“Jadi, sampai kapan aku harus nunggu jawaban? Atau kamu nggak suka gelang ini?”“Eh, bukan gitu, Mas.” Lintang menghela napas. “Sa-saya belum pernah dapat hadiah semewah ini.”“Jadi?” Salah satu alis Satya terangkat.“Saya suka.” Bibir Satya membentuk bulan sabit.Satya menggeleng. “Mana tanganmu?” Gugup, Lintang menyodorkan tangan lalu membiarkan Satya memakaikan gelang itu di pergelangan tangannya. “Gelang ini sebagai tanda mulai saat ini kita jadi konco mesra.” Lintang menjawab ucapan Satya dengan anggukan dan ucapan terima kasih. Tepat jam sembilan malam mereka meninggalkan Bogey’s Teras diiringi embusan angin mulai menyelusupkan hawa dingin. Rasa lelah karena beberapa hari lembur hingga dini hari membuat Lintang tidur cepat. Usai salat Isya ia sudah terbang ke alam mimpi tanpa memedulikan sang suami yang masih terjaga. Satya membaringkan tubuh di samping Lintang. Ditatapnya lekat wajah istrinya yang terlihat damai. Lalu, hawa panas tiba-tiba menjalari tubuh, membangkitkan ses
Kabar dari Evan seperti kobaran api yang melumat habis kebahagiaan yang baru sebentar tercipta di antara Satya dan Lintang. Tanpa banyak kata mereka meninggalkan hotel menuju stasiun KRL di Maguwo lalu naik kereta tercepat tujuan Stasiun Solo Balapan.Sepanjang perjalanan Satya terus berkoordinasi dengan Evan sementara Lintang memilih diam dan hanya membuka mulut jika suaminya memulai pembicaraan terlebih dahulu. Lintang buta tentang usaha keluarga Satya. Apa yang diketahuinya sebatas kulit terluar, hanya jumlah toko, spa, dan pabrik batik di Laweyan. Alih-alih memberi solusi, Lintang khawatir akan memperburuk suasana jika berbicara. “Delapan puluh persen toko dan gudang terbakar,” ujar Satya lesu. Ia menatap Lintang lalu mengalihkan pandangan ke luar. Kereta baru saja melewati Klaten. “Untungnya nggak ada korban jiwa. Enggak kebayang kalau sampai ada yang meninggal. Rugi harta bisa dicari. Nyawa enggak bakal kembali.” Wajah Satya sekeruh air kolam yang lama tidak dikuras. “Kenapa b
Satya menoleh. Selama ini ia memang tidak tahu banyak aktivitas Lintang. Ia hanya tahu, istrinya masih kuliah dan dari pembicaraan yang selintas terdengar, sepertinya Lintang tidak sekadar kuliah.“Siapa?” Rasa ingin tahu meyeruak dari wajah Satya melihat ekspresi Lintang yang campur aduk antara rasa bersalah dan kesal. “Bang El. Temen sekantor.” Telunjuk Lintang masih sibuk dengan layar ponsel, membuka aplikasi WhatsApp, mengecek beberapa file kiriman Prof. Kathrin di grup. Pantas saja El mengamuk. Pesannya telah berderet sepanjang gerbong KRL dan tak satu pun yang dibacanya. “Temen sekantor?” Satya mengernyitkan dahi. “Kamu sudah kerja?” Manik mata Satya menelisik kedalaman mata Lintang. Ia tidak tahu kalau Lintang sudah bekerja. Lintang mengalihkan pandangan dari ponsel kemudian menoleh. “Hanya kerja paruh waktu, kalau ada proyek saja. Prof. Kathrin yang mengajak saya gabung di konsultan lingkungan milik beliau.” Lintang menangkap jejak rasa heran dan kaget pada tatapan Satya. “
Angin musim kemarau yang kering menyambut kedatangan Satya dan Lintang di toko mereka yang telah hangus. Bau kain dan benda-benda yang terbakar lainnya menjajah hidung. Keduanya mematung di depan toko terbesar milik mendiang Hadikusumo yang musnah dilumat si jago merah. Kerja keras, keringat, dan air mata yang tercurah puluhan tahun lamanya hancur dalam hitungan jam. Ditingkahi bising lalu-lalang kendaraan dan tatapan prihatin para pengendara yang lewat, Satya tertegun. Setitik air sempat menetes di sudut mata. Tangannya menggenggam erat garis polisi yang terpasang mengelelingi kompleks toko mereka. Ketenangan yang ditunjukkannya sejak pertama menerima kabar dari Evan luruh. Satya seolah melihat sang bunda berjongkok di depan reruntuhan bangunan berlantai tiga itu. Satya mengganjur napas. Entah bagaimana dia harus mempertanggungjawabkan semuanya pada Bunda.Pandangan Lintang beralih pada Satya. Ia sedikit mendongak. Ditatapnya wajah keruh sang suami. Meski sempat ragu, Lintang mengg
“Iya, Mas. Saya sudah minta manajer toko untuk menghubungi para pelanggan dan meminta tambahan waktu, terutama untuk pesanan dalam jumlah besar yang jumlahnya ribuan potong. Kita harus nambah orang di bagian konveksi di Laweyan.” “Nggak masalah, Van. Lakukan semua yang bisa kita usahakan. Yang penting tidak ada klien yang dirugikan.” Pembicaraan terus berlanjut dan Lintang hanya duduk, diam di samping Satya. Tubuhnya di Omah Lowo, tetapi otaknya berlarian ke sana ke mari. Pesan El dan Dana tentang jurnal yang harus direview, draft penelitian mereka tentang kualistas air sungai di Yogyakarta yang harus dipelajari ulang menyesaki rongga kepala. Lintang berusaha membuka jurnal-jurnal yang harus direview lewat ponsel. Namun, pembicaraan Evan dan Satya membuat konsentrasinya buyar. Berkali-kali deretan kata berbahasa Ingris itu hanya lewat di kepala. Ia beralih ke hasil riset kualitas air Sungai Code dan Gajah Wong. Tetap saja otaknya gagal mengolah data dan hasil analisis yang terjadi.
Mobil telah berhenti dan Satya masih terpaku dengan ponsel di tangan, mengeja kata demi kata yang dikirim Hanum. Meski hanya lewat kata, Satya bisa merasakan gejolak hati mantan kekasihnya. Ia sangat hapal kebiasaan Hanum, termasuk pilihan-pilihan kata yang menggambarkan suasana hatinya. Satya menarik napas panjang. Harus diakui, hatinya pun masih terasa nyeri setiap mengeja nama Hanum. Namun, ia sudah memutuskan memilih Lintang dan harus bertanggungjawab dengan keputusannya. Ia berharap waktu bisa menyembuhkan luka di hati mereka tanpa bisa merusak hubungan kerja. Namun, memaksa Hanum tetap bekerja sama dengan perusahaannya sepertinya bukan pilihan terbaik saat ini. Mereka berdua butuh saling menjauh dan menjalani hidup masing-masing. “Terlalu berat buat aku untuk nerusin kontrak ini, Mas. Aku nggak sanggup.” Lagi, satu pesan Hanum masuk ke ponsel Satya. Ingatan Satya kembali ke masa dua tahun lalu ketika memperkenalkan Hanum kepada sang bunda. Saat itu Bu Sekar langsung terpikat
Notifikasi surel dari Laras yang baru masuk mengeluarkan Satya dari segala pikiran buruk tentang takdir Tuhan. Tangannya meraih mouse dan menggerakkan kursor di layar laptop. Ia harus segera mengecek laporan keuangan dan mengukur potensi penjualan yang bisa digenjot untuk menambal kerugian karena kebakaran ini. “Mas, air mandinya sudah siap.” Lintang muncul dari balik pintu, membawa handuk dan pakaian ganti. Ia duduk di samping Satya. Matanya tertuju pada layar laptop yang memunculkan deretan angka. “Apa rencana Mas Satya selanjutnya?” Lintang menatap wajah lelah suaminya. “Sedang aku pikirkan,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. “Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan Lintang sebenarnya lebih mirip upaya bunuh diri karena ia buta dunia bisnis. Meski ia yakin akan bisa bergelut di dunia yang dulu sempat membesarkan nama orang tuanya karena semua bisa dipelajari, tetepi fokusnya saat ini masih terkonsentrasi di kampus. Memori otaknya belum menyediakan ruang untu
Melihat pandangan menyelidik Satya, saraf-saraf otak Lintang segera mencari jawaban yang tepat. "Saya merasa tidak asing dengan Mas Evan. Kayaknya pernah ketemu atau melihat entah di mana.” Pandangan Lintang menerawang, seperti tengah mengingat sepotong memori yang tercecer. “Tapi saya nggak kenal,” ujarnya kemudian. Lintang tidak mungkin berterus terang. Satya tidak akan mengerti. Satya mendekati Lintang yang masih duduk di tempat semula. Dipandanginya Lintang hingga salah tingkah. "Hmm, memang kadang ada orang yang mirip padahal bukan saudara." Tatapan Satya menunjukkan kalau ia belum puas dengan jawaban Lintang. Lintang mengangguk, mengiyakan ucapan Satya. Dalam hati ia berharap suaminya mengakhiri pembicaraan tentang Evan. Ia sudah menutup kisahnya dengan CEO perusahaan Hadikusumo itu dan menerima takdir perjodohannya dengan Satya."Ngomong-ngomong, kamu beneran belum pernah punya pacar?" Satya menarik kursi lalu kembali duduk di hadapan Lintang. Entah kenapa tiba-tiba masa lal