pun enggak akan dibungkus plastik meskipun baru." Dia masuk terlebih dahulu dengan membawa dua tas yang berisikan baju mereka bertiga.Jevano tertegun. Dia masih heran, bagaimana ayahnya tahu semua itu? Ayahnya saja anak rantau dan tidak mempunyai apa-apa ataupun siapa-siapa. Bagaimana bisa ayahnya menotis barang seperti ini? Sejenak, dia terlupakan bahwa ayahnya dulu adalah pekerja kantoran. "Ah, mungkin pernah lihat
Read more

Telat

Pukul setengah tujuh pagi, alarm berbunyi dengan begitu nyaringnya. Mata Juwita terbuka. Tidurnya terusik dengan suara lantunan musik instrumen yang dia pasang. Dia meraih gawainya dan menatap layar dengan mata yang setengah tertutup. Lalu, saat dia melihat angka, "Astaga, telat!"Dengan kekuatan super yang dia miliki, Juwita langsung bangkit dan melompat dari kasurnya. Dia segera menuju ke lantai atas, tempat suami Jamal dan Jevano tidur. Ya, selama ini Jamal dan Juwita masih tidur di kamar yang terpisah. Akan tetapi, mereka selalu berhasil menyembunyikannya dari Jevano. Triknya memang gampang, Jamal dan Juwita selalu tidur lebih telat dari pada anak mereka dan bangun lebih cepat. Sebuah keharusan agar Jevano tidak curiga.Akan tetapi, tidak untuk saat ini. Telat bangun memang sebuah petaka. Saat Juwita menapakkan kakinya di
Read more

Hari Pertama

Jamal sudah sampai di basement perusahaan keluarga Anggari, ANG Group. Terima kasih kepada google maps yang sudah memandunya dengan selamat setelah keluar dari jalan alternatif. Dia turun dari mobil dan meneliti area sekitar. Sangat asing. Tentu saja, karena dia belum pernah ke sini sama sekali. Ini adalah pertama kalinya dia menginjakkan kaki di perusahaan mertuanya."Pak Jamal?" sapa seseorang yang mendatanginya.Jamal menoleh. Di depannya ada seorang pria yang terlihat lebih tua, sedang tersenyum ramah kepadanya. "Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?" Dia menjabat tangan orang itu yang terlebih dulu mengulurkan tangannya."Saya Hartanto, manager utama Tuan Anggari. Saya diminta untuk mengantarkan Anda ke ruangan beliau sebelum rapat." Jamal mengangguk, ternyat
Read more

Dikira Stalker

Jevano menoleh ke kanan dan ke kiri. Dia berusaha mencari petunjuk yang bisa dia gunakan untuk pergi ke jalur yang benar untuk murid baru sepertinya. Tidak mungkin jika dia harus bertanya kepada para murid yang lebih tua darinya. Sebenarnya bukan tidak mungkin, dia terlalu malu saja untuk bertanya. Apalagi kakak kelas yang ada di sekolah ini sungguh mempunyai aura berbeda. Dia tahu diri kalau kehidupan mereka sangat jauh. Dia hanya tidak mau menjatuhkan dirinya saja dan memilih untuk mencari tahu sendiri. Makanya, Jev, kamu tersesat di jalan.Seketika pandangan lelaki itu menangkap seseorang yang menggunakan seragam yang sama dengannya. Seperti mendapatkan hidayah dari surga, langkah kakinya langsung mengikuti arah orang tersebut. Dia tetap menjaga jarak antara dirinya dan orang tersebut. Bagaimana pun harga dirinya juga harus dijaga karena yang dia ikuti bukanlah seorang yang memakai celana sepertinya. Dia berambut panjang di bawah bahu dan memakai rok. Ah, ternyata seperti itu gaya
Read more

Perkenalan Kawan Baru

Sesuai yang telah direncanakan, Jamal diperkenalkan sebagai menantu Tuan Anggari yang akan menempati jabatan sebagai ketua divisi pemasaran. Pria itu juga memperkenalkan diri dengan sangat baik meskipun tangannya penuh dengan keringat dingin."Kamu pembicara yang baik, Jamal." Pujian dari sang mertua dibalas oleh Jamal dengan senyuman berlesung pipinya. Dia sedikit merunduk, "Terima kasih." Seperti biasa, pundaknya ditepuk bangga oleh sang mertua.Setelahnya, para karyawan yang hadir di aula pertemuan itu, satu per satu datang ke Jamal. Mereka menjabat tangan pria tersebut. "Selamat datang, Pak Jamal. Selamat bergabung di ANG Group. Mari bekerja sama." Kira-kira seperti itulah yang mereka ucapkan kepada Jamal sebelum akhirnya mereka memperkenalkan diri dan kedudukan mereka di perusahaan.Pria itu menanggapi dengan ramah. Dengan sabar, dia melayani jabatan tangan puluhan orang tersebut. "Baik. Terima kasih," ucapnya untuk setiap tangan yang bersalaman dengannya."Jadi, siap bekerja, Ja
Read more

Membagongkan

Jevano melangkah keluar ruangan pertemuan tadi. Kali ini, dia tidak akan sembrono. Di tangannya sudah ada gawai yang menunjukkan denah sekolahnya. Dia tidak bodoh untuk membuntuti orang lagi dan dituduh sebagai penguntit seperti apa yang dikatakan Haikal tadi.Akhirnya ketemu. Dia memasuki pintu keramat yang akan menolongnya setelah ini. Kantin. Sejujurnya, perut miskinnya itu sudah keroncongan lagi saat acara tadi karena hanya sarapan dengan sandwich ala orang kaya buatan bundanya. Memang rasa sandwich yang dia makan tadi pagi tidak buruk, tapi jumlah kalorinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan paginya. Ah, lebih tepatnya porsi.Jevano menghentikan langkahnya sejenak dan melihat sekeliling. Tidak banyak murid yang ada di sana. Hanya ada murid yang berseragam sama sepertinya, biru abu. Dari denah yang dia lihat, ini adalah kantin untuk kelas sepuluh. Jadi hanya murid-murid yang satu generasi dengannya yang menempati kantin ini.Segera, dia mendekati ke salah satu stan makanan. Dia
Read more

Sama Membagongkan

Juwita membelalakkan matanya saat menemukan kartu kuning di dalam dompetnya. Dia hendak membayar barang belanjaan yang ada di trolinya. "Astaga.""Ada apa, Bu?" tanya Erika yang ada di belakang Juwita. Dia menemani bosnya untuk belanja."Ini kartu Jevano masih ada di aku. Duh, gimana ini. Dia cuma makan sandwich pas sarapan. Mana aku enggak ngasih uang saku sama sekali. Makan siang dia kayak gimana nanti." Juwita kebingungan sendiri."Dua ratus tiga puluh lima ribu, Bu." Kasir selesai menghitung belanjaan Juwita."Urus dulu coba." Juwita meminta tolong ke Erika untuk membayar pakai kartu atm butiknya.Juwita menjauh dari tempat kasir dan mencoba menelepon Jevano. Beberapa kali dia mencoba tapi tidak ada jawaban. Akhirnya dia mengirimkan pesan kepada anaknya."Gimana, Bu?" Erika menghampiri Juwita dengan membawa barang belanjaan yang sudah dikemas di troli."Enggak diangkat. Masih kelas paling, ya?" Wajah Juwita terlihat sangat cemas."Telepon pihak sekolah aja. Ibu kenal, kan, sama me
Read more

Bekal

Lima murid baru itu berdiri mengelilingi salah satu meja kantin kelas sepuluh. Mereka menatap tak percaya ke berbagai hidangan yang tertata rapi di sana. Macam makanannya memang tidak aneh-aneh. Ada nasi goreng seafood, nugget, sosis, rica daging dan buah-buahan yang telah dipotong rapi di wadah."Ini kantin sekolah atau restoran, sih?" Haikal menyiku lengan Jevano. "Lo gak salah dapet bekal beginian dari orang tua?""Gue juga enggak tahu," jawab Jevano singkat."Tapi kenapa kamu panggil kita dah?" Rani bersendekap. Masalahnya, dia tidak kenal dengan dua orang yang ada di hadapannya saat ini."Karena kalian yang aku kenal. Kalian juga udah bantu aku, jadi ... ya, beginilah." Jevano mengatakan apa adanya.Rani menghela napas dalam. "Ya, udah. Terlanjur bareng juga. Aku Maharani. Panggil aja Rani. Kita belum kenalan, kan?" Supel sekali gadis mungil satu ini."Aku Arina." Gadis dengan jepit rambut di sebelah Haikal itu menyuguhkan senyum ramahnya."Haikal.""Syahid.""Jevano.""Kamu engg
Read more
PREV
123456
...
21
DMCA.com Protection Status