Satya menghela napas. Begini rupanya perempuan kalau sudah ngegas. Pengalamannya dekat dengan perempuan hanya Bunda dan Hanum. Keduanya bukan model orang yang suka ngegas. Mereka memilih diam dan menghindar kalau sedang tidak enak hati atau marah.“Ya nggak gitu juga, Lin. Kita kan, konco mesra, konco satu selimut, urusan uang juga barengan, kan? Satya meraih jemari Lintang dan menautnya.“ Ya, udah kalau kamu masih marah. Aku beneran minta maaf. Katanya manusia tempatnya lupa.” Satya memejamkan mata. Ia baru tahu kalau Lintang bisa merajuk, tetapi tubuhnya sudah protes meminta jatah istirahat sehingga ia memilih tidak memperpanjang persoalan tentang transfer taksengaja itu. Ia pikir, besok juga suasana hati Lintang sudah lebih baik.“Apa aku sudah dimaafkan?” tanya Satya keesokan harinya usai salat Subuh berjamaah di rumah. Sampai saat ini Satya belum mau salat di masjid meski berulang kali Lintang membujuk. Malu menjadi alasannya karena sudah lama tidak menginjakkan kaki di masjid de
Hening sesaat. Lintang masih menatap bingung Satya sementara suaminya hanya tersenyum kecil.Satya menggeser posisi hingga tubuhnya dan Lintang nyaris tak berjarak. “Tapi aku mau hadiah. Aku mau nambah pagi ini,” bisiknya lembut dengan sorot mata meredup. Lintang menepuk jidat. “Ya, Salaam. Memang nggak ngantor?” Alih-alih menjawab, Satya justru kembali memulai aksinya dan membiarkan pertanyaan Lintang mengapung di udara. Suara alarm dari ponsel di atas meja menarik perhatian Satya yang masih terbaring di ranjang. “Astaga, aku lupa kalau ada janji penting pagi ini,” serunya panik usai membaca deretan kata yang terpampang di layar ponsel. Lintang beringsut turun dari ranjang sembari tersenyum geli. Diikatnya rambut asal kemudian mengambil handuk dan memberikannya pada Satya.“Astaga, kenapa aku bisa lupa urusan sepenting ini,” gumamnya seraya menyambar handuk dan berlari ke kamar mandi. Bayangan bupati dan tim ahli dari kementrian BUMN berkejaran di kepala. Selama ini ia hampir tid
Staf ahli Kementrian Pariwisata dan perwakilan kraton Mangkunegaran saling pandang kemudian keduanya kembali menatap Satya.“Soal itu, tidak perlu khawatir. Tidak ada sengketa. Itu hanya kabar burung yang terlalu dibesar-besarkan.”“Syukurlah kalau begitu, Pak.” Satya tersenyum lega. Bagaimanapun juga, akan sangat mengganggu kalau status De Tjolomadoe masih dalam sengketa. Ia tidak mau proyeknya nanti terganggu.Setelah berbincang lebih dari dua jam, bapak bupati mengakhiri pertemuan itu. “Saya harap Anda tidak terlalu berharap banyak dulu. Kami akan seleksi semua peserta tender. Tapi semoga Anda mendapatkan hasil sesuai yang diinginkan.” Bapak bupati menyalami Satya dan Evan ketika mereka berpamitan. Satya mengangguk hormat seraya mengucapkan terima kasih. Ia dan Evan meninggalkan rumah dinas bupati setengah jam sebelum waktu Zuhur. “Sebenarnya pertaruhan kita terlalu besar di proyek ini, Mas,” ujar Evan hati-hati ketika mereka makan siang. Satya mengunyah nasi perlahan. Ia menger
“Memangnya ada yang salah dengan kata-kata saya, Mas?” Evan semakin bingung. Senyum Satya masih belum tanggal dari wajahnya.“Nggak ada yang salah dengan omongan kamu.” Satya sedikit mencondongkan tubuh. “Wajar kalau pertimbangan kamu lebih ke perasaan. Aku maklum karena kamu jomlo.” “Astagfirullah.” Evan meremas tissue dan memasang tampang jengkel. Kalau bukan karena perbedaan posisi dan status sosial, sudah dibalasnya ejekan Satya. “Kamu terlalu menutup diri dari perempuan, Van. Padahal yang mau sama kamu pasti banyak. Tampang nggak kalah cakep dari artis ibukota. Sudah mapan. Kalau bukan kamu yang bermasalah, nggak mungkin masih jomlo.” Seketika paras Evan semerah kepiting rebus. “Saya bayar makannya dulu,” ujarnya seraya bangkit lalu pergi menuju kasir meninggalkan Satya yang terbengong-bengong. ***Sesuai rencana, Satya mengantar Lintang ke Jakarta pada Hari Minggu. Tepat ketika tirai malam telah sempurna memeluk bumi, Kereta Senja Utama dari Stasiun Solobalapan membawa merek
Lintang memperlambat kunyahan sepotong kue yang telah masuk ke mulut seraya menatap El heran. “Maksud Abang apa, sih?”Diam-diam Lintang agak jengkel pada El karena sejak kemarin terus-menerus menyudutkannya.‘Kalau kamu bermesraan sama suamimu di depan kami, itu artinya kamu nggak menghormati aku dan Dana yang masih jomlo. Kamu keterlaluan.” El meremas gelas kertas di tangan lalu melemparnya ke tempat sampah. Lintang melongo. Potongan kue di mulut seolah begitu sulit melewati tenggorokan meski ia berusaha menggelontor dengan tegukan teh hangat. “Aku mengatakan ini demi membela hakku sebagai jomlo dan hak sahabatku yang belum bisa move on setelah kamu tinggal nikah.” Ekor mata El melirik Dana. Dana bergeming. Ia sibuk menggoyang gelas dan mengunyah kue. Luka hatinya yang belum sepenuhnya kering seperti disiram air jeruk. Sakit dan pedih. Selama ini tidak ada yang tahu perasaannya selain El. Lelaki itu lebih dari teman kerja. Ia sahabat sekaligus musuh dalam satu tubuh.Lintang men
“Sudah, Mas. Semua sudah sesuai prosedur.” Evan menjawab cepat. “Ini rekanan lama dan selama ini tidak pernah ada masalah kecuali saat dulu nilai tukar rupiah anjlok,” jelas Evan.“Ya, sudah, nanti aku urus,” putus Satya. Satya memutuskan untuk ke hotel terlebih dahulu sebelum ke kantor undename importer langganan perusahaannya. Bukan kebiasaannya menemui siapa pun dalam keadaan kusut. Ia selalu berusaha tampil prima di depan semua orang. Lelaki bertubuh ranggi itu berjalan cepat ke kamar usai check in. Di bawah guyuran shower, ia berusaha mengingat semua hal yang bisa membuat barang import tertahan di bea cukai. Menurut Evan, dokumen mereka sudah lengkap. Pajak dan biaya pabean lainnya pun sudah disiapkan. Kapan pun dikonfirmasi untuk pelunasan, perusahaan siap mentransfernya. Selama ini mereka tidak pernah mengalami masalah berarti di pabean. Hadikusumo Group selalu taat pada peraturan. Ratusan botol pewarna itu sudah tiba di pelabuhan tiga minggu lalu. Tidak biasanya pemeriksaa
“Oh, maaf, Pak, saya tidak tahu.” Petugas bernama Bayu itu menangkupkan tangan di depan dada seraya sedikit membungkukkan badan.“Tidak apa-apa. Kita memang belum pernah ketemu.” Satya tersenyum menenangkan.“Biasanya Pak Handoko yang mengurus pengambilan barang di sini.” Raut mukanya yang semula penuh selidik berangsur melunak.“Kebetulan Pak Handoko sedang ada urusan dan saya ada kerjaan di Jakarta. Jadi sekalian saya yang urus.”“Baik, Pak. Silakan duduk dulu. Saya ambilkan dokumen-dokumennya.” Bayu meninggalkan ruangan setelah Satya mengangguk.Cukup lama Satya menunggu sampai Bayu kembali dengan satu bendel berkas di tangan. “Sebelumnya kami minta maaf, Pak,” ujarnya setelah duduk di hadapan Satya. Disibaknya beberapa bagian rambut yang menutupi dahi kemudian menyodorkan hasil pemeriksaan fisik yang sudah dilakukan petugas bea cukai. “Tapi perusahaan Anda sudah membeli barang yang dilarang untuk digunakan di Indonesia dan beberapa negara lain.” Kedua mata Satya sedikit melebar.
“Rahasia. Pokoknya awas kalau kamu nggak segera balik.” Satya memutus sambungan telepon. “Kenapa juga penelitian sampai ke Sangihe yang jauh banget?” batin Satya kesal.Senja baru saja terlipat ketika Satya menemui salah satu koleganya di restoran hotel. Kebetulan temannya melewati daerah Simatupang sehingga menyempatkan untuk mampir. “Mana istrimu?” Heru menjabat erat tangan Satya. Bertahun lamanya mereka tidak bertemu dan hanya berkomunikasi lewat WhatsApp. “Lagi ada acara di Simatupang.” Satya mempersilakan Heru duduk lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan. Alunan music jazz yang cozy menembus rongga telinga, menemani pertemuan dua teman lama itu. “Ngomong-ngomong, kamu beneran nggak jadi nikah sama pacar kamu yang desainer itu?” Heru melepas peluru tajam tepat ke jantung Satya. Lelaki berambut lurus itu duduk di seberang meja yang tidak terlalu lebar berhadapan dengan Satya. Satya sengaja memilih meja kecil di dekat jendela agar pembicaraan mereka lebih nyaman. Dari temp
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers