Harusnya aku menjadi bumiyang selalu siap merengkuh siapa pun yang terjatuhsembari berkata, “Kamu akan baik-baik saja dalam pelukanku.”Nyatanya, aku hanya setangkai bunga yang justru harus segera digenggam ketika terjatuh.***“Mas Raka dan Mas Abi juga nggak setuju kita lanjut. Kalau tiga lelaki sudah sepakat, aku tidak akan bisa berkutik.” Hanum membuang muka, membiarkan air mata kembali turun, kali ini lebih deras. Rasa sesak di hatinya bergumpal-gumpal. Ia ingin bumi berputar lebih cepat agar ia bisa segera menuntaskan urusannya dengan Satya lalu pergi sejauh mungkin dari kehidupan lelaki itu.“Tapi kamu sebenarnya nggak pengen putus, kan?” Satya terkejut dengan pertanyaannya sendiri. Dalam hati merutuki diri yang tidak sinkron antara otak, hati, dan mulut. Padahal otaknya jelas memintanya untuk menutup mulut dan menunggu Hanum menuntaskan cerita. Entah kenapa mulutnya malah melontarkan pertanyaan yang akan menjadi boomerang bagi dirinya.Hening. Hanum masih menatap dendrobium
Entah berapa lama mereka terpenjara dalam bisu yang menyakitkan, diam dalam kecamuk pikiran dan badai di hati. Satya ingin bangkit dan memeluk Hanum untuk terakhir kalinya, tetapi badannya seolah terpasak di tempat sehingga ia hanya bisa menggenggam jemari lembut gadis yang telah dikenalnya sejak berseragam putih abu itu.“Kamu nggak salah,” ujar Hanum setelah berhasil menguasai diri. “Salahku menaruh harap pada orang yang salah. Sebenarnya sebelum papa tahu statusmu, mama sudah tahu lebih dulu. Mama sudah ngingetin buat putus. Tapi aku ngeyel karena kamu sudah janji dan kamu selalu menepati janji.” Hanum melanjutkan kisah lalu tersenyum getir. Ia menarik tangannya dari genggaman Satya. “Andaikan aku nurut kata mama, pasti tidak akan sesakit ini.”Satya merasa tubuhnya menciut seperti siput terkena garam. Ratusan klien telah ia taklukkan. Semua staf mengakui kehebatannya karena kinerja memuaskan dan presentasi yang memukai. Tidak ada orang yang tidak tertarik jika mendengar dan meliha
Satya meraih kotak beledu maroon lalu menimangnya sesaat. Ia masih ingat, setahun yang lalu mereka pergi berlibur ke kebun teh milik Boscha di Pandeglang. Ia memberikan cincin itu dan mengikat janji akan melamar Hanum setelah rumah yang disiapkannya untuk mereka berdua jadi. Sejak awal berpacaran, Satya memang sudah bertekad akan langsung membawa Hanum ke rumah sendiri, rumah yang ia usahakan dari kerja kerasnya selama ini.Satu per satu pengunjung meninggalkan kafe. Satya menjadi orang terakhir yang meninggalkan halaman belakang kafe. Setelah membayar di kasir, Satya berjalan cepat menuju halaman.“Pak, udah punya istri belum?” Satya bertanya pada tukang parkir yang mendekatinya.“Sudah, Pak.” Tukang parkir itu menatap Satya heran. “Kenapa, Pak?”“Ini buat Bapak.” Satya meletakkan kotak beledu di telapak tangan tukang parkir. “Berikan ke istri Bapak. Anggap saja hadiah istimewa.” Tangan Satya merogoh saku celana lalu meletakkan selembar uang lima puluh ribu di tangan lelaki kurus pen
“Selamat ya, Lin. Akhirnya selesai juga.” Dini memeluk Lintang yang baru saja keluar dari ruang sidang jurusan. Hari ini sahabatnya menuntaskan studinya dan berhasil mendapat nilai A.“Makasih, Din. Makasih banyak,” ujarnya tulus. “Ayo kita pulang sekarang. Kamu harus siap-siap buat besok,” ujar Lintang setelah Dini mengurai pelukan. Besok menjadi giliran Dini untuk ujian skripsi.Dini mengangguk lalu menggamit lengan Lintang dan berjalan beriringan menuju parkir. Sepuluh menit kemudian keduanya sudah berada di kost Dini. Lintang sengaja menginap di kost Dini sejak tiga hari lalu untuk latihan presentasi. Prof. Kathrina memintanya presentasi dalam bahasa Inggris sehingga Lintang harus melakukan persiapan ekstra.Matahari sudah merangkak ke barat ketika Dini keluar ruang sidang jurusan. Ia memang mendapat jadwal jam terakhir. Lintang memeluk erat sahabatnya yang juga berhasil mendapat nilai A.“Duh, alhamdulillah kamu latihan presentasi di kostku. Aku jadi banyak belajar dan punya cad
Setelah terpaku beberapa detik, Lintang meraih jemari kukuh Satya lalu mencium punggung tangannya. Ia bersyukur tidak ada siapa pun di sana karena kantin sudah tutup. “Sa-saya kira Mas Satya nggak beneran ada di sini.” Mendadak rasa gugup meraja. Lintang melihat wajah Satya sekilas lalu menunduk. Ia tidak sanggup berlama-lama melihat senyum yang membuat hatinya meleleh. Ia khawatir terlanjur jatuh cinta dan akan terlalu sakit kalau saat perpisahan tiba. “Ngapain nge-prank jauh-jauh dari Bandung ke Jogja?” Satya tertawa. “Kamu udah beres kuliah atau masih ada kerjaan?” “Udah selesai. Ini mau pulang.” Lintang memberanikan diri mendongak. Perlahan detak jantungnya mulai normal. “Kalau gitu, kita jalan, yuk. Di mana tempat makan paling enak di Jogja?” tanya Satya antusias. “Eng, anu ….” Lintang menggaruk kepala. Ia teringat Dini yang masih menunggunya di parkiran. “Saya bareng temen. Dia masih nunggu di parkiran. Kami mau hang out nanti malam.” Perempuan berkacamata itu berkata hati-
Satya hampir saja tertidur ketika istrinya keluar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat segar. Refleks Satya kedua sudut bibirnya terangkat saat melihat mata bening Lintang. Rasa cinta memang belum sepenuhnya tumbuh dalam hatinya. Namun, Satya berdoa Tuhan akan menautkan hati mereka. Ia sudah bertekad akan menjalani pernikahan sebagaimana layaknya meski butuh waktu untuk menerima Lintang. “Kita makan di sini saja, Lin. Kayaknya resto di sini lumayan juga view-nya,” ujar Satya sembari menyisir rambut. “Iya, Mas. Saya ngikut aja mau makan di mana,” ujar Lintang gugup. Melihat wajah segar Satya yang terpantul di cermin membuat jantung Lintang kembali berdetak cepat. Buru-buru ia mengalihkan pandangan ke jendela besar di sisi lain kamar yang memperlihatkan pemandangan di luar. Satya mengambil botol Louis Varel Extreme Musk dari ransel kemudian menyemprotkan isinya ke beberapa bagian tubuhnya. Seketika aroma musk yang lembut, elegan, dan mewah menyelusup ke rongga hidung, membuat
Jika hatimu adalah telaga, izinkan aku berenang di dalamnya.Jika cintamu adalah cahaya matahari, izinkan aku menjadi bumi yang selalu siap menerima pancaran sinarnya. Aku padamu seperti detak jarum pada jam dinding, seperti pintalan benang dalam selembar kain. ***Kedatangan pelayan membawa pesanan mereka membuat Satya kembali menutup mulut yang baru saja terbuka untuk melanjutkan kalimat. “Minum dulu, Lin, biar nggak tegang.” Satya mencoba mencairkan suasana. “Lama-lama aku takut lihat wajah kamu. Aku bukan dosen penguji dan kamu bukan lagi ujian,” goda Satya. Sederet gigi seputih kapas terlihat di wajahnya.Lintang tersenyum kikuk. Tangannya meraih gelas dan mengaduk isinya dengan malas. “Pintar betul Mas Satya mengombang-ambingkan perasaan orang,” batinnya rusuh. “Cuma mau bilang putus saja muter-muter nggak jelas.” Batinnya terus bermonolog. Rasa kesal mulai merambati hati melihat sikap Satya yang terus mengulur waktu seperti seorang anak tengah bermain laying-layang. “Sunggu
“Jadi, sampai kapan aku harus nunggu jawaban? Atau kamu nggak suka gelang ini?”“Eh, bukan gitu, Mas.” Lintang menghela napas. “Sa-saya belum pernah dapat hadiah semewah ini.”“Jadi?” Salah satu alis Satya terangkat.“Saya suka.” Bibir Satya membentuk bulan sabit.Satya menggeleng. “Mana tanganmu?” Gugup, Lintang menyodorkan tangan lalu membiarkan Satya memakaikan gelang itu di pergelangan tangannya. “Gelang ini sebagai tanda mulai saat ini kita jadi konco mesra.” Lintang menjawab ucapan Satya dengan anggukan dan ucapan terima kasih. Tepat jam sembilan malam mereka meninggalkan Bogey’s Teras diiringi embusan angin mulai menyelusupkan hawa dingin. Rasa lelah karena beberapa hari lembur hingga dini hari membuat Lintang tidur cepat. Usai salat Isya ia sudah terbang ke alam mimpi tanpa memedulikan sang suami yang masih terjaga. Satya membaringkan tubuh di samping Lintang. Ditatapnya lekat wajah istrinya yang terlihat damai. Lalu, hawa panas tiba-tiba menjalari tubuh, membangkitkan ses
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers