Satya meraih kotak beledu maroon lalu menimangnya sesaat. Ia masih ingat, setahun yang lalu mereka pergi berlibur ke kebun teh milik Boscha di Pandeglang. Ia memberikan cincin itu dan mengikat janji akan melamar Hanum setelah rumah yang disiapkannya untuk mereka berdua jadi. Sejak awal berpacaran, Satya memang sudah bertekad akan langsung membawa Hanum ke rumah sendiri, rumah yang ia usahakan dari kerja kerasnya selama ini.Satu per satu pengunjung meninggalkan kafe. Satya menjadi orang terakhir yang meninggalkan halaman belakang kafe. Setelah membayar di kasir, Satya berjalan cepat menuju halaman.“Pak, udah punya istri belum?” Satya bertanya pada tukang parkir yang mendekatinya.“Sudah, Pak.” Tukang parkir itu menatap Satya heran. “Kenapa, Pak?”“Ini buat Bapak.” Satya meletakkan kotak beledu di telapak tangan tukang parkir. “Berikan ke istri Bapak. Anggap saja hadiah istimewa.” Tangan Satya merogoh saku celana lalu meletakkan selembar uang lima puluh ribu di tangan lelaki kurus pen
“Selamat ya, Lin. Akhirnya selesai juga.” Dini memeluk Lintang yang baru saja keluar dari ruang sidang jurusan. Hari ini sahabatnya menuntaskan studinya dan berhasil mendapat nilai A.“Makasih, Din. Makasih banyak,” ujarnya tulus. “Ayo kita pulang sekarang. Kamu harus siap-siap buat besok,” ujar Lintang setelah Dini mengurai pelukan. Besok menjadi giliran Dini untuk ujian skripsi.Dini mengangguk lalu menggamit lengan Lintang dan berjalan beriringan menuju parkir. Sepuluh menit kemudian keduanya sudah berada di kost Dini. Lintang sengaja menginap di kost Dini sejak tiga hari lalu untuk latihan presentasi. Prof. Kathrina memintanya presentasi dalam bahasa Inggris sehingga Lintang harus melakukan persiapan ekstra.Matahari sudah merangkak ke barat ketika Dini keluar ruang sidang jurusan. Ia memang mendapat jadwal jam terakhir. Lintang memeluk erat sahabatnya yang juga berhasil mendapat nilai A.“Duh, alhamdulillah kamu latihan presentasi di kostku. Aku jadi banyak belajar dan punya cad
Setelah terpaku beberapa detik, Lintang meraih jemari kukuh Satya lalu mencium punggung tangannya. Ia bersyukur tidak ada siapa pun di sana karena kantin sudah tutup. “Sa-saya kira Mas Satya nggak beneran ada di sini.” Mendadak rasa gugup meraja. Lintang melihat wajah Satya sekilas lalu menunduk. Ia tidak sanggup berlama-lama melihat senyum yang membuat hatinya meleleh. Ia khawatir terlanjur jatuh cinta dan akan terlalu sakit kalau saat perpisahan tiba. “Ngapain nge-prank jauh-jauh dari Bandung ke Jogja?” Satya tertawa. “Kamu udah beres kuliah atau masih ada kerjaan?” “Udah selesai. Ini mau pulang.” Lintang memberanikan diri mendongak. Perlahan detak jantungnya mulai normal. “Kalau gitu, kita jalan, yuk. Di mana tempat makan paling enak di Jogja?” tanya Satya antusias. “Eng, anu ….” Lintang menggaruk kepala. Ia teringat Dini yang masih menunggunya di parkiran. “Saya bareng temen. Dia masih nunggu di parkiran. Kami mau hang out nanti malam.” Perempuan berkacamata itu berkata hati-
Satya hampir saja tertidur ketika istrinya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat segar. Refleks Satya kedua sudut bibirnya terangkat saat melihat mata bening Lintang. Rasa cinta memang belum sepenuhnya tumbuh dalam hatinya. Namun, Satya berdoa Tuhan akan menautkan hati mereka. Ia sudah bertekad akan menjalani pernikahan sebagaimana layaknya meski butuh waktu untuk menerima Lintang. “Kita makan di sini saja, Lin. Kayaknya resto di sini lumayan juga view-nya,” ujar Satya sembari menyisir rambut. “Iya, Mas. Saya ngikut aja mau makan di mana,” ujar Lintang gugup. Melihat wajah segar Satya yang terpantul di cermin membuat jantung Lintang kembali berdetak cepat. Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke jendela besar di sisi lain kamar yang memperlihatkan pemandangan di luar. Satya mengambil botol Louis Varel Extreme Musk dari ransel kemudian menyemprotkan isinya ke beberapa bagian tubuhnya. Seketika aroma musk yang lembut, elegan, dan mewah menyelusup ke rongga hidung, membuat
Jika hatimu adalah telaga, izinkan aku berenang di dalamnya.Jika cintamu adalah cahaya matahari, izinkan aku menjadi bumi yang selalu siap menerima pancaran sinarnya. Aku padamu seperti detak jarum pada jam dinding, seperti pintalan benang dalam selembar kain. ***Kedatangan pelayan membawa pesanan mereka membuat Satya kembali menutup mulut yang baru saja terbuka untuk melanjutkan kalimat. “Minum dulu, Lin, biar nggak tegang.” Satya mencoba mencairkan suasana. “Lama-lama aku takut lihat wajah kamu. Aku bukan dosen penguji dan kamu bukan lagi ujian,” goda Satya. Sederet gigi seputih kapas terlihat di wajahnya.Lintang tersenyum kikuk. Tangannya meraih gelas dan mengaduk isinya dengan malas. “Pintar betul Mas Satya mengombang-ambingkan perasaan orang,” batinnya rusuh. “Cuma mau bilang putus saja muter-muter nggak jelas.” Batinnya terus bermonolog. Rasa kesal mulai merambati hati melihat sikap Satya yang terus mengulur waktu seperti seorang anak tengah bermain laying-layang. “Sunggu
“Jadi, sampai kapan aku harus nunggu jawaban? Atau kamu nggak suka gelang ini?”“Eh, bukan gitu, Mas.” Lintang menghela napas. “Sa-saya belum pernah dapat hadiah semewah ini.”“Jadi?” Salah satu alis Satya terangkat.“Saya suka.” Bibir Satya membentuk bulan sabit.Satya menggeleng. “Mana tanganmu?” Gugup, Lintang menyodorkan tangan lalu membiarkan Satya memakaikan gelang itu di pergelangan tangannya. “Gelang ini sebagai tanda mulai saat ini kita jadi konco mesra.” Lintang menjawab ucapan Satya dengan anggukan dan ucapan terima kasih. Tepat jam sembilan malam mereka meninggalkan Bogey’s Teras diiringi embusan angin mulai menyelusupkan hawa dingin. Rasa lelah karena beberapa hari lembur hingga dini hari membuat Lintang tidur cepat. Usai salat Isya ia sudah terbang ke alam mimpi tanpa memedulikan sang suami yang masih terjaga. Satya membaringkan tubuh di samping Lintang. Ditatapnya lekat wajah istrinya yang terlihat damai. Lalu, hawa panas tiba-tiba menjalari tubuh, membangkitkan ses
Kabar dari Evan seperti kobaran api yang melumat habis kebahagiaan yang baru sebentar tercipta di antara Satya dan Lintang. Tanpa banyak kata mereka meninggalkan hotel menuju stasiun KRL di Maguwo lalu naik kereta tercepat tujuan Stasiun Solo Balapan.Sepanjang perjalanan Satya terus berkoordinasi dengan Evan sementara Lintang memilih diam dan hanya membuka mulut jika suaminya memulai pembicaraan terlebih dahulu. Lintang buta tentang usaha keluarga Satya. Apa yang diketahuinya sebatas kulit terluar, hanya jumlah toko, spa, dan pabrik batik di Laweyan. Alih-alih memberi solusi, Lintang khawatir akan memperburuk suasana jika berbicara. “Delapan puluh persen toko dan gudang terbakar,” ujar Satya lesu. Ia menatap Lintang lalu mengalihkan pandangan ke luar. Kereta baru saja melewati Klaten. “Untungnya nggak ada korban jiwa. Enggak kebayang kalau sampai ada yang meninggal. Rugi harta bisa dicari. Nyawa enggak bakal kembali.” Wajah Satya sekeruh air kolam yang lama tidak dikuras. “Kenapa b
Satya menoleh. Selama ini ia memang tidak tahu banyak aktivitas Lintang. Ia hanya tahu, istrinya masih kuliah dan dari pembicaraan yang selintas terdengar, sepertinya Lintang tidak sekadar kuliah.“Siapa?” Rasa ingin tahu meyeruak dari wajah Satya melihat ekspresi Lintang yang campur aduk antara rasa bersalah dan kesal. “Bang El. Temen sekantor.” Telunjuk Lintang masih sibuk dengan layar ponsel, membuka aplikasi WhatsApp, mengecek beberapa file kiriman Prof. Kathrin di grup. Pantas saja El mengamuk. Pesannya telah berderet sepanjang gerbong KRL dan tak satu pun yang dibacanya. “Temen sekantor?” Satya mengernyitkan dahi. “Kamu sudah kerja?” Manik mata Satya menelisik kedalaman mata Lintang. Ia tidak tahu kalau Lintang sudah bekerja. Lintang mengalihkan pandangan dari ponsel kemudian menoleh. “Hanya kerja paruh waktu, kalau ada proyek saja. Prof. Kathrin yang mengajak saya gabung di konsultan lingkungan milik beliau.” Lintang menangkap jejak rasa heran dan kaget pada tatapan Satya. “