Beranda / Pernikahan / Perempuan Masa Lalu Suamiku / Bab 34: Teman Tapi Mesra

Share

Bab 34: Teman Tapi Mesra

Penulis: HarunaHana
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jika hatimu adalah telaga, izinkan aku berenang di dalamnya.

Jika cintamu adalah cahaya matahari, izinkan aku menjadi bumi yang selalu siap menerima pancaran sinarnya.

Aku padamu seperti detak jarum pada jam dinding, seperti pintalan benang dalam selembar kain.

***

Kedatangan pelayan membawa pesanan mereka membuat Satya kembali menutup mulut yang baru saja terbuka untuk melanjutkan kalimat.

“Minum dulu, Lin, biar nggak tegang.” Satya mencoba mencairkan suasana. “Lama-lama aku takut lihat wajah kamu. Aku bukan dosen penguji dan kamu bukan lagi ujian,” goda Satya. Sederet gigi seputih kapas terlihat di wajahnya.

Lintang tersenyum kikuk. Tangannya meraih gelas dan mengaduk isinya dengan malas. “Pintar betul Mas Satya mengombang-ambingkan perasaan orang,” batinnya rusuh. “Cuma mau bilang putus saja muter-muter nggak jelas.” Batinnya terus bermonolog. Rasa kesal mulai merambati hati melihat sikap Satya yang terus mengulur waktu seperti seorang anak tengah bermain laying-layang. “Sunggu
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
itu emang tuk Lintang apa sebenar nya tuk Hanum .karena Hanum meputuskan cinta nya tuk Satya dh g mau berhubungan lagi ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 35: Teman Satu Selimut

    “Jadi, sampai kapan aku harus nunggu jawaban? Atau kamu nggak suka gelang ini?”“Eh, bukan gitu, Mas.” Lintang menghela napas. “Sa-saya belum pernah dapat hadiah semewah ini.”“Jadi?” Salah satu alis Satya terangkat.“Saya suka.” Bibir Satya membentuk bulan sabit.Satya menggeleng. “Mana tanganmu?” Gugup, Lintang menyodorkan tangan lalu membiarkan Satya memakaikan gelang itu di pergelangan tangannya. “Gelang ini sebagai tanda mulai saat ini kita jadi konco mesra.” Lintang menjawab ucapan Satya dengan anggukan dan ucapan terima kasih. Tepat jam sembilan malam mereka meninggalkan Bogey’s Teras diiringi embusan angin mulai menyelusupkan hawa dingin. Rasa lelah karena beberapa hari lembur hingga dini hari membuat Lintang tidur cepat. Usai salat Isya ia sudah terbang ke alam mimpi tanpa memedulikan sang suami yang masih terjaga. Satya membaringkan tubuh di samping Lintang. Ditatapnya lekat wajah istrinya yang terlihat damai. Lalu, hawa panas tiba-tiba menjalari tubuh, membangkitkan ses

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 36: Terbakar Atau Dibakar

    Kabar dari Evan seperti kobaran api yang melumat habis kebahagiaan yang baru sebentar tercipta di antara Satya dan Lintang. Tanpa banyak kata mereka meninggalkan hotel menuju stasiun KRL di Maguwo lalu naik kereta tercepat tujuan Stasiun Solo Balapan.Sepanjang perjalanan Satya terus berkoordinasi dengan Evan sementara Lintang memilih diam dan hanya membuka mulut jika suaminya memulai pembicaraan terlebih dahulu. Lintang buta tentang usaha keluarga Satya. Apa yang diketahuinya sebatas kulit terluar, hanya jumlah toko, spa, dan pabrik batik di Laweyan. Alih-alih memberi solusi, Lintang khawatir akan memperburuk suasana jika berbicara. “Delapan puluh persen toko dan gudang terbakar,” ujar Satya lesu. Ia menatap Lintang lalu mengalihkan pandangan ke luar. Kereta baru saja melewati Klaten. “Untungnya nggak ada korban jiwa. Enggak kebayang kalau sampai ada yang meninggal. Rugi harta bisa dicari. Nyawa enggak bakal kembali.” Wajah Satya sekeruh air kolam yang lama tidak dikuras. “Kenapa b

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 37: Ketidaksetujuan Satya

    Satya menoleh. Selama ini ia memang tidak tahu banyak aktivitas Lintang. Ia hanya tahu, istrinya masih kuliah dan dari pembicaraan yang selintas terdengar, sepertinya Lintang tidak sekadar kuliah.“Siapa?” Rasa ingin tahu meyeruak dari wajah Satya melihat ekspresi Lintang yang campur aduk antara rasa bersalah dan kesal. “Bang El. Temen sekantor.” Telunjuk Lintang masih sibuk dengan layar ponsel, membuka aplikasi WhatsApp, mengecek beberapa file kiriman Prof. Kathrin di grup. Pantas saja El mengamuk. Pesannya telah berderet sepanjang gerbong KRL dan tak satu pun yang dibacanya. “Temen sekantor?” Satya mengernyitkan dahi. “Kamu sudah kerja?” Manik mata Satya menelisik kedalaman mata Lintang. Ia tidak tahu kalau Lintang sudah bekerja. Lintang mengalihkan pandangan dari ponsel kemudian menoleh. “Hanya kerja paruh waktu, kalau ada proyek saja. Prof. Kathrin yang mengajak saya gabung di konsultan lingkungan milik beliau.” Lintang menangkap jejak rasa heran dan kaget pada tatapan Satya. “

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 38: Karmakah Ini

    Angin musim kemarau yang kering menyambut kedatangan Satya dan Lintang di toko mereka yang telah hangus. Bau kain dan benda-benda yang terbakar lainnya menjajah hidung. Keduanya mematung di depan toko terbesar milik mendiang Hadikusumo yang musnah dilumat si jago merah. Kerja keras, keringat, dan air mata yang tercurah puluhan tahun lamanya hancur dalam hitungan jam. Ditingkahi bising lalu-lalang kendaraan dan tatapan prihatin para pengendara yang lewat, Satya tertegun. Setitik air sempat menetes di sudut mata. Tangannya menggenggam erat garis polisi yang terpasang mengelelingi kompleks toko mereka. Ketenangan yang ditunjukkannya sejak pertama menerima kabar dari Evan luruh. Satya seolah melihat sang bunda berjongkok di depan reruntuhan bangunan berlantai tiga itu. Satya mengganjur napas. Entah bagaimana dia harus mempertanggungjawabkan semuanya pada Bunda.Pandangan Lintang beralih pada Satya. Ia sedikit mendongak. Ditatapnya wajah keruh sang suami. Meski sempat ragu, Lintang mengg

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 39: Permintaan Hanum

    “Iya, Mas. Saya sudah minta manajer toko untuk menghubungi para pelanggan dan meminta tambahan waktu, terutama untuk pesanan dalam jumlah besar yang jumlahnya ribuan potong. Kita harus nambah orang di bagian konveksi di Laweyan.” “Nggak masalah, Van. Lakukan semua yang bisa kita usahakan. Yang penting tidak ada klien yang dirugikan.” Pembicaraan terus berlanjut dan Lintang hanya duduk, diam di samping Satya. Tubuhnya di Omah Lowo, tetapi otaknya berlarian ke sana ke mari. Pesan El dan Dana tentang jurnal yang harus direview, draft penelitian mereka tentang kualistas air sungai di Yogyakarta yang harus dipelajari ulang menyesaki rongga kepala. Lintang berusaha membuka jurnal-jurnal yang harus direview lewat ponsel. Namun, pembicaraan Evan dan Satya membuat konsentrasinya buyar. Berkali-kali deretan kata berbahasa Ingris itu hanya lewat di kepala. Ia beralih ke hasil riset kualitas air Sungai Code dan Gajah Wong. Tetap saja otaknya gagal mengolah data dan hasil analisis yang terjadi.

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 40: Ujian

    Mobil telah berhenti dan Satya masih terpaku dengan ponsel di tangan, mengeja kata demi kata yang dikirim Hanum. Meski hanya lewat kata, Satya bisa merasakan gejolak hati mantan kekasihnya. Ia sangat hapal kebiasaan Hanum, termasuk pilihan-pilihan kata yang menggambarkan suasana hatinya. Satya menarik napas panjang. Harus diakui, hatinya pun masih terasa nyeri setiap mengeja nama Hanum. Namun, ia sudah memutuskan memilih Lintang dan harus bertanggungjawab dengan keputusannya. Ia berharap waktu bisa menyembuhkan luka di hati mereka tanpa bisa merusak hubungan kerja. Namun, memaksa Hanum tetap bekerja sama dengan perusahaannya sepertinya bukan pilihan terbaik saat ini. Mereka berdua butuh saling menjauh dan menjalani hidup masing-masing. “Terlalu berat buat aku untuk nerusin kontrak ini, Mas. Aku nggak sanggup.” Lagi, satu pesan Hanum masuk ke ponsel Satya. Ingatan Satya kembali ke masa dua tahun lalu ketika memperkenalkan Hanum kepada sang bunda. Saat itu Bu Sekar langsung terpikat

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 41: Kamu dan Evan

    Notifikasi surel dari Laras yang baru masuk mengeluarkan Satya dari segala pikiran buruk tentang takdir Tuhan. Tangannya meraih mouse dan menggerakkan kursor di layar laptop. Ia harus segera mengecek laporan keuangan dan mengukur potensi penjualan yang bisa digenjot untuk menambal kerugian karena kebakaran ini. “Mas, air mandinya sudah siap.” Lintang muncul dari balik pintu, membawa handuk dan pakaian ganti. Ia duduk di samping Satya. Matanya tertuju pada layar laptop yang memunculkan deretan angka. “Apa rencana Mas Satya selanjutnya?” Lintang menatap wajah lelah suaminya. “Sedang aku pikirkan,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. “Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan Lintang sebenarnya lebih mirip upaya bunuh diri karena ia buta dunia bisnis. Meski ia yakin akan bisa bergelut di dunia yang dulu sempat membesarkan nama orang tuanya karena semua bisa dipelajari, tetepi fokusnya saat ini masih terkonsentrasi di kampus. Memori otaknya belum menyediakan ruang untu

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 42: Bukan yang Pertama

    Melihat pandangan menyelidik Satya, saraf-saraf otak Lintang segera mencari jawaban yang tepat. "Saya merasa tidak asing dengan Mas Evan. Kayaknya pernah ketemu atau melihat entah di mana.” Pandangan Lintang menerawang, seperti tengah mengingat sepotong memori yang tercecer. “Tapi saya nggak kenal,” ujarnya kemudian. Lintang tidak mungkin berterus terang. Satya tidak akan mengerti. Satya mendekati Lintang yang masih duduk di tempat semula. Dipandanginya Lintang hingga salah tingkah. "Hmm, memang kadang ada orang yang mirip padahal bukan saudara." Tatapan Satya menunjukkan kalau ia belum puas dengan jawaban Lintang. Lintang mengangguk, mengiyakan ucapan Satya. Dalam hati ia berharap suaminya mengakhiri pembicaraan tentang Evan. Ia sudah menutup kisahnya dengan CEO perusahaan Hadikusumo itu dan menerima takdir perjodohannya dengan Satya."Ngomong-ngomong, kamu beneran belum pernah punya pacar?" Satya menarik kursi lalu kembali duduk di hadapan Lintang. Entah kenapa tiba-tiba masa lal

Bab terbaru

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 141: Rahasia Satya

    “Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 140: Bulan Madu

    “Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 139: Ajakan Bulan Madu

    Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 138: Akhir Perjuangan Satya

    Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 137: Kabar dari Dini

    Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 136: Bumbu Rayuan Paling Lengkap

    Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 135: Masa Lalu Bagas

    Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 134: Saksi Kunci (2)

    Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim

  • Perempuan Masa Lalu Suamiku   Bab 133: Saksi Kunci

    Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers

DMCA.com Protection Status