“Mobil siapa yang datang? Cepat sekali Mas Azam. Apa ada yang ketinggalan, ya?” Aku segera ke depan untuk melihat siapa yang datang. Namun, betapa terkejutnya aku ketika membuka pintu ternyata yang datang adalah Pak Rozaq. Dia bersama dua orang pengawalnya membawa tali dan senjata tajam. Sebuah linggis, pisau belati yang sangat menyilaukan mata, dan pistol berada di tangan keduanya.“Assalamu’alaikum, Shafia.” Lelaki tua bangka itu mengucapkan salam dengan senyum yang ramah, tetapi justru membuatku ketakutan. Kepalaku yang sudah sedikit membaik kembali pusing. Ingatan kejadian itu datang lagi.Aku langsung menutup pintu begitu saja tanpa mempersilakan dia masuk. Aku masih takut dengannya. Namun, dia menahan pintu dengan sepatunya. “Fia, kamu harus membayar semuanya!”“Tidak! Hutangku sudah lunas. Aku sudah tidak ada urusan denganmu lagi.” Kudorong pintu dengan punggungku hingga dia menarik kakinya. Hutang apa lagi? Bukankah hutang ayah sudah dilunasi semuanya? Dia pasti mengada-ad
“Kolong tempat tidur bersih, Bos!”“Siyalan! Cari dia sampai ketemu!” Aku berteriak kala seseorang menendang pintu almari. Namun, aku berharap mereka tidak mendengar jeritanku. “Sepertinya ada tikus di dalam almari.” Suara Pak Rozaq tertawa hingga menggema di ruangan ini. “Tikus berbaju kuning, Bos?” tanya salah seorang di antara mereka. Ketiganya semakin tertawa terbahak-bahak. Dalam hati kusebut nama suamiku berulang-ulang supaya dia lekas datang. “Aaa!” Aku berteriak dan menggeleng kala dua orang lelaki membuka pintu almari. Aku menepis tangan mereka saat hendak menyentuhku, tetapi aku mencoba melawan meski mereka terlalu kuat. Tanganku sakit ketika mereka menarik paksa tanganku. Aku diseret keluar dari almari kemudian dijatuhkan di lantai dengan kasar. “Ikat dia di ranjang!” perintah Pak Rozaq.“Sekarang, Bos?”“Tahun depan! Ya sekarang, Dodol! Buruan sebelum suaminya kembali.”Aku beringsut mundur dan hendak kabur, tetapi mereka lebih cepat dariku. Aku tidak mau mereka mel
“Kurang Ajar!” Akhirnya Gus Azam berhasil masuk meski dengan lengan yang berdarah. Aku takhenti-hentinya mengucapkan syukur kepada Allah. Suamiku telah datang dan berusaha menyelamatkanku. “Bodoh! Kenapa kamu masih hidup?” Pak Rozaq menutup celananya kembali dan turun dari atasku. “Kamu mau melihat istrimu melayaniku?” tanya Pak Rozaq sinis. “Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!” ucap Gus Azam kemudian melayangkan sebuah pukulan di wajah Pak Rozaq. Mereka saling beradu pukul hingga Pak Rozaq mengeluarkan pisaunya. Dia menyerang suamiku hingga beberapa bagian tubuhnya berdarah terkena sayatan pisau. Aku hanya bisa menangis melihat perkelahian mereka. Semoga suamiku selamat dan tua bangka itu mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. “Rasakan ini!” teriak Pak Rozaq sambil mengarahkan pisau tepat di perut Gus Azam. Aku menjerit histeris melihatnya. Pak Rozaq kabur begitu saja setelah suamiku tergeletak di lantai.“Mas Azaaam!” Aku tidak bisa menolongnya karena tubuhku terikat
Tangisku yang sudah mereda kembali pecah. Aku dan umi merasa jika kami adalah orang yang paling tersakiti ketika Gus Azam terluka.“Ini semua gara-gara Fia, Umi. Ini salah Fia karena keras kepala ingin pulang ke rumah.”“Umi tidak menyalahkanmu, Fia. Jangan berkata seperti itu. Semua ini takdir Allah. Kita harus sabar dan ikhlas,” ucap umi sambil memelukku. “Kita ke kantor polisi sekarang, Nam. Abah tidak akan membiarkan penjahat sepertinya berkeliaran di luar sana.”Abah dan Gus Anam akhirnya pergi meninggalkan kami. Pak RT pun undur diri karena sudah ada keluarga yang menemaniku. Aku meminta tolong padanya untuk menghubungi nenek dan kakek. “Fia, kamu harus segera diobati!” ucap umi sambil memegang kedua tanganku, tetapi aku menggeleng.“Nanti saja, Umi. Fia mau lihat keadaan Mas Azam dulu.” “Azam akan sedih melihatmu terluka. Kamu adalah hidupnya, dia akan hancur jika melihatmu terluka.”Berkali-kali umi memaksaku, tetapi aku menolak hingga akhirnya keluar seorang suster dari ru
“Di mana suamiku?” Aku terperanjat kala bangun tidur tidak mendapati Gus Azam di sisiku. Kemarin dia masuk rumah sakit, tetapi kenapa sekarang aku ada di kamarnya? Siapa yang memindahkanku di sini?Seharusnya aku masih di rumah sakit. Lirih kudengar suara tangisan umi. Aku meraih jilbab yang tergantung di belakang pintu kemudian memakainya. Saat aku keluar, tidak kudapati batang hidung suamiku. “Mas Azam di mana, Umi?”Bukannya menjawab, umi semakin terisak kemudian memelukku. Aku semakin kebingungan melihat perlakuan umi.“Ada apa, Umi?” Ketiga adik Gus Azam saling tatap. Mengapa mereka ada di rumah semuanya? Seharusnya dua adiknya masih mondok. “Fia, kamu yang sabar, ya, Nak. Azam sudah meninggalkan kita,” ujar umi. Bagaikan disambar petir di siang bolong, duniaku runtuh. Untuk apa aku hidup jika tanpa suamiku? Kami baru saja mulai dekat, tetapi mengapa dia pergi secepat ini?“Tidak, Umi! Ini tidak mungkin terjadi, Mas Azam tidak akan pergi meninggalkanku sendiri.”Aku tertund
“Assalamu’alaikum.” Tiba-tiba umi masuk bersama Gus Anam. Aku dan suamiku menjawab salam bersamaan. Mereka tersenyum menatap kami hingga membuat wajahku memerah. “Alhamdulillah kalian sudah bangun. Umi ada kabar baik,” ucap umi antusias. “Alhamdulillah, kabar apa, Umi? Azam sudah boleh pulang?” tanya suamiku. “Bukan! Dasar pengantin baru, udah nggak sabar bulan madu kayaknya,” ujar Gus Anam sambil melirik tangan kami. Bahkan aku tidak sadar jika sedari tadi tangan kami masih berpegangan. Aku ingin melepasnya, tetapi Gus Azam tidak mau. Dia malah membawa tanganku ke wajahnya. Diusapkannya telapak tanganku di pipinya. “Makanya buruan nikah. Nyesel kamu kalau kelamaan. Nikah itu enak, Nam.” Ucapan suamiku membuatku ingin menyembunyikan wajah di bawah brankar. Rasanya aku sangat malu. “Dih!” Gus Anam mencebik kesal. Ternyata dia juga menginap di rumah sakit ini, tetapi umi bilang Gus Anam tidur di luar membawa selimut karena di ruangan ini ada aku. “Sudah, sudah! Tadi abah bilang
Langit mulai berubah gelap tertutup awan hitam. Padahal sore ini Gus Azam sudah diperbolehkan pulang. Hasil pemeriksaan menunjukkan jika luka di lengan dan perutnya mulai mengering. Dokter menyarankan agar Gus Azam tidak terlalu bergerak aktif selama satu minggu ini. “Selamat, Pak. Anda sudah boleh pulang. Jangan lupa minum obat yang teratur. Satu minggu lagi bisa kontrol untuk cek bekas jahitan.” Dokter Hadi memberikan penjelasan kepada suamiku. Beliau juga mengingatkan bagaimana cara merawat dan membersihkan beberapa luka sayatan pisau yang sudah mulai mengering. Aku sendiri meringis setiap kali membersihkan lukanya. Terkadang sampai membuat bulu kudukku meremang. “Mas ganti baju dulu, ya!” Aku memberikan koko lengan pendek yang dibawakan umi dari rumah. Baju dengan kancing di depan akan lebih mudah dibuka dan tidak menyenggol luka di lengannya. Memakai kaos hanya akan membuatnya sering mengangkat tangan jika berganti pakaian.“Enggak dibantu ganti baju, nih?” tanyanya sambil me
“Tidak! Tidak apa-apa.” Hampir saja aku salah paham. Aku takut Gus Azam meminta haknya padahal aku belum siap. Bersyukur dia tidak boleh banyak gerak. Aku akan menghilangkan rasa takut itu perlahan. “Ambil ponselmu!” perintah suamiku. Aku segera mengambil ponsel yang masih berada di dalam tas. “Ini, Mas.” Bude Siti dan Pakde Irul membawakan ponselku ke rumah sakit, tetapi aku belum sempat menyimpan nomor Gus Azam. “Sini! Aku mau nulis namaku di hapemu supaya kamu bisa menghubungiku kalau ada apa-apa.”Setelah menulis namanya, dia mengembalikan ponselku. Aku tersenyum melihat nama yang dia tuliskan, Zauji.“Sekarang telepon nomorku, akan kusimpan balik!"Aku menuruti perintahnya, kupanggil kontak dengan nama ’Zauji' yang artinya suamiku. Dia tersenyum saat menulis namaku di ponselnya hingga membuatku penasaran. “Mas tulis apa namaku? Kok senyum-senyum begitu?”“Mau tau?” tanyanya dan kujawab dengan anggukan. “Mau tau aja apa mau tau banget?”“Enggak jadi, deh. Kelamaan!” Aku ber
“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat