Home / Romansa / Aku Padamu, Gus! / Chapter 31 - Chapter 40

All Chapters of Aku Padamu, Gus!: Chapter 31 - Chapter 40

132 Chapters

Sentuhan Pertama

“Kamu sudah salat?” tanya Gus Azam dan kujawab dengan gelengan.Aku menepuk jidatku pelan. Aku lupa jika belum melaksanakan salat Isya. Sehabis akad nikah, kami sibuk membicarakan tentang diriku. Besok aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku sudah stabil. Kemungkinan besar aku akan tinggal di rumah Gus Azam. Mereka pikir aku lebih aman tinggal di sana daripada di rumahku sendiri. “Aku antar ke kamar mandi. Kita salat jamaah!” Ucapannya tidak terdengar seperti sebuah tawaran melainkan perintah. Aku mencoba duduk, tetapi tubuhku terasa kaku. Bekas cambukan dari Pak Rozaq masih terasa perih. Sekujur tubuhku rasanya sakit semua. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan memegang pundakku. “Biar kubantu.” Gus Azam menaruh tangan kirinya di bawah leherku dan tangan kanannya diletakkan di bahu kiriku. Sejenak napasku terhenti. Dengan jarak sedekat ini aku mampu mencium aroma parfumnya. Jantungku berdebar hebat kala dia mulai mengangkat tubuhku. Ya Allah, inikah rasanya berduaan dengan lela
last updateLast Updated : 2022-11-06
Read more

Hanya Berdua Saja

Sebuah sentuhan hangat yang cukup lama mengenai keningku. Aku lekas menutup mata kembali dan ikut menikmatinya untuk beberapa saat. Namun, tiba-tiba pintu terbuka dan suara deheman Abah mengagetkan kami. Gus Azam lekas memundurkan badannya begitu juga denganku. “Sepertinya kita datang di waktu yang tidak tepat, Umi.” Ucapan abah semakin membuatku tersipu. “Cepat sekali pendekatan Azam, belum satu jam sudah semakin dekat,” sahut Umi. “Abah, Umi, ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Kami hanya ....”“Hanya apa?” Abah memotong ucapan Gus Azam. Kami terciduk sedang berduaan di dalam sebuah ruangan. Terlebih adegan yang mereka lihat sudah tidak bisa disangkal dengan alasan apa pun. Kami masih sama-sama belum saling mengenal meski sudah menjadi pasangan halal.“Kami hanya melaksanakan ibadah salat Isya berjamaah, Abah.” Sembari melipat sajadah, Gus Azam menjelaskan kepada kedua orang tuanya jika kami tidak melakukan apa-apa. “Melakukan apa pun juga diperbolehkan, Zam. Akan tetapi ka
last updateLast Updated : 2022-11-06
Read more

Nama Panggilan

Pagi harinya aku terbangun kala mendengar seseorang melantunkan ayat suci. Gus Azam duduk di sofa dan membawa sebuah Al-Qur’an di tangannya. Aku melihat selimut yang kupakai dan ternyata masih aman, jilbabku juga masih menutup kepala. Sepertinya tadi malam tidak terjadi apa-apa. Aku menutup mukaku sendiri, malu karena sudah membayangkan hal yang iya-iya. Dia menghentikan bacaannya kala melihatku berusaha duduk. “Jangan bergerak, aku akan membantumu.” Gus Azam membantuku duduk. Padahal aku sudah merasa lebih baik daripada kemarin. Kepalaku sudah tidak pusing lagi, tetapi aku sudah tidak tahan ingin ke kamar mandi. “Saya mau ke kamar mandi, Gus.” “Aku antar,” ucapnya kemudian mengambil cairan infus yang menggantung di standar infus. “Aku bisa masuk sendiri.” Aku meminta cairan infus darinya kemudian segera membuang hajat. Aku segera berwudu kemudian salat. Sudah pukul lima pagi, tetapi Gus Azam sepertinya sengaja tidak membangunkanku. “Maaf aku tidak membangunkanmu, kamu terliha
last updateLast Updated : 2022-11-06
Read more

Kembali ke Pondok

Pukul sembilan pagi, kami sampai di rumah Gus Azam. Aku tidak menyangka akan kembali ke tempat ini. Beberapa hari yang lalu aku sudah berpamitan untuk pulang, tetapi hari ini takdir berkata lain. Aku datang sebagai menantu, bukan sebagai seorang santri. “Ayo masuk!” ucap Gus Azam sambil menggandeng tanganku. Aku sudah turun dari mobil. Bukannya berjalan, aku malah mematung melihat tangan kiriku dipegang oleh suamiku. “Aku gendong kalau kamu nggak bisa jalan.”Aku menggeleng. “Maaf, aku masih bingung mau ke arah mana.”“Kamu menantu di rumah ini, Fia. Ayo ikuti aku!”Aku berjalan sambil menunduk karena pasti akan menjadi perbincangan banyak orang. Aku yakin tidak banyak yang tahu tentang pernikahan kami. Akan ada hari patah hati berjamaah jika para santriwati mengetahui Gus Azam sudah menikah. Sesampainya di rumah abah, keheningan menyelimuti rumah ini. Abah dan umi pergi ke acara akhirus sannah di pondok pesanten Darul Muttaqin, sedangkan adik-adik Gus Azam tidak ada di rumah. “K
last updateLast Updated : 2022-11-06
Read more

Curahan Hati (Curhat)

“Kamu tidak pulang, Anin?”“Besok pagi aku baru pulang. Lia juga masih di sini. Masuk, yuk!”Kami masuk ke kamar tempat biasa kami saling curhat. Kamar ini sempit, tetapi masih cukup untuk kami bertiga. Kami duduk di karpet yang digelar di lantai. Bantal dan guling berserakan di atasnya.“Eh, wajah kamu kenapa? Aku dengar kamu sudah menikah. Apakah itu bukti KDRT?” tanya Lia.Lia sedang membereskan pakaian ke dalam koper. Sepertinya dia akan pulang kampung. “Bukan! Ini luka cambukan dari tua bangka itu. Beruntung Gus Azam datang dan menyelamatkanku. Sekarang aku sudah menjadi istri Gus Azam.”“What?” Anin membelalakkan mata. “Kamu dah nikah dan gak ngasih tahu kami?”“Baru kemarin.” “Cie cie cie! Berarti baru pecah perawan dong!” Aku segera membekap mulut Anin kala dia mengucapkan kata-kata itu. Dia adalah cewek paling barbar di antara kami. Namun, tidak dipungkiri jika dia adalah anak yang cerdas. “Hais! Kalau kalian lihat keadaanku seperti ini, kira-kira malam pertamanya bagaiman
last updateLast Updated : 2022-11-06
Read more

Cemburu

Hatiku memanas melihat suamiku sedang berbincang dengan seorang wanita. Dia bukan lelaki yang suka memberikan senyuman di depan wanita. Bahkan dengan santrinya pun dia selalu bersikap dingin. Aku ingin segera sampai di rumah. Gemuruh dalam hati ini seakan mau meledak. Bisa dihitung berapa kali dia memberikan senyumnya untukku, tetapi kenapa kini dia berikan kepada wanita lain?Aku ingin berteriak, tetapi sepertinya percuma. Dia tidak akan mendengar suaraku. Dengan kesal aku pulang ke rumah umi. “Assalamu’alaikum,” ucapku kala memasuki rumah. Jawaban salam dari seorang lelaki yang duduk di ruang tamu membuatku tercengang. Gus Anam ada di rumah. Dia sedang rebahan di kursi dan hanya memakai kaos dalam sehingga membuatku berteriak sekencang-kencangnya.“Aaa!” Aku dan Gus Anam sama-sama berteriak hingga abah dan umi keluar dari kamar. “Astaghfirullah, ada apa ini?” tanya Umi Hanifah. Aku tidak berani membuka mata sebelum Gus Anam pergi. Bisa-bisanya dia mempertontonkan tubuhnya di d
last updateLast Updated : 2022-11-06
Read more

Hanya Tidur Saja

Gus Azam tampak diam seolah tidak terjadi apa-apa ketika Alifah dan Gus Anam mengejeknya. Aku sendiri tari tadi menahan tawa. Entah terbuat dari apa hati suamiku ini. “Sudah, sudah! Fia harus istirahat. Ajak istrimu ke kamar, Zam!” Gus Azam mengajakku salat Zuhur terlebih dahulu. Dia memintaku berwudu lebih dulu, baru setelahnya dia. “Ladies first,” katanya. Dia mencoba memperlakukanku bak seorang putri. Aku benar-benar merasa tersanjung akan perbuatannya. Usai salat, dia memintaku minum obat kemudian tidur. “Kamu mau tidur memakai jilbab?” tanya suamiku. Dia mengerutkan dahinya seolah heran melihatku tidur dengan mengenakan jilbab. “Nanti jilbabmu kusut.”Benar juga kata suamiku. Aku belum membawa pakaian di rumah ini. “Mas, aku belum punya baju ganti di sini. Mas Azam mau nganterin aku pulang?”“Tidak perlu. Aku sudah memyiapkan beberapa baju untukmu,” ucapnya sembari merebahkan tubuh ke kasur. “Tidurlah, kamu tidak perlu takut. Akan kutemani hingga terlelap.” Dia menepuk-nep
last updateLast Updated : 2022-11-06
Read more

Sebuah Panggilan

Aku terbangun ketika mendengar suara ponsel berbunyi keras. Di sampingku sudah tidak ada siapa-siapa. Pergi ke mana suamiku?Aku melihat sekeliling dan ternyata ponselnya berada di meja dekat rak buku. Ketika aku berdiri kulihat sajadah yang masih tergeletak di lantai. Saat aku melipatnya terasa masih hangat. Dia pasti baru saja keluar. Kuambil ponsel yang tiada henti berbunyi menyanyikan lagu salawat tibbil qulub. Sebuah nomer tanpa nama terpampang jelas di layar utama. Kurapikan jilbab kemudian hendak keluar membuka pintu, tetapi kuurungkan langkahku kala mendengar berdebatan di luar sana. “Fia butuh istirahat, Zam!” ucap umi.Aku mengintip dari dalam kamar yang sudah terbuka pintunya. Gus Azam dan adiknya sedang duduk sambil makan pisang goreng sedangkan umi sedang membereskan meja makan. Menantu macam apa aku ini? Bukannya membantu malah tidur. “Tapi enggak harus di sini, Umi. Dia pernah menyukai Anam dan tadi siang Fia melihat tubuh Anam.”Astaghfirullah, Gus Azam pikir aku b
last updateLast Updated : 2022-11-06
Read more

Hanya Teman

Siapa lagi wanita itu? Belum genap 24 jam menjadi istri Gus Azam, aku sudah dipusingkan dengan wanita-wanita yang berada di sekelilingnya. Setelah tadi siang sepupunya, sekarang siapa Ustazah Sulis ini?“Siapa dia, Mas?”“Teman Mas di kajian. Nanti malam Ustaz Karim tidak bisa hadir karena istrinya melahirkan. Ustazah Sulis memintaku menggantikan Ustaz Karim,” jawab suamiku. Teman? Tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan dewasa. Pasti ada sesuatu di antara mereka. “Hanya teman?” tanyaku selidik. “Hanya teman,” jawab Gus Azam kemudian merangkul dan membawaku masuk ke kamar.“Kami ke kamar dulu, Umi.”Setelah masuk, Gus Azam mengunci pintunya. Mau apa dia? Kenapa sampai mengunci pintu? Dia berbalik kemudian tersenyum ke arahku. Senyum itu akhirnya terlihat lagi olehku. Semyum yang jarang dia tampakkan kepada orang lain selain aku dan keluarganya. Senyum yang mampu membuat diri ini senam jantung. Setelah sampai di depanku, Gus Azam melepas sarung yang dia kenakan hingga
last updateLast Updated : 2022-11-07
Read more

Hadiah

“Sudah malam, Fia. Biar umi panggilkan Mbak Nur untuk meminta Anin datang. Umi tidak mau kamu kenapa-kenapa, apalagi sudah malam.” Umi menolak permintaanku. Mbak Nur adalah abdi dalem di rumah ini. Dia adalah kakak kelasku ketika aliyah. Sekarang dia menjadi salah satu pengurus pondok pesantren putri. “Ada yang harus Fia sampaikan Umi.”Aku tidak mungkin mengatakan kepada umi jika akan meminjam novel. Apa kata dunia?Umi berdiri kemudian berjalan ke arah meja Gus Azam dan mengambil pulpen serta buku. “Tulis sesuatu di sini,” ucap umi sambil menyerahkan barang yang diambil dari meja putranya. “Tenang saja, umi tidak akan mengintip.” Sembari melangkah keluar, umi kemudian memanggil Mbak Nur supaya datang ke kamarku. Beberapa saat kemudian datang seorang perempuan berjilbab ungu. Dia tidak berani masuk ke kamar Gus Azam sehingga aku harus menemuinya di luar.“Mbak, sampaikan surat ini kepada Anin. Bilang aja saya tunggu balasannya sekarang juga.”Aku memberikan sebuah surat untuk An
last updateLast Updated : 2022-11-07
Read more
PREV
123456
...
14
Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status