Subuh, aku bangkit ke kamar mandi. Berwudhu. Ini adalah kali pertama aku berwudhu setelah bertahun-tahun tidak melakukannya. Ini juga, kali pertama aku melakukan salat lima waktu setelah bertahun-tahun pula aku tidak melaksanakannya.Dalam munajat, memohon ampun pada Sang Pencipta. Mohon ampun tidak pernah bersyukur atas nikmat sehat dan rejeki yang Allah berikan. Mohon ampun atas kesalahan yang aku sengaja atau pun tidak sengaja.Usai salat, keluar kamar. Terlihat Ambu sedang mencuci piring. Aku menghampiri ingin membantu meskipun keadaanku duduk di kursi roda.“Ambu ....” sapaku lirih. Ambu menoleh tanpa sepatah kata. Untunglah ukuran wastafel tidak terlalu tinggi. Tidak begitu sulit bagiku mencuci piring kotor dengan duduk di atas kursi roda.Kuambil satu piring lalu mencucinya. Ambu pergi masuk kamar. Aku menghela napas. Rupanya Ambu masih marah. Biasanya kalau aku cuci piring, selalu ia larang. Tetapi sekarang tidak. Ia justru membiarkanku mencuci piring-piring kotor sendirian.S
“Ambu ... Neng minta maaf. Neng janji gak akan bilang gitu lagi," ucapku menyesal diiringi isak tangis. Ambu enggan menatapku. Tangan kanannya masih memegang botol susu yang disedot oleh Alan. Sungguh hati ini sangat teriris melihat sikap Ambu yang berubah dingin.“Ambu ....” sekali lagi aku memanggilnya. Kali ini Ambu menoleh. Terlihat kedua matanya mulai berembun. Menatapku lekat.“Iya, Ambu maafin. Tetapi, Neng gak boleh bilang gitu lagi. Gimana pun Alan ini anak yang gak tau apa-apa. Harusnya Neng sebagai Ibu doakan dan bicara baik-baik buat Alan. Bukan sebaliknya, Neng ....” Nasihat Ambu sangat lembut dan lirih. Aku menganggukkan kepala seraya menyeka air mata yang membasahi kedua pipi. Ambu adalah wanita penyabar dan penyayang. Selama ini sangat menyayangi anak-anaknya. Jarang sekali Ambu memarahi kami.Aku memang ibu yang tidak berguna. Kutatap wajah mungil Alan. Meski masih saja menyimpan kekesalan pada Sutiyoso, tapi jauh dari lubuk hati sebenarnya amat menyayangi Alan.“Neng
“Teteh? Teteh kenapa?” tanya kedua adikku, menarik selimut yang aku kenakan, berdiri di samping kiri tempat tidur.Aku mengatur napas. Untunglah Cuma mimpi. Tetapi, kenapa seperti sangat nyata? Ya Allah, apakah mimpi yang baru saja aku alami sebuah pertanda buruk? Atau apakah Mas Bambang sedang dalam bahaya?Ya Allah, tolong lindungi Mas Bambang di mana pun ia berada. Tolong ya Allah ....“Asep, Ujang, Teteh gak kenapa-napa. Cuma mimpi buruk. Udah sana, main lagi." Aku menjawab pertanyaan kedua adikku. Asep dan Ujang keluar kamar. Kulihat jam dinding pukul dua belas siang. Sudah masuk waktu dzuhur.Susah payah, aku turun dari tempat tidur. Sempat hampir jatuh tersungkur, untung masih di tempat kursi roda. Dengan menggunakan kursi roda, aku menuju toilet yang berada di dalam kamar. Aku berwudhu, kemudian melaksanakan kewajiban selaku umat muslim.Usai salat, kupanjatkan banyak doa. Terutama untuk keselamatan Mas Bambang. Semoga mimpi itu tidak pernah menjadi nyata. “Teteh, aya tamu (
"Ambu, Jaka lagi ngobrol sama siapa?" Melihat Ambu yang masih saja berdiam diri, aku pun bertanya kembali. Menghalau rasa penasaran yang mendera."Jakaa ... suruh masuk A Bambangnya ...." Mataku membelalak mendengar nama Mas Bambang diucapkan oleh Ambu. Benarkah dia yang berada di luar?Sosok yang amat aku rindukan itu, kini berdiri di depan pintu bersama Jaka. Dia seolah ragu untuk melangkah. bola matanya berembun. menahan air mata yang akan membuncah.Pandanganku pun mulai mengabur. Ada perasaan haru dan bahagia di dalam hati ini. Ingin berlari memeluknya tetapi tidak bisa. Aku meremas pegangan kursi roda. Air mata sudah tak dapat lagi dibendung."Ayok, masuk, A!" ajak Jaka seraya tersenyum. Tetapi tidak Mas Bambang. Lelaki itu wajahnya terlihat masam. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Ia melangkahkan kakinya semakin mendekati. Tanganku gemetar, jantung ini berdegup tak menentu. Ya Tuhan, apa benar, pria yang berdiri di depanku ini adalah orang yang selama ini aku rindukan?
Hari ini adalah hari kebahagiaanku. Aku bersyukur karena orang-orang yang aku sayangi berkumpul di rumahku. Sekarang, kami semua sedang makan bersama. Ambu dan Mbak Ratih membuat nasi liwet. Sedangkan Jaka, Mas Bambang serta Bang Suryadi berbincang di depan rumah sambil menjaga Alan. Aku sendiri membantu Ambu dan Mbak Ratih di dapur.“Neng, lebih baik kamu istirahat saja. Biar urusan masak, Ambu sama Mbak Ratih yang mengerjakan,” ucap Ambu membuatku semakin tak enak hati. Kalau pun di dapur, aku hanya membantu mengiris bawang dan bumbu-bumbu dapur lainnya. “Iya, Lan. Kamu di depan saja sama Mas Bambang dan Alan.” Mbak Ratih menambahkan. Aku tersenyum miring. “Baik, Ambu, Mbak. Maaf ya, aku tak bisa membantu di sini,” ucapku tersenyum getir. Andai saja aku masih memiliki kedua kaki, mungkin tidak merepotkan mereka. Sudahlah, tidak perlu disesalkan. Semuanya sudah menjadi garis takdir. Memang sudah takdirku seperti ini.Sore menjelang, Mbak Ratih dan Bang Suryadi pamit pulang. Mer
“Sementara waktu, jangan pakai celana dalam dulu, ya, Mas? Habisnya gak ada yang baru,” kataku dengan suara tertahan. Mas Bambang tampak kebingungan, namun akhirnya ia menganggukkan kepala.“Baiklah. Enak sih gak pakai celana dalam. Adem. Hehehe ....” Aku menggelengkan kepala seraya menghela napas panjang. Suamiku ini memang ada-ada saja. Masih saja berpikir kalau tidak mengenakan celana dalam adem. Mungkin bukan adem tetapi asem. Eh!“Mas, itu pakaiannya mau dibawa kemana?” tanyaku heran melihat Mas Bambang yang hendak kembali masuk kamar mandi. “Mau aku pakai.”“Ya ampun, Mas. Pakainya di sini saja! Kenapa mesti di kamar mandi. Memangnya kenapa kalau pakai di sini?” Aku semakin tak habis pikir, dari dulu Mas Bambang selalu saja mengganti pakaian di dalam kamar mandi. Tidak pernah di depanku.“Kalau di sini ada kamu, Lan ....” jawabnya sambil merunduk malu-malu. Kedua mataku membeliak, tak menyangka jika Mas Bambang malu kepadaku. Jadi selama ini dia mengganti pakaian di dalam
POV BambangLega rasanya terlepas dari si mulut kaleng rombeng. Memiliki istri yang cerewet sangatlah menyebalkan. Tak perlu memasang alarm jika ingin bangun pagi, istriku itu mulutnya melebihi alarm.Diriku sudah tidak tahan mendengar ocehannya tiap waktu. Oleh karenanya, dua hari lalu aku menyewa pengacara untuk mengurus perceraian kami. Tentu tanpa sepengetahuan sang istri soalnya kalau dia tahu, pasti akan mengemis-ngemis agar tidak diceraikan. Secara aku ini berwajah tampan, mapan dan sangat bertanggung jawab dalam hal menafkahi.Selepas pulang kerja, aku menyempatkan diri mampir di kantor Pak Wahyu, pengacara yang aku sewa untuk membantu menyelesaikan perceraian. Dengan memberinya sejumlah uang yang lumayan besar, tanpa kehadiranku di persidangan pun, perceraian yang aku ajukan pastilah dikabulkan oleh hakim.“Pokoknya saya tidak mau tau, perceraian saya dan Vania harus berjalan dengan lancar. Nanti Pak Wahyu saja yang hadir di persidangan, saya sangat sibuk.” Pengacara itu man
“Gak salah lo cerein dia?" tanya Mahardika teman sekantor dengan raut wajah tak percaya."Salah kenapa? Tindakan gue ini udah paling benar!" Tandasku penuh percaya diri. Sahabatku itu duduk kembali, setelah ia berdiri karena kaget mendengar kabar perceraianku dengan Vania."Alasan lo apa? Kalo cuma karena bini bawel gak bakal dikabulin kali." Si Mahar mengejek. Namun aku memaklumi sebab ia belum pernah merasakan berumah tangga dan memiliki istri yang cerewet."Heleeeh kepo! Pokoknya ada alasan lain yang gak bisa gue ceritain ke lu. Dahlah, gue males bahas soal ini." Aku mengelak. Lagi pula kalau sampai mengatakan alasan yang lain, pasti makhluk berambut ikal itu berceramah panjang lebar. Malaslah!"Gue cuma penasaran. Secara si Vania itu menurut gue istri idaman banget.""Idaman?" Tawaku membahana memenuhi ruangan. "Ada-ada aja lo, Har. Idaman dari Hongkong? Bini cerewet gitu lo bilang idaman," sahutku geli. "Eh, lo sekarang boleh ketawa. Suatu saat bakal nangis-nangis.""Sok tau lo
Sudah satu tahun aku dan Wulan menjalani bahtera rumah tangga. Sekarang buah cinta kami telah lahir. Namanya Alan Hermawan. Wulan bilang Alan artinya Ambang Wulan. Keren kan?Sudah menjadi rutinitas, tiap pagi sebelum berangkat kerja aku memandikan Alan, mencuci pakaian dan mencuci piring. Sedangkan Wulan istriku hanya memakaikan baju Alan. Tidak masalah, itu sudah sangat membantu. “Alan ... Papa Ambang berangkat kerja. Alan jagain Mama.” Bayi Alan tersenyum. Dia sangat tampan sepertiku.“Lan ... Mas berangkat.”“Iya.” Aku sudah terbiasa dengan sikap cuek Wulan. “Botol susu Alan sudah Mas bersihin semua. Nanti kalau Alan nangis, cepat-cepat kasih susu. Sukur-sukur kamu mau ngasih dia Asi.”“Aku kan udah bilang Mas. Gak mau ngasih ASI. Susu formula udah cukup buat dia!” Wulan menghardik. Entah mengapa, kadang aku merasa Wulan seolah tidak peduli dengan bayinya.“Tapi Lan, kata dokter susu ASI lebih bagus dari susu formula.” Bujukku tanpa henti.“Gak peduli. Sekarang Mas mending pergi
Setelah melakukan diskusi yang alot dengan si bujang lapuk. Solusi yang dia berikan sangat tidak berbobot hingga tidak terjangkau oleh otak berlianku. Maka aku putuskan, untuk mengubur kembali dua ATM ke dalam tanah belakang rumah tengah malam nanti.Mahardika keluar ruangan dengan langkah tak bersemangat, mungkin dia bersedih sebab ide yang menurutnya sangat berlian aku tolak mentah-mentah.Tak berselang lama ponsel berbunyi. Minceu? “Mayaaaang ... yey kenapa ingkar janji? Eyke nunggu yey dari bedug subuh ampe gini hari tapi belon juga nongol batang idung yey! aduuhh eyke pusiaaangg ....” Buset! Suara toa si Minceu memekakakan gendang telinga.“Tadi gue ke lampu merah. Lo nya gak ada.” Suara khas lelaki sejati menggema di sudut ruangan.“Yey pasti bohong! Yey jahara Mayaaaang ....”“Brisik lo!”“Pokonya jam lima sore eyke tunggu di tempat biasa. Awas kalo yey gak datang!” Klik!*** Senja semakin merambat cepat. Tak terasa jarum di arloji mahalku sudah menunjukkan angka empat.Me
Aku memerhatikan secara seksama cara makan Wulan. Cara makan dia yang sekarang berbeda sekali. Sebelumnya kalau makan dia sangat anggun, sekarang sangat rakus. Aku menelan ludah menyaksikan panorama aneh di depan mata.“Lan, Semua makanan itu habis?” Wulan mendongak sambil menjilati sisa makanan dijemari.“Enggak Mas, itu sih donat tiga lagi. Cokelat juga masih ada sepotong. Tuh bakso juga masih ada dua lagi. Mas mau? Makan aja. Lalan mau gosok gigi, abis itu tidur. Mamacih ya Mas Ambang ....”Akhirnya daripada mubazir, makanan terbuang sia-sia, sisa makanan itu aku habiskan. Ya ... aku emang sengaja menunggu sisa makanan itu. Lumayan kan hemat.*** Pagi sekali mendengar suara Wulan muntah-muntah. Sebagai suami yang siaga, aku langsung menemuinya yang berada di kamar mandi.Ooooeeekk ... oooooeeeekkk ....“Sayang, kamu gak apa-apa?” Wulan menoleh. Mukanya merah padam seperti kepiting rebus.“Maas ... obat anti mual Lalan habis. Tolong beliin ya? Kalau gini terus Lalan gak bisa kerjaa
“Pokoknya aku mau ke rumah sakit sekarang!!!” Suara Wulan setengah berteriak. Aku garuk-garuk kepala. Membayangkan biaya yang akan keluar jika berobat ke rumah sakit. “Gak bisa, Sayang. Mas harus ke kantor sekarang. Ini udah telat banget. Kamu baik-baik ya?” “Mas kejam! Gak perhatian! Gak sayang Lalan!!” Tangis istriku membahana memenuhi kamar tercinta kami.“Iya, iya, Lan ... kita ke rumah sakit sekarang.”Akhirnya aku mengalah. Jiwa lelaki sejatiku tak tega membiarkan Wulan mengeluarkan airmata walaupun setetes. Terlalu berharga.*** Tiba di rumah sakit, Wulan langsung memeriksakan kondisi tubuhnya. Dengan sabar dan penuh keikhlasan aku menunggu.Sejujurnya diriku kurang nyaman berada di rumah sakit. Apalagi jika berpapasan dengan para dokter atau perawat wanita, mereka suka melempar senyum. Seolah sangat mengagumi dan terpesona padaku. Ah, resiko orang tampan memang selalu menjadi pusat perhatian, selalu diberi senyuman gratis oleh wanita-wanita cantik.“Suami Mbak Wulandari.” A
“Nanti juga lo tau.” Jawaban yang tidak menjawab pertanyaan! “Gue kenal gak?”“Kenal.” “Iyalah pasti kenal. Siapa sih yang gak kenal laki-laki tampan kayak gue? Hampir, hampir cewek-cewek cakep yang tinggal di Indonesia Raya ini pasti kenal Bambang Hermawan.” Terima kasih Tuhan, atas anugerah ketampanan yang Kau berikan padaku.“Gue mau tanya nih.”“Tanya aja,” sahutku cool dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.“Waktu sama Vaniaaa ... kalau mau berhubungan itu, lo minum obat dulu?” Aku tak menyangka Mahardika bertanya soal itu. Aku kira, tanya bagaimana cara mempertahankan ketampanan atau tata cara membuat para cewek terpikat. “Jangan-jangan waktu sama Vania lo belum pernah cetak gol?”Sialan! Si Mahardika lancang! Tapi, emang bener sih. Aku melihat si imut. Lalu menggeleng.Tidak ada angin, tidak ada hujan Mahardika ketawa terpingkal-pingkal. Tingkah si bujang lapuk itu bikin malu. Para pengunjung di tempat ini menoleh dan memperhatikan kami. “Berhenti woy! Sarap lo! Dili
Pagi ini, rasanya badan pegal-pegal semua. Ditambah perut yang masih keroncongan. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Istriku sudah rapi dengan pakaian kerjan. Makin hari, dia makin cantik, makin montok, dan makin seksi. Tak salah aku menjadikannya istri.“Mas, bangun tidur kok melamun? Lalan udah masakin nasi goreng. Sarapan dulu gih!” Mendengar kata sarapan, mataku berbinar. Tanpa menunggu lama, langsung berlari menuju dapur. Maklum, seharian kemarin tidak makan nasi.Membuka tutup saji, ternyata benar ada nasi goreng dan ceplok telur. Wulan sungguh istri idaman. Aku tarik kursi lalu duduk. Mengambil piring, menyendok secentong nasi. Belum sempat menyuapkan nasi ke dalam mulut, wangi khas tubuh Wulan menyeruak.“Maaasshh ... Lalan berangkat duluan ya?”“Gak mau sarapan dulu?”“Gak usah nanti aja.”“Oke deh!”“Mas abis sarapan jangan lupa mandi.”“Aduh sayang, kalo mandi dulu nanti telat masuk kantor.”“Oh ya udah. Panu Masnya juga kan udah mendingan. Gak apa-apa deh.
Kemarahan Wulan tidak berlangsung lama. Dia sudah tidak mempermasalahkan lagi soal salah satu bagian tubuhku yang imut.“Makasih ya Maaaass ... Mas Ambang emang suami yang the best!!” Pujinya. Seraya menghitung lembaran-lembaran rupiah yang berserakan di atas kasur.Bagaimana tidak? Sejak malam pertama itu Wulan tak mau diajak bicara. Dia juga tak mau beres-beres rumah. Mahardika yang memberikan saran cara membuat Wulan tersenyum kembali, yaitu memberikan uang sebanyak-banyaknya. Mau tak mau, tabungan yang sudah aku kumpulkan selama tiga tahun harus aku tarik. Ternyata saran Dika sangat ampuh. Melihat tumpukan uang, kelopak mata istriku seketika bersinar, bibir mungilnya seketika tersenyum, dan tubuh seksinya seketika menghambur dalam pelukanku.Tidak hanya itu, Mahardika juga mengantarku membeli obat strong yang berkhasiat untuk pertumbuhan dan kekuatan sang burung.Mahardika benar-benar sahabat yang baik. Walaupun kerap kali membuatku jengkel tapi selalu memberikan solusi dari perm
Seperti tersambar petir di siang bolong, saat tiga kawanan makhluk di hadapanku ini menyebut nama “Mayang.”Nama yang dahulu sempat aku banggakan, nama yang dahulu sempat menyandang ketua perbancian, nama yang pertama kali membuatku mengerti tentang perihnya kehidupan. Kini, nama itu kudengar kembali, tidak! Sekarang tidak sudi lagi aku dipanggil Mayang. Aku adalah lelaki tulen. Tidak ada cacat sedikit pun dalam tubuh. Kecuali panu sialan. Aku baru sadar, mungkin panu itu salah hinggap tubuh. Harusnya hingga di tubuh orang lain, justru hinggap di tubuh atletisku. Ini pasti gara-gara tempo hari aku memancing bersama Wulan.Aku dorong tubuh Minceu, dia terjungkang seperti adegan di film-film.“Siapa kalian? Pergi dari sini!!” usirku sambil berkacak pinggang. Pasti, gayaku saat ini seperti raja bijaksana menghukum rakyat yang lancang“Mayang jahara!! Yey tidak mungkin lupos sama eyke!”Si Minceu berbicara dengan napas turun naik, kedua temannya membantu dia supaya berdiri kembali.“Ini
Vania benar-benar keterlaluan! Menyampaikan pesan Minceu di depan Wulan. Aku yakin, dia melakukan itu karena masih memendam cinta padaku. Masih enggan berpisah dengan Bambang Hermawan. Masih tak sudi melihatku berjalan mesra dengan Wulan. Sungguh malang nasibmu, Vania. Pasti kamu sangat menyesal aku ceraikan. Tapi apa boleh buat? Penyesalan memang selalu datang terlambat.Untung saja, walaupun Wulan sudah mengetahui profesiku dulu, dia masih mau terima aku apa adanya.“Gak apa-apa, Mas ... itu kan masa lalu. Yang terpenting masa depan kita harus lebih baik. Lalan mau terima Mas Ambang apa adanya kok ....” ujarnya seperti mata air yang berada di tengah gurun pasir. Sejuuuk, sangat menenangkan. Sudah tidak ada keraguan seujung kuku pun untuk menikahi Wulan. Dia pasti menjadi istri yang jauuuuhh lebih baik dari pada Vania si mulut kaleng rombeng!Rasanya sudah tidak sabar dimandiin, dimasakin, dinganuin, dikeramasin oleh Wulan. Indahnya dunia ....“Mas Ambaaaang, besok kita harus bera