Semua Bab Perempuan Masa Lalu Suamiku: Bab 11 - Bab 20

141 Bab

Bab 11: Ayo Rebut Cintanya

“Ya, Salam, Ya, Latif,” batin Lintang perih. Ia berharap pendengarannya salah dan bukan Satya yang baru saja mengucapkannya. Nyatanya, kalimat demi kalimat setajam duri mawar itu memang diucapkan Satya.“Udah malam, Lin. Yuk, istirahat.” Satya bangkit. Lelaki itu sama sekali tidak terlihat merasa bersalah dengan ucapannya yang telah melukai hati Lintang. “Besok biar kamu diantar Pak Parjo. Jadi nggak usah ngebis.” Satya menatap wajah istrinya sekilas lalu pergi ke kamarnya, meninggalkan Lintang yang nyaris meledakkan tangis.Dua minggu berlalu sejak Satya dan Lintang kembali ke kehidupan masing-masing. Lintang berusaha mengejar waktu yang tersisa. Ia menenggelamkan diri di perpustakaan dan sesekali ke laboratorium untuk mengambil hasil analisis. Beruntung, ia tidak perlu mengulang penelitian karena hasil analisis sesuai dengan hipotesis penelitiannya.Sepekan pertama terpisah jarak, tidak pernah satu kali pun Satya berkirim kabar lebih dulu. Selalu Lintang yang mengawali percakapan d
Baca selengkapnya

Bab 12: Seperti Bima dan Arimbi

Angin berkesiur meniup jilbab mereka, menerbangkan debu dan daun-daun kering yang berserakan di tanah. Lintang menatap Dini lamat-lamat. Ia ingin harapan itu tetap menyala di hati. Sayang, wajah datar Satya meremukkan harapan itu.“Kita lihat tiga bulan lagi. Dia, kan, ngasih batas waktu tiga bulan,” ujar Lintang. Ucapan Satya saat malam pertama masih terekam jelas dalam ingatan.“Aku tetap yakin Satya akan luluh. Aku yakin Allah akan membuka hatinya,” pungkas Dini optimis.Selarik senyum terlukis di wajah Lintang. “Makasih, Din. Kamu seperti obor di tengah gulita malam,” ujar Lintang tulus.“Jangan lupa traktir aku kalau kamu berhasil menaklukkan hati Satya.” Senyum lebar tercetak di wajah Dini.“Beres. Kamu bebas milih baju dan perawatan di spa milik Bunda Sekar.” Lintang menepuk kedua pipi Dini.Matahari yang rebah sempurna ke barat menyudahi percakapan mereka. Gegas keduanya memacu motor menuju kostan masing-masing.Sesuai janjinya semalam, Satya benar-benar menjemput Lintang di k
Baca selengkapnya

Bab 13: Wasiat Bunda

“Ibu ingin melihat Mas Satya dan Mbak Lintang seperti Bima dan Arimbi.”Selama beberapa detik ekspresi wajah Satya berubah. Namun, ia segera bisa menguasai diri.“Oh, iya. Benar juga, Mbok.” Lelaki berusia jelang tiga puluh tahun itu mengalihkan pandangan pada Lintang yang masih terpasak di depan pintu kamarnya. “Kamar kamu di sini, Lin, bareng aku.” Meski canggung, akhirnya kalimat itu lolos juga dari mulutnya.Selama tujuh hari setelah meninggalnya Bu Sekar, kamar Satya ditempati kerabat yang datang melayat. Ia memilih tidur di ruang perpustakaan. Tidak ada yang mengusiknya karena semua menganggap Satya tengah terpukul dengan meninggalnya sang bunda. Tidak ada yang mempertanyakan mengapa ia tidak tidur di kamar yang ditempati Lintang karena kerabat-kerabatnya menganggap Satya sedang berusaha menenangkan diri. Kini, hanya ada Mbok Darmi dan Kang Pardi di rumah ini. Mereka berdua bisa curiga jika ia tidur terpisah dengan Lintang.Dulu, setelah acara ngunduh mantu di sini, mereka tidak
Baca selengkapnya

Bab 14: Hati yang Patah

“Seandainya Mas Satya tidak bersedia mengundurkan diri dari pekerjaan yang saat ini sedang dijalani di Bandung, Bu Sekar tidak keberatan jika usaha ini dikelola dari jarak jauh. Namun, Bu Sekar tidak mengizinkan usaha ini jatuh ke tangan orang lain karena sudah menjadi wasiat Pak Hadi agar usaha ini menjadi perusahaan keluarga.”Hati Satya kelut-melut. Ia tidak mungkin menolak perintah sang bunda dan wasiat mendiang ayahnya. Namun, ia juga terikat janji dengan Hanum dan tidak ingin dianggap sebagai lelaki tak bertanggungjawab karena membatalkan janji yang pernah terucap. Apalagi Hanum bersedia menunggunya bercerai dengan Lintang. Kekasihnya itu telah berkorban begitu banyak dan ia tidak mungkin meninggalkannya.“Selanjutnya saya akan mengurus semua keperluan balik nama aset-aset Bu Sekar dan akan saya kabari kalau semua sudah selesai. Terkait biaya, semua sudah disiapkan Bu Sekar.”Satya mengiyakan semua ucapan Pak Adrian. Saraf-saraf otaknya mendadak tumpul. Sementara itu, Lintang me
Baca selengkapnya

Bab 15: Lebih Baik Aku Pergi

Cintaku seperti bunga matahari, tetapi hatimu serupa pohon meranggas. - Lintang Ayu Saraswati -***“Ya, Tuhan,” batin Satya. Ia menyesali ucapannya. Sayang, semua sudah terlanjur.Satya terdiam, manik mata kelamnya menatap Lintang. Hati Satya bagai diamuk badai melihat sepasang mata sewarna madu milik Lintang siap menumpahkan air mata.“Jadi memang Mas Satya benar-benar ingin melanjutkan pernikahan ini?” Sekuat tenaga Lintang menahan gelombang di hati. Bagaimanapun juga ia tidak ingin terlihat kalah di hadapan Satya.Satya menutup wajah dengan kedua tangan lalu menyugar rambut frustrasi. Ia benar-benar menyesal. “A-aku ….” Lelaki berambut lurus tebal itu bangkit dari sofa lalu mendekati Lintang. “Ma-maksudku ….”“Kalau memang Mas Satya tidak ingin melanjutkan pernikahan ini, ceraikan saya sekarang juga.” Tatapan setajam pisau milik Lintang menyambar tubuh Satya yang terpaku selangkah di depan Lintang.“Dulu Mas Satya meminta waktu untuk membujuk bunda dan sekarang beliau sudah tiada.
Baca selengkapnya

Bab 16: Dia Tidak Pernah Menginginkan Aku

Ucapan Lintang membuat otot-otor wajah Dini menegang. Senyumnya lenyap berganti dengan tatapan cemas."Aku sudah ngasih waktu Mas Satya satu bulan untuk menceraikanku. Bulan depan aku bakal jadi janda, Din." Perlahan, mendung tebal yang bergelayut di mata Lintang berubah menjadi hujan. Awalnya gerimis, lalu menderas perlahan.“Ya, Allah.” Dini takkuasa menyembunyikan rasa terkejut. Ia beringsut lalu memeluk Lintang erat, membiarkan sahabatnya menumpahkan segala luka.Sekian waktu suara isakan Lintang memenuhi kamar berukuran sembilan meter persegi itu. “Apa kamu sudah pikirkan masak-masak, Lin?” tanya Dini hati-hati setelah sedu-sedan Lintang mereda. Tangannya mengulurkan sekotak tissue.“Mas Satya memang tidak pernah ingin melanjutkan pernikahan ini. Buat apa hidup dengan laki-laki yang tidak mencitai kita, Din?” Lintang mengusap wajah kasar dan mengelap ingus hingga hidungnya semerah buah ceri.“Ya, tapi --““Aku tidak akan mengorbankan hidup dan hatiku untuk sebuah cinta yang berte
Baca selengkapnya

Bab 17: Ke Mana Aku Harus Mencarimu

Usai makan siang dan Salat Zuhur, Satya memutuskan untuk pergi ke kost Lintang demi meminta sepotong kata maaf padanya. Ia tidak akan bisa kembali ke Bandung dengan tenang sebelum bertemu Lintang.Hari Minggu yang padat menyebabkan laju Honda Jazz yang dikendarai Satya melambat. Beberapa kali ia terperangkap kemacetan cukup panjang. Di sela-sela membelah jalanan menuju Yogyakarta, Satya berusaha menghubungi Lintang meski tidak pernah membuahkan hasil, membuat hatinya semakin rusuh.Matahari telah bergerak ke barat ketika Satya tiba di depan kost Lintang. Gegas ia turun dari mobil dan setengah berlari melintasi halaman rumah berlantai dua di hadapannya. Seorang gadis berjilbab pink keluar setelah ia menekan bel.“Apa saya bisa bertemu dengan Mbak Lintang?” tanya Satya setelah mengucap salam.Gadis itu terdiam sesaat. Ia terlihat seperti tengah mengingat sesuatu. “Kalau nggak salah Kak Lintang belum pulang dari Solo. Pintu kamarnya masih terkunci.”“Apa mungkin dia sudah pulang tapi ngg
Baca selengkapnya

Bab 18: Andai Waktu Bisa Diputar Ulang

Di kedalaman matamu kuselami dirimu. Dan tak kutemukan apa pun selain luka. - Lintang Ayu Saraswati -***Lintang menghabiskan setengah hari untuk menumpahkan segenap luka. Sejak waktu Zuhur tiba hingga azan Magrib berkumandang, perempuan itu terpekur di atas sajadah. Suara bacaan Al Quran ditingkahi sedu-sedan Lintang mengisi kamar Dini.Kadang terbersit penyesalan di hati Lintang kenapa ia dulu menerima perjodohan ini. Toh kedua orang tuanya sudah meninggal dan bukti bahwa ia dijodohkan hanya sepotong kenangan yang dimiliki Bu Sekar sesaat sebelum mendiang ayahnya menutup mata. Ia seharusnya menolak. Namun, sejak awal kedatangan Bu Sekar, paklik dan buliknya sangat mempercayai ucapan sahabat lama mendiang ibu Lintang itu sehingga mereka pun meminta keponakannya untuk menuruti permintaan almarhum sang ayah untuk menikah dengan Satya. “Ah, andai waktu bisa diputar,” batinnya ngilu.“Din, ada kamar kosong nggak di sini?” tanya Lintang usai salat Magrib. Ia merasa keadaannya lebih baik
Baca selengkapnya

Bab 19: Pupus

Awalnya, baik Paklik Heru maupun Bulik Marni tidak percaya begitu saja. Mereka memang mengenal Bu Sekar, tetapi tidak pernah tahu jika pernah perempuan itu terikat janji dengan ayah Lintang.Setelah melewati pembicaraan panjang, akhirnya Paklik Heru meminta Lintang menerima lamaran Bu Sekar. Bagaimanapun juga wasiat harus ditunaikan. Meski tidak ada bukti hitam di atas putih bahwa ia telah terikat perjodohan sejak kecil, Paklik Heru percaya jika Bu Sekar tidak berbohong. Sikap yang sama ditunjukkan Bulik Marni. Ia mendukung keputusan Paklik Heru untuk menikahkan Lintang dengan putra tunggal Hadipranoto.Doa-doa kembali dipanjatkan Lintang. Bimbang dan ragu yang sempat menyelimuti hati ditepisnya jauh-jauh. Meski ia belum punya gambaran sedikit pun tentang putra tunggal Bu Sekar, ia mengikuti nasihat Paklik Heru dan Bulik Marni untuk menerima lamaran pengusaha batik itu. Baginya, restu orang tua yang utama. Ia yakin bisa menjalani pernikahan dengan restu mereka.“Sa-saya minta maaf, Um
Baca selengkapnya

Baba 20: Pupus (2)

“Lin, tolong jangan siksa aku kayak gini,” gumamnya frustrasi. Sebelum melajukan mobil menuju Solo, Satya mengirim pesan kepada Lintang, memintanya untuk bertemu walau sesaat sekadar untuk berbicara dan meminta maaf.Centang satu. Satya pasrah. Menyerah. Ia buta aktivitas Lintang di Yogyakarta, begitu pula lingkaran pertemanannya. Ia hanya tahu selintas ketika mereka hadir pada pesta pernikahannya, tetapi taksatu pun yang ia kenal dan tahu namanya. Dengan hati rusuh, Satya melajukan mobil menuju Solo. Hari ini ia kena batunya akibat sikap abai yang selama ini ditunjukkan pada Lintang.Rasa bersalah sekaligus kehilangan menemani Satya menghabiskan malam. Separuh hatinya seolah tertinggal di Yogyakarta sehingga ia memacu mobil dengan kecepatan sedang dan sesekali melambat.“Jaga Lintang baik-baik, Sat.” Tiba-tiba suara sang bunda terngiang di telinga, meremas hati Satya hingga luruh. “Dia adalah cahaya mata Bunda dan Bunda nggak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.”“Ya, Tuhan!” se
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
15
DMCA.com Protection Status