Sesuai yang telah direncanakan, Jamal diperkenalkan sebagai menantu Tuan Anggari yang akan menempati jabatan sebagai ketua divisi pemasaran. Pria itu juga memperkenalkan diri dengan sangat baik meskipun tangannya penuh dengan keringat dingin."Kamu pembicara yang baik, Jamal." Pujian dari sang mertua dibalas oleh Jamal dengan senyuman berlesung pipinya. Dia sedikit merunduk, "Terima kasih." Seperti biasa, pundaknya ditepuk bangga oleh sang mertua.Setelahnya, para karyawan yang hadir di aula pertemuan itu, satu per satu datang ke Jamal. Mereka menjabat tangan pria tersebut. "Selamat datang, Pak Jamal. Selamat bergabung di ANG Group. Mari bekerja sama." Kira-kira seperti itulah yang mereka ucapkan kepada Jamal sebelum akhirnya mereka memperkenalkan diri dan kedudukan mereka di perusahaan.Pria itu menanggapi dengan ramah. Dengan sabar, dia melayani jabatan tangan puluhan orang tersebut. "Baik. Terima kasih," ucapnya untuk setiap tangan yang bersalaman dengannya."Jadi, siap bekerja, Ja
Jevano melangkah keluar ruangan pertemuan tadi. Kali ini, dia tidak akan sembrono. Di tangannya sudah ada gawai yang menunjukkan denah sekolahnya. Dia tidak bodoh untuk membuntuti orang lagi dan dituduh sebagai penguntit seperti apa yang dikatakan Haikal tadi.Akhirnya ketemu. Dia memasuki pintu keramat yang akan menolongnya setelah ini. Kantin. Sejujurnya, perut miskinnya itu sudah keroncongan lagi saat acara tadi karena hanya sarapan dengan sandwich ala orang kaya buatan bundanya. Memang rasa sandwich yang dia makan tadi pagi tidak buruk, tapi jumlah kalorinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan paginya. Ah, lebih tepatnya porsi.Jevano menghentikan langkahnya sejenak dan melihat sekeliling. Tidak banyak murid yang ada di sana. Hanya ada murid yang berseragam sama sepertinya, biru abu. Dari denah yang dia lihat, ini adalah kantin untuk kelas sepuluh. Jadi hanya murid-murid yang satu generasi dengannya yang menempati kantin ini.Segera, dia mendekati ke salah satu stan makanan. Dia
Juwita membelalakkan matanya saat menemukan kartu kuning di dalam dompetnya. Dia hendak membayar barang belanjaan yang ada di trolinya. "Astaga.""Ada apa, Bu?" tanya Erika yang ada di belakang Juwita. Dia menemani bosnya untuk belanja."Ini kartu Jevano masih ada di aku. Duh, gimana ini. Dia cuma makan sandwich pas sarapan. Mana aku enggak ngasih uang saku sama sekali. Makan siang dia kayak gimana nanti." Juwita kebingungan sendiri."Dua ratus tiga puluh lima ribu, Bu." Kasir selesai menghitung belanjaan Juwita."Urus dulu coba." Juwita meminta tolong ke Erika untuk membayar pakai kartu atm butiknya.Juwita menjauh dari tempat kasir dan mencoba menelepon Jevano. Beberapa kali dia mencoba tapi tidak ada jawaban. Akhirnya dia mengirimkan pesan kepada anaknya."Gimana, Bu?" Erika menghampiri Juwita dengan membawa barang belanjaan yang sudah dikemas di troli."Enggak diangkat. Masih kelas paling, ya?" Wajah Juwita terlihat sangat cemas."Telepon pihak sekolah aja. Ibu kenal, kan, sama me
Lima murid baru itu berdiri mengelilingi salah satu meja kantin kelas sepuluh. Mereka menatap tak percaya ke berbagai hidangan yang tertata rapi di sana. Macam makanannya memang tidak aneh-aneh. Ada nasi goreng seafood, nugget, sosis, rica daging dan buah-buahan yang telah dipotong rapi di wadah."Ini kantin sekolah atau restoran, sih?" Haikal menyiku lengan Jevano. "Lo gak salah dapet bekal beginian dari orang tua?""Gue juga enggak tahu," jawab Jevano singkat."Tapi kenapa kamu panggil kita dah?" Rani bersendekap. Masalahnya, dia tidak kenal dengan dua orang yang ada di hadapannya saat ini."Karena kalian yang aku kenal. Kalian juga udah bantu aku, jadi ... ya, beginilah." Jevano mengatakan apa adanya.Rani menghela napas dalam. "Ya, udah. Terlanjur bareng juga. Aku Maharani. Panggil aja Rani. Kita belum kenalan, kan?" Supel sekali gadis mungil satu ini."Aku Arina." Gadis dengan jepit rambut di sebelah Haikal itu menyuguhkan senyum ramahnya."Haikal.""Syahid.""Jevano.""Kamu engg
Juwita menghela napas dalam dan mengeluarkannya. Dia sedang menikmati seduhan teh chamomile sambil melihat ke halaman belakang rumah yang asri. Di luar sana sedang hujan. Hawa dingin yang dibawa angin sepoi di awal hujan menerpa wajahnya dari jendela yang sengaja tidak dia tutup.Tagannya sibuk mencoret-coret kertas dengan pena, mencoba untuk menggambar sketsa model baju yang baru. Dia juga mencatata beberapa hal penting seperti warna, bahan, dan detail model yang ingin dia cantumkan untuk rancangan bajunya. Sesekali dia menajamkan pendengaran. Mungkin saja Jevano keluar kamar. Akan tetapi, sampai jam enam sore, Jevano masih tetap berada di dalam kamarnya."Saatnya makan malam," batin Juwita sambil beranjak dari tempatnya. Dia menaiki tangga untuk ke kamar anaknya. Tarikan napas itu mengawali ketukan tangan di daun pintu."Jevano, makan malam, yuk."Pintu itu langsung terbuka, menampakkan Jevano yang memakai kaos dan baju rumah sambil membawa pena. "Iya, sebentar. Tinggal lima soal ya
Pagi ini, setelah mengantarkan Jevano ke sekolah, Juwita bergegas untuk ke tempat kerjanya untuk memantau pekerjaan para karyawannya. Dia juga melihat-lihat folder rancangan baju yang ada di lemari arsip dan menyelipkan sketsa yang dia buat kemarin. Dia mengambil dua sketsa yang lebih lama ditaruh di sana dan mulai mencari bahan untuk membuatnya di gudang kain belakang butik. Dia dibantu oleh karyawannya sehingga pekerjaannya itu cepat selesai."Ini nanti kasih ke timnya Nia dan Juda, ya. Bilang ke mereka kalau ini akan jadi proyek mereka bulan depan. Kalau mereka bisa menyelesaikan semuanya sebelum deadline, bisa aja ini diajukan untuk menjadi style baju salah satu brand." Juwita menyerahkan kertas sketsanya kepada karyawannya yang mengurus gudang kain di butiknya. "Ah, bilang juga kalau mereka ada rekomendasi gaya atau bahan kain yang lain, bisa menyampaikan ke saya.""Baik, Bu." Juwita tersenyum dan menepuk pundak karyawannya itu. Dia keluar dari gudang dan menuju ke ruangannya. D
"Heh, Hellen. Jangan ngadi-ngadi, ya." Juwita meletakkan sendok es krim sangking kagetnya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Hellen. "Gue enggak ada rasa sama sekali sama Mas Jamal. Kita berdua sepakat buat jalani ini sesuai dengan perjanjian. Kita saling bantu aja. Bahkan Mas Jamal buat aku kayak saudara laki-laki."Hellen memutar bola matanya. "Sekarang lo ngomong kayak gitu, Kak. Enggak tahu lagi besok-besok."Wanita itu mencebik. "Yang gue tahu sekarang, ya, itu. Gue sama Mas Jamal berusaha sebaik mungkin buat terus saling mendukung. Btw, buat tekad dan minat gue untuk masak, itu bukan karena gue ada rasa sama Mas Jamal, ya. Gue cuma enggak mau aja Jevano kecewa karena ternyata pernikahan kita hanya karena mau saling membantu." Juwita ingin menekankan sekali lagi kepada Hellen bahwa dia tidak punya rasa apa-apa dengan Jamal."Iya. Iya." Agaknya Hellen mulai jengah. "Karena lo enggak mau setengah-setengah, kan, menjalani peran. Apalagi perjanjian lo sama Pak Jamal enggak boleh
Seperti yang telah direncanakan kemarin, Juwita mengajak Jevano untuk berbelanja bahan makanan. Lebih lagi wanita itu ingin belajar memasak. Anggap saja seperti dia harus mempunyai amunisi sebelum berperang."Ganti baju dulu atau langsung ke hypermart, Sayang?" tanya Juwita memberikan opsi. Mungkin saja Jevano tidak nyaman jika masih memakai seragamnya untuk jalan-jalan bersamanya."Langsung aja. Sekali jalan." Seperti biasa. Datar, singkat, padat, dan jelas.Juwita mengangguk dan langsung mengarahkan kemudinya ke tempat tujuan. Hatinya sudah sedikit longgar setelah sesi curhat hingga sama-sama menangis dengam Hellen tadi. Kalau diingat lagi, lucu juga mereka berdua. Setelah nangis, mereka tersenyum lagi dan terus-terusan memuji kue dan es krim Apaja. Bahkan mereka memesan es krim lagi dengan rasa yang berbeda. Sepertinya momen tadi lebih pantas kalau disebut dengan pelampiasan stres.Dari tempatnya, Jevano melirik bundanya agak lama, mengamati. Ada yang berbeda di wajah sang bunda, h