Aku terbangun ketika mendengar suara ponsel berbunyi keras. Di sampingku sudah tidak ada siapa-siapa. Pergi ke mana suamiku?Aku melihat sekeliling dan ternyata ponselnya berada di meja dekat rak buku. Ketika aku berdiri kulihat sajadah yang masih tergeletak di lantai. Saat aku melipatnya terasa masih hangat. Dia pasti baru saja keluar. Kuambil ponsel yang tiada henti berbunyi menyanyikan lagu salawat tibbil qulub. Sebuah nomer tanpa nama terpampang jelas di layar utama. Kurapikan jilbab kemudian hendak keluar membuka pintu, tetapi kuurungkan langkahku kala mendengar berdebatan di luar sana. “Fia butuh istirahat, Zam!” ucap umi.Aku mengintip dari dalam kamar yang sudah terbuka pintunya. Gus Azam dan adiknya sedang duduk sambil makan pisang goreng sedangkan umi sedang membereskan meja makan. Menantu macam apa aku ini? Bukannya membantu malah tidur. “Tapi enggak harus di sini, Umi. Dia pernah menyukai Anam dan tadi siang Fia melihat tubuh Anam.”Astaghfirullah, Gus Azam pikir aku b
Siapa lagi wanita itu? Belum genap 24 jam menjadi istri Gus Azam, aku sudah dipusingkan dengan wanita-wanita yang berada di sekelilingnya. Setelah tadi siang sepupunya, sekarang siapa Ustazah Sulis ini?“Siapa dia, Mas?”“Teman Mas di kajian. Nanti malam Ustaz Karim tidak bisa hadir karena istrinya melahirkan. Ustazah Sulis memintaku menggantikan Ustaz Karim,” jawab suamiku. Teman? Tidak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan dewasa. Pasti ada sesuatu di antara mereka. “Hanya teman?” tanyaku selidik. “Hanya teman,” jawab Gus Azam kemudian merangkul dan membawaku masuk ke kamar.“Kami ke kamar dulu, Umi.”Setelah masuk, Gus Azam mengunci pintunya. Mau apa dia? Kenapa sampai mengunci pintu? Dia berbalik kemudian tersenyum ke arahku. Senyum itu akhirnya terlihat lagi olehku. Semyum yang jarang dia tampakkan kepada orang lain selain aku dan keluarganya. Senyum yang mampu membuat diri ini senam jantung. Setelah sampai di depanku, Gus Azam melepas sarung yang dia kenakan hingga
“Sudah malam, Fia. Biar umi panggilkan Mbak Nur untuk meminta Anin datang. Umi tidak mau kamu kenapa-kenapa, apalagi sudah malam.” Umi menolak permintaanku. Mbak Nur adalah abdi dalem di rumah ini. Dia adalah kakak kelasku ketika aliyah. Sekarang dia menjadi salah satu pengurus pondok pesantren putri. “Ada yang harus Fia sampaikan Umi.”Aku tidak mungkin mengatakan kepada umi jika akan meminjam novel. Apa kata dunia?Umi berdiri kemudian berjalan ke arah meja Gus Azam dan mengambil pulpen serta buku. “Tulis sesuatu di sini,” ucap umi sambil menyerahkan barang yang diambil dari meja putranya. “Tenang saja, umi tidak akan mengintip.” Sembari melangkah keluar, umi kemudian memanggil Mbak Nur supaya datang ke kamarku. Beberapa saat kemudian datang seorang perempuan berjilbab ungu. Dia tidak berani masuk ke kamar Gus Azam sehingga aku harus menemuinya di luar.“Mbak, sampaikan surat ini kepada Anin. Bilang aja saya tunggu balasannya sekarang juga.”Aku memberikan sebuah surat untuk An
Dari mana Anin mendapatkan benda lucknut seperti itu? Pantas saja Mbak Nur lama kembali. Mereka pasti sedang bersekongkol. Sebuah novel dan selembar kertas keluar saat aku melempar barang tersebut. Kuambil keduanya menyisakan baju tidur transparan warna merah muda yang tergeletak di lantai. Tanganku mengepal kala mebaca surat dari Anin. To : ShafiaSelamat atas pernikahannya. Semoga sakinah mawaddah warohmah. Ini ada sedikit hadiah dari kami. Wajib dipakai, yak! Kami udah iuran pake jatah uang jajan. TtdGeng TsadisHuaaa! Ingin rasanya aku berteriak. Bisa-bisanya mereka memberikan pakaian kurang bahan seperti itu kepadaku. Geng Tsadis adalah nama geng kami. Tsadis artinya enam, padahal hanya ada lima orang. Anggotanya adalah aku, Nadia, Anin, Mbak Nur, dan Lia, tetapi Anin menambahkan nama Gita sehingga menjadi enam orang. Masih dalam emosi yang membara, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku gelagapan karena tiba-tiba gus Azam sudah datang. Pandangan Gus Azam langsung tertuju
“Daripada kamu membaca novel seperti ini mending kamu pelajari lagi kitab ini. Di sini dibahas semua masalah rumah tangga, termasuk tentang hubungan suami istri. Kitab ini juga menjelaskan amalan apa saja yang harus dilakukan suami istri pada malam pertama,” ucapnya sambil menyodorkan kitab bertuliskan Uqudullujain.Bulan puasa kemarin aku sudah hatam kitab itu. Kitab Uqudullujain sengaja diajarkan kepada santri dan santriwati tingkat akhir sebagai pedoman jika sudah lulus dari pondok pesantren. Mereka semua pasti akan menjalani kehidupan berumahtangga kelak. Ucapan Gus Azam membuatku menunduk. Aku sangat malu, benar-benar malu karena telah melakukan kebodohan ini. Ingin rasanya aku menangis. Aku seperti maling yang ketahuan mencuri dan sedang disidang. Beginikah rasanya jika dimarahi seorang suami?“Maaf.” Hanya satu kata yang keluar dari mulutku. Aku tidak mampu berkata-kata lagi. “Maaf untuk?”“Maaf karena aku membaca hal yang tidak-tidak.” Air mataku sudah tidak bisa dibendung
Suara lantunan ayat suci dari masjid menggema di seluruh penjuru pesantren. Mataku mulai mengerjap saat kurasakan ada sesuatu yang berbeda. Aku tidur seranjang dengan suamiku dalam satu selimut yang sama. Sebuah dekapan hangat terasa di tubuh ini. Dari dekat dapat kupandangi wajah suamiku yang masih terlelap. Tangannya masih dia letakkan di pinggangku. Hal yang baru kuketahui ternyata suamiku posesif. Kusibak selimut yang menutup tubuh, pakaianku masih utuh. Berarti tadi malam tidak terjadi apa-apa. Pikiranku terlalu negatif. Aku tersenyum membayangkan apa yang telah kami lakukan tadi malam. Kuberanikan diri membelai wajah suamiku, tetapi betapa terkejutnya ketika dia membuka mata. “Kamu sudah bangun?” tanyanya dan kujawab dengan anggukan.Saat aku hendak menarik tanganku, Gus Azam malah memegangnya. “Rasanya aku ingin menjadikan malam lebih lama lagi.”“Kita salat dulu, Mas.”“Sebentar lagi, belum azan.” Gus Azam merapatkan tubuhnya kembali.Aku menenggelamkan wajahku ke dadanya
“Shafia, ya?” tanya perempuan berambut putih. “Inggeh, Mbah.”“Mbah Rukmi dolan mahe Pak Irul. Lagi hajatan.” (Mbah Rumi sedang berkunjung ke rumah Pak Irul. Sedang ada hajatan.”Pantas saja rumah sepi. Ternyata mereka pergi ke rumah pakde. Syukurlah, kupikir mereka sakit. “Makasih, Mbah.” Wanita itu pergi setelah memberikan informasi kepadaku. “Mas Azam mau ke rumah pakde?” tawarku kepada Gus Azam. Aku tidak mau memaksanya karena dia pasti sudah capek. “Ke rumahmu saja! Aku mau istirahat.”Akhirnya kami pulang ke rumahku. Baru dua hari aku meninggalkan rumah, tetapi rasanya sudah lama tidak datang. Banyak dedaunan berserakan di depan rumah dan bunga milik Ibu berjatuhan. Aku harus rajin ke sini supaya rumahku tidak seperti kapal pecah. Rumah ini sudah khas seperti rumah hantu. “Aku akan bantu beresin rumah kamu.” Tiba-tiba Gus Azam berdiri di sampingku seolah mengerti apa yang ada dalam pikiranku. Mataku berbinar mendengarnya hingga tanpa sengaja kupeluk tubuhnya. “Terima kasi
“Mobil siapa yang datang? Cepat sekali Mas Azam. Apa ada yang ketinggalan, ya?” Aku segera ke depan untuk melihat siapa yang datang. Namun, betapa terkejutnya aku ketika membuka pintu ternyata yang datang adalah Pak Rozaq. Dia bersama dua orang pengawalnya membawa tali dan senjata tajam. Sebuah linggis, pisau belati yang sangat menyilaukan mata, dan pistol berada di tangan keduanya.“Assalamu’alaikum, Shafia.” Lelaki tua bangka itu mengucapkan salam dengan senyum yang ramah, tetapi justru membuatku ketakutan. Kepalaku yang sudah sedikit membaik kembali pusing. Ingatan kejadian itu datang lagi.Aku langsung menutup pintu begitu saja tanpa mempersilakan dia masuk. Aku masih takut dengannya. Namun, dia menahan pintu dengan sepatunya. “Fia, kamu harus membayar semuanya!”“Tidak! Hutangku sudah lunas. Aku sudah tidak ada urusan denganmu lagi.” Kudorong pintu dengan punggungku hingga dia menarik kakinya. Hutang apa lagi? Bukankah hutang ayah sudah dilunasi semuanya? Dia pasti mengada-ad
“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat