Angin musim kemarau yang kering menyambut kedatangan Satya dan Lintang di toko mereka yang telah hangus. Bau kain dan benda-benda yang terbakar lainnya menjajah hidung. Keduanya mematung di depan toko terbesar milik mendiang Hadikusumo yang musnah dilumat si jago merah. Kerja keras, keringat, dan air mata yang tercurah puluhan tahun lamanya hancur dalam hitungan jam. Ditingkahi bising lalu-lalang kendaraan dan tatapan prihatin para pengendara yang lewat, Satya tertegun. Setitik air sempat menetes di sudut mata. Tangannya menggenggam erat garis polisi yang terpasang mengelelingi kompleks toko mereka. Ketenangan yang ditunjukkannya sejak pertama menerima kabar dari Evan luruh. Satya seolah melihat sang bunda berjongkok di depan reruntuhan bangunan berlantai tiga itu. Satya mengganjur napas. Entah bagaimana dia harus mempertanggungjawabkan semuanya pada Bunda.Pandangan Lintang beralih pada Satya. Ia sedikit mendongak. Ditatapnya wajah keruh sang suami. Meski sempat ragu, Lintang mengg
“Iya, Mas. Saya sudah minta manajer toko untuk menghubungi para pelanggan dan meminta tambahan waktu, terutama untuk pesanan dalam jumlah besar yang jumlahnya ribuan potong. Kita harus nambah orang di bagian konveksi di Laweyan.” “Nggak masalah, Van. Lakukan semua yang bisa kita usahakan. Yang penting tidak ada klien yang dirugikan.” Pembicaraan terus berlanjut dan Lintang hanya duduk, diam di samping Satya. Tubuhnya di Omah Lowo, tetapi otaknya berlarian ke sana ke mari. Pesan El dan Dana tentang jurnal yang harus direview, draft penelitian mereka tentang kualistas air sungai di Yogyakarta yang harus dipelajari ulang menyesaki rongga kepala. Lintang berusaha membuka jurnal-jurnal yang harus direview lewat ponsel. Namun, pembicaraan Evan dan Satya membuat konsentrasinya buyar. Berkali-kali deretan kata berbahasa Ingris itu hanya lewat di kepala. Ia beralih ke hasil riset kualitas air Sungai Code dan Gajah Wong. Tetap saja otaknya gagal mengolah data dan hasil analisis yang terjadi.
Mobil telah berhenti dan Satya masih terpaku dengan ponsel di tangan, mengeja kata demi kata yang dikirim Hanum. Meski hanya lewat kata, Satya bisa merasakan gejolak hati mantan kekasihnya. Ia sangat hapal kebiasaan Hanum, termasuk pilihan-pilihan kata yang menggambarkan suasana hatinya. Satya menarik napas panjang. Harus diakui, hatinya pun masih terasa nyeri setiap mengeja nama Hanum. Namun, ia sudah memutuskan memilih Lintang dan harus bertanggungjawab dengan keputusannya. Ia berharap waktu bisa menyembuhkan luka di hati mereka tanpa bisa merusak hubungan kerja. Namun, memaksa Hanum tetap bekerja sama dengan perusahaannya sepertinya bukan pilihan terbaik saat ini. Mereka berdua butuh saling menjauh dan menjalani hidup masing-masing. “Terlalu berat buat aku untuk nerusin kontrak ini, Mas. Aku nggak sanggup.” Lagi, satu pesan Hanum masuk ke ponsel Satya. Ingatan Satya kembali ke masa dua tahun lalu ketika memperkenalkan Hanum kepada sang bunda. Saat itu Bu Sekar langsung terpikat
Notifikasi surel dari Laras yang baru masuk mengeluarkan Satya dari segala pikiran buruk tentang takdir Tuhan. Tangannya meraih mouse dan menggerakkan kursor di layar laptop. Ia harus segera mengecek laporan keuangan dan mengukur potensi penjualan yang bisa digenjot untuk menambal kerugian karena kebakaran ini. “Mas, air mandinya sudah siap.” Lintang muncul dari balik pintu, membawa handuk dan pakaian ganti. Ia duduk di samping Satya. Matanya tertuju pada layar laptop yang memunculkan deretan angka. “Apa rencana Mas Satya selanjutnya?” Lintang menatap wajah lelah suaminya. “Sedang aku pikirkan,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop. “Ada yang bisa saya bantu?” Pertanyaan Lintang sebenarnya lebih mirip upaya bunuh diri karena ia buta dunia bisnis. Meski ia yakin akan bisa bergelut di dunia yang dulu sempat membesarkan nama orang tuanya karena semua bisa dipelajari, tetepi fokusnya saat ini masih terkonsentrasi di kampus. Memori otaknya belum menyediakan ruang untu
Melihat pandangan menyelidik Satya, saraf-saraf otak Lintang segera mencari jawaban yang tepat. "Saya merasa tidak asing dengan Mas Evan. Kayaknya pernah ketemu atau melihat entah di mana.” Pandangan Lintang menerawang, seperti tengah mengingat sepotong memori yang tercecer. “Tapi saya nggak kenal,” ujarnya kemudian. Lintang tidak mungkin berterus terang. Satya tidak akan mengerti. Satya mendekati Lintang yang masih duduk di tempat semula. Dipandanginya Lintang hingga salah tingkah. "Hmm, memang kadang ada orang yang mirip padahal bukan saudara." Tatapan Satya menunjukkan kalau ia belum puas dengan jawaban Lintang. Lintang mengangguk, mengiyakan ucapan Satya. Dalam hati ia berharap suaminya mengakhiri pembicaraan tentang Evan. Ia sudah menutup kisahnya dengan CEO perusahaan Hadikusumo itu dan menerima takdir perjodohannya dengan Satya."Ngomong-ngomong, kamu beneran belum pernah punya pacar?" Satya menarik kursi lalu kembali duduk di hadapan Lintang. Entah kenapa tiba-tiba masa lal
Evan menghela napas. Ada luka dan kebencian dalam suara Satya. “Tapi, seingat saya kita tidak punya musuh. Selama ini bisnis kita bersih. Semua yang kita lakukan legal,” ujar Evan sembari mengingat apa saja yang sudah terjadi sejak ia menjadi CEO Hadikusumo Group. “Kita nggak tahu isi hati dan pikiran orang. Menurut kita nggak ada masalah, nggak tahu menurut orang lain.” Satya berusaha membongkar file memori di kepalanya. “Bisa jadi Paklik Soeroso dan Paklik Mahendra masih belum terima karena dicopot dari posisi manajer.”“Tapi kalau sampai berbuat senekat itu sepertinya tidak mungkin, Mas. Keduanya adik kandung ayah njenengan.” Evan tahu dua nama yang disebut Satya. Keduanya memang dicopot dari manajer konveksi dan manajer pabrik Laweyan karena nyata-nyata tidak bersedia tunduk di bawah kendalinya. Bagi mereka, ia hanya anak seorang abdi yang tidak pantas punya posisi lebih tinggi. Tindakan itu membuat Bu Sekar muntab dan mengganti mereka dengan orang lain. Satya tersenyum miring.
Telunjuk Satya menyentuh panel hijau dan membuka pesan teratas.“Kamu pastikan dulu suamimu kasih izin sebelum pergi, Lin.” Sebuah pesan dari Prof. Kathrina masuk ke ponsel Lintang. Kedua alis Satya saling bertaut. Sigap telunjuknya menggeser layar ponsel, menelusuri jejak pesan Lintang dan dosennya. Satya menarik napas panjang ketika nama Sangihe disebut dan Lintang akan pergi ke sana dalam waktu dekat. “Termasuk beasiswamu, izin dulu sama suami kamu, baru daftar.” Lagi pesan dari Prof. Kathrina masuk. “Walaupun kamu sudah diterima di Wageningen dan nanti dapat beasiswa, kalau suami kamu nggak setuju, ya, nggak usah berangkat.” Sangihe.Wegeningen.Dua kata itu mendadak memenuhi kepala Satya. Setelah sempat termangu karena tidak menyangka istrinya punya banyak proyek, ia menutup ruang percakapan Lintang dan Prof. Kathrina setelah merekam pembicaraan mereka dalam memori. Esok, ia akan menanyakannya pada Lintang. Telunjuk Satya kembali menggeser layar, mencari siapa saja yang serin
Sekian purnama kucoba melibas bayangmuTetap saja engkau hadir bersama detak jantungku.Entah kapan aku bisa mengusirmu pergi dari ingatan. ***Meski sempat gelagapan dengan ulah Satya yang tiba-tiba, akhirnya Lintang menyambut ajakan lelaki itu dan membiarkan suaminya membawanya menjadi konco satu selimut. “Jadi, saya boleh berangkat sekarang?” Lintang menatap Satya penuh harap. Tangannya meraih jemari Satya lalu menggenggamnya erat. Keduanya berbaring saling berhadapan.Satya melukis senyum seterang kejora lalu kembali mengecup bibir Lintang seolah tidak ingin mengakhiri pagi yang hangat. “Itu jawabanku,” katanya kemudian. “Makasih, Mas,” ujar Lintang tulus. “Makasih sudah menjadikanku yang pertama,” bisik Satya bahagia. Dicubitnya hidung bangir Lintang yang tersenyum malu. Waktu bergerak cepat seperti panah memelesat dari busurnya. Hanya dalam hitungan jam, Lintang berpindah tiga kota sekaligus. Tepat jam delapan malam tubuhnya telah berada di atas kereta tujuan Jakarta bersa