“Rahasia. Pokoknya awas kalau kamu nggak segera balik.” Satya memutus sambungan telepon. “Kenapa juga penelitian sampai ke Sangihe yang jauh banget?” batin Satya kesal.Senja baru saja terlipat ketika Satya menemui salah satu koleganya di restoran hotel. Kebetulan temannya melewati daerah Simatupang sehingga menyempatkan untuk mampir. “Mana istrimu?” Heru menjabat erat tangan Satya. Bertahun lamanya mereka tidak bertemu dan hanya berkomunikasi lewat WhatsApp. “Lagi ada acara di Simatupang.” Satya mempersilakan Heru duduk lalu memanggil pelayan untuk memesan makanan. Alunan music jazz yang cozy menembus rongga telinga, menemani pertemuan dua teman lama itu. “Ngomong-ngomong, kamu beneran nggak jadi nikah sama pacar kamu yang desainer itu?” Heru melepas peluru tajam tepat ke jantung Satya. Lelaki berambut lurus itu duduk di seberang meja yang tidak terlalu lebar berhadapan dengan Satya. Satya sengaja memilih meja kecil di dekat jendela agar pembicaraan mereka lebih nyaman. Dari temp
[Kamu nggak usah buru-buru. Aku tungguin sampai selesai.]Pandangan Lintang belum beralih dari ponsel ketika pesan Satya kembali masuk. Konsentrasinya seketika buyar. Alih-alih memperhatikan penjelasan, Lintang justru sibuk menimbang keputusan apa yang akan dipilih.Dengan berat hati akhirnya Lintang memilih untuk memenuhi permintaan Satya. Ia segera merapikan alat tulis dan minta izin kepada panitia untuk menginap di luar. Diiringi tatapan ganjil El, Lintang keluar ruangan dan berjalan cepat menuju lobi. Senyum semanis madu milik Satya menyambut kedatangannya. “Sorry, Lin, aku jemput mendadak. Besok pagi habis subuh aku antar lagi sekalian ke bandara.” Lintang mengembalikan koran di tangannya lalu memesan taksi online. Lintang tersenyum hambar. Sejujurnya ia malu meninggalkan forum. Apalagi sejak kejadian pagi tadi sikap El dan Dana belum berubah. Dana lebih banyak diam dan menyendiri sementara El seolah sengaja menghindarinya. Untuk bertanya kepada mereka, ia tidak punya cukup ny
“Kalau bisa, Mas Satya minta salah satu pewarna ilegal itu untuk dibawa pulang dan kita cek kandungannya di lab.” Lintang mengusulkan setelah melihat hasil lab di dokumen yang diberikan Satya. “Ada yang aneh dengan hasil lab itu?” “Pewarna yang dibeli Mas Satya mengandung senyawa turunan azo yang bersifat mutagenik dan karsinogenik. Pemakaian pewarna jenis itu jelas akan mencemari lingkungan dan mematikan kehidupan di sekitar pabrik.” Kata mematikan yang diucapkan Lintang seperti peluru yang menembus kepala Satya. Ia bergidik ngeri membayangkan kerusakan akibat senyawa beracun itu. “Kalau bisa bawa satu buat sampel dan kita cek sendiri akan lebih baik. Tidak ada salahnya kita coba cari pembanding, Mas. Lab saya bisa kok, menganalisis. Biayanya nggak mahal,” lanjut Lintang. “Tapi itu ilegal dan nggak mungkin bisa keluar. Gimana caranya supaya bisa dikirim sekalian?” Satya menyandarkan tubuh di dinding sembari memikirkan jalan keluar. “Besok aku coba hubungi petugas undername impo
Wajah Dana dan El mengapung di depan mata. Keduanya seolah sedang memandangnya dengan tatapan keberatan. Kalimat-kalimat yang diucapkan El kemarin kembali berjejalan di telinga. Lintang tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka, tetapi hatinya mengatakan ia harus mengikuti permintaan El. “Nggak apa-apa. Tapi Mas Satya di sini saja.” Lintang meraih jemari Satya lalu mencium punggung tangannya. Sorot mata penuh tanya milik Satya menerobos rongga mata Lintang. Alih-alih membiarkan Lintang melepas pegangan tangannya dan pergi ke gedung berlogo panda itu, Satya justru menggenggam erat jemari lembut Lintang. “Beneran nggak ada apa-apa. Cuma nggak enak sama Bang El dan Mas Dana.” Akhirnya Lintang memutuskan berterus terang. “Ada yang cemburu?” Kali ini senyum menggoda tersungging di wajah Satya. Lintang mengedikkan bahu. “Nggak juga. Tapi Mas Satya di sini saja. Oke?” Lintang mempersembahkan senyum termanis demi meluluhkan hati Satya. “Okelah.” Meski masih terlihat enggan, Satya ak
Evan terdiam. Sembari membaca neraca keuangan perusahaan ia mengetuk-ngetukkan telunjuk ke meja. “Kalau menurutmu itu solusi terbaik, lakukan saja.” Satya kembali bersuara. “Tapi di klausul kontrak, kita hanya akan mendapat pengembalian lima puluh persen dari total uang yang dibayarkan. Keuangan pabrik pasti akan terpukul.” Deretan angka berjejalan di benak Satya. Lalu satu kata mendadak muncul dan membuat kepala Satya berdenyut. Defisit.“Tapi pabrik akan lebih terpukul ketika ditinggalkan pelanggan. Mencari pelanggan bukan pekerjaan mudah, terutama rekanan kita di Eropa. Satu kali kita mengirim batik dengan kualitas di bawah standar, pasar kita berakhir saat itu juga.” Tarikan napas Satya terdengar begitu berat. “Kamu benar, Van. Semua yang sudah kita bangun selama ini bisa runtuh seketika ketika tidak bisa mempertahankan kualitas.” “Saya akan segera menghubungi undername importer kita untuk reekspor semua pewarna dan menghubungi perusahaan di Cina. Order dari Jerman biar diurus
Pak Handoko terdiam sesaat, mencoba mengorek alibi di rongga kepalanya. “Saya pikir perusahaan butuh efisiensi dan penghematan dan pewarna dari Tiongkok bisa jadi salah satu cara untuk menghemat. Kita butuh banyak biaya untuk membangun kantor pusat, Mas.” Lelaki itu berkata dengan tenang. Ia telah berhasil menguasai dirinya kembali.“Sebagian dana sudah tercover asuransi, Pak. Kita memang masih perlu banyak uang, tapi bukan begitu caranya.” Nada suara Satya penuh tekanan. “Lagi pula Anda tidak membicarakan dulu dengan Evan dan saya. Mestinya urusan sepenting itu dibicarakan dulu dengan kami berdua. Minimal dengan Evan.” “Urusan pabrik, saya lebih berpengalaman dibanding Mas Evan. Saya juga tidak mungkin gegabah memutuskan tanpa mempertimbangkan dulu masak-masak.” Emosi Pak Handoko mulai tersulut. Sejak lama ia memendam gelombang di dalam hati. Di bawah perintah pimpinan dengan usia jauh lebih muda sungguh sangat tidak menyenangkan. Ia muak dengan semua itu. “Saya tahu itu. Tapi, uru
Ujung telunjuk Satya mengetuk-ngetuk meja. Lantas, helaan napas panjang lolos dari mulut Satya. Berat baginya bertindak tegas pada Pak Handoko karena posisinya sebagai karyawan lama. Namun, mengambil keputusan tanpa sepengetahuan Evan yang berakibat fatal tentu tidak bisa dibiarkan. Satya yakin, Pak Handoko menyembunyikan sesuatu.“Iya, Van. Kukira Pak Handoko bermain di belakang kita,” ujar Satya setelah berbalik hingga tubuhnya kembali menghadap Evan. “Panggil penyidik swasta kemarin. Aku mau ketemu.” Evan mengangguk. Ia mencatat beberapa hal yang diperintahkan Satya padanya sebelum membereskan bekas makan siang mereka. “Van ….” Panggilan Satya menghentikan Evan yang hampir bangkit dari kursi sehingga ia duduk kembali seraya menatap Satya dengan sorot mata menunggu. “Kamu nggak pengen deketin Laras?” Kali ini Satya memasang wajah serius. Ia memang berharap Evan mengakhiri masa jomlo. Entah kenapa, ia merasa perlu lebih peduli pada tangan kanannya itu. “Dia kayaknya baik,” lanjut
Satya bergeming sesaat. Ia memandang Hamdan lekat-lekat dengan tatapan menelisik. Setelah sempat menoleh pada Evan, Satya mengambil foto Pak Handoko kemudian menunjukkan pada Hamdan. “Saya ingin Anda menyelidiki orang ini. Apakah ia ada hubungan dengan beberapa orang yang dulu sempat berseteru dengan mendiang ibu saya.” Satya menyebut nama dua kerabatnya. “Kenapa Anda mencurigai orang ini?” Hamdan mengambil foto Pak Handoko dan mengamatinya.“Well, baru-baru ini dia melakukan kesalahan fatal lalu mengundurkan diri. Saya kira itu aneh.” Fokus penglihatan Hamdan kembali tertuju pada Satya. “Apa dia ada masalah dengan Anda? Masalah pribadi? Selama bekerja dengan ibu Anda apa dia baik-baik saja?” “Saya tidak pernah bermasalah secara pribadi dengannya. Kalau dengan Bunda, saya kurang tahu.” Satya mengalihkan pandangan pada Evan dan memberi isyarat untuk melanjutkan menjawab pertanyaan Hamdan. “Setahu saya tidak pernah ada masalah pribadi, Mas. Selama ini semua baik-baik saja.” Evan men
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers