"Heh, Hellen. Jangan ngadi-ngadi, ya." Juwita meletakkan sendok es krim sangking kagetnya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Hellen. "Gue enggak ada rasa sama sekali sama Mas Jamal. Kita berdua sepakat buat jalani ini sesuai dengan perjanjian. Kita saling bantu aja. Bahkan Mas Jamal buat aku kayak saudara laki-laki."Hellen memutar bola matanya. "Sekarang lo ngomong kayak gitu, Kak. Enggak tahu lagi besok-besok."Wanita itu mencebik. "Yang gue tahu sekarang, ya, itu. Gue sama Mas Jamal berusaha sebaik mungkin buat terus saling mendukung. Btw, buat tekad dan minat gue untuk masak, itu bukan karena gue ada rasa sama Mas Jamal, ya. Gue cuma enggak mau aja Jevano kecewa karena ternyata pernikahan kita hanya karena mau saling membantu." Juwita ingin menekankan sekali lagi kepada Hellen bahwa dia tidak punya rasa apa-apa dengan Jamal."Iya. Iya." Agaknya Hellen mulai jengah. "Karena lo enggak mau setengah-setengah, kan, menjalani peran. Apalagi perjanjian lo sama Pak Jamal enggak boleh
Seperti yang telah direncanakan kemarin, Juwita mengajak Jevano untuk berbelanja bahan makanan. Lebih lagi wanita itu ingin belajar memasak. Anggap saja seperti dia harus mempunyai amunisi sebelum berperang."Ganti baju dulu atau langsung ke hypermart, Sayang?" tanya Juwita memberikan opsi. Mungkin saja Jevano tidak nyaman jika masih memakai seragamnya untuk jalan-jalan bersamanya."Langsung aja. Sekali jalan." Seperti biasa. Datar, singkat, padat, dan jelas.Juwita mengangguk dan langsung mengarahkan kemudinya ke tempat tujuan. Hatinya sudah sedikit longgar setelah sesi curhat hingga sama-sama menangis dengam Hellen tadi. Kalau diingat lagi, lucu juga mereka berdua. Setelah nangis, mereka tersenyum lagi dan terus-terusan memuji kue dan es krim Apaja. Bahkan mereka memesan es krim lagi dengan rasa yang berbeda. Sepertinya momen tadi lebih pantas kalau disebut dengan pelampiasan stres.Dari tempatnya, Jevano melirik bundanya agak lama, mengamati. Ada yang berbeda di wajah sang bunda, h
Jamal melipat bibirnya dan berdehem ringan. Berusaha biasa saja. Dia tidak memedulikan tatapan curiga dari Arjuna. Bahkan pria itu mulai mengajak bicara asistennya tentang pekerjaan lagi.Arjuna tidak mau kalah. Dia tetap berdiri tegak dan malah bersendekap. "Pak Jamal ini beneran sayang sama Mbak Juwita enggak, sih?"Jamal menoleh. "Ngapain Anda panggil mbak? Anda saja lebih berumur daripada istri saya."Arjuna melengkungkan garis bibirnya. "Memangnya kenapa? Saya sudah terbiasa memanggil anak Tuan Anggari dengan sebutan seperti itu. Anda tidak suka?"Jamal menatap pria yang berdiri di sampingnya itu dengan datar. "Maksud Anda?"Arjuna malah mengedikkan bahu dan membungkuk lagi. Dia mulai mengecek pekerjaan Jamal. "Anda terlihat belum mengenal Mbak Juwita, Boss. Saya jadi curiga kenapa Anda bisa menikah dengan Mbak Juwita."Jamal tidak menanggapi. Dia lebih memilih diam dan memperhatikan Arjuna yang memainkan scroll tetikus miliknya."Anda pakai guna-guna, ya, Boss," tebak Arjuna tib
Jevano turun saat merasakan perutnya yang mulai melilit. Langkahnya sangat santai dan tidak terdengar pergerakannya. Saat turun tangga, dia bisa melihat sang bunda yang masih sibuk di dapur. Dahinya mengernyit. Apa yang sedang dilakukan bundanya?"Hai, Jev. Belajarnya selesai?" Dengan senyum lebar, Juwita yang sedang bersemangat itu bertanya saat menyadari ada Jevano di tangga. Dia berusaha untukmenyelipkan anak rambutnya yang mencuat-cuat. Dia yakin penampilannya sudah bukan seperti desainer handal di butik. Dia seperti anak bocah yang sangat berantakan kalau di dapur."Belum." Pemuda itu melangkah ke ruang makan. Dia agak menjaga jarak supaya tidak menganggu bundanya. Juwita menghentikan gerakannya dan menatap anaknya yang berdiri di balik bar dapur luar. "Kamu laper?" tanyanya lagi. Senyumannya terulas di bibir. Selalu begitu apalagi untuk anaknya ini. Jevano hanya diam. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru dapur. Belanjaan tadi memang sudah tidak ada satu pun yang tampak. Ak
Jevano langsung berbalik badan dan menggigit martabak yang ada di tangannya. Dia menggeleng-geleng tak karuan, berusaha menghapus pemandangan yang baru saja tertangkap oleh matanya. Namun sia-sia saja. Keburu masuk ke otak. Apa-apaan tadi ayahnya? Mengambil kesempatan dalam kesempitan. Yakin setelah ini dia pasti akan jadi kacang. Mana sekarang dia sudah sendiri di ruang tengah. Menyedihkan sekali. Dia pun menatap martabak yang ada di pangkuannya. Apa dia jatuh cinta dengan makanan saja, ya?"Enggak. Enggak. Percuma gue berusaha bangun otot kalau gue gak kontrol makan." Dia perang batin sendiri. Ya, karena batin ayah dan bundanya pasti sedang berperang sendiri di dapur sana.Jamal segera menggeser tubuhnya saat tahu Jevano sudah memalingkan diri. "Maaf sekali lagi, Juwita." Dia berbisik sambil melepaskan tangannya yang tadi menyentuh tangan Juwita.Juwita hanay terdiam dan masih memproses apa yang sedang terjadi. Kemudian dia mengangguk maklum. "Usaha biar Jevano enggak curiga, kan? E
Makan malam sudah siap di atas meja. Jevano yang menatanya. Bayangan mengerikan tentang nasi goreng dengan sosis yang dipotong besar-besar dan udang yang masih berkulit yang memenuhi kepalanya tadi lenyap seketika. Untung ayahnya datang tepat waktu. Paling tidak, penampilan nasi goreng yang telah dia tata itu tidak membuat selera makannya hilang. Semoga rasanya juga selamat.Pemuda itu duduk tenang di atas kursi yang biasa dia pakai di ruang makan. Dengan santai, dia mengeluarkan gawainya untuk menonton video terbaru unggahan boy group kesukaannya, NCT. Hitung-hitung untuk mengisi waktu luang sambil menunggu orang tuanya selesai membersihkan diri."Jangan dekat-dekat, Jevano. Kacamatamu mana?" tanya Jamal yang baru saja selesai mandi. Kini dia sudah memakai baju kasual ala rumahan. Dia duduk di kursinya."Hehehe. Di kamar," jawabnya enteng lalu meneruskan menonton."Bunda mana?" tanya pria itu lagi. Dia melihat tata hidangan yang disusun oleh anaknya. Bisa diacungi jempol juga kerja a
Dentingan alat makan terdengar samar dan sesekali memenuhi ruang keheningan. Keluarga kecil itu masih menikmati nasi goreng seafood karya kolaborasi itu. Jamal dan Jevano tampak khusyuk dengan isi piring mereka, menyisakan Juwita yang memutar otak untuk mencari topik pembicaraan yang bisa memecah kesunyian di antara mereka."Jev," panggil wanita itu kepada anaknya. Jevano hanya menggumam sambil mengunyah makanannya. "Akhir pekan mau ngapain?"Anaknya hanya mengedikkan bahu. Seperti tidak tertarik dengan tema yang dipilih bundanya."Kamu enggak ada janji sama temen kamu di sekolah atau apa gitu?" Seperti Juwita biasanya, dia akan terus mencoba untuk mengajak Jevano berbicara.Jevano menggeleng. "Baru juga masuk sekolah." Dingin dan datar. Seperti Jevano biasanya. "Mana ada temen?"Juwita melipat bibirnya. Dia ragu akan meneruskan percakapan ini. Dia baru ingat dan sadar kalau Jevano memasuki lingkungan yang baru. Sangat tidak mungkin kalau anaknya ini sudah mempunyai teman akrab. Dia ja
"Boleh dibantu?" tanya Jamal sambil mengusap pundak Juwita. Dia mengulaskan senyuman dan memamerkan lesung pipi.Juwita yang mengantuk berat akhirnya mendapatkan kesadaran. Dia menarik napas dalam dan menoleh. "Iya, Mas?" tanyanya berusaha meraih semua energi untuk menahan kantuk."Boleh dibantu? Kamu kelihatan lelah, Juwita."Wanita itu menggeleng. "Mas Jamal istirahat aja. Biar aku selesaikan ini semua. Tinggal bilas doang, kok."Jamal mengangguk. "Aku temani di sini, ya. Gak papa, kan?" permisinya."Mas Jamal enggak istirahat aja? Kan, Mas Jamal kerja seharian. Besok juga masih kerja." Juwita bersikeras agar Jamal segera tidur."Besok kamu juga kerja. Sama aja. Lagian kamu hari ini juga udah susah payah buat masak. Sekali lagi terima kasih." Jamal menyandarkan dirinya di bar dapur dan bertumpu dengan sisi badannya. Dia menghadap ke Juwita.Juwita terkekeh. "Masaknya emang susah, sih. Apalagi baru belajar. Yang ada, mah, aku emang payah. Bener juga kalau dibilang aku tadi susah paya
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.