Jevano melangkah keluar ruangan pertemuan tadi. Kali ini, dia tidak akan sembrono. Di tangannya sudah ada gawai yang menunjukkan denah sekolahnya. Dia tidak bodoh untuk membuntuti orang lagi dan dituduh sebagai penguntit seperti apa yang dikatakan Haikal tadi.Akhirnya ketemu. Dia memasuki pintu keramat yang akan menolongnya setelah ini. Kantin. Sejujurnya, perut miskinnya itu sudah keroncongan lagi saat acara tadi karena hanya sarapan dengan sandwich ala orang kaya buatan bundanya. Memang rasa sandwich yang dia makan tadi pagi tidak buruk, tapi jumlah kalorinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan paginya. Ah, lebih tepatnya porsi.Jevano menghentikan langkahnya sejenak dan melihat sekeliling. Tidak banyak murid yang ada di sana. Hanya ada murid yang berseragam sama sepertinya, biru abu. Dari denah yang dia lihat, ini adalah kantin untuk kelas sepuluh. Jadi hanya murid-murid yang satu generasi dengannya yang menempati kantin ini.Segera, dia mendekati ke salah satu stan makanan. Dia
Juwita membelalakkan matanya saat menemukan kartu kuning di dalam dompetnya. Dia hendak membayar barang belanjaan yang ada di trolinya. "Astaga.""Ada apa, Bu?" tanya Erika yang ada di belakang Juwita. Dia menemani bosnya untuk belanja."Ini kartu Jevano masih ada di aku. Duh, gimana ini. Dia cuma makan sandwich pas sarapan. Mana aku enggak ngasih uang saku sama sekali. Makan siang dia kayak gimana nanti." Juwita kebingungan sendiri."Dua ratus tiga puluh lima ribu, Bu." Kasir selesai menghitung belanjaan Juwita."Urus dulu coba." Juwita meminta tolong ke Erika untuk membayar pakai kartu atm butiknya.Juwita menjauh dari tempat kasir dan mencoba menelepon Jevano. Beberapa kali dia mencoba tapi tidak ada jawaban. Akhirnya dia mengirimkan pesan kepada anaknya."Gimana, Bu?" Erika menghampiri Juwita dengan membawa barang belanjaan yang sudah dikemas di troli."Enggak diangkat. Masih kelas paling, ya?" Wajah Juwita terlihat sangat cemas."Telepon pihak sekolah aja. Ibu kenal, kan, sama me
Lima murid baru itu berdiri mengelilingi salah satu meja kantin kelas sepuluh. Mereka menatap tak percaya ke berbagai hidangan yang tertata rapi di sana. Macam makanannya memang tidak aneh-aneh. Ada nasi goreng seafood, nugget, sosis, rica daging dan buah-buahan yang telah dipotong rapi di wadah."Ini kantin sekolah atau restoran, sih?" Haikal menyiku lengan Jevano. "Lo gak salah dapet bekal beginian dari orang tua?""Gue juga enggak tahu," jawab Jevano singkat."Tapi kenapa kamu panggil kita dah?" Rani bersendekap. Masalahnya, dia tidak kenal dengan dua orang yang ada di hadapannya saat ini."Karena kalian yang aku kenal. Kalian juga udah bantu aku, jadi ... ya, beginilah." Jevano mengatakan apa adanya.Rani menghela napas dalam. "Ya, udah. Terlanjur bareng juga. Aku Maharani. Panggil aja Rani. Kita belum kenalan, kan?" Supel sekali gadis mungil satu ini."Aku Arina." Gadis dengan jepit rambut di sebelah Haikal itu menyuguhkan senyum ramahnya."Haikal.""Syahid.""Jevano.""Kamu engg
Juwita menghela napas dalam dan mengeluarkannya. Dia sedang menikmati seduhan teh chamomile sambil melihat ke halaman belakang rumah yang asri. Di luar sana sedang hujan. Hawa dingin yang dibawa angin sepoi di awal hujan menerpa wajahnya dari jendela yang sengaja tidak dia tutup.Tagannya sibuk mencoret-coret kertas dengan pena, mencoba untuk menggambar sketsa model baju yang baru. Dia juga mencatata beberapa hal penting seperti warna, bahan, dan detail model yang ingin dia cantumkan untuk rancangan bajunya. Sesekali dia menajamkan pendengaran. Mungkin saja Jevano keluar kamar. Akan tetapi, sampai jam enam sore, Jevano masih tetap berada di dalam kamarnya."Saatnya makan malam," batin Juwita sambil beranjak dari tempatnya. Dia menaiki tangga untuk ke kamar anaknya. Tarikan napas itu mengawali ketukan tangan di daun pintu."Jevano, makan malam, yuk."Pintu itu langsung terbuka, menampakkan Jevano yang memakai kaos dan baju rumah sambil membawa pena. "Iya, sebentar. Tinggal lima soal ya
Pagi ini, setelah mengantarkan Jevano ke sekolah, Juwita bergegas untuk ke tempat kerjanya untuk memantau pekerjaan para karyawannya. Dia juga melihat-lihat folder rancangan baju yang ada di lemari arsip dan menyelipkan sketsa yang dia buat kemarin. Dia mengambil dua sketsa yang lebih lama ditaruh di sana dan mulai mencari bahan untuk membuatnya di gudang kain belakang butik. Dia dibantu oleh karyawannya sehingga pekerjaannya itu cepat selesai."Ini nanti kasih ke timnya Nia dan Juda, ya. Bilang ke mereka kalau ini akan jadi proyek mereka bulan depan. Kalau mereka bisa menyelesaikan semuanya sebelum deadline, bisa aja ini diajukan untuk menjadi style baju salah satu brand." Juwita menyerahkan kertas sketsanya kepada karyawannya yang mengurus gudang kain di butiknya. "Ah, bilang juga kalau mereka ada rekomendasi gaya atau bahan kain yang lain, bisa menyampaikan ke saya.""Baik, Bu." Juwita tersenyum dan menepuk pundak karyawannya itu. Dia keluar dari gudang dan menuju ke ruangannya. D
"Heh, Hellen. Jangan ngadi-ngadi, ya." Juwita meletakkan sendok es krim sangking kagetnya dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Hellen. "Gue enggak ada rasa sama sekali sama Mas Jamal. Kita berdua sepakat buat jalani ini sesuai dengan perjanjian. Kita saling bantu aja. Bahkan Mas Jamal buat aku kayak saudara laki-laki."Hellen memutar bola matanya. "Sekarang lo ngomong kayak gitu, Kak. Enggak tahu lagi besok-besok."Wanita itu mencebik. "Yang gue tahu sekarang, ya, itu. Gue sama Mas Jamal berusaha sebaik mungkin buat terus saling mendukung. Btw, buat tekad dan minat gue untuk masak, itu bukan karena gue ada rasa sama Mas Jamal, ya. Gue cuma enggak mau aja Jevano kecewa karena ternyata pernikahan kita hanya karena mau saling membantu." Juwita ingin menekankan sekali lagi kepada Hellen bahwa dia tidak punya rasa apa-apa dengan Jamal."Iya. Iya." Agaknya Hellen mulai jengah. "Karena lo enggak mau setengah-setengah, kan, menjalani peran. Apalagi perjanjian lo sama Pak Jamal enggak boleh
Seperti yang telah direncanakan kemarin, Juwita mengajak Jevano untuk berbelanja bahan makanan. Lebih lagi wanita itu ingin belajar memasak. Anggap saja seperti dia harus mempunyai amunisi sebelum berperang."Ganti baju dulu atau langsung ke hypermart, Sayang?" tanya Juwita memberikan opsi. Mungkin saja Jevano tidak nyaman jika masih memakai seragamnya untuk jalan-jalan bersamanya."Langsung aja. Sekali jalan." Seperti biasa. Datar, singkat, padat, dan jelas.Juwita mengangguk dan langsung mengarahkan kemudinya ke tempat tujuan. Hatinya sudah sedikit longgar setelah sesi curhat hingga sama-sama menangis dengam Hellen tadi. Kalau diingat lagi, lucu juga mereka berdua. Setelah nangis, mereka tersenyum lagi dan terus-terusan memuji kue dan es krim Apaja. Bahkan mereka memesan es krim lagi dengan rasa yang berbeda. Sepertinya momen tadi lebih pantas kalau disebut dengan pelampiasan stres.Dari tempatnya, Jevano melirik bundanya agak lama, mengamati. Ada yang berbeda di wajah sang bunda, h
Jamal melipat bibirnya dan berdehem ringan. Berusaha biasa saja. Dia tidak memedulikan tatapan curiga dari Arjuna. Bahkan pria itu mulai mengajak bicara asistennya tentang pekerjaan lagi.Arjuna tidak mau kalah. Dia tetap berdiri tegak dan malah bersendekap. "Pak Jamal ini beneran sayang sama Mbak Juwita enggak, sih?"Jamal menoleh. "Ngapain Anda panggil mbak? Anda saja lebih berumur daripada istri saya."Arjuna melengkungkan garis bibirnya. "Memangnya kenapa? Saya sudah terbiasa memanggil anak Tuan Anggari dengan sebutan seperti itu. Anda tidak suka?"Jamal menatap pria yang berdiri di sampingnya itu dengan datar. "Maksud Anda?"Arjuna malah mengedikkan bahu dan membungkuk lagi. Dia mulai mengecek pekerjaan Jamal. "Anda terlihat belum mengenal Mbak Juwita, Boss. Saya jadi curiga kenapa Anda bisa menikah dengan Mbak Juwita."Jamal tidak menanggapi. Dia lebih memilih diam dan memperhatikan Arjuna yang memainkan scroll tetikus miliknya."Anda pakai guna-guna, ya, Boss," tebak Arjuna tib
"Jairaaaa!"Jevano segera menghampiri adiknya yang sekarang berusia tiga bulan. Dia melepas tas punggungnya dan meletakkan benda tersebut ke sembarang tempat. Adiknya ada di stroller depan rumah karena sedang waktunya mandi matahari. Lelaki itu langsung menciumi wajah bayi tersebut sampai membuat si bayi bangun."Pulang-pulang yang disapa bukan bundanya malah adiknya dulu." Juwita duduk di teras sambil menjaga bayi perempuannya. Di atas pangkuannya ada buku sketsa rancangan baju dan alat tulis.Jevano nyengir. Dia baru saja pulang dari menemani ayahnya ke Swiss untuk perjalanan bisnis. Karena Jamal berangkat bersama Suwono, Jevano dan Syahid langsung minta ikut saat tahu bahwa orang tua mereka akan menuju negara yang sama. Walhasil, dua pasangan bapak dan anak itu harus
Hari ini adalah hari yang paling ditunggu.ANAK PEREMPUAN JAMAL DAN JUWITA LAHIR.Dua lelaki yang sedari masuk rumah sakit penuh dengan kepanikan, kekhawatiran dan kebahagiaan itu masih belum beristirahat sama sekali. Juwita masuk ke operasi karena air ketubannya sudah pecah saat di rumah.Akan tetapi, semua itu terbayar saat terdengar tangisan bayi dari dalam. Jamal yang diminta untuk menemani Juwita pun sampai menangis saat menggendong bayinya. Rasanya lega sekali. Tuan dan Nyonya Anggari datang setelah Arjuna dan Hellen. Bahkan Arjuna dan Hellen sampai berpelukan saking bahagianya.Jevano yang tersenyum bahagia harus tertawa melihat om dan tantenya yang jadi canggung. Lucu sekali.Otomatis, rumah utama keluarga Anggari dipenuhi dengan hadiah dan ucapan selamat. Jevano pun sampai bosan sekali melihat satpam keluar masuk pintu utama untuk mengirimkan paket yang datang. Apalagi saat buka kado. Terlalu banyak sampai dia muak."Baju lagi, Yah.
"Ayah, tadi itu siapa?" tanya Jevano saat mereka memasuki rumah.Jamal berjalan cepat di depan Jevano dan tidak ada niat untuk menjawab pertanyaan anaknya yang sedari tadi dilontarkan."Ayah, tolong jawab." Jevano agak meninggikan nada bicaranya. Dia sebal karena diabaikan oleh sang ayah."Bukan urusanmu, Jevano Kalindra!" Jamal menghadap anaknya. "Gara-gara kamu yang berantem, Ayah harus bertemu dengan dia!"Pemuda itu tersentak. Ayahnya terlihat sangat marah. Dia tidak pernah melihat mata ayahnya yang membelalak dan wajah merah padam ditujukan kepadanya.Di sisi lain, Juwita yang mendengar ada keributan di ruang tengah, berusaha bangkit dari kasurnya. Itu pas
Jevano menatap pusara ibunya dengan mata yang masih sembab. Dia memakai kemeja putih dan celana bahan hitam, masa dengan Jamal dan Lukman. Juwita berdiri di samping anaknya dan memeluk pundak lelaki itu. Air mata mereka belum kering. Sama seperti tanah persemayaman akhir Bunga.Semua orang sudah kembali, meninggalkan pemakaman."Aku masih mau di sini." Jevano berucap saat merasakan kedatangan seseorang. Dia yakin itu adalah salah satu sopir keluarganya."Jev," ucap Juwita yang tidak tega melihat wajah sedih anaknya.Jevano menggeleng. Waktu yang begitu singkat dia rasakan bersama ibunya belum cukup. Dia ingin melepas kepergian ibunya untuk yang terakhir kali. Dia masih ingin di sini lebih lama lagi.
Juwita menatap Jevano yang sedang duduk terdiam di ruang tunggu rumah sakit. Sesekali dia mengusap pundak anaknya dengan lembut untuk menenangkannya. Suaminya duduk di sisi kanan Jevano. Sedangkan Lukman, pria itu sedang mengurus administrasi."Udah jam sepuluh malam, Sayang. Kamu enggak mau pulang?" tanya Juwita kepada sang anak. Dia tahu ini adalah pertanyaan yang agak ceroboh, tapi dia juga tidak bisa membiarkan anaknya terus-terusan begini."Bunda sama Ayah pulang aja dulu. Aku di sini sama Om Lukman." Jevano berusaha untuk tidak meneteskan air matanya. Sedari tadi, dia diliputi oleh kekhawatiran akan keadaan sang ibu di dalam ruang operasi. Sudah sepuluh jam dan belum ada tanda-tanda operasi ibunya selesai."Besok kamu mulai sekolah lagi, Jev." Juwita mengusap lembu
"Kamu kenapa, sih, Jae?" Pertanyaan Juwita itu muncul saat melihat suaminya yang tidak fokus. Padahal mereka sedang menikmati waktu berdua setelah lebih dari dua minggu Jamal menghabiskan waktu untuk mengurus proyek barunya dengan klien dari Kanada. Jamal sendiri yang melakukan observasi tempat di restoran ternama.Pria itu tersadar. Dia memaksakan senyum tipis seraya menggeleng. "Enggak papa. Aku cuma kepikiran Jevano aja, Bae."Juwita menatap suaminya lekat dengan penuh pengertian. Dia paham perasaan Jamal sekarang. "Kak Bunga pasti menepati janjinya, Jae. Aku yakin."Jamal membalas tatapan sang istri. "Tahu dari mana?" tanyanya meragu."Aku udah bicara sama Kak Bunga. Sama Jevano juga. Toh, Jevano juga enggak abs
Jevano menunduk saat turun dari tangga dan duduk di ruang makan. Dia menjadi pusat perhatian ayah dan bundanya. Hatinya bimbang. Dia takut untuk mengatakan sesuatu yang ada dalam benaknya. Dia takut jika menyakiti dan mengecewakan orang tuanya."Makan, Jevano." Juwita memberikan senyumannya kepada bocah murung itu.Sang ayah memanjangkan tangan untuk mengelus kepala anaknya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja, Jevano. Ayah dan Bunda bakalan dengerin."Jevano tambah bingung. Perlahan dia mengangkat kepalanya. "Kalau misalnya aku ketemu sama Ibu dulu nanti boleh apa enggak?" tanyanya sangat hati-hati. Dia tidak mau menyakiti perasaan kedua orang tuanya. Dia sudah menimbang rasa orang tuanya jika dia mengatakan hal ini. Ayahnya pasti sebenarnya sangat berat hati. Apalagi selam
Hellen memicingkan matanya saat melihat sesosok wanita yang tidak asing di matanya. Dia bahkan sampai menarik tangan Ari untuk bersembunyi dan memperhatikan gerak gerik wanita tersebut."Apa, sih, Len." Ari yang tak tahu menahu dengan maksud kelakuan Hellen pun berusaha untuk lepas dari tangan wanita itu."Sssttt. Aku tahu wanita itu." Hellen menunjuk ke wanita yang memakai dress panjang setengah betis berwarna hijau elegan. Terlihat kasual dan anggun di satu waktu."Siapa?" tanya Ari penasaran. Matanya melebar saat melihat wajah wanita tersebut. "Bunga Dahlia enggak, sih? Top model agensi Bu Diyanah temennya direktur kita?"Hellen menoleh ke pria yang ada di sampingnya itu. "Kok tahu?"
Arjuna keluar dari ruang rapat. Dia meminta izin untuk menghubungi Juwita. Jamal tadi membisikinya kalau salah satu berkas yang akan menjadi bahan presentasinya di rapat relasi dengan klien Kanada itu tertinggal di kantor rumahnya. Arjuna mendengkus kesal. Sudah banyak kali dia bilang kepada Jamal agar meneliti kembali berkas yang dibawa pulang ke rumah. Kalau seperti ini pasti dia yang direpotkan."Hallo, Mbak Juwita." Arjuna menyapa wanita yang ditelepon olehnya."Ada apa, Kak?" Juwita pulang ke rumah setelah bercakap dengan Bunga tadi. Menahan emosi dari awal sampai akhir percakapan dengan wanita itu membutuhkan energi yang kuat. Dia tidak jadi pergi ke butik untuk sekarang. Bahkan dia sedang rebahan di atas sofa lebar untuk mengembalikan energi dan mengelola emosinya kembali. Dia menenangkan diri.