Sekian purnama kucoba melibas bayangmuTetap saja engkau hadir bersama detak jantungku.Entah kapan aku bisa mengusirmu pergi dari ingatan. ***Meski sempat gelagapan dengan ulah Satya yang tiba-tiba, akhirnya Lintang menyambut ajakan lelaki itu dan membiarkan suaminya membawanya menjadi konco satu selimut. “Jadi, saya boleh berangkat sekarang?” Lintang menatap Satya penuh harap. Tangannya meraih jemari Satya lalu menggenggamnya erat. Keduanya berbaring saling berhadapan.Satya melukis senyum seterang kejora lalu kembali mengecup bibir Lintang seolah tidak ingin mengakhiri pagi yang hangat. “Itu jawabanku,” katanya kemudian. “Makasih, Mas,” ujar Lintang tulus. “Makasih sudah menjadikanku yang pertama,” bisik Satya bahagia. Dicubitnya hidung bangir Lintang yang tersenyum malu. Waktu bergerak cepat seperti panah memelesat dari busurnya. Hanya dalam hitungan jam, Lintang berpindah tiga kota sekaligus. Tepat jam delapan malam tubuhnya telah berada di atas kereta tujuan Jakarta bersa
Dana menghela napas panjang kemudian buru-buru meneguk minuman. El kalau sudah ngomel bisa mengakibatkan hipertensi. “Aku yakin Lintang sudah ngerjain tugasnya. Dua jurnal jatah dia pasti sudah direview. Iya, kan, Lin?” Kali ini manik mata gelap milik Dana menyelusup ke rongga mata Lintang. Sembari menghabiskan makanan yang terlanjut masuk ke mulut, Lintang mengangguk. “Aku sudah review walaupun nggak sempurna,” ujarnya setelah isi mulut melewati tenggorokan. “Abang tahu, kan, kalau toko suamiku kebakaran. Nggak mungkin aku sibuk sendiri sementara dia pontang-panting. Aku harus bantuin dia ngurus macem-macem.” Lintang meminta permakluman sembari memasang tampang memelas. Selama ini, El cukup bisa ditaklukkan kalau ia raut mukanya seperti manusia paling menderita sedunia.“Hasil riset kualitas air sudah kamu pelajari?” El masih belum melepaskan cengkeramannya meski suaranya mulai melunak. Anggukan kepala dan senyum Lintang berhasil menurunkan tensi El. “Syukurlah kalau kerjaanmu sud
Buru-buru Lintang mengusir citra Evan dari rongga kepala. Semua sudah terjadi dan ia telah menerima Satya sebagai suami. Tidak pantas baginya memikirkan laki-laki lain selain suaminya. “Jangankan kamu yang bicara, anaknya sendiri tidak pernah didengar Bunda.” Hanum tersenyum miris. “Apakah setelah semua yang terjadi, kita masih perlu mengenang semua kepahitan itu?” Lintang menatap paras secantik dewi-dewi Yunani milik Hanum yang terlihat muram. “Maksudmu?” Hanum mengalihkan pandangan pada Lintang. Kedua alisnya bertaut. “Semua sudah terjadi dan itu diluar kuasa kita. Saya juga belum pernah tahu Mas Satya sebelumnya. Saya baru ketemu saat lamaran. Berandai-andai kembali ke masa lalu dan menolak perjodohan itu jelas sia-sia, tidak akan mengubah keadaan kita saat ini,” ujar Lintang panjang lebar. Ia lelah berada di tengah kecamuk perasaan Satya dan Hanum. “Kamu tidak akan berkata seperti itu kalau berada di posisiku.” Hanum meraih gelas dan meneguk jus jeruk cepat-cepat seolah a
Waktu yang bergerak cepat memutus pembicaraan mereka. “Sore ini aku sudah check out,” ujar Hanum sebelum berpisah. “Semoga pernikahan kalian bahagia selalu.” Hanum mencoba tegar meski hatinya terasa seperti diremas ketika mengucapkannya. Wajah Satya dan senyum manisnya kembali mengapung di depan mata. Beberapa kali ia mengerjap demi menyembunyikan gerimis yang nyaris tumpah. Ia memang jatuh, tetapi tidak boleh terlihat terpuruk di depan Lintang.“Terima kasih banyak,” jawab Lintang tulus. “Doa terbaik juga buat Mbak Hanum.” Lintang memeluk Hanum seperti sahabat yang lama tidak berjumpa. Rasa lega menyelimuti hati Lintang. Pertemuan dengan Hanum kali ini telah mengikis rasa bersalah yang terkadang timbul karena merasa telah merebut Satya dari kehidupan desainer muda itu. Ia tahu sulit bagi Hanum melipat kenangan, tetapi hanya itu satu-satunya cara untuk menapak hari baru. ***“Kamu selesai workshop jam berapa?” Pesan dari Satya masuk ke ponsel Lintang di hari terakhir workshop. “Ini
“Kamu harus dengar ceritaku.” Satya meraih tangan Lintang ketika istrinya menjeda bacaan Qurannya. Lintang mengigit-gigit bibir. Ucapan istri ketua RT kembali terngiang di telinga seperti dengungan suara lebah. Pikirannya berkelana. Semua pikiran buruk tentang Satya dan Hanum ketika berada di rumah ini mengisi rongga kepalanya. Setelah sempat berdamai dengan masa lalu Satya, kini ia harus kembali menelan pil pahit. “Bu Arini hanya melihat semuanya dari luar. Dia tidak tahu apa-apa tentang aku dan Hanum.” Satya berusaha meyakinkan Lintang. Manik matanya menerobos kedalaman mata Lintang yang tersaput kabut. Dalam hati Lintang terus merapal istigfar, memohon kepada Allah agar tidak terlepas satu kata buruk pun dari lisannya. Ia memang kecewa, tetapi tidak ingin berkata kasar pada suaminya. “Hanum memang kadang ke sini, bawa makanan dan kami makan bersama.” Seketika Lintang merasa waktu berhenti dan ia tersedot ke dalam lubang hitam tak berujung. Kejujuran Satya membuat hatinya menci
Lintang menghela napas. Bola mata gelap milik Satya meredup dan tatapannya terlihat sayu. Bukan ia tidak mau memenuhi permintaan Satya, tetapi ia masih belum selesai target satu juz dan sebentar lagi batas waktu laporan habis.“Ya, sudah kalau kamu nggak mau.” Melihat Lintang yang hanya diam, Satya menyerah. “Aku tunggu sampai kamu selesai baca Quran. Daripada kualat karena menghalangi orang beribadah,” lanjutnya sembari menjauhkan wajahnya dari Lintang.Bibir Lintang melukis senyum kemudian meletakkan Al Quran di rak. “Yuk,” ujarnya setelah melipat mukena. “Saya tadi cuma bercanda, kok.”“Astaga!” Satya menepuk jidat. Ditariknya Lintang ke dalam pelukan. “Kamu memang ngeselin.” Ia mencubit hidung Lintang lalu mengecup bibirnya lembut.***Keesokan harinya Satya membawa Lintang mengunjungi perkebunan teh Malabar di Pengalengan. Hamparan pohon teh dan kesiur angin menyambut kedatangan mereka. Aroma daun teh yang segar menyelusup ke dalam hidung, memberi sensasi nyaman dan menenangkan.
Lintang menatap gelas dan mengaduknya. Ia yakin, bukan namanya yang terselip dalam doa-doa Satya. Pasti Hanumlah yang memenuhi langit dalam semesta kehidupan suaminya. Mengingat semua itu membuat hati Lintang seperti terbanting setelah diterbangkan oleh sikap manis Satya. Sungguh menyebalkan.Satya tersenyum geli melihat raut muka Lintang yang mendadak agak muram. “Aku tidak menyebut nama siapa pun dalam doaku.”Lintang melongo. Ditatapnya paras tampan suaminya. Apa dia tidak salah dengar?“Waktu itu aku belum jadian sama Hanum.”Nyes, ucapan Satya seperti oase di tengah gurun. Pendar di wajahnya kembali.“Aku masih semester dua, belum boleh pacaran sama Bunda.” Satya tertawa mengingat Bunda yang tetap memperlakukannya seperti anak kecil meski sudah duduk di bangku kuliah. “Walaupun belum punya gandengan, aku tetep berdoa. Kupikir nggak ada salahnya doa. Mana tahu dikabulkan.” Lelaki berhidung bangir itu mengalihkan pandangan pada Lintang. “Hari ini Tuhan mengabulkan doaku, duduk men
Evan terdiam sejenak. “Kesalahan kita tidak memasang fire alarm system di aset-aset kita,” ujar Evan. “Seharusnya semua aset kita memiliki fire alarm system.” Tatapan setajam pisau milik Satya menyambar tubuh Evan. “Ya, Tuhan, kenapa bisa terlewat begitu? Kupikir aset-aset kita sudah punya sistem deteksi dini kebakaran,” ujarnya sedikit kecewa.“Maaf, Mas, jujur saya juga terlupa. Saya benar-benar tidak memerhatikan alarm kebakaran ini. Belum pernah terpikir bahkan. Setelah ketemu dengan penyidik swasta dan mendengar rekomendasinya, baru saya sadar kalau kita sudah abai.” Rasa bersalah menyeruak di wajah Evan. Ia memang tidak pernah memikirkan kemungkinan kebakaran di aset-aset perusahaan Hadikusumo. Sebuah kesalahan yang cukup fatal bagi CEO perusahaan seperti dia. “Jangan teledor lagi, Van. Tolong cek sistem keamanan aset-aset kita. Tidak hanya keamanan yang berhubungan dengan manusia, tapi juga keamanan dari kemungkinan-kemungkinan adanya musibah. Kebakaran, angin ribut, banjir,