“Tidak! Tidak apa-apa.” Hampir saja aku salah paham. Aku takut Gus Azam meminta haknya padahal aku belum siap. Bersyukur dia tidak boleh banyak gerak. Aku akan menghilangkan rasa takut itu perlahan. “Ambil ponselmu!” perintah suamiku. Aku segera mengambil ponsel yang masih berada di dalam tas. “Ini, Mas.” Bude Siti dan Pakde Irul membawakan ponselku ke rumah sakit, tetapi aku belum sempat menyimpan nomor Gus Azam. “Sini! Aku mau nulis namaku di hapemu supaya kamu bisa menghubungiku kalau ada apa-apa.”Setelah menulis namanya, dia mengembalikan ponselku. Aku tersenyum melihat nama yang dia tuliskan, Zauji.“Sekarang telepon nomorku, akan kusimpan balik!"Aku menuruti perintahnya, kupanggil kontak dengan nama ’Zauji' yang artinya suamiku. Dia tersenyum saat menulis namaku di ponselnya hingga membuatku penasaran. “Mas tulis apa namaku? Kok senyum-senyum begitu?”“Mau tau?” tanyanya dan kujawab dengan anggukan. “Mau tau aja apa mau tau banget?”“Enggak jadi, deh. Kelamaan!” Aku ber
Pagi ini aku membantu Mbak Nur memasak untuk sarapan. Sudah lima hari semenjak kepulangan Gus Azam. Seharusnya kemarin sore kami sudah chek up, tetapi Gus Azam menolak karena alasan yang tidak masuk akal. “Besok pagi aja, aku ingin dirawat dan dimanja istriku untuk terakhir kalinya. Kalau luka ini sudah sembuh, aku tidak yakin kamu mau merawatku seperti ini, Sayang,” ucapnya kala aku membujuk untuk pergi ke rumah sakit. “Aku akan selalu di sampingmu, Mas. Siapa lagi kalau bukan aku yang merawatmu? Aku ini istrimu.” Aku membelai kepalanya yang sedang berada di pangkuanku. “Kamu akan kuliah, aku akan merasa sangat kehilanganmu.”Kemarin aku mendaftar kuliah diantar oleh Anin. Kami kuliah di kampus yang berbeda. Gus Azam mengizinkanku kuliah, tetapi harus satu kampus dengan adiknya, Gus Anam. Dia bilang aku tidak boleh terlalu jauh dari pantauannya. “Astaghfirullahalazim, aku kuliah hanya lima hari, Mas. Itu pun tidak fullday.”“Kamu hanya memiliki waktu dua hari untukku.”Aku memiji
“Tidak ada apa-apa, Umi.” Mbak Nur kicep setelah umi masuk. “Masa apa hari ini? Biar Umi bantu.” “Kami sudah selesai, Umi. Tinggal tempenya saja.”Kami bertiga menghidangkan masakan di meja setelah semuanya selesai. Mbak Nur tidak pernah sarapan bersama kami, dia menolak meski aku memaksanya. Dia lebih suka makan di pondok bersama teman yang lain. Kami makan dalam diam. Abah tidak suka kami berbicara ketika makan. Namun, setiap kali selesai makan, Abah atau Umi akan mengawali perbincangan.“Hari ini kalian jadi ke rumah sakit, ’kan?” tanya Abah. “Jadi, Abah. Kami sudah menghubungi Dokter Hadi. Kebetulan beliau ada operasi nanti siang, kami harus berangkat pagi-pagi sekali,” jawab Gus Azam.“Alhamdulillah,” ucap Umi lega. “Nanti bias diantar sama Anam, ya!”“Tidak perlu, Umi. Azam mau ajakin Shafia jalan. Dia pasti suntuk di rumah terus.”Sebenarnya ini tidak terlalu buruk karena setiap hari Gus Azam selalu menghiburku. Dia juga mengizinkanku pergi ke pondok sesekali untuk menemui
“Apakah Anda sudah menceritakannya kepada suami?” tanya seorang wanita berjas putih di depanku. Aku menoleh kepada Gus Azam dan dia mengangguk. Aku tidak sanggup menceritakan kejadian buruk itu kepada orang lain. “Dia sudah menceritakannya, Dok. Awalnya dia hanya memendam semua itu sendiri hingga saya melihatnya selalu mengigau tiap malam dan tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.Setelah itu dia menceritakan kepada saya jika selama ini dia selalu merasa ketakutan. Dia sudah dilecehkan dan hampir diperkosa untuk kedua kalinya. Sekarang pelakunya sudah dipenjara, tetapi Shafia masih trauma. Tubuhnya menolak setiap kali saya hendak menyentuhnya.”Saat ini kami sedang berada di sebuah ruangan bersama seorang dokter perempuan, namanya Dokter Irma. Dia adalah seorang psikiater yang bisa membantu kesembuhanku. Dokter Irma mencatat semua keluhanku. Kehilangan orang tua secara tiba-tiba, terjebak hutang, dan hampir diperkosa membuatku merasa sedih dan marah. Aku belum bisa berdamai denga
Kami tertawa bersama-sama hingga membuat kecanggungan di antara kami pecah begitu saja. “Kamu duluan, ladies first,” ucapnya sambil menyerutup es yang tersisa setengah. Sepertinya dia kehausan. “Aku tidak pernah pacaran sebelumnya. Aku tidak tahu apa saja yang dilakukan orang ketika kencan.”Mendengar ucapanku, Gus Azam tertawa hingga memegangi perut. “Aku juga tidak pernah pacaran, tetapi aku tahu bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik.”Aku percaya dengan ucapannya. Lelaki di sampingku ini mengajakku kencan untuk pertama kalinya. Aku sempat bertanya kepada Anin tata cara orang pacaran, tetapi sampai siang ini dia belum membalasnya. Padahal dia satu-satunya temanku yang sudah pernah pacaran. Kupikir aku yang terlalu polos, ternyata suamiku juga tidak punya pengalaman. Dia selalu menjaga pergaulannya meskipun sudah lulus S2. “Eh, tadi Mas mau ngomong apa?”“Apa, ya? Lupa,” ucapnya sambil menggaruk kepala. Kami berbincang cukup lama hingga terdengar suara azan. “Kita pula
“Pak Azam ngapain di sini?” Salah seorang gadis berkerudung merah mendekati suamiku. “Saya sedang makan bakso,” jawab Gus Azam ramah. Dua gadis lainnya juga semakin mendekat dan tampak antusias duduk di samping kanan dan kiri suamiku. Mereka sepertinya seusia denganku. Apa anak-anak pondok seagresif itu dengan ustaznya?“Kami boleh ikut gabung, Pak? Kita juga mau makan bakso.” Gadis berkerudung merah itu bertanya dengan mata berbinar. Gus Azam menatapku, dia menaikkan alisnya seolah meminta persetujuan. Namun, kugelengkan kepala. Aku tidak mau acara kencan kami rusak gara-gara gadis-gadis ini. “Masih ada tempat lain yang di sana,” ujar Gus Azam sembari menunjukkan beberapa meja yang masih kosong. Setelah mengatakan itu, ketiga gadis itu memelototiku. “Ada apa?” tanyaku keheranan. Mereka bertiga menatapku sinis seolah aku ini musuh mereka. Gus Azam tampak cuek, masih melanjutkan makannya dan mengabaikan tiga santrinya. “Kamu siapa? Kuliah di mana? Kenapa kami tidak pernah meliha
Bukannya menjawab, suamiku malah terkekeh kemudian memberikan air putih untukku. “Minum dulu!”Dari raut wajah Gus Azam, sepertinya Anin telah mengatakan hal yang tidak-tidak. “Anin ngomong apa, Mas?”“Memangnya kamu tadi nanya apaan?” Duh! mati aku jika Gus Azam melihat riwayat chatku dengan Anin. Tidak pernah terpikirkan jika akan terjadi hal seperti ini. Aku tidak punya muka lagi di depan suamiku. “Mas pasti udah baca pesanku,” ucapku sembari menyerutup kuah bakso. Aku menunduk tidak berani melihat Gus Azam. “Belum. Aku tidak membuka pesanmu, hanya mengangkat telepon Anin karena berkali-kali dia menelepon. Aku takut mengganggu tidurmu, jadi kuangkat saja.”“Mas ngomong apa sama Anin?” “Mas enggak ngomong apa-apa.”Aku menatapnya penuh selidik. “Beneran?”“Mas hanya berdehem, tetapi setelah itu Anin langsung mematikan telepon.”Anak itu kalau udah ngomong mulutnya tidak bisa direm. Aku harus segera menemui Anin. “Pelan-pelan saja makannya. Nanti kamu tersedak lagi.”“Aku mau me
“Nin, kamu tahu nggak kalau yang angkat telepon suamiku?”“Apaaa?” Anin membuka cadarnya kemudian segera minum es teh yang dia beli dari warung. “Kamu nggak bercanda, kan?”“Aku tadi ketiduran. Gus Azam yang angkat telepon, katanya takut kalau aku terbangun. Memangnya kamu ngomongin apa aja?”“Astaghfirullah, Gus Azam pasti berpikir yang tidak-tidak. Kamu belum baca pesanku, Fia?”Aku menggeleng, memang tidak membaca pesan dari Anin dan langsung ke pondok untuk menemuinya. “Aku belum sempat baca.”“Ya sudah, baca sekarang!”Aku mengambil ponsel kemudian membacanya. Pantas saja Gus Azam tertawa. Ternyata yang Anin katakan adalah pengalaman kencannya dengan sang mantan. Aku ingin tertawa, tetapi takut jika dia tersinggung. “Nggak usah ditahan kalau mau ketawa, emang aku dulu kayak gitu, Fia. Setiap orang punya masa lalu yang berbeda-beda.”“Beneran kamu berani melakukan hal seperti ini?” Tanyaku setelah membaca semua pesan yang dikirimkan Anin. “Dulu, Fia. Aku dulu enggak berjilbab,
“Ini Umi, Nak,” ucapku meyakinkan Meyda. Aku teringat pesan Gus Azam agar bisa menguasai diri. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Ingin sekali kupeluk tubuh mungil itu. Rasa haru melihat Meyda baik-baik saja tidak bisa kuhempaskan begitu saja.Sebelum sempat menyentuh Meyda, penjahat itu bergerak cepat dan mengangkat tubuh putriku dari atas pasir. Aku bisa melihat wajah penjahat itu dengan jelas. Dia seorang pemuda tanggung. Aku tidak asing dengannya Entah apa maksudnya, pemuda itu malah mengajak Meyda bermain-main. Mereka terlihat seperti kakak adik. Aku tidak melihat pemuda itu sebagai orang jahat. Dari cara bicaranya, justru aku menilai dia pemuda yang hangat. “Ayok cantik, kita bikin istana pasir,” seru pemuda itu. Dari arah kanan, Gus Azam berlarian menuju kami. Napasnya ngos-ngosan seperti baru dikejar serigala. “Kenapa diam saja?” tanya Gus Azam, napasnya masih terdengar tidak beraturan.“Meyda kelihatan senang bermain dengan pemuda itu, Mas.”“Kita harus segera mengam
Sekarang sudah hari ketujuh Meyda menghilang. Selama itu pula aku tidak banyak beraktivitas. Aku terlalu banyak menghabiskan waktu tiduran di atas ranjang. Sesekali menangis ketika melihat foto putriku di ponsel. Menjelang magrib, Gus Azam belum juga pulang. Suamiku pasti sangat lelah. Setiap hari dia harus bolak-balik ke toko dan kantor polisi. Lalu, malamnya dia menghubungi semua teman-temannya. Barangkali di antara mereka ada yang melihat Meyda. Aku menjadi saksi hidup betapa luar biasa perjuangan Gus Azam untuk menemukan Meyda. Dia benar-benar melakukan perannya sebagai suami sekaligus ayah yang baik untuk kami berdua. Aku menyambut suamiku dengan senyuman yang terpoles di bibir seraya menjawab salam. Kucium tangannya dengan takzim. “Alhamdulillah, akhirnya kamu pulang, Mas.”Gus Azam membalas senyumku. Wajahnya yang setenang lautan, mendadak kusut mirip baju yang tidak disetrika. Dia menghela napas panjang berkali-kali. “Mau kubuatkan teh panas?” tawarku. Gus Azam berbaring
Aku berulang kali menghubungi nomor Gus Azam. Sudah satu jam lebih dia pergi, tetapi tidak memberi kabar.“Mas, gimana? Meyda sudah ditemukan? Apa putri kita baik-baik saja?” Aku memberondong pertanyaan ketika panggilanku tersambung. “Maaf, Sayang. Tadi ternyata aku salah lihat. Anak itu bukan putri kita.” Gus Azam terdengar mengembuskan napasnya. Hatiku kembali luluh lantak disiram harapan palsu. Mengapa sesulit ini menemukannya? “Halo ... halo.”“Iya, Mas?” Suaraku melemah tanpa antusias. Kenyataan tak seindah asa. Apa kabar Meydaku hari ini?“Aku baru keluar dari toko dan menuju ke pondok, apa mau menitip sesuatu?”“Tidak usah, Mas. Aku tidak sedang menginginkan apa pun.” “Bagaimana dengan sate kambing kesukaanmu? Mumpung belum terlewat.” “Iya boleh, Mas. Terserah kamu saja,” ucapku tanpa minat. Namun, tiba-tiba suamiku menyebutkan nama Meyda di telepon.“Meyda? Astaghfirullah, Sayang, sepertinya aku kali ini benar-benar melihat Meyda. Aku mau putar balik dulu.”Telepon mati
Aku bersyukur begitu tahu tidak ada luka yang terlalu serius terjadi pada Gus Azam. Hari ini suamiku sudah boleh pulang ke rumah setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit. Namun, beberapa hari belakangan aku terlalu banyak meratap karena putriku satu-satunya belum juga ditemukan. “Sayang, jangan terlalu dibawa pikiran. Nanti kamu sakit,” kata Gus Azam mengingatkan.Aku mengusap air mata yang jatuh menetes dan berhasil membuat mataku sedikit bengkak.“Mas, bagaimana kalau Meyda menangis? Dia masih membutuhkan ASI dariku. Bagaimana kalau putri kita tidak dikasih makan?” Air mataku meluncur kembali, kali ini lebih deras. “Kita harus bersabar. Ini ujian dari Allah.”“Iya, Mas, aku juga tahu kalau semua Allah yang menentukan. Tapi kita harus cari solusi buat menemukan Meyda.” “Kita lapor ke polisi.”Sepanjang perjalanan ke kantor polisi, Gus Azam menggenggam erat tanganku. Aku memang tidak bisa bersikap setenang Mas Azam, tetapi ibu mana yang bisa hidup tenang kala putri kecilnya di
“Mas! Bangun!” Aku menggoyangkan baju Gus Azam meski sebenarnya tidak tega. “Hmmm! Ada apa?” tanya Gus Azam dengan mata yang enggan terbuka. “Ada suara mencurigakan di luar. Sepertinya ada orang yang sedang mengintip dari jendela.” Bangunan rumah Gus Azam memang berada di lingkungan pondok, tetapi cukup jauh dengan pondok putri maupun putra. Tengah malam begini tidak mungkin ada santri yang iseng pergi ke Ndalem. Lampu kamar pun tidak kami matikan, akan terlihat jelas jika ada yang mengintip dari luar. Semenjak melahirkan, aku tidak pernah mematikan lampu. Aku takut ketika tidur menindih tubuh Meyda ataupun terjadi sesuatu dengannya. “Kamu di sini saja, biar Mas yang lihat.” “Hati-hati, Mas.” Aku merasa gusar ketika Gus Azam melangkah pergi ke luar rumah untuk mengecek ada apa sebenarnya. Beberapa hari ini memang hatiku merasa tidak tenang seolah ada orang yang dengan sengaja mengintai kami. Kulihat Meyda masih terlelap di tengah ranjang. Aku mondar-mandir mirip setrikaan setel
Sore harinya kami mengobrol santai di rumah. Rumah ini cukup luas meski semua orang berkumpul di ruang tengah. Kami ingin pulang, tetapi Mbah Putri melarang. “Mbah masih kangen sama Meyda. Kalian jangan pulang dulu. Lagian di rumah tidak ada tanggungan ‘kan?” “Tidak ada, Mbah. Rumah aman. Hanya saja kami takut banyak yang tidak nyaman mendengar tangisan Meyda ketika malam,” jawabku pelan. Selama ini Meyda sering tertidur lama saat siang hari, tetapi malamnya kami harus begadang. Meyda ini terasa sangat spesial bagi kami. Butuh waktu tiga tahun kami bisa mendapatkan momongan. Begitu lahir, Meyda selalu membuatku kelimpungan. Di berbeda dengan bayi pada umumnya. Pernah suatu ketika Bude-budeku membandingkan Meyda dengan cucunya yang kalem. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Padahal setiap anak itu berbeda. “Anak kamu jangan-jangan penyakitan. Masa nangis terus tiap malam?” “Jangan-jangan anakmu itu diganggu sama jin. Bayi kok nangis terus?” Aku sempat mengalami baby blues sebentar.
“Aku tidak kenapa-kenapa. Perasaanku tidak enak. Aku ingin pulang saja.” “Panggung utama sudah terlihat dan kamu ingin kembali?” Layla menggeleng. “Kita harus ke sana. Suami kita sudah menunggu.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya beberapa Minggu terakhir ini aku sering merasa diawasi ketika pergi keluar rumah. Aku pun meminta Gus Azam mengganti pagar depan rumah dengan yang lebih tinggi. Gerbang yang dulu hanya setinggi orang dewasa. Pakde Irul bilang yang penting orang tidak bisa masuk sembarangan. Pun kendaraan di dalamnya aman. “Hidup di desa itu dekat dengan banyak tetangga. Kalau gerbangmu terlalu tinggi, mereka tidak ada yang tahu jika kamu dalam kesusahan.” Memang benar yang dikatakan Pakde Irul waktu itu. Beruntung setelahnya Pak Rozaq dipenjara. Namun, aku tidak tahu apakah dia masih mendekam di penjara atau sudah bebas. Terkadang aku merasa takut jika mengingatnya. Hidupku sudah cukup berat selama ini. Aku yakin Allah tidak akan mengujiku lagi dengan cobaan yang berat
“Cek ponsel kamu sekarang, Fia!”Aku segera mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu. Aku meletakkannya di meja kamar sejak sampai di sini pagi tadi. Aku penasaran dengan pesan Layla sampai dia merasa sangat malu. Apakah dia membahas tentang adegan ranjang? Ah tidak mungkin. Dia wanita yang cerdas. Dia tahu jika tidak boleh membahas masalah ranjang dengan seseorang. Itu sama halnya dengan membuka aib pasangan. Aku kembali menemui Layla setelahnya. Wajahnya terlihat semakin kusut. Apalagi saat dia menoleh ke arahku, terang-terangan aku tertawa melihat ekspresinya.“Tuh ‘kan malah ngetawain aku.” “Gimana nggak mau ketawa, lihat ekspresi wajah kamu itu bikin siapa aja gemas.”“Sayang, kalian bakal punya Bude yang menyebalkan.” Aku semakin terkekeh melihat Layla mengelus perutnya dan mengajak ngobrol kedua bayinya yang masih ada di dalam kandungan. Sebelum dia semakin marah, segera kubuka pesannya. Aku menutup mulut setelah membacanya. Namun, sepersekian detik aku tertawa.
“Jangan, Sayang! Nanti kamu jatuh.” Kulihat dari jendela kaca dapur, suamiku sedang mengajak Meyda menyiram tanaman. Tangan Meyda tak henti-hentinya meminta apa yang abinya pegang. “Ta ta ta ta!” Aku tersenyum melihat Mas Azam mau membantu mengasuh Meyda ketika aku sedang sibuk di dapur. Bayi mungilku sudah merangkak. Di usianya yang menginjak delapan bulan, dia sudah mulai mengeluarkan kosakata yang hanya dimengerti oleh bayi. Aku sendiri sebagai ibunya belum bisa menerjemahkan bahasanya. “Sarapan sudah siap. Makan dulu, Abi.”“Wah, Umi sudah selesai masak.” Gus Azam berlari bersama Meyda di gendongannya. “Abi! Udah berapa kali Umi bilang jangan gendong Meyda di belakang. Dia belum bisa pegangan kuat, nanti bisa jatuh.”Bukannya berhenti, suamiku malah mengangkat tinggi-tinggi Meyda hingga putrinya terbahak-bahak. “Lihat! Umi marah, Sayang.” Suamiku pura-pura takut kemudian duduk memangku Meyda. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat ayah dan anak itu. Kami sudah sepakat