Malam tiba. Sayup suara adzan isya berkumandang. Aku membawakan nasi dan lauk sup yang sudah kubuat spesial untuk Bang Rio. "Abang makan dulu, ya," suapku pada Bang Rio. Ia mengangguk, memberi tempat pada dudukan. "Alya sama Rivo sudah makan, Dik?" Aku menyuruh ia makan, yang diingat justru dua kurcaci kecil miliknya. Tentu saja Alya dan Rivo lebih dulu kuberi makan. Sebelum empat penyihir itu makan masakanku. "Alhamdulillah sudah.""Kamu sendiri sudah makan?""Perut seorang ibu akan terasa kenyang saat anak-anaknya bahagia dan merasa nyaman.""Dik, kenapa bilang begitu?" Bang Rio mengusap rambutku. Ia memang acap melakukannya untuk menenangkan aku. "Bang, kalau Rumi gak salah, selain pesangon, kita juga punya jamsostek untuk dicairkan, ya kan, Bang?" Hati-hati sekali aku memulai pembicaraan, aku tak ingin labi-labi penghisap darah itu mengetahui kalau kami masih punya simpanan cadangan. Suara sengaja kupelankan.Rencana yang telah kususun. Aku tahu, suamiku ini sangat lemah te
Read more