Ucapan Lintang membuat otot-otor wajah Dini menegang. Senyumnya lenyap berganti dengan tatapan cemas."Aku sudah ngasih waktu Mas Satya satu bulan untuk menceraikanku. Bulan depan aku bakal jadi janda, Din." Perlahan, mendung tebal yang bergelayut di mata Lintang berubah menjadi hujan. Awalnya gerimis, lalu menderas perlahan.“Ya, Allah.” Dini takkuasa menyembunyikan rasa terkejut. Ia beringsut lalu memeluk Lintang erat, membiarkan sahabatnya menumpahkan segala luka.Sekian waktu suara isakan Lintang memenuhi kamar berukuran sembilan meter persegi itu. “Apa kamu sudah pikirkan masak-masak, Lin?” tanya Dini hati-hati setelah sedu-sedan Lintang mereda. Tangannya mengulurkan sekotak tissue.“Mas Satya memang tidak pernah ingin melanjutkan pernikahan ini. Buat apa hidup dengan laki-laki yang tidak mencitai kita, Din?” Lintang mengusap wajah kasar dan mengelap ingus hingga hidungnya semerah buah ceri.“Ya, tapi --““Aku tidak akan mengorbankan hidup dan hatiku untuk sebuah cinta yang berte
Usai makan siang dan Salat Zuhur, Satya memutuskan untuk pergi ke kost Lintang demi meminta sepotong kata maaf padanya. Ia tidak akan bisa kembali ke Bandung dengan tenang sebelum bertemu Lintang.Hari Minggu yang padat menyebabkan laju Honda Jazz yang dikendarai Satya melambat. Beberapa kali ia terperangkap kemacetan cukup panjang. Di sela-sela membelah jalanan menuju Yogyakarta, Satya berusaha menghubungi Lintang meski tidak pernah membuahkan hasil, membuat hatinya semakin rusuh.Matahari telah bergerak ke barat ketika Satya tiba di depan kost Lintang. Gegas ia turun dari mobil dan setengah berlari melintasi halaman rumah berlantai dua di hadapannya. Seorang gadis berjilbab pink keluar setelah ia menekan bel.“Apa saya bisa bertemu dengan Mbak Lintang?” tanya Satya setelah mengucap salam.Gadis itu terdiam sesaat. Ia terlihat seperti tengah mengingat sesuatu. “Kalau nggak salah Kak Lintang belum pulang dari Solo. Pintu kamarnya masih terkunci.”“Apa mungkin dia sudah pulang tapi ngg
Di kedalaman matamu kuselami dirimu. Dan tak kutemukan apa pun selain luka. - Lintang Ayu Saraswati -***Lintang menghabiskan setengah hari untuk menumpahkan segenap luka. Sejak waktu Zuhur tiba hingga azan Magrib berkumandang, perempuan itu terpekur di atas sajadah. Suara bacaan Al Quran ditingkahi sedu-sedan Lintang mengisi kamar Dini.Kadang terbersit penyesalan di hati Lintang kenapa ia dulu menerima perjodohan ini. Toh kedua orang tuanya sudah meninggal dan bukti bahwa ia dijodohkan hanya sepotong kenangan yang dimiliki Bu Sekar sesaat sebelum mendiang ayahnya menutup mata. Ia seharusnya menolak. Namun, sejak awal kedatangan Bu Sekar, paklik dan buliknya sangat mempercayai ucapan sahabat lama mendiang ibu Lintang itu sehingga mereka pun meminta keponakannya untuk menuruti permintaan almarhum sang ayah untuk menikah dengan Satya. “Ah, andai waktu bisa diputar,” batinnya ngilu.“Din, ada kamar kosong nggak di sini?” tanya Lintang usai salat Magrib. Ia merasa keadaannya lebih baik
Awalnya, baik Paklik Heru maupun Bulik Marni tidak percaya begitu saja. Mereka memang mengenal Bu Sekar, tetapi tidak pernah tahu jika pernah perempuan itu terikat janji dengan ayah Lintang.Setelah melewati pembicaraan panjang, akhirnya Paklik Heru meminta Lintang menerima lamaran Bu Sekar. Bagaimanapun juga wasiat harus ditunaikan. Meski tidak ada bukti hitam di atas putih bahwa ia telah terikat perjodohan sejak kecil, Paklik Heru percaya jika Bu Sekar tidak berbohong. Sikap yang sama ditunjukkan Bulik Marni. Ia mendukung keputusan Paklik Heru untuk menikahkan Lintang dengan putra tunggal Hadipranoto.Doa-doa kembali dipanjatkan Lintang. Bimbang dan ragu yang sempat menyelimuti hati ditepisnya jauh-jauh. Meski ia belum punya gambaran sedikit pun tentang putra tunggal Bu Sekar, ia mengikuti nasihat Paklik Heru dan Bulik Marni untuk menerima lamaran pengusaha batik itu. Baginya, restu orang tua yang utama. Ia yakin bisa menjalani pernikahan dengan restu mereka.“Sa-saya minta maaf, Um
“Lin, tolong jangan siksa aku kayak gini,” gumamnya frustrasi. Sebelum melajukan mobil menuju Solo, Satya mengirim pesan kepada Lintang, memintanya untuk bertemu walau sesaat sekadar untuk berbicara dan meminta maaf.Centang satu. Satya pasrah. Menyerah. Ia buta aktivitas Lintang di Yogyakarta, begitu pula lingkaran pertemanannya. Ia hanya tahu selintas ketika mereka hadir pada pesta pernikahannya, tetapi taksatu pun yang ia kenal dan tahu namanya. Dengan hati rusuh, Satya melajukan mobil menuju Solo. Hari ini ia kena batunya akibat sikap abai yang selama ini ditunjukkan pada Lintang.Rasa bersalah sekaligus kehilangan menemani Satya menghabiskan malam. Separuh hatinya seolah tertinggal di Yogyakarta sehingga ia memacu mobil dengan kecepatan sedang dan sesekali melambat.“Jaga Lintang baik-baik, Sat.” Tiba-tiba suara sang bunda terngiang di telinga, meremas hati Satya hingga luruh. “Dia adalah cahaya mata Bunda dan Bunda nggak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya.”“Ya, Tuhan!” se
“Ah, shit!” serunya kesal sembari membanti map. Jarum pendek jam di dinding hampir menunjuk angka dua belas, tetapi Pak Pardi belum juga menelepon. “Sudah nyampe Jogja belum sih, Kang?” sembur Satya ketika teleponnya tersambung ke Pak Pardi. Ia lelah menunggu sehingga memutuskan untuk menelepon sopirnya.“Sudah, Mas.” Getar ketakutan terdengar jelas dari seberang ditingkahi suara kendaraan bermotor. “Saya sudah di sini sejak dua jam lalu,” lanjut Pak Pardi.“Beneran Lintang belum balik kost? Masa sih, dia nggak pulang ke kostnya?” tanya Satya tak percaya.“Iya, Mas. Mbak Lintang memang belum keliatan di kost.”“Coba Kang Pardi tanyain temen kostnya. Kali aja Lintang datang pas Kang Pardi nggak liat.”“Ba-baik, Mas.”Satya memutus sambungan telepon lalu meletakkan gawai di atas meja dengan kasar. “Tolonglah, Lin, jangan siksa aku kayak gini. Aku mau bicara,” batinnya gusar.Matahari yang terus merangkak ke barat tanpa kabar baik dari Pak Pardi membuat rasa bersalah di hati Satya sep
Dalam selembar daun yang jatuh diterbangkan angin, engkau menjelmaDi bawah siraman cahaya matari, engkau mengadaBersama kesiur angin yang mencumbu tubuh, engkau hadirDalam bayang di bening air, engkau menatapku, mengulurkan sekeping tanda mata bernama rindu!***Pagi yang bingar di kost Dini. Usai membaca Al Quran dan wirid pagi, Dini melantai di dapur. Kostnya memang menyediakan dapur yang setiap saat bisa dipakai para penghuninya untuk memasak maupun sekadar memanaskan makanan. Sementara itu, Lintang sedang tidak bisa diganggu karena harus menyiapkan revisi skripsi dan pergi sebelum jam setengah tujuh.“Nasi gorengnya mantap, Din. Calon istri solehah, nih.” Lintang mengacungkan jempol. Sepiring penuh nasi goreng berhasil melewati rongga mulut.“Itu karena kamu lagi laper.” Dini terkekeh. “Lagian apa hubungannya nasi goreng dengan istri solehah?”Lintang mengibaskan tangan sembari berdecak. “Konon, laki-laki harus dipuaskan perutnya biar betah dan cinta.”“Nah, itu tahu teorinya.
Sinar matahari pagi yang menyirami bumi mengiringi laju motor Lintang. Ia tiba di depan ruang kerja Prof. Kathrina lima menit sebelum dosen yang selalu tampil modis itu datang.“Saya sudah oke, Lin. Data dan analisisnya sudah lengkap. Good job, dear.” Prof. Kathrina menyodorkan satu bendel kertas pada Lintang. Senyum puas terkembang sempurna di wajah cantiknya.“Alhamdulillah.” Lintang menarik napas lega lalu mempersembahkan senyum semanis cokelat hangat. “Makasih banyak, Prof.”“Kamu cek ke Pak Razi. Kalau beliau oke, kamu langsung saja minta waktu kosong beliau dan daftar ujian. Saya ngikut saja jadwal Pak Rozi. Yang penting, sebelum saya berangkat ke Jerman, kamu sudah ujian,” tambah Prof. Kathrina.“Tinggal dua minggu lagi, Prof,” ujar Lintang sedikit cemas ketika melihat buku catatan.“Makanya kamu segera janjian sama Pak Razi saja,” sahut Prof. Kathrina.Lintang mengangguk. Kebetulan hari ini ia sudah membuat janji dengan Dr. Razi.“Oke, sampai ketemu saat ujian. Siapkan present
“Ya, kamu, sih, enteng bilang kayak gitu karena satu server sama Evan.” Satya merapikan anak-anak rambut yang sempat menyembul dari jilbab Lintang. “Dalam hal ini, cita-citaku sederhana, Lin. Hapal juz tiga puluh saja aku sudah seneng. Kamu tahu aku agak bebal kalau soal ini.” Satya tersenyum malu. “Aku doakan Allah memberi lebih dari juz tiga puluh.” Lintang mengecup mesra jemari Satya. “Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah.” Satya tertawa. Ia masih sangsi bisa lebih dari itu. Seumur hidupnya ia belum pernah menghapal Al Quran secara khusus selain ketika masih kecil dan ikut TPA di masjid.Langit perlahan berubah warna. Dari biru ke jingga, kemudian menggelap seiring masuknya bola besar berwarna kuning ke dalam laut. Keduanya meninggalkan Parangtritis setelah salat Magrib. Sepanjang jalan menuju hotel, sesekali Satya menggenggam jemari Lintang seperti anak kecil khawatir terpisah dari ibunya. Lalu keduanya saling menatap. Penuh cinta.Dadai Lintang berdebar melihat senyum Saty
“Sejak melahirkan, kamu macam gadis pingitan.” Satya tertawa di ujung kalimat. “Kamu butuh refreshing. Pasti capek ngurus Rendra dan meramu bahan-bahan pewarna itu. Lagi pula, Bulik Marni dan Paklik Heru pasti sudah kangen cucunya.” Satya mendekati Lintang hingga keduanya bersisihan menatap taman di luar kamar. Lintang terdiam. Ia memang menyarankan Satya menggunakan pewarna dari bahan alam agar penggunaan pewarna kimia bisa berkurang. Sejak dua bulan sebelum melahirkan, ia sibuk mencari bahan yang dibutuhkan dan mencoba membuat meski dalam skala kecil dan sejak sebulan lalu Lintang sudah kembali disibukkan dengan aneka pewarna alam itu. Beruntung, beberapa perajin batik di Yogyakarta yang telah menggunakan pewarna alam bersedia memberitahu bahan-bahan yang dibutuhkan. Mereka juga menghubungkan Lintang dengan penyedia pewarna alam itu sehingga untuk beberapa warna ia tidak perlu membuat sendiri. Kepala Lintang penuh rencana kerja dan refreshing tidak masuk di dalamnya. Ia tidak mer
Tatapan kecewa Satya bertemu dengan raut muka penuh sesal milik Evan. Satya menarik napas. “Bisa nggak, kamu hubungi mereka lagi? Siapa tahu mereka masih berminat?”“Siap, Mas. Nanti saya hubungi Ustaz Haikal.” Evan menatap sekilas Satya sembari tersenyum. Detik berikutnya ia mempercepat laju mobil. Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Draft laporan yang harus dicek dan jadwal rapat berderet panjan di tabletnya.“Nggak mampir, Van? Ngopi-ngopi dulu,” tawar Satya sebelum turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di halaman rumah Satya.“Makasih, Mas. Saya langsung ke kantor saja.” Satya mengangguk. Hanya dalam hitungan menit setelah ia turun, Evan lenyap dari pandangan. Sejurus kemudian ia memasuki rumah dengan hati bungah. Satya menghentikan langkah di ambang pintu dapur ketika dilihatnya Lintang tengah mengupas timun sementara Dini mengulek sambal. Aroma segar dari timun dan nanas berpadu dengan bau sambal rujak menyelusup hidung.“Kapan datang, Din?” Lintang menoleh k
Di sisi lain, Bagas tersenyum puas. Akhirnya ia bisa membalaskan dendam sang ayah untuk menghancurkan Satya. Sepupunya tidak hanya akan kehilangan gurita bisnis, tetapi juga nama baik. Tidak ada yang lebih buruk dalam hidup selain kehilangan reputasi. Harta bisa dicari, jabatan bisa diperebutkan, tetapi serpihan nama baik yang hancur tidak akan mudah dipungut dan disatukan. “Mengingat bahwa terdakwa: (1) masih berusia muda, (2) bersikap kooperatif dan terbuka selama proses persidangan, (3) bukan satu-satunya pihak yang membuang limbah ke Kali Jenes, (4) telah membangun instalasi pengolah limbah sehingga air buangannya memenuhi baku mutu yang ditentukan perundang-undangan, (4) memberi kesempatan kepada warga sekitar pabrik untuk meningkatkan taraf hidup mereka melalui berbagai unit usaha yang dimiliki.” Wajah-wajah di ruang sidang terlihat tegang. Evan menatap tak sabar pimpinan majelis hakim yang menurutnya bertele-tele. Segala urusan yang berkaitan dengan hukum sering membuat kesab
Dini tersenyum lebar. Ditepuknya pipi Lintang dengan gemas. Setelah masa-masa awal pernikahan yang menyedihkan, gadis itu kini merasa lega karena Lintang telah berhasil melewati semua.“Ya, teleponlah. Tapi, kan, jarang banget. Jadi ibuku ngambek. Terakhir nelepon, dia kasih ultimatum segera balik Semarang sekalian bawa calon suami.” “Ya, Allah, ada-ada saja.” Lintang tertawa. Ia kenal baik ibunya Dini karena beberapa kali ke Semarang dan bisa membayangkan bagaimana mimik wajah perempuan itu ketika berbicara pada Dini. “Trus, calon suaminya gimana? Berhasil bawa pulang dia nggak?” Seketika air muka Dini berubah. Pendar ceria di matanya meredup. Lintang menelan ludah, merasa tidak enak karena telah menghapus binar cerah di wajah sahabatnya. “Itu dia, Lin.” Dini menunduk lalu merogoh tas dan mengeluarkan dompet. Sejurus kemudian tangannya mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Lintang. “Insyaallah aku mau nikah sama orang ini.” Dini menahan tawa hingga pipinya sedikit mengg
Evan menekan pedal gas dan kembali melajukan mobil. Ia memilih tidak melanjutkan negosiasi dengan Satya. Suasana hati Satya sedang tidak mendukung dan ia akan mencari waktu lain untuk membicarakan masalah itu.“Kamu nggak masuk dulu?” Satya menatap heran Evan yang tidak melepaskan tangan dari kemudi ketika mereka memasuki halaman. “Saya masih harus balik kantor, Mas. Ada beberapa laporan yang harus ditandatangani. Kasihan Laras sudah nunggu.” “Dia nggak cuma nunggu kamu tanda tangan dokumen, tapi juga nunggu lamaran dan tanda tangan kamu di buku nikah,” sahut Satya santai. Ia keluar mobil tanpa mengindahkan Evan yang bengong. Satya melambaikan tangan sebelum melangkahkan kaki ke pendopo.“Lagi masak apa, Mama Cantik?” Satya memeluk Lintang dari belakang. Istrinya tengah mengaduk panci dan mencicip kuahnya.‘Nyobain bikin sup iga. Dari tadi pengen makan seger-seger.” “Hmm, baunya enak, jadi nggak sabar buat makan.” “Mandi dulu, bau ruang sidang.” “Baru kali ini ruang sidang ada ba
Dana bergeming meski tatapan setajam pisau terhunjam tepat di matanya. Ia tidak boleh terpancing provokasi Bagas. “Kasus itu sudah ditutup dan aku tidak terbukti memalsukan dokumen Amdal,” lanjut Bagas. Telunjuknya masih berada di dada Dana. “Apa sebutan yang tepat untuk orang yang tidak mau menerima kekalahan, hah?” Dana menggeser piring. “Kasus yang sudah ditutup bukan berarti tidak bisa diangkat lagi,” ujar Dana tenang. “Gugatan Walhi sudah masuk ke Pengadilan Negeri Kota Bandung. Kami pastikan kali ini kamu tidak akan bisa lari dari jerat hukum.” Raut muka Dana terlihat datar, tetapi nada suaranya terdengar dingin penuh tekanan. Di seberang meja, El tampak tidak terganggu dengan perdebatan antara Dana dan Bagas sementara Satya menahan napas melihat dua orang di hadapannya mirip dua prajurit saling bersiap untuk melakukan duel maut. Dana mengelak ketika tangan Bagas terulur hendak meraih kerah kemejanya. Sumpah serapah lelaki muda itu berhamburan di udara, menarik perhatian An
Tepat jam sembilan pimpinan majelis hakim memulai sidang. Setelah memeriksa para saksi dan meminta mereka bersumpah di bawah kitab suci, pimpinan sidang meminta Prof. Kathrina sebagai saksi ahli pertama yang memberikan kesaksiannya hari itu. “Saya sudah mempelajari kasus pencemaran Kali Jenes sejak lama dan Hadikusumo bukan satu-satunya perusahaan yang harus bertanggung jawab. Jadi, menjadikannya pihak yang harus menanggung kesalahan kolektif tentu tidak tepat. Seharusnya semua perusahaan yang membuang limbahnya ke Kali Jenes ada di kursi terdakwa.” “Keberatan, Yang Mulia. Sekali lagi ini hanya awalan. Setelah kasus Hadikusumo selesai, penggugat akan melanjutkan ke perusahaan lainnya.” “Saya tidak yakin itu, Yang Mulia.” Prof. Kathrina menyahut cepat. “Fokus penggugat pada Hadikusumo Group. Penggugat sama sekali tidak menyentuh perusahaan lain. Bahkan hasil analisis mereka juga hanya dari Hadikusumo. Kalau mereka ingin menyeret semua perusahaan, seharusnya saat ini juga semua pim
Jeda satu minggu sidang digunakan Satya untuk rehat, mendinginkan otak yang mendidih. Ia belajar bangun di ujung malam dan mengisinya dengan salat dan membaca Al Quran meski bacaannya belum sempurna. Ia juga menambah waktu yoga sembari mengingat setiap pesan Guru Hadji yang tersimpan dalam memorinya. Kabar dari Evan yang menyebutkan bahwa keluarga Hanum akan membeli salah satu spa-nya dan telah menawar dengan harga tertinggi membuat Satya merasa menjadi pesakitan untuk kedua kalinya. Setelah semua yang terjadi antara dia dan Hanum, keluarga mantan kekasihnya itu tak pernah berubah sikap. Mereka tetap menjadi kolega yang baik. Bahkan ibu Hanum selalu terlihat ramah dan hangat jika bertemu Lintang. Kini, mereka menjadi dewa penolong ketika posisinya berada di ujung tanduk. Kalau saja ia tidak sedang terjepit, Satya akan meminta Evan mencari orang lain untuk membeli dua spa itu. “Beberapa hari ke depan mungkin kamu akan sedikit repot.” Satya memulai obrolan usai membaca wirid pagi bers