“Waktu ijab, Paklik Heru telah menyerahkan perwalian saya kepada Mas Satya. Dan ketika Mas Satya berkata “saya terima nikahnya Lintang binti Hendra Hadiwijaya” maka saat itu juga Mas Satya sudah berjanji kepada Paklik Heru dan kepada Allah untuk mengambil alih tanggung jawab mendidik, melindungi, dan menafkahi saya.”Lintang menjeda kalimat dengan meneguk setengah gelas air putih demi membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Ia seperti tengah mengisi kajian di depan suaminya sendiri, mencoba membagikan ilmu yang didapat ketika mengikuti pre-mariage class.“Janji dengan siapa yang lebih berharga dan kuat ikatannya? Janji dengan Allah atau janji dengan Hanum?” pungkasnya. Semua anak panah telah ia lesatkan.“Aku belum pernah dengar tentang itu,” sergah Satya cepat.“Mas Satya mau bilang kalau saya mengada-ada? Modus gitu?”“Bukan, bukan gitu maksudku,” seru Satya. “Duh, kenapa Lintang jadi belibet gini, sih?” batin Satya heran. Ia pikir Lintang adalah perempuan penurut yang tidak ba
Satya menutup malam dengan yoga ringan dan meditasi. Kalut dan bingung sudah tercerabut dari hati. Ia sudah meminta maaf pada Lintang sehingga bisa tidur dengan tenang. Tidak lupa ia meminta Pak Pardi untuk segera pulang ke Solo.Usai meditasi, Satya menghabiskan segelas jus apel seledri di teras belakang rumah sembari menatap langit. Kedua sudut bibirnya terangkat ketika melihat purnama yang menjelma wajah Lintang sementara bintang timur yang mengapung di langit menjelma wajah sang bunda. Kedua perempuan itu seolah tersenyum dan melambaikan tangan. Satya belum pernah merasa setenang ini sejak kepergian Bu Sekar.Keesokan harinya, Satya memulai hari dengan penuh semangat. Ia harus merampungkan pekerjaan sesegera mungkin agar proses resign-nya lebih cepat. Perusahaan di Solo sudah menanti untuk diurus. Banyak rencana tersusun di kepalanya untuk membesarkan warisan kedua orang tuanya itu. Jika selama ini batik-batik mereka hanya berputar di Indonesia, Satya bertekat akan membawanya mene
Mestinya detak jarum jam,bergulirnya siang malam,cukup memberimu kabar bahwa waktu takpernah diamdan semua yang tertinggal pada masa lalu akan berubah menjadi kenangan.***Sekian detik menimbang, Satya akhirnya mengiyakan permintaan Hanum. Dari nada bicaranya, Satya bisa menebak jika ada hal penting yang ingin dibicarakan gadis berlesung pipit itu. Satya hapal tabiat kekasihnya.Tepat jam setengah delapan, Satya tiba di depan kafe yang sedang hits di Bandung karena memiliki banyak spot swafoto dan kursi berupa ayunan. Suara penyanyi band Tobe menyanyikan lagu “Heaven” milik Bryan Adams menyambut kedatangan Satya. Aroma aneka makanan memantik demo cacing-cacing di perutnya. Setelah memesan semangkuk smoothies dan segelas jus apel, Satya melewati ruang utama kafe yang luas dan nyaman menuju bagian belakang. Ia sengaja memesan meja yang berada di tempat terbuka.“Sudah lama?” tanya Satya ketika sudah tiba di meja yang menyendiri di salah satu sudut kebun belakang. Meja yang dipesanny
Harusnya aku menjadi bumiyang selalu siap merengkuh siapa pun yang terjatuhsembari berkata, “Kamu akan baik-baik saja dalam pelukanku.”Nyatanya, aku hanya setangkai bunga yang justru harus segera digenggam ketika terjatuh.***“Mas Raka dan Mas Abi juga nggak setuju kita lanjut. Kalau tiga lelaki sudah sepakat, aku tidak akan bisa berkutik.” Hanum membuang muka, membiarkan air mata kembali turun, kali ini lebih deras. Rasa sesak di hatinya bergumpal-gumpal. Ia ingin bumi berputar lebih cepat agar ia bisa segera menuntaskan urusannya dengan Satya lalu pergi sejauh mungkin dari kehidupan lelaki itu.“Tapi kamu sebenarnya nggak pengen putus, kan?” Satya terkejut dengan pertanyaannya sendiri. Dalam hati merutuki diri yang tidak sinkron antara otak, hati, dan mulut. Padahal otaknya jelas memintanya untuk menutup mulut dan menunggu Hanum menuntaskan cerita. Entah kenapa mulutnya malah melontarkan pertanyaan yang akan menjadi boomerang bagi dirinya.Hening. Hanum masih menatap dendrobium
Entah berapa lama mereka terpenjara dalam bisu yang menyakitkan, diam dalam kecamuk pikiran dan badai di hati. Satya ingin bangkit dan memeluk Hanum untuk terakhir kalinya, tetapi badannya seolah terpasak di tempat sehingga ia hanya bisa menggenggam jemari lembut gadis yang telah dikenalnya sejak berseragam putih abu itu.“Kamu nggak salah,” ujar Hanum setelah berhasil menguasai diri. “Salahku menaruh harap pada orang yang salah. Sebenarnya sebelum papa tahu statusmu, mama sudah tahu lebih dulu. Mama sudah ngingetin buat putus. Tapi aku ngeyel karena kamu sudah janji dan kamu selalu menepati janji.” Hanum melanjutkan kisah lalu tersenyum getir. Ia menarik tangannya dari genggaman Satya. “Andaikan aku nurut kata mama, pasti tidak akan sesakit ini.”Satya merasa tubuhnya menciut seperti siput terkena garam. Ratusan klien telah ia taklukkan. Semua staf mengakui kehebatannya karena kinerja memuaskan dan presentasi yang memukai. Tidak ada orang yang tidak tertarik jika mendengar dan meliha
Satya meraih kotak beledu maroon lalu menimangnya sesaat. Ia masih ingat, setahun yang lalu mereka pergi berlibur ke kebun teh milik Boscha di Pandeglang. Ia memberikan cincin itu dan mengikat janji akan melamar Hanum setelah rumah yang disiapkannya untuk mereka berdua jadi. Sejak awal berpacaran, Satya memang sudah bertekad akan langsung membawa Hanum ke rumah sendiri, rumah yang ia usahakan dari kerja kerasnya selama ini.Satu per satu pengunjung meninggalkan kafe. Satya menjadi orang terakhir yang meninggalkan halaman belakang kafe. Setelah membayar di kasir, Satya berjalan cepat menuju halaman.“Pak, udah punya istri belum?” Satya bertanya pada tukang parkir yang mendekatinya.“Sudah, Pak.” Tukang parkir itu menatap Satya heran. “Kenapa, Pak?”“Ini buat Bapak.” Satya meletakkan kotak beledu di telapak tangan tukang parkir. “Berikan ke istri Bapak. Anggap saja hadiah istimewa.” Tangan Satya merogoh saku celana lalu meletakkan selembar uang lima puluh ribu di tangan lelaki kurus pen
“Selamat ya, Lin. Akhirnya selesai juga.” Dini memeluk Lintang yang baru saja keluar dari ruang sidang jurusan. Hari ini sahabatnya menuntaskan studinya dan berhasil mendapat nilai A.“Makasih, Din. Makasih banyak,” ujarnya tulus. “Ayo kita pulang sekarang. Kamu harus siap-siap buat besok,” ujar Lintang setelah Dini mengurai pelukan. Besok menjadi giliran Dini untuk ujian skripsi.Dini mengangguk lalu menggamit lengan Lintang dan berjalan beriringan menuju parkir. Sepuluh menit kemudian keduanya sudah berada di kost Dini. Lintang sengaja menginap di kost Dini sejak tiga hari lalu untuk latihan presentasi. Prof. Kathrina memintanya presentasi dalam bahasa Inggris sehingga Lintang harus melakukan persiapan ekstra.Matahari sudah merangkak ke barat ketika Dini keluar ruang sidang jurusan. Ia memang mendapat jadwal jam terakhir. Lintang memeluk erat sahabatnya yang juga berhasil mendapat nilai A.“Duh, alhamdulillah kamu latihan presentasi di kostku. Aku jadi banyak belajar dan punya cad
Setelah terpaku beberapa detik, Lintang meraih jemari kukuh Satya lalu mencium punggung tangannya. Ia bersyukur tidak ada siapa pun di sana karena kantin sudah tutup. “Sa-saya kira Mas Satya nggak beneran ada di sini.” Mendadak rasa gugup meraja. Lintang melihat wajah Satya sekilas lalu menunduk. Ia tidak sanggup berlama-lama melihat senyum yang membuat hatinya meleleh. Ia khawatir terlanjur jatuh cinta dan akan terlalu sakit kalau saat perpisahan tiba. “Ngapain nge-prank jauh-jauh dari Bandung ke Jogja?” Satya tertawa. “Kamu udah beres kuliah atau masih ada kerjaan?” “Udah selesai. Ini mau pulang.” Lintang memberanikan diri mendongak. Perlahan detak jantungnya mulai normal. “Kalau gitu, kita jalan, yuk. Di mana tempat makan paling enak di Jogja?” tanya Satya antusias. “Eng, anu ….” Lintang menggaruk kepala. Ia teringat Dini yang masih menunggunya di parkiran. “Saya bareng temen. Dia masih nunggu di parkiran. Kami mau hang out nanti malam.” Perempuan berkacamata itu berkata hati-