Semua Bab Perempuan Masa Lalu Suamiku: Bab 21 - Bab 30

141 Bab

Bab 21: Pupus (3)

“Ah, shit!” serunya kesal sembari membanti map. Jarum pendek jam di dinding hampir menunjuk angka dua belas, tetapi Pak Pardi belum juga menelepon. “Sudah nyampe Jogja belum sih, Kang?” sembur Satya ketika teleponnya tersambung ke Pak Pardi. Ia lelah menunggu sehingga memutuskan untuk menelepon sopirnya.“Sudah, Mas.” Getar ketakutan terdengar jelas dari seberang ditingkahi suara kendaraan bermotor. “Saya sudah di sini sejak dua jam lalu,” lanjut Pak Pardi.“Beneran Lintang belum balik kost? Masa sih, dia nggak pulang ke kostnya?” tanya Satya tak percaya.“Iya, Mas. Mbak Lintang memang belum keliatan di kost.”“Coba Kang Pardi tanyain temen kostnya. Kali aja Lintang datang pas Kang Pardi nggak liat.”“Ba-baik, Mas.”Satya memutus sambungan telepon lalu meletakkan gawai di atas meja dengan kasar. “Tolonglah, Lin, jangan siksa aku kayak gini. Aku mau bicara,” batinnya gusar.Matahari yang terus merangkak ke barat tanpa kabar baik dari Pak Pardi membuat rasa bersalah di hati Satya sep
Baca selengkapnya

Bab 22: Aku Butuh Merenung

Dalam selembar daun yang jatuh diterbangkan angin, engkau menjelmaDi bawah siraman cahaya matari, engkau mengadaBersama kesiur angin yang mencumbu tubuh, engkau hadirDalam bayang di bening air, engkau menatapku, mengulurkan sekeping tanda mata bernama rindu!***Pagi yang bingar di kost Dini. Usai membaca Al Quran dan wirid pagi, Dini melantai di dapur. Kostnya memang menyediakan dapur yang setiap saat bisa dipakai para penghuninya untuk memasak maupun sekadar memanaskan makanan. Sementara itu, Lintang sedang tidak bisa diganggu karena harus menyiapkan revisi skripsi dan pergi sebelum jam setengah tujuh.“Nasi gorengnya mantap, Din. Calon istri solehah, nih.” Lintang mengacungkan jempol. Sepiring penuh nasi goreng berhasil melewati rongga mulut.“Itu karena kamu lagi laper.” Dini terkekeh. “Lagian apa hubungannya nasi goreng dengan istri solehah?”Lintang mengibaskan tangan sembari berdecak. “Konon, laki-laki harus dipuaskan perutnya biar betah dan cinta.”“Nah, itu tahu teorinya.
Baca selengkapnya

Bab 23: Kamu Harus Bicara

Sinar matahari pagi yang menyirami bumi mengiringi laju motor Lintang. Ia tiba di depan ruang kerja Prof. Kathrina lima menit sebelum dosen yang selalu tampil modis itu datang.“Saya sudah oke, Lin. Data dan analisisnya sudah lengkap. Good job, dear.” Prof. Kathrina menyodorkan satu bendel kertas pada Lintang. Senyum puas terkembang sempurna di wajah cantiknya.“Alhamdulillah.” Lintang menarik napas lega lalu mempersembahkan senyum semanis cokelat hangat. “Makasih banyak, Prof.”“Kamu cek ke Pak Razi. Kalau beliau oke, kamu langsung saja minta waktu kosong beliau dan daftar ujian. Saya ngikut saja jadwal Pak Rozi. Yang penting, sebelum saya berangkat ke Jerman, kamu sudah ujian,” tambah Prof. Kathrina.“Tinggal dua minggu lagi, Prof,” ujar Lintang sedikit cemas ketika melihat buku catatan.“Makanya kamu segera janjian sama Pak Razi saja,” sahut Prof. Kathrina.Lintang mengangguk. Kebetulan hari ini ia sudah membuat janji dengan Dr. Razi.“Oke, sampai ketemu saat ujian. Siapkan present
Baca selengkapnya

Bab 24: Mari Kita Bicara

“Kamu istrinya. Hakmu untuk meminta pengertian Satya dan kewajibanmu mempertahankan pernikahan kalian,” lanjut Dini.Dering ponsel Lintang kembali mengisi udara. Dini mengeratkan genggamannya. “Angkat dan bicara baik-baik. Buat dia ngerti perasaan dan keinginan kamu.” Dini tersenyum tulus lalu melepas genggaman tangannya. Ia bangkit lalu keluar kamar agar Lintang bisa bebas berbicara dengan Satya.Jika Lintang memilih kegiatan di biro konsultan lingkungan milik Prof. Kathrina, sejak semester dua Dini memilih untuk mengabdikan diri di LSM Sahabat Perempuan yang memiliki layanan konseling keluarga. Tidak heran, meski belum menikah, ia telah banyak berkutat dengan masalah rumah tangga. Perceraian yang dialami kedua orang tuanya mengantar Dini untuk membantu di sana. Menjadi anak dari orang tua yang bercerai itu tidak menyenangkan dan Dini tidak ingin anak-anak lain mengalaminya.“Lin …” Suara Satya terdengar dari seberang setelah tahu Lintang menerima teleponnya.Lintang bergeming, membi
Baca selengkapnya

Bab 25: Mari Kita Berpisah

“Waktu ijab, Paklik Heru telah menyerahkan perwalian saya kepada Mas Satya. Dan ketika Mas Satya berkata “saya terima nikahnya Lintang binti Hendra Hadiwijaya” maka saat itu juga Mas Satya sudah berjanji kepada Paklik Heru dan kepada Allah untuk mengambil alih tanggung jawab mendidik, melindungi, dan menafkahi saya.”Lintang menjeda kalimat dengan meneguk setengah gelas air putih demi membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Ia seperti tengah mengisi kajian di depan suaminya sendiri, mencoba membagikan ilmu yang didapat ketika mengikuti pre-mariage class.“Janji dengan siapa yang lebih berharga dan kuat ikatannya? Janji dengan Allah atau janji dengan Hanum?” pungkasnya. Semua anak panah telah ia lesatkan.“Aku belum pernah dengar tentang itu,” sergah Satya cepat.“Mas Satya mau bilang kalau saya mengada-ada? Modus gitu?”“Bukan, bukan gitu maksudku,” seru Satya. “Duh, kenapa Lintang jadi belibet gini, sih?” batin Satya heran. Ia pikir Lintang adalah perempuan penurut yang tidak ba
Baca selengkapnya

Bab 26: Pesan Guru

Satya menutup malam dengan yoga ringan dan meditasi. Kalut dan bingung sudah tercerabut dari hati. Ia sudah meminta maaf pada Lintang sehingga bisa tidur dengan tenang. Tidak lupa ia meminta Pak Pardi untuk segera pulang ke Solo.Usai meditasi, Satya menghabiskan segelas jus apel seledri di teras belakang rumah sembari menatap langit. Kedua sudut bibirnya terangkat ketika melihat purnama yang menjelma wajah Lintang sementara bintang timur yang mengapung di langit menjelma wajah sang bunda. Kedua perempuan itu seolah tersenyum dan melambaikan tangan. Satya belum pernah merasa setenang ini sejak kepergian Bu Sekar.Keesokan harinya, Satya memulai hari dengan penuh semangat. Ia harus merampungkan pekerjaan sesegera mungkin agar proses resign-nya lebih cepat. Perusahaan di Solo sudah menanti untuk diurus. Banyak rencana tersusun di kepalanya untuk membesarkan warisan kedua orang tuanya itu. Jika selama ini batik-batik mereka hanya berputar di Indonesia, Satya bertekat akan membawanya mene
Baca selengkapnya

Bab 27: Hati Hanum

Mestinya detak jarum jam,bergulirnya siang malam,cukup memberimu kabar bahwa waktu takpernah diamdan semua yang tertinggal pada masa lalu akan berubah menjadi kenangan.***Sekian detik menimbang, Satya akhirnya mengiyakan permintaan Hanum. Dari nada bicaranya, Satya bisa menebak jika ada hal penting yang ingin dibicarakan gadis berlesung pipit itu. Satya hapal tabiat kekasihnya.Tepat jam setengah delapan, Satya tiba di depan kafe yang sedang hits di Bandung karena memiliki banyak spot swafoto dan kursi berupa ayunan. Suara penyanyi band Tobe menyanyikan lagu “Heaven” milik Bryan Adams menyambut kedatangan Satya. Aroma aneka makanan memantik demo cacing-cacing di perutnya. Setelah memesan semangkuk smoothies dan segelas jus apel, Satya melewati ruang utama kafe yang luas dan nyaman menuju bagian belakang. Ia sengaja memesan meja yang berada di tempat terbuka.“Sudah lama?” tanya Satya ketika sudah tiba di meja yang menyendiri di salah satu sudut kebun belakang. Meja yang dipesanny
Baca selengkapnya

Bab 28: Hati Hanum (2)

Harusnya aku menjadi bumiyang selalu siap merengkuh siapa pun yang terjatuhsembari berkata, “Kamu akan baik-baik saja dalam pelukanku.”Nyatanya, aku hanya setangkai bunga yang justru harus segera digenggam ketika terjatuh.***“Mas Raka dan Mas Abi juga nggak setuju kita lanjut. Kalau tiga lelaki sudah sepakat, aku tidak akan bisa berkutik.” Hanum membuang muka, membiarkan air mata kembali turun, kali ini lebih deras. Rasa sesak di hatinya bergumpal-gumpal. Ia ingin bumi berputar lebih cepat agar ia bisa segera menuntaskan urusannya dengan Satya lalu pergi sejauh mungkin dari kehidupan lelaki itu.“Tapi kamu sebenarnya nggak pengen putus, kan?” Satya terkejut dengan pertanyaannya sendiri. Dalam hati merutuki diri yang tidak sinkron antara otak, hati, dan mulut. Padahal otaknya jelas memintanya untuk menutup mulut dan menunggu Hanum menuntaskan cerita. Entah kenapa mulutnya malah melontarkan pertanyaan yang akan menjadi boomerang bagi dirinya.Hening. Hanum masih menatap dendrobium
Baca selengkapnya

Bab 29: Sebuah Akhir

Entah berapa lama mereka terpenjara dalam bisu yang menyakitkan, diam dalam kecamuk pikiran dan badai di hati. Satya ingin bangkit dan memeluk Hanum untuk terakhir kalinya, tetapi badannya seolah terpasak di tempat sehingga ia hanya bisa menggenggam jemari lembut gadis yang telah dikenalnya sejak berseragam putih abu itu.“Kamu nggak salah,” ujar Hanum setelah berhasil menguasai diri. “Salahku menaruh harap pada orang yang salah. Sebenarnya sebelum papa tahu statusmu, mama sudah tahu lebih dulu. Mama sudah ngingetin buat putus. Tapi aku ngeyel karena kamu sudah janji dan kamu selalu menepati janji.” Hanum melanjutkan kisah lalu tersenyum getir. Ia menarik tangannya dari genggaman Satya. “Andaikan aku nurut kata mama, pasti tidak akan sesakit ini.”Satya merasa tubuhnya menciut seperti siput terkena garam. Ratusan klien telah ia taklukkan. Semua staf mengakui kehebatannya karena kinerja memuaskan dan presentasi yang memukai. Tidak ada orang yang tidak tertarik jika mendengar dan meliha
Baca selengkapnya

Bab 30: Selamat Tinggal

Satya meraih kotak beledu maroon lalu menimangnya sesaat. Ia masih ingat, setahun yang lalu mereka pergi berlibur ke kebun teh milik Boscha di Pandeglang. Ia memberikan cincin itu dan mengikat janji akan melamar Hanum setelah rumah yang disiapkannya untuk mereka berdua jadi. Sejak awal berpacaran, Satya memang sudah bertekad akan langsung membawa Hanum ke rumah sendiri, rumah yang ia usahakan dari kerja kerasnya selama ini.Satu per satu pengunjung meninggalkan kafe. Satya menjadi orang terakhir yang meninggalkan halaman belakang kafe. Setelah membayar di kasir, Satya berjalan cepat menuju halaman.“Pak, udah punya istri belum?” Satya bertanya pada tukang parkir yang mendekatinya.“Sudah, Pak.” Tukang parkir itu menatap Satya heran. “Kenapa, Pak?”“Ini buat Bapak.” Satya meletakkan kotak beledu di telapak tangan tukang parkir. “Berikan ke istri Bapak. Anggap saja hadiah istimewa.” Tangan Satya merogoh saku celana lalu meletakkan selembar uang lima puluh ribu di tangan lelaki kurus pen
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status