Evan menghela napas. Ada luka dan kebencian dalam suara Satya. “Tapi, seingat saya kita tidak punya musuh. Selama ini bisnis kita bersih. Semua yang kita lakukan legal,” ujar Evan sembari mengingat apa saja yang sudah terjadi sejak ia menjadi CEO Hadikusumo Group. “Kita nggak tahu isi hati dan pikiran orang. Menurut kita nggak ada masalah, nggak tahu menurut orang lain.” Satya berusaha membongkar file memori di kepalanya. “Bisa jadi Paklik Soeroso dan Paklik Mahendra masih belum terima karena dicopot dari posisi manajer.”“Tapi kalau sampai berbuat senekat itu sepertinya tidak mungkin, Mas. Keduanya adik kandung ayah njenengan.” Evan tahu dua nama yang disebut Satya. Keduanya memang dicopot dari manajer konveksi dan manajer pabrik Laweyan karena nyata-nyata tidak bersedia tunduk di bawah kendalinya. Bagi mereka, ia hanya anak seorang abdi yang tidak pantas punya posisi lebih tinggi. Tindakan itu membuat Bu Sekar muntab dan mengganti mereka dengan orang lain. Satya tersenyum miring.
Telunjuk Satya menyentuh panel hijau dan membuka pesan teratas.“Kamu pastikan dulu suamimu kasih izin sebelum pergi, Lin.” Sebuah pesan dari Prof. Kathrina masuk ke ponsel Lintang. Kedua alis Satya saling bertaut. Sigap telunjuknya menggeser layar ponsel, menelusuri jejak pesan Lintang dan dosennya. Satya menarik napas panjang ketika nama Sangihe disebut dan Lintang akan pergi ke sana dalam waktu dekat. “Termasuk beasiswamu, izin dulu sama suami kamu, baru daftar.” Lagi pesan dari Prof. Kathrina masuk. “Walaupun kamu sudah diterima di Wageningen dan nanti dapat beasiswa, kalau suami kamu nggak setuju, ya, nggak usah berangkat.” Sangihe.Wegeningen.Dua kata itu mendadak memenuhi kepala Satya. Setelah sempat termangu karena tidak menyangka istrinya punya banyak proyek, ia menutup ruang percakapan Lintang dan Prof. Kathrina setelah merekam pembicaraan mereka dalam memori. Esok, ia akan menanyakannya pada Lintang. Telunjuk Satya kembali menggeser layar, mencari siapa saja yang serin
Sekian purnama kucoba melibas bayangmuTetap saja engkau hadir bersama detak jantungku.Entah kapan aku bisa mengusirmu pergi dari ingatan. ***Meski sempat gelagapan dengan ulah Satya yang tiba-tiba, akhirnya Lintang menyambut ajakan lelaki itu dan membiarkan suaminya membawanya menjadi konco satu selimut. “Jadi, saya boleh berangkat sekarang?” Lintang menatap Satya penuh harap. Tangannya meraih jemari Satya lalu menggenggamnya erat. Keduanya berbaring saling berhadapan.Satya melukis senyum seterang kejora lalu kembali mengecup bibir Lintang seolah tidak ingin mengakhiri pagi yang hangat. “Itu jawabanku,” katanya kemudian. “Makasih, Mas,” ujar Lintang tulus. “Makasih sudah menjadikanku yang pertama,” bisik Satya bahagia. Dicubitnya hidung bangir Lintang yang tersenyum malu. Waktu bergerak cepat seperti panah memelesat dari busurnya. Hanya dalam hitungan jam, Lintang berpindah tiga kota sekaligus. Tepat jam delapan malam tubuhnya telah berada di atas kereta tujuan Jakarta bersa
Dana menghela napas panjang kemudian buru-buru meneguk minuman. El kalau sudah ngomel bisa mengakibatkan hipertensi. “Aku yakin Lintang sudah ngerjain tugasnya. Dua jurnal jatah dia pasti sudah direview. Iya, kan, Lin?” Kali ini manik mata gelap milik Dana menyelusup ke rongga mata Lintang. Sembari menghabiskan makanan yang terlanjut masuk ke mulut, Lintang mengangguk. “Aku sudah review walaupun nggak sempurna,” ujarnya setelah isi mulut melewati tenggorokan. “Abang tahu, kan, kalau toko suamiku kebakaran. Nggak mungkin aku sibuk sendiri sementara dia pontang-panting. Aku harus bantuin dia ngurus macem-macem.” Lintang meminta permakluman sembari memasang tampang memelas. Selama ini, El cukup bisa ditaklukkan kalau ia raut mukanya seperti manusia paling menderita sedunia.“Hasil riset kualitas air sudah kamu pelajari?” El masih belum melepaskan cengkeramannya meski suaranya mulai melunak. Anggukan kepala dan senyum Lintang berhasil menurunkan tensi El. “Syukurlah kalau kerjaanmu sud
Buru-buru Lintang mengusir citra Evan dari rongga kepala. Semua sudah terjadi dan ia telah menerima Satya sebagai suami. Tidak pantas baginya memikirkan laki-laki lain selain suaminya. “Jangankan kamu yang bicara, anaknya sendiri tidak pernah didengar Bunda.” Hanum tersenyum miris. “Apakah setelah semua yang terjadi, kita masih perlu mengenang semua kepahitan itu?” Lintang menatap paras secantik dewi-dewi Yunani milik Hanum yang terlihat muram. “Maksudmu?” Hanum mengalihkan pandangan pada Lintang. Kedua alisnya bertaut. “Semua sudah terjadi dan itu diluar kuasa kita. Saya juga belum pernah tahu Mas Satya sebelumnya. Saya baru ketemu saat lamaran. Berandai-andai kembali ke masa lalu dan menolak perjodohan itu jelas sia-sia, tidak akan mengubah keadaan kita saat ini,” ujar Lintang panjang lebar. Ia lelah berada di tengah kecamuk perasaan Satya dan Hanum. “Kamu tidak akan berkata seperti itu kalau berada di posisiku.” Hanum meraih gelas dan meneguk jus jeruk cepat-cepat seolah a
Waktu yang bergerak cepat memutus pembicaraan mereka. “Sore ini aku sudah check out,” ujar Hanum sebelum berpisah. “Semoga pernikahan kalian bahagia selalu.” Hanum mencoba tegar meski hatinya terasa seperti diremas ketika mengucapkannya. Wajah Satya dan senyum manisnya kembali mengapung di depan mata. Beberapa kali ia mengerjap demi menyembunyikan gerimis yang nyaris tumpah. Ia memang jatuh, tetapi tidak boleh terlihat terpuruk di depan Lintang.“Terima kasih banyak,” jawab Lintang tulus. “Doa terbaik juga buat Mbak Hanum.” Lintang memeluk Hanum seperti sahabat yang lama tidak berjumpa. Rasa lega menyelimuti hati Lintang. Pertemuan dengan Hanum kali ini telah mengikis rasa bersalah yang terkadang timbul karena merasa telah merebut Satya dari kehidupan desainer muda itu. Ia tahu sulit bagi Hanum melipat kenangan, tetapi hanya itu satu-satunya cara untuk menapak hari baru. ***“Kamu selesai workshop jam berapa?” Pesan dari Satya masuk ke ponsel Lintang di hari terakhir workshop. “Ini
“Kamu harus dengar ceritaku.” Satya meraih tangan Lintang ketika istrinya menjeda bacaan Qurannya. Lintang mengigit-gigit bibir. Ucapan istri ketua RT kembali terngiang di telinga seperti dengungan suara lebah. Pikirannya berkelana. Semua pikiran buruk tentang Satya dan Hanum ketika berada di rumah ini mengisi rongga kepalanya. Setelah sempat berdamai dengan masa lalu Satya, kini ia harus kembali menelan pil pahit. “Bu Arini hanya melihat semuanya dari luar. Dia tidak tahu apa-apa tentang aku dan Hanum.” Satya berusaha meyakinkan Lintang. Manik matanya menerobos kedalaman mata Lintang yang tersaput kabut. Dalam hati Lintang terus merapal istigfar, memohon kepada Allah agar tidak terlepas satu kata buruk pun dari lisannya. Ia memang kecewa, tetapi tidak ingin berkata kasar pada suaminya. “Hanum memang kadang ke sini, bawa makanan dan kami makan bersama.” Seketika Lintang merasa waktu berhenti dan ia tersedot ke dalam lubang hitam tak berujung. Kejujuran Satya membuat hatinya menci
Lintang menghela napas. Bola mata gelap milik Satya meredup dan tatapannya terlihat sayu. Bukan ia tidak mau memenuhi permintaan Satya, tetapi ia masih belum selesai target satu juz dan sebentar lagi batas waktu laporan habis.“Ya, sudah kalau kamu nggak mau.” Melihat Lintang yang hanya diam, Satya menyerah. “Aku tunggu sampai kamu selesai baca Quran. Daripada kualat karena menghalangi orang beribadah,” lanjutnya sembari menjauhkan wajahnya dari Lintang.Bibir Lintang melukis senyum kemudian meletakkan Al Quran di rak. “Yuk,” ujarnya setelah melipat mukena. “Saya tadi cuma bercanda, kok.”“Astaga!” Satya menepuk jidat. Ditariknya Lintang ke dalam pelukan. “Kamu memang ngeselin.” Ia mencubit hidung Lintang lalu mengecup bibirnya lembut.***Keesokan harinya Satya membawa Lintang mengunjungi perkebunan teh Malabar di Pengalengan. Hamparan pohon teh dan kesiur angin menyambut kedatangan mereka. Aroma daun teh yang segar menyelusup ke dalam hidung, memberi sensasi nyaman dan menenangkan.
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers