Waktu yang bergerak cepat memutus pembicaraan mereka. “Sore ini aku sudah check out,” ujar Hanum sebelum berpisah. “Semoga pernikahan kalian bahagia selalu.” Hanum mencoba tegar meski hatinya terasa seperti diremas ketika mengucapkannya. Wajah Satya dan senyum manisnya kembali mengapung di depan mata. Beberapa kali ia mengerjap demi menyembunyikan gerimis yang nyaris tumpah. Ia memang jatuh, tetapi tidak boleh terlihat terpuruk di depan Lintang.“Terima kasih banyak,” jawab Lintang tulus. “Doa terbaik juga buat Mbak Hanum.” Lintang memeluk Hanum seperti sahabat yang lama tidak berjumpa. Rasa lega menyelimuti hati Lintang. Pertemuan dengan Hanum kali ini telah mengikis rasa bersalah yang terkadang timbul karena merasa telah merebut Satya dari kehidupan desainer muda itu. Ia tahu sulit bagi Hanum melipat kenangan, tetapi hanya itu satu-satunya cara untuk menapak hari baru. ***“Kamu selesai workshop jam berapa?” Pesan dari Satya masuk ke ponsel Lintang di hari terakhir workshop. “Ini
“Kamu harus dengar ceritaku.” Satya meraih tangan Lintang ketika istrinya menjeda bacaan Qurannya. Lintang mengigit-gigit bibir. Ucapan istri ketua RT kembali terngiang di telinga seperti dengungan suara lebah. Pikirannya berkelana. Semua pikiran buruk tentang Satya dan Hanum ketika berada di rumah ini mengisi rongga kepalanya. Setelah sempat berdamai dengan masa lalu Satya, kini ia harus kembali menelan pil pahit. “Bu Arini hanya melihat semuanya dari luar. Dia tidak tahu apa-apa tentang aku dan Hanum.” Satya berusaha meyakinkan Lintang. Manik matanya menerobos kedalaman mata Lintang yang tersaput kabut. Dalam hati Lintang terus merapal istigfar, memohon kepada Allah agar tidak terlepas satu kata buruk pun dari lisannya. Ia memang kecewa, tetapi tidak ingin berkata kasar pada suaminya. “Hanum memang kadang ke sini, bawa makanan dan kami makan bersama.” Seketika Lintang merasa waktu berhenti dan ia tersedot ke dalam lubang hitam tak berujung. Kejujuran Satya membuat hatinya menci
Lintang menghela napas. Bola mata gelap milik Satya meredup dan tatapannya terlihat sayu. Bukan ia tidak mau memenuhi permintaan Satya, tetapi ia masih belum selesai target satu juz dan sebentar lagi batas waktu laporan habis.“Ya, sudah kalau kamu nggak mau.” Melihat Lintang yang hanya diam, Satya menyerah. “Aku tunggu sampai kamu selesai baca Quran. Daripada kualat karena menghalangi orang beribadah,” lanjutnya sembari menjauhkan wajahnya dari Lintang.Bibir Lintang melukis senyum kemudian meletakkan Al Quran di rak. “Yuk,” ujarnya setelah melipat mukena. “Saya tadi cuma bercanda, kok.”“Astaga!” Satya menepuk jidat. Ditariknya Lintang ke dalam pelukan. “Kamu memang ngeselin.” Ia mencubit hidung Lintang lalu mengecup bibirnya lembut.***Keesokan harinya Satya membawa Lintang mengunjungi perkebunan teh Malabar di Pengalengan. Hamparan pohon teh dan kesiur angin menyambut kedatangan mereka. Aroma daun teh yang segar menyelusup ke dalam hidung, memberi sensasi nyaman dan menenangkan.
Lintang menatap gelas dan mengaduknya. Ia yakin, bukan namanya yang terselip dalam doa-doa Satya. Pasti Hanumlah yang memenuhi langit dalam semesta kehidupan suaminya. Mengingat semua itu membuat hati Lintang seperti terbanting setelah diterbangkan oleh sikap manis Satya. Sungguh menyebalkan.Satya tersenyum geli melihat raut muka Lintang yang mendadak agak muram. “Aku tidak menyebut nama siapa pun dalam doaku.”Lintang melongo. Ditatapnya paras tampan suaminya. Apa dia tidak salah dengar?“Waktu itu aku belum jadian sama Hanum.”Nyes, ucapan Satya seperti oase di tengah gurun. Pendar di wajahnya kembali.“Aku masih semester dua, belum boleh pacaran sama Bunda.” Satya tertawa mengingat Bunda yang tetap memperlakukannya seperti anak kecil meski sudah duduk di bangku kuliah. “Walaupun belum punya gandengan, aku tetep berdoa. Kupikir nggak ada salahnya doa. Mana tahu dikabulkan.” Lelaki berhidung bangir itu mengalihkan pandangan pada Lintang. “Hari ini Tuhan mengabulkan doaku, duduk men
Evan terdiam sejenak. “Kesalahan kita tidak memasang fire alarm system di aset-aset kita,” ujar Evan. “Seharusnya semua aset kita memiliki fire alarm system.” Tatapan setajam pisau milik Satya menyambar tubuh Evan. “Ya, Tuhan, kenapa bisa terlewat begitu? Kupikir aset-aset kita sudah punya sistem deteksi dini kebakaran,” ujarnya sedikit kecewa.“Maaf, Mas, jujur saya juga terlupa. Saya benar-benar tidak memerhatikan alarm kebakaran ini. Belum pernah terpikir bahkan. Setelah ketemu dengan penyidik swasta dan mendengar rekomendasinya, baru saya sadar kalau kita sudah abai.” Rasa bersalah menyeruak di wajah Evan. Ia memang tidak pernah memikirkan kemungkinan kebakaran di aset-aset perusahaan Hadikusumo. Sebuah kesalahan yang cukup fatal bagi CEO perusahaan seperti dia. “Jangan teledor lagi, Van. Tolong cek sistem keamanan aset-aset kita. Tidak hanya keamanan yang berhubungan dengan manusia, tapi juga keamanan dari kemungkinan-kemungkinan adanya musibah. Kebakaran, angin ribut, banjir,
Mbok Darmi menatap Satya dengan wajah bungah. “Mbak Lintang yang minta, Mas.”“Lintang?” Satya mengedarkan pandangan. Seingatnya, Lintang belum akan pulang.“Iya, Mbak Lintang pengen dinner sama Mas Satya.” Mbok Darmi sok ngenggres yang memantik senyum di bibir Satya.“Lho, Mas Satya sudah pulang?” Lintang yang baru muncul dari dapur tersenyum lalu mencium punggung tangan Satya. “Lah, bukannya kamu harusnya masih di Jogja?” Satya mendaratkan bibir di dahi Lintang. “Udah kangen sama aku, ya?” “Ternyata satu flashdisk saya ketinggalan di sini. Baru sadar pas kena marah Bang El.” Lintang nyengir. “Yuk, makan, Mas. Mbok Darmi sudah masak, nih.” Lintang menarik Satya dan mendudukkannya di kursi. “Cuma mau bilang kangen saja pakai alasan ketinggalan flashdisk.” Satya tidak terima.“Memang bener kok, flashdisknya ketinggalan.” Lintang tersenyum. Cekatan tangannya menuang jus jeruk ke dalam gelas lalu mengisi piring dengan salad sayur dan potongan ayam panggang. Mbok Darmi sudah memberika
Satya menghela napas. Begini rupanya perempuan kalau sudah ngegas. Pengalamannya dekat dengan perempuan hanya Bunda dan Hanum. Keduanya bukan model orang yang suka ngegas. Mereka memilih diam dan menghindar kalau sedang tidak enak hati atau marah.“Ya nggak gitu juga, Lin. Kita kan, konco mesra, konco satu selimut, urusan uang juga barengan, kan? Satya meraih jemari Lintang dan menautnya.“ Ya, udah kalau kamu masih marah. Aku beneran minta maaf. Katanya manusia tempatnya lupa.” Satya memejamkan mata. Ia baru tahu kalau Lintang bisa merajuk, tetapi tubuhnya sudah protes meminta jatah istirahat sehingga ia memilih tidak memperpanjang persoalan tentang transfer taksengaja itu. Ia pikir, besok juga suasana hati Lintang sudah lebih baik.“Apa aku sudah dimaafkan?” tanya Satya keesokan harinya usai salat Subuh berjamaah di rumah. Sampai saat ini Satya belum mau salat di masjid meski berulang kali Lintang membujuk. Malu menjadi alasannya karena sudah lama tidak menginjakkan kaki di masjid de
Hening sesaat. Lintang masih menatap bingung Satya sementara suaminya hanya tersenyum kecil.Satya menggeser posisi hingga tubuhnya dan Lintang nyaris tak berjarak. “Tapi aku mau hadiah. Aku mau nambah pagi ini,” bisiknya lembut dengan sorot mata meredup. Lintang menepuk jidat. “Ya, Salaam. Memang nggak ngantor?” Alih-alih menjawab, Satya justru kembali memulai aksinya dan membiarkan pertanyaan Lintang mengapung di udara. Suara alarm dari ponsel di atas meja menarik perhatian Satya yang masih terbaring di ranjang. “Astaga, aku lupa kalau ada janji penting pagi ini,” serunya panik usai membaca deretan kata yang terpampang di layar ponsel. Lintang beringsut turun dari ranjang sembari tersenyum geli. Diikatnya rambut asal kemudian mengambil handuk dan memberikannya pada Satya.“Astaga, kenapa aku bisa lupa urusan sepenting ini,” gumamnya seraya menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi. Bayangan bupati dan tim ahli dari kementrian BUMN berkejaran di kepala. Selama ini ia hampir tid
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers