Beranda / Pernikahan / Wanita Penggoda / Bab 41 - Bab 50

Semua Bab Wanita Penggoda: Bab 41 - Bab 50

68 Bab

Sangat Terkejut

Hatiku benar-benar remuk. Mas Bambang telah membenciku. Dia sudah tidak mengharapakn aku kembali lagi. Cinta yang telah bersemi, kandas sudah oleh kebohongan yang aku ciptakan sendiri. Benar kata orang, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, pastilah tercium juga.“Maaaaassss!!! Mas Bambaaaangg!!” Kupanggil namanya berulang-ulang. Berharap laki-laki yang kucintai itu berbalik, menoleh padaku dan memeluk tubuh ini dengan erat. Namun, tubuh yang kurindukan itu tak jua datang. Aku semakin menangis histeris. Sebuah tangan membantuku berdiri. Dia bukan Mas Bambang, melainkan waria yang tadi memberitahu keberadaan suamiku.“Sudah, Mbak. Bangunlah ... malu dilihatin orang,” ucap waria dengan suara laki-lakinya. Dengan hati-hati ia memapahku. Langkahku gontai menuju mobil yang terparkir di bawah pohon seberang jalan. Waria yang belum aku ketahui namanya, masih setia menuntun hingga aku duduk di dalam mobil.“Maaf, Mbak. Saya gak bisa anter, gak bisa nyetir soalnya.” Aku hanya mengangguk. Men
Baca selengkapnya

Kemarahan Ambu

Aku Wulandari, seorang wanita yang tidak memiliki kedua kaki dan ditinggal pergi suami. Nasib baik seolah tak pernah berpihak pada diri. Setelah tidak menerima caci maki, namun Tuhan masih saja menguji. Setelah pulang dari rumah sakit, orang tuaku menyuruh agar aku tinggal di Desa saja. Awalnya aku ragu karena takut menerima caci maki dan hinaan orang-orang Desa. Namun anggapanku salah. Justru mereka bersimpati dan merasa iba dengan keadaanku.Hampir tiap hari ada saja warga yang berkunjung ke rumah. Ada yang pura-pura cuma ingin melihat Alan. Ada juga yang datang cuma ingin menghiburku. “Sabar ya, Neng ... ini teh cobaan. Harus kuat. Barang kali Neng Wulan mau diangkat derajatnya sama Yang Maha Kuasa,” hibur Ceu Odah saat datang menjenguk. Aku hanya berdiam diri, enggan menanggapi ucapan Ceu Odah. Aku takut kalau ucapan mereka tidak dari hati.Warga Desa berubah baik pada keluarga kami, berkat jiwa pemaaf dan kebiasaan menolong Ambu. Meski sering aku larang, Ambu tetap menolong at
Baca selengkapnya

Mendengar Kabar

Subuh, aku bangkit ke kamar mandi. Berwudhu. Ini adalah kali pertama aku berwudhu setelah bertahun-tahun tidak melakukannya. Ini juga, kali pertama aku melakukan salat lima waktu setelah bertahun-tahun pula aku tidak melaksanakannya.Dalam munajat, memohon ampun pada Sang Pencipta. Mohon ampun tidak pernah bersyukur atas nikmat sehat dan rejeki yang Allah berikan. Mohon ampun atas kesalahan yang aku sengaja atau pun tidak sengaja.Usai salat, keluar kamar. Terlihat Ambu sedang mencuci piring. Aku menghampiri ingin membantu meskipun keadaanku duduk di kursi roda.“Ambu ....” sapaku lirih. Ambu menoleh tanpa sepatah kata. Untunglah ukuran wastafel tidak terlalu tinggi. Tidak begitu sulit bagiku mencuci piring kotor dengan duduk di atas kursi roda.Kuambil satu piring lalu mencucinya. Ambu pergi masuk kamar. Aku menghela napas. Rupanya Ambu masih marah. Biasanya kalau aku cuci piring, selalu ia larang. Tetapi sekarang tidak. Ia justru membiarkanku mencuci piring-piring kotor sendirian.S
Baca selengkapnya

Sebuah Pesan

“Ambu ... Neng minta maaf. Neng janji gak akan bilang gitu lagi," ucapku menyesal diiringi isak tangis. Ambu enggan menatapku. Tangan kanannya masih memegang botol susu yang disedot oleh Alan. Sungguh hati ini sangat teriris melihat sikap Ambu yang berubah dingin.“Ambu ....” sekali lagi aku memanggilnya. Kali ini Ambu menoleh. Terlihat kedua matanya mulai berembun. Menatapku lekat.“Iya, Ambu maafin. Tetapi, Neng gak boleh bilang gitu lagi. Gimana pun Alan ini anak yang gak tau apa-apa. Harusnya Neng sebagai Ibu doakan dan bicara baik-baik buat Alan. Bukan sebaliknya, Neng ....” Nasihat Ambu sangat lembut dan lirih. Aku menganggukkan kepala seraya menyeka air mata yang membasahi kedua pipi. Ambu adalah wanita penyabar dan penyayang. Selama ini sangat menyayangi anak-anaknya. Jarang sekali Ambu memarahi kami.Aku memang ibu yang tidak berguna. Kutatap wajah mungil Alan. Meski masih saja menyimpan kekesalan pada Sutiyoso, tapi jauh dari lubuk hati sebenarnya amat menyayangi Alan.“Neng
Baca selengkapnya

Kedatangan Tamu

“Teteh? Teteh kenapa?” tanya kedua adikku, menarik selimut yang aku kenakan, berdiri di samping kiri tempat tidur.Aku mengatur napas. Untunglah Cuma mimpi. Tetapi, kenapa seperti sangat nyata? Ya Allah, apakah mimpi yang baru saja aku alami sebuah pertanda buruk? Atau apakah Mas Bambang sedang dalam bahaya?Ya Allah, tolong lindungi Mas Bambang di mana pun ia berada. Tolong ya Allah ....“Asep, Ujang, Teteh gak kenapa-napa. Cuma mimpi buruk. Udah sana, main lagi." Aku menjawab pertanyaan kedua adikku. Asep dan Ujang keluar kamar. Kulihat jam dinding pukul dua belas siang. Sudah masuk waktu dzuhur.Susah payah, aku turun dari tempat tidur. Sempat hampir jatuh tersungkur, untung masih di tempat kursi roda. Dengan menggunakan kursi roda, aku menuju toilet yang berada di dalam kamar. Aku berwudhu, kemudian melaksanakan kewajiban selaku umat muslim.Usai salat, kupanjatkan banyak doa. Terutama untuk keselamatan Mas Bambang. Semoga mimpi itu tidak pernah menjadi nyata. “Teteh, aya tamu (
Baca selengkapnya

Kekasih Hati Telah Kembali

"Ambu, Jaka lagi ngobrol sama siapa?" Melihat Ambu yang masih saja berdiam diri, aku pun bertanya kembali. Menghalau rasa penasaran yang mendera."Jakaa ... suruh masuk A Bambangnya ...." Mataku membelalak mendengar nama Mas Bambang diucapkan oleh Ambu. Benarkah dia yang berada di luar?Sosok yang amat aku rindukan itu, kini berdiri di depan pintu bersama Jaka. Dia seolah ragu untuk melangkah. bola matanya berembun. menahan air mata yang akan membuncah.Pandanganku pun mulai mengabur. Ada perasaan haru dan bahagia di dalam hati ini. Ingin berlari memeluknya tetapi tidak bisa. Aku meremas pegangan kursi roda. Air mata sudah tak dapat lagi dibendung."Ayok, masuk, A!" ajak Jaka seraya tersenyum. Tetapi tidak Mas Bambang. Lelaki itu wajahnya terlihat masam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Ia melangkahkan kakinya semakin mendekati. Tanganku gemetar, jantung ini berdegup tak menentu. Ya Tuhan, apa benar, pria yang berdiri di depanku ini adalah orang yang selama ini aku rindukan?
Baca selengkapnya

Pakaian Kotor

Hari ini adalah hari kebahagiaanku. Aku bersyukur karena orang-orang yang aku sayangi berkumpul di rumahku. Sekarang, kami semua sedang makan bersama. Ambu dan Mbak Ratih membuat nasi liwet. Sedangkan Jaka, Mas Bambang serta Bang Suryadi berbincang di depan rumah sambil menjaga Alan. Aku sendiri membantu Ambu dan Mbak Ratih di dapur.“Neng, lebih baik kamu istirahat saja. Biar urusan masak, Ambu sama Mbak Ratih yang mengerjakan,” ucap Ambu membuatku semakin tak enak hati. Kalau pun di dapur, aku hanya membantu mengiris bawang dan bumbu-bumbu dapur lainnya. “Iya, Lan. Kamu di depan saja sama Mas Bambang dan Alan.” Mbak Ratih menambahkan. Aku tersenyum miring. “Baik, Ambu, Mbak. Maaf ya, aku tak bisa membantu di sini,” ucapku tersenyum getir. Andai saja aku masih memiliki kedua kaki, mungkin tidak merepotkan mereka. Sudahlah, tidak perlu disesalkan. Semuanya sudah menjadi garis takdir. Memang sudah takdirku seperti ini.Sore menjelang, Mbak Ratih dan Bang Suryadi pamit pulang. Mer
Baca selengkapnya

Kain Sarung

“Sementara waktu, jangan pakai celana dalam dulu, ya, Mas? Habisnya gak ada yang baru,” kataku dengan suara tertahan. Mas Bambang tampak kebingungan, namun akhirnya ia menganggukkan kepala.“Baiklah. Enak sih gak pakai celana dalam. Adem. Hehehe ....” Aku menggelengkan kepala seraya menghela napas panjang. Suamiku ini memang ada-ada saja. Masih saja berpikir kalau tidak mengenakan celana dalam adem. Mungkin bukan adem tetapi asem. Eh!“Mas, itu pakaiannya mau dibawa kemana?” tanyaku heran melihat Mas Bambang yang hendak kembali masuk kamar mandi. “Mau aku pakai.”“Ya ampun, Mas. Pakainya di sini saja! Kenapa mesti di kamar mandi. Memangnya kenapa kalau pakai di sini?” Aku semakin tak habis pikir, dari dulu Mas Bambang selalu saja mengganti pakaian di dalam kamar mandi. Tidak pernah di depanku.“Kalau di sini ada kamu, Lan ....” jawabnya sambil merunduk malu-malu. Kedua mataku membeliak, tak menyangka jika Mas Bambang malu kepadaku. Jadi selama ini dia mengganti pakaian di dalam
Baca selengkapnya

Bebas

POV BambangLega rasanya terlepas dari si mulut kaleng rombeng. Memiliki istri yang cerewet sangatlah menyebalkan. Tak perlu memasang alarm jika ingin bangun pagi, istriku itu mulutnya melebihi alarm.Diriku sudah tidak tahan mendengar ocehannya tiap waktu. Oleh karenanya, dua hari lalu aku menyewa pengacara untuk mengurus perceraian kami. Tentu tanpa sepengetahuan sang istri soalnya kalau dia tahu, pasti akan mengemis-ngemis agar tidak diceraikan. Secara aku ini berwajah tampan, mapan dan sangat bertanggung jawab dalam hal menafkahi.Selepas pulang kerja, aku menyempatkan diri mampir di kantor Pak Wahyu, pengacara yang aku sewa untuk membantu menyelesaikan perceraian. Dengan memberinya sejumlah uang yang lumayan besar, tanpa kehadiranku di persidangan pun, perceraian yang aku ajukan pastilah dikabulkan oleh hakim.“Pokoknya saya tidak mau tau, perceraian saya dan Vania harus berjalan dengan lancar. Nanti Pak Wahyu saja yang hadir di persidangan, saya sangat sibuk.” Pengacara itu man
Baca selengkapnya

Cerai

“Gak salah lo cerein dia?" tanya Mahardika teman sekantor dengan raut wajah tak percaya."Salah kenapa? Tindakan gue ini udah paling benar!" Tandasku penuh percaya diri. Sahabatku itu duduk kembali, setelah ia berdiri karena kaget mendengar kabar perceraianku dengan Vania."Alasan lo apa? Kalo cuma karena bini bawel gak bakal dikabulin kali." Si Mahar mengejek. Namun aku memaklumi sebab ia belum pernah merasakan berumah tangga dan memiliki istri yang cerewet."Heleeeh kepo! Pokoknya ada alasan lain yang gak bisa gue ceritain ke lu. Dahlah, gue males bahas soal ini." Aku mengelak. Lagi pula kalau sampai mengatakan alasan yang lain, pasti makhluk berambut ikal itu berceramah panjang lebar. Malaslah!"Gue cuma penasaran. Secara si Vania itu menurut gue istri idaman banget.""Idaman?" Tawaku membahana memenuhi ruangan. "Ada-ada aja lo, Har. Idaman dari Hongkong? Bini cerewet gitu lo bilang idaman," sahutku geli. "Eh, lo sekarang boleh ketawa. Suatu saat bakal nangis-nangis.""Sok tau lo
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status